• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sossie Andézian

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 150-175)

Harus segera digarisbawahi bahwa penggunaan ungkapan Prancis “culte des saints”, secara harafiah “kultus wali”, yang sesungguhnya meru- pakan konsep Nasrani, sulit dipakai di dunia Islam. Konsep “kunjungan” (ziarah)3 tampaknya lebih cocok untuk menyebut hubungan yang ada antara anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, dengan sejumlah tokoh, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, yang konon dikaruniai suatu kekuatan gaib (barakah)4 dan dikategorikan oleh masyarakatnya sebagai awliy ’, mur bitūn (mr bt n)5, syurafah (chorfa), shalih n (s lih n), asy d, atau syuyūkh (chyoūkh, plural dari syekh)6... yaitu istilah yang mengandung makna simbolis yang berbeda- beda, namun sering kurang dibedakan sehingga diterjemahkan ke dalam kata yang sama dalam bahasa Prancis, yaitu “saint” (santo atau santa). Konsep ziarah menyangkut kunjungan individual atau kolektif ke makam wali atau kepada wakil-wakilnya yang masih hidup, yang dilakukan oleh mereka yang mencari berkah dengan tujuan memohon sesuatu atau mengucapkan terima kasih atas telah terkabulnya suatu permohonan.

Berbagai praktik ziarah, yang dijalankan baik oleh laki-laki maupun perempuan, penduduk kota maupun penduduk desa, kalangan terdidik maupun buta huruf, mencakup kegiatan-kegiatan beragam mulai dari yang bersifat informal sampai yang sepenuhnya terorganisir. Para wali memiliki peziarah setia atau “klien” yang terikat oleh suatu janji kesetiaan pribadi. Namun para wali dengan rela hati juga menerima siapa saja yang meminta

3

Ziarah, secara harafiah berarti “kunjungan”. Istilah ini mengacu baik pada kunjungan ke makam wali maupun pada pemberian untuk para wali; juga digunakan untuk menyebut kunjungan pemimpin tarekat kepada para pengikutnya.

4

Dalam kepercayaan rakyat Magribi, berkah (barakah) adalah kekuatan bermanfaat yang berasal dari kekuasaan supranatural, yang memberikan kebaikan berlimpah-limpah pada semua bidang kehidupan. Berkah konon terutama terpusat dalam diri Nabi Muhammad dan wali-wali yang mampu menyampaikannya kepada orang-orang yang memohon berkah itu. Para pemimpin tarekat juga dianggap memiliki kekuatan supranatural ini, yang menjadi sumber dari semua karomah yang mereka lakukan.

5

Dalam tulisan ini kalau dikutip dua kata Arab, yang kedua dalam kurung, maksudnya kata Arab klasik disusul versi dialeknya.

6 Awliy ’

(tunggal w li): istilah yang dipakai dalam al-Qur’an untuk orang-orang suci; mr bt (mr bet, mr bta): istilah yang lazim dipakai di kawasan Magribi untuk menyebut para wali dan anggota keluarga keturunan wali dan kemudian artinya meluas, sehingga juga digunakan untuk menyebut semua tempat dan benda keramat; syurafah (cher f, cher fa): wali keturunan Nabi; sal h n (s leh, s leha): secara harafiah laki-laki atau perempuan yang berbuat saleh; asy d (siyyid,

siyyida): majikan laki-laki dan perempuan; Chyoūk (cheykh, syekh): guru, orang- orang tua, pemimpin tarekat.

Kawasan Magribi 151

mereka menjadi perantara Allah. Ziarah dapat dilakukan oleh seseorang hanya dengan tujuan mengungkapkan kesetiaannya kepada sang wali, dalam kerangka suatu hubungan yang berkelanjutan. Begitu pula halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan pribadi seseorang atau keluarganya, semua ini dapat dipercayakan kepada seorang wali pelindung tertentu. Upacara-upacara agama adalah kesempatan yang baik untuk melakukan kunjungan untuk memperingati sang wali; dalam hal ini, ziarah menyerupai fungsi ritus ziarah kepada leluhur. Akhirnya, ziarah dapat pula berupa kegiatan yang bersifat hiburan. Maka, ziarah ke wali sekaligus merupakan kegiatan penghormatan, upaya permohonan, dan hiburan.

Patut ditekankan kompleksitas dari situasi yang khas Magribi, yang terbentuk melalui suatu proses historis selama hampir delapan abad. Berkaitan dengan hal ini, perlu kiranya dibahas berbagai tahap perkem- bangan fenomena ziarah di Magribi, mulai dari kemunculannya pada abad ke-11 sampai ke periode kemerosotannya pada masa kemerdekaan. Perkembangan ini melalui semua tahap pembentukan penghormatan wali dalam kerangka tarekat, dalam proses penyebaran dan pengajaran agama Islam, dalam bidang politik, tanpa melupakan periode-periode ketika ziarah ke makam wali surut menjadi perilaku yang bersifat pribadi. Sekarang ini orang suka menyebut “pemulihan”, “kemunculan kembali”, dan “reakti- vasi” dari tradisi ziarah ke makam wali yang kini terjadi di negara-negara Magribi seperti halnya di dunia Islam pada umumnya. Namun ini lebih patut disebut “penampakan kembali” dari suatu fenomena yang lama terselubung, yang dilakukan secara diam-diam, dengan ketertutupan yang berbeda dari satu negara ke negara lain, tergantung kepada besarnya tekanan dari kaum reformis (pembaharu) politik dan religius.

Bagaimana menanggapi munculnya kembali di permukaan kehi- dupan sosial berbagai kepercayaan dan praktik yang telah dikecam oleh syariat sebagai “bidah”, yaitu tambahan kepada ajaran asli? Apa arti sesungguhnya dari kepercayaan dan praktik itu? Bagaimana menempat- kannya dalam kerangka kehidupan sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan berusaha kami jawab di bawah ini, setelah dilakukan suatu pembahasan historis dari tahap-tahap utama pembentukan Islam Magribi ini.

Tradisi Ziarah ke Makam Wali di Magribi dalam Sejarah

Ritus ziarah ke wali-wali di kawasan Magribi dikenal dengan kata Prancis “maraboutisme”, yang mengacu pada dinasti Mur bitūn (Almoravide dalam bahasa Prancis) yang didirikan di Marrakech pada tahun 1062 oleh sebuah kelompok suku Berber dari Gurun Sahara. Kaum Mur bitūn yang

Sossie Andézian 152

pertama adalah para penghuni rib th t 7 yang menjalankan baik latihan- latihan mistik maupun latihan-latihan perang. Mereka mengenal ajaran al- Junaid (disebut Jounayd), (wafat 910 di Bagdad), seorang tokoh mistik Islam yang terkemuka, melalui perantaraan seorang sufi Magribi. Daerah kekuasaan dinasti mereka terbentang dari kawasan Afrika Sahel sampai ke Spanyol, dan juga mencakup kawasan Magribi. Rib th t yang didirikan sepanjang perjalanan mereka sewaktu menaklukkan daerah-daerah baru mempunyai andil besar dalam pengislaman atau pengislaman kembali bangsa-bangsa yang dikalahkan oleh dinasti ini. Namun tidak lama kemudian sejumlah pemimpin rib th t yang menerapkan ajaran mazhab Maliki secara ketat terlibat konflik dengan penguasa Mur bitūnyang kian longgar menerapkan puritanisme Islam. Pertentangan antara kedua kubu ini terungkapkan seputar ajaran al-Ghazali, yang dijadikan acuan utama oleh para pemimpin rib th t. Karya-karya al-Ghazali dibakar di depan umum oleh penguasa Mur bitūn. Para penguasa ini kemudian tidak disukai lagi oleh rakyat dan digantikan oleh dinasti Berber lainnya, yaitu dinasti al- Muwahhidūn (Almohade dalam bahasa Prancis), yang mengajarkan doktrin tauhid (keesaan Allah) dan memberlakukan ajaran itu di seluruh wilayah kekuasaannya, sambil juga menyebarkan ajaran sufi al-Ghazali. Walaupun bertentangan dalam berbagai hal, dinastial-Mur bitūndan al-Muwahhidūn sesungguhnya memperjuangkan hal yang sama, yaitu persatuan kawasan Islam yang membentang dari Sahel sampai ke Spanyol. Di wilayah ini mereka mengupayakan kejayaan dan kemenangan bagi Islam Sunni mazhab Maliki serta aliran sufi, walaupun mereka juga tidak segan memerangi pemimpin gerakan sufi setiap kali dianggap mengancam kekuasaan politik mereka.

Istilah mur bitūn tetap dipakai dalam bentuk tunggalnya mur bith (secara lokal diucapkan mour bet atau mr bet ialah asal istilah marabout dan maraboutisme dalam bahasa Prancis) sesudah kedua dinasti itu lenyap pada awal abad ke-13, ketika lembaga rib th t sudah ditinggalkan. Pada akhirnya istilah mur bith dipakai untuk menyebut semua tokoh yang pada abad-abad berikutnya dianggap sebagai wali di kawasan Magribi, yaitu pemimpin politik, pendiri tarekat-tarekat, leluhur-leluhur pemberi nama tempat, kepala suku, orang-orang saleh, zahid (petapa), dukun, dan juga dewa-dewa zaman kuno pra-Islam, gua-gua, sumber-sumber air, dan pohon-pohon suci....

Tulisan-tulisan pertama tentang para wali muncul pada abad ke-12 (lihat Farhat dan Triki 1986). Penulis-penulis pertama itu menekankan ciri khas dari mistisisme di kawasan Magribi, walaupun mereka mengaku

7Rib th t

Kawasan Magribi 153

bahwa mungkin ada juga sumbernya dari Timur Tengah. Periode historis yang membentang antara akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 merupakan periode yang menentukan untuk aliran sufisme, baik di kawasan Barat maupun di kawasan Timur Tengah, meskipun di wilayah Barat sufisme tetap merupakan kegiatan yang bersifat pribadi dan individual, dan belum mengandung ciri khas lembaga yang terstruktur seperti yang mulai terjadi di wilayah Timur dengan didirikannya berbagai tarekat (lihat Miquel 1968). Wali-wali pada masa itu berasal dari semua daerah dan semua lapisan sosial. Ziarah pada wali mulai dikenal di Maroko dan menyebar dengan sangat pesat ke seluruh wilayah Magribi. Ciri wali adalah usahanya untuk menemukan thariq (yaitu jalan menuju Tuhan) dengan cara berguru pada guru spiritual atau berkelana di berbagai kota, desa, negara, dan bahkan benua. Inisiasi pada suatu tarekat, yang diawali oleh suatu upacara baiat sebagian terdiri atas pelajaran teoritis, dan lebih-lebih atas latihan- latihan spiritual seperti membaca teks-teks religius, mendengarkan, dan memainkan musik yang menimbulkan fenomena-fenomena ekstase, kesuru- pan, atau levitasi (terangkatnya tubuh seoloah-olah melayang), serta, dalam kadar yang semakin tinggi dari abad ke abad, dengan menggunakan tasbih mengulang-ulang pujian kepada Tuhan (zikir). Kendati ada beberapa wali yang mengasingkan diri dari kehidupan duniawi dan tinggal di daerah terpencil seperti gurun, gunung, hutan, dan gua, namun sebagian besar wali hidup berkeluarga dan memiliki kehidupan sosial yang biasa. Mereka bermukim di perumahan yang dibangun di sekitar suatu keramat, yaitu suatu zawiyah8 yang dikelola oleh anggota keluarga, sahabat, atau pengikutnya. Mereka biasa menerima pengunjung, murid dan pengikut (fuqar ).

Sifat wali, yang ketika itu belum bersifat keturunan, masih merupakan suatu kelebihan yang bersifat pribadi. Kelebihan ini lebih banyak menyangkut h l9 daripada pengetahuan atau kesalehan, dan h l itu memberikan kepada orang yang menerimanya kemampuan untuk menyatu dengan Allah melalui latihan-latihan spiritual tertentu seperti sembahyang tahajud, berkhalwat, menjauhkan diri dari hal-hal yang lahiriah, puasa, dan hidup serba sangat kekurangan. H l dapat datang secara mendadak pada suatu momen khusus (melalui penampakan gaib atau paling acap melalui kontak/hubungan dengan seorang guru yang sudah terinisiasi) yang meng-

8Z wiya

(jamak z wiy t): tempat tinggal suatu kelompok yang mempunyai silsilah rohani yang sama, juga berguna sebagai tempat berdoa, berkumpul, mengajar dan menginap, sesuai dengan besarnya keluarga yang bersangkutan.

9 H l

ialah keadaan hati seorang penganut jalan sufi ketika dalam perhentian- perhentian (maq m-maq m), (catatan penerjemah).

Sossie Andézian 154

akibatkan suatu perubahan menyeluruh dari kepribadian orang yang bersangkutan (touba, taubah)10. Sang wali mungkin telah mendapat pendidikan agama yang sifatnya tradisionil, mengenai tasawuf maupun kitab agama, namun ada kalanya dia adalah seorang buta huruf atau bahkan seorang yang berperilaku luar biasa dan dicap gila. Kelebihan yang ada pada dirinya (manaqib) serta kekuatan gaibnya terlihat melalui perbuatan- perbuatan istimewa (keramat, kar m t). Sang wali juga dibantu oleh penampakan-penampakan baik pada waktu tidur maupun pada waktu sadar. Dia dapat mengetahui apa yang dipikirkan oleh orang lain dan apa yang terjadi di tempat yang jauh. Dia mampu meramal dan menafsir impian orang. Sebagai dukun penyembuh dia mampu menyembuhkan orang-orang yang sakit dengan doanya dan dengan menyentuh pasien. Sebagai perantara Allah, dia dianggap mampu memenuhi permohonan pengunjungnya, yang menyangkut baik kehidupan di dunia maupun di alam baka. Itulah syarat untuk dianggap sebagai wali atau “orang yang dekat dengan Allah” oleh masyarakat.

Gerakan sufi Magribi mulai membesar dengan munculnya Abu Madyan, yang disebut juga sebagai Penolong Utama (Ghoūt, Ghauts)atau kutub (Qotb, Quthb), yaitu taraf tertinggi dalam hierarki wali-wali. Abu Madyan Syu‘aib Ibn al-Husain (Abu Madyan Chou’ayb Ibn al-Hussayn) (wafat 1198), berasal dari daerah Sevilla di Spanyol, dan diajari sufisme di Maroko oleh Abu Ya’za al-Hazmiri (wafat 1177), Ali Ibn Herzihim (wafat 1163), dan al-Daqq q11, dan kemudian di Timur Tengah oleh murid-murid Junaid (Junayd) dan al-Ghazali; dia konon berjumpa dengan ‘Abd al-Q dir

10

Toūba, taubah: tobat, yang juga berarti tarian kesurupan ritual di daerah-daerah tertentu.

11

Kedua orang yang pertama adalah pemimpin suatu aliran yang muncul pada abad ke-12 (C. Addas: 1989), walaupun mereka tidak mendirikan suatu mazhab dalam artian formal, karena tidak menawarkan doktrin maupun tulisan-tulisan. Peran dan dampak kegiatan mereka mungkin disebabkan oleh kepribadian yang luar biasa dari kedua tokoh itu yang termasuk wali yang paling dihormati di Magribi hingga kini. Abu Ya’za, seorang zahid (pertapa) dan orang yang bisa kesurupan adalah salah seorang wali yang paling terkenal di zamannya. Meskipun dia tidak berbahasa Arab dengan baik, dia terkenal karena karomahnya, terutama oleh kemampuannya membaca pikiran dan perasaan orang serta menjinakkan binatang liar. Murid-murid Abu Ya’za sangat besar jumlahnya dan sebagian dari mereka menyebarkan ajarannya di Masyriq (bagian timur dunia Arab). Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa dia menempati posisi utama dalam aliran sufi baik barat maupun timur. Ibn Herzihim, yang lebih luas pengetahuannya, disebut sebagai ahli fikih. Sedangkan Abu Abdallah al-Daqq q disebut “eksentrik” oleh para penulis manakibnya.

Kawasan Magribi 155

al-J l n (Sidi Abdulqader Jilani) di Mekkah. Dengan demikian dia men- dapatkan baik pengetahuan sufi-sufi terdidik dari Timur Tengah dan Andalusia maupun ilmu sufi-sufi buta huruf Maroko. Namun dari kelompok terakhir inilah ia mempelajari dan memperoleh rasa keimanan yang berkobar-kobar, rasa rendah hati, rasa cinta tanpa pamrih terhadap Allah, dan sikap yang merendahkan rasionalisme (Brunschvig 1947). Mengikuti tradisi al-Ghazali, yang berhasil memberikan tempat kepada aliran sufi yang mementingkan pengetahuan teks agama, Abu Madyan menyusun suatu sintesis dari berbagai ajaran yang diperolehnya untuk membentuk suatu aliran tasawuf yang cocok bagi penduduk setempat. Pada akhirnya dia menetap di Annaba (Bougie) di Aljazair, tempat dia membina banyak murid. Dia meninggal di Tlemcen (Aljazair Barat), di tengah perjalanan menuju Maroko untuk memenuhi panggilan Khalifah Ya’kub al-Mansur (Ya‘qūb al-Mansyūr), yang merasa cemas mendengar berita tentang kebesaran Abu Madyan sebagai wali. Atas permintaannya sendiri dia dikuburkan di daerah itu, di Desa al-Eubbad, di mana makamnya masih ada hingga kini, dan menggeser kedudukan Sidi Daoudi (Sidi Dawūd ) sebagai wali pelindung kota Tlemcen. Sebagai penulis, penyair dan ulama, Abu Madyan mendidik banyak murid, terutama Ibn Mas sy (wafat 1228) dan al-Sy dzil (wafat 1258) yang menyebarkan ajarannya ke seluruh Magribi.

Al-Sy dzil dikaitkan dengan gerakan sufi Magribi abad ke-13, yang tersebar luas dan menjadi besar karena menyentuh berbagai golongan masyarakat. Sidi Abū al-Hass n al-Sy dzil lahir di Maroko pada tahun 1197 dan diakui sebagai sufi di Tunisia, tempat ia menetap dan membina banyak sekali pengikut yang berdatangan dari segala penjuru Magribi. Namun kemudian dia terpaksa mengungsi ke Mesir, atas tekanan seorang ulama pemerintah Tunisia yang menuduhnya sebagai dalang beberapa kerusuhan. Sebagian pengikutnya mengikutinya ke Mesir dan di sana mereka mendapat pengikut baru, namun sebagian besar pengikut al- Sy dzil tetap tinggal di Tunisia untuk menyebarkan ajaran sang guru. Al- Sy dzil konon terutama berhasil karena, baik dalam doa-doanya maupun dalam ajaran-ajaran moralnya, dia menekankan semangat dan sikap tawakal pada Allah. Keberhasilannya juga disebabkan, kata orang, oleh kesukaannya pada bentuk luar kehidupan religius, keramat-keramat, acara- acara yang membangkitkan kegairahan fisik dan kobaran semangat kolektif, dan disebabkan juga oleh keistimewaan pribadi yang nyaris melampaui manusia biasa dari sang guru yang dijunjung tinggi.

Gerakan tasawuf Magribi, yang pada awalnya bertebaran tak teratur, mulai terorganisir. Para wali dan pengikutnya membentuk kelompok- kelompok yang kemudian menjadi tarekat-tarekat. Jaringan-jaringan para

Sossie Andézian 156

wali dan pengikutnya terjalin tidak hanya di antara kelompok-kelompok di kawasan Magribi, tetapi juga dengan kelompok-kelompok di kawasan Timur Tengah (Mesir) dan Andalusia. Para calon pengikut yakni “murid” (mur d n) bertemu di sebuah zawiyah atau berdampingan seorang Syekh pada kesempatan ziarah tahunan. Muncullah praktik-praktik ritual tertentu yang mengatur kehidupan kolektif para murid dan pengikut. Dengan berkembangnya zawiyah di seluruh negeri, ketegangan intern dan pere- butan pengaruh pun semakin banyak, aliran-aliran baru bermunculan pula, dan di sana-sini terbentuk gerakan oposisi terhadap pemerintah. Dalam beberapa kasus, wali menyerupai seorang Mahdi yang dipercaya masya- rakat sebagai juru selamat. Pada taraf itu muncullah masalah kebenaran pengalaman mistisnya dan karomah yang dilakukannya.

Kekuatan aliran sufisme tidaklah berkurang sepanjang abad ke-14, ketika muncul gerakan reformis/pembaharuan Sunni dan ketika mazhab Maliki menang mutlak. Di bawah pengaruh yang semakin besar dari karya- karya al-Ghazali, para ahli fikih, yang mendukung bentuk-bentuk kegiatan tirakat tertentu, menerima juga bentuk-bentuk moderat dari pengalaman mistis, walaupun mereka tetap menolak ritus-ritus yang menimbulkan keadaan-keadaan kesurupan. Al-Ghazali sesungguhnya mengatur dengan ketat praktik-praktik seperti ini, sedangkan Ibn ‘Arab , seorang ulama dan sekaligus sufi yang juga amat berpengaruh di kawasan Magribi, meskipun pada prinsipnya menolak praktik mistis itu, masih dapat menerimanya bagi orang-orang yang belum mencapai kesempurnaan. Walaupun kunjungan ke makam wali sebagai bentuk ibadah umat yang taat tidak dicela, ritus-ritus ziarah yang dilakukan di makam wali-wali yang dihormati dianggap tindakan terkutuk. Perdebatan tentang kar m t makin ramai pada waktu itu. Kendati kar m t diterima sebagai hal-hal yang disaksikan oleh para Sahabat Nabi Muhammad, namun hanya diterima keabsahannya berdasarkan mutu pribadi pelakunya. Suatu pertanyaan penting muncul ketika zawiyah mulai tersebar di mana-mana, ialah sejauh mana efek kar m t tetap bertahan setelah wali yang bersangkutan wafat, dan sejauh mana kesucian wali diwariskan secara turun-menurun dan juga apakah pembentukan “dinasti” wali-wali adalah sesuatu yang sah?

Sossie Andézian 158

Pada abad ke-14 dan ke-15, seluruh Magribi mengalami goncangan- goncangan yang mendalam: krisis di bidang pertanian, kemerosotan perdagangan, makin banyaknya kelompok penggembala. Kekacauan tatanan politik dalam negeri serta kemenangan bangsa Portugis mendukung pengerahan pengikut-pengikut tasawuf di sekitar tokoh Abu Abdallah Mohammed al-Jazuli, yang selain mengaku keturunan syarif, juga menya- takan dirinya sebagai pewaris spiritual Syaduli. Jazuli mendirikan tarekat Magribi yang pertama, yaitu tarekat Sadzūlia-Jazūlia yang berkembang bersamaan dengan tarekat Q diria. Kedua tarekat ini kemudian pecah menjadi berbagai cabang yang juga disebut tarekat. Masing-masing dipimpin oleh pendirinya yang disebut “Syekh” sedangkan pengikut- pengikutnya disebut fuqar atau khou n (ikhw n), yang berada di bawah wakil-wakil syekh, yaitu para muqaddimūn12.

Abad ke-15 dan ke-16, yang merupakan masa kemunculan kategori wali yang baru, para syuraf ’13, dianggap sebagai abad “revolusi mara- boutisme” (revolusi kewalian). Masa tersebut ditandai dengan menyebar- nya wali-wali ke arah timur, yaitu para wali yang menurut tradisi berasal dari Maroko Selatan, dari pusat keagamaan Seguiet al-Hamra yang terkenal, yang telah menghasilkan banyak ulama, beberapa di antaranya adalah imigran dari Andalusia. Para tokoh itu, yang memiliki pengetahuan luas dalam berbagai bidang ilmu dan budaya, baik sebagai ahli hukum, maupun orang saleh, mulai mengislamkan kembali para penduduk di daerah pedesaan. Suku-suku memilih beberapa tokoh ini dan menggunakan nama mereka sebagai dasar nama suku masing-masing serta melengkapi tokoh-tokoh itu dengan silsilah syarif. Dengan demikian para wali ini ikut membina kembali dasar-dasar kehidupan masyarakat yang struktur organisasinya terlepas. Kewalian lama-kelamaan menjadi suatu hal yang bersifat keturunan (diturunkan dari ayah ke anak) dan sedikit demi sedikit terbentuklah keluarga keturunan wali atau keluarga mur bitūn yang menetap di suatu wilayah, yang akhirnya memainkan peran penting dalam kehidupan politik setempat.

Pada abad ke-17 terjadilah suatu perpaduan antara tasawuf dan tingkat keilmuan agama tinggi di satu pihak dan praktik-praktik ekstase

12Muqaddimūn

(tunggal moqaddem, feminin: moqaddma): pemimpin, penanggung jawab, digunakan untuk pemimpin tarekat, juru kunci tempat keramat, penanggung jawab kelompok yang terkait dengan sebuah tarekat atau kelompok pengikut wali tertentu.

13

Mereka yang menamakan dirinya dengan sebutan itu atau yang disebut demikian. Di antara keenam dinasti yang berkuasa di Maroko, dinasti pertama, yaitu dinasti Idriss, dan dinasti terakhir, yaitu dinasti Saadi dan dinasti Alaoui/Alawi, disebut sebagai dinasti Cherif (Syar f).

Kawasan Magribi 159

(hulul) di lain pihak. Al-Yūs (Berque 1958) adalah contoh terbaik dari wali zaman itu. Sebagai orang terpelajar dan pendukung ortodoksi Islam dan sekaligus aliran sufi klasik (gurunya adalah Ibn ‘Arab ), al-Yūs sangat dihormati oleh masyarakat pedesaan, yang datang mengunjungi makamnya dengan harapan memperoleh karomah. Dalam diri tokoh ini bertemulah kedua aliran utama tasawuf abad itu, yaitu aliran teologi tingkat tinggi dan aliran kewalian tradisional. Maka terjalinlah hubungan yang terus bertambah banyak antara pusat-pusat pendidikan agama di perkotaan dan zawiyah-zawiyah di pedesaan. Orang-orang yang mengembangkan ilmu hadis atau Sunnah dan riwayat hidup Nabi Muhammad (S ra) tidak menolak pengobaran gairah semangat religius, yang teknik-tekniknya kemudian mengalami proses ritualisasi dan kodifikasi yang semakin ketat

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 150-175)