• Tidak ada hasil yang ditemukan

TIMUR TENGAH Eric Geoffroy

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 55-93)

lama adalah pewaris para nabi”: hadis ini2 memberikan gambaran yang jelas mengenai masalah wali, meskipun mesti ditambahkan bahwa di mata para sufi “ulama” itu bukanlah “ulama” biasa, tetapi “mereka yang bermakrifat” yaitu telah mencapai tingkat pengetahuan tertentu (ma’rifah). Warisan nabi-nabi pra-Islam3 paling banyak muncul di Timur Tengah yang merupakan kawasan tempat lahirnya agama-agama samawi dunia. Pendapat yang menyatakan bahwa para wali menerima warisan spiritual dari para nabi4 harus dikaitkan dengan ajaran Ibn ‘Arab , syekh besar dari Tanah Andalusia, yang menyatakan bahwa nabi atau rasul pada dasarnya adalah wali5. Maka, seperti akan terlihat di bawah ini, praktik ziarah kubur di kalangan rakyat dalam hal ini memang sesuai dengan doktrin sufi.

Berkat letaknya yang dekat dengan tempat-tempat suci di Hijaz dan posisinya sebagai salah satu pusat dunia Islam, maka bagian kawasan Timur Tengah yang kami teliti, yakni Bilad al-Syam (Bil d al-Š m: Jordania, Libanon, Palestina-Israel, Suriah) dan wilayah Irak, memiliki sebuah ciri khas, yaitu banyaknya tokoh masa awal Islam yang dimakamkan di kawasan ini. Nabi Muhammad sendiri begitu menyanjung kelebihan negeri Bilad al-Syam dan mengutarakanya kepada para Sahabatnya serta mendorong mereka untuk pindah dan menetap di kawasan

1

Waktu tulisan ini diterbitkan dalam bahasa Prancis, penulis mengajar bahasa dan kebudayaan Arab di Sekolah Tentara Inteligen dan Studi Linguistik di Strasbourg. Kini Eric Geoffroy menjadi dosen di Jurusan Studi Arab dan Islam, Université Marc Bloch, Strasbourg, Prancis.

2

Naskah lengkap hadis ini terdapat dalam Suyūt , Al-Ğ mi' al-sa r, no 5705.

3

Istilah pra-Muhammad mungkin lebih tepat di sini, oleh karena dalam tradisi Islam nabi-nabi yang tampil sebelum Nabi Muhammad semuanya dianggap

muslimūn, yaitu “tunduk pada Kodrat Ilahi.”

4

Lihat Michel Chodkiewicz (1986, bab 5).

5

Ibn ‘Arab , Kit b al-qurbah, hlm. 9, diterbitkan dalam Ibn ‘Arab (1948).

Eric Geoffroy 56

tersebut. Hal ini, di samping ekspansi Islam ke Suriah yang terjadi sejak dini, merupakan sebab utama banyaknya makam para Sahabat di kawasan itu. Selain itu, Imam Ali dan putranya al-Husain mati syahid di Irak, dan beberapa anggota keluarga Nabi lainnya dimakamkan di Bagdad dan di Damaskus. Dari dalam aliran Syiah yang beragam, dan yang memang lahir di Irak, di samping kelompok imam dua belas (atau Syiah Imamiyah) sendiri, muncul juga beberapa sekte yang kerap disebut “ekstrim”. Sekte- sekte tersebut, kendati tidak mengikuti sepenuhnya ortodoksi, baik Sunni maupun Syiah, tetap merupakan bagian, baik dekat maupun jauh, dari lingkup agama Islam. Itulah sebabnya dalam artikel ini dibicarakan juga masalah sekte Alawi dan Druz. Sekte Yaz d lebih marjinal lagi, namun dalam hal ziarah kubur, kasus sekte ini, seperti juga kasus-kasus sekte- sekte Syiah, menyajikan unsur-unsur yang menarik untuk dibandingkan dengan praktik-praktik yang berlaku di lingkungan Sunni. Selain itu, harus dicatat pula bahwa adanya dua agama samawi lainnya di wilayah yang dipelajari, mendorong terbentuknya mosaik peribadatan di kawasan ini, yang merupakan sumber pengaruh timbal-balik menyangkut topik kita.

Dari uraian di atas terlihat suatu karakteristik lain dari para wali: oleh karena mereka muncul setelah para nabi, para Sahabat Nabi dan anggota-anggota keluarga Ali, para “wali” dalam agama Islam—dalam pengertian yang umum diterima mengenai istilah wali—hanya merupakan lapisan terakhir dalam sistem tingkatan kewalian (wal yah) di Timur Tengah.

Ada berbagai istilah bahasa Arab untuk menyebut kuburan seorang wali, namun para muslimin Timur Tengah lebih menyukai istilah maq m. Secara harafiah istilah tersebut berarti “tempat berdiri”, yaitu tempat peringatan bagi seorang wali yang wafat di tempat lain, namun dalam praktik wali yang bersangkutan kadang-kadang memang dikubur di situ. Orang Irak sering juga memakai istilah marqad, sedangkan istilah hadlrah (hadra) dipakai di Palestina hanya untuk makam para nabi. Istilah masyhad berarti makam para syuhada di lingkungan Sunni dan kompleks makam anggota keluarga Ali di lingkungan Syiah, karena para imam serta keluarganya dianggap mereka telah mati syahid. Istilah maz r digunakan untuk semua makam yang dijadikan tujuan ziarah.

Tempat Ziarah

Di Timur Tengah topografi spiritual menunjukkan adanya konfigurasi ganda: terkadang kehadiran wali memilih tempat di tengah kota, di antara umat manusia, terkadang tempat tersebut ada di tengah alam luas dan menyatu dengan alam mineral.

Timur Tengah 57

Padatnya sejarah kawasan Timur Tengah serta pentingnya perkotaan di kawasan ini sejak lama, menjelaskan posisi utama banyak makam wali yang terletak di tengah kota. Makam-makam ini pada umumnya dibangun di atas reruntuhan bangunan masa pra-Islam; dan pembangunannya menimbulkan kegiatan baru di sekitarnya. Maka pembangunan tersebut terkadang sekaligus membuka fase-fase baru dalam sejarah kota yang bersangkutan. Ditemukannya sisa jenazah Nabi Yahy (Yohanes Pembaptis)—yaitu kepalanya—bukanlah penyebab dibangunnya masjid Umayah di Damaskus, karena kepala itu konon ditemukan secara kebetulan ketika dilakukan pekerjaan pembangunan masjid itu pada zaman khalifah al-Wal d (wafat 97 H/715 M). Namun hingga kini makamnya masih memancarkan berkah ke seluruh bangunan masjid agung yang sangat luas itu dan terletak di tengah-tengah kawasan kota lama. Nabi Zakaria (Zacharias), yaitu ayah Yahya, mempunyai peran serupa di masjid agung Aleppo, walaupun dalam tingkatan yang relatif lebih rendah. Di Yerusalem, masjid al-Aqsa dibangun sebagai tanda keunggulan Nabi Muhammad, karena di tempat itulah konon beliau memimpin salat, menjadi imam bagi nabi-nabi lainnya sebelum melaksanakan mikraj. Bangunan tersebut juga melambangkan kemenangan Islam yang baru muncul, serta semangat “pemberadaban” yang menyertai gerak maju dinasti Umayah. Kemudian para wali, seperti halnya para nabi, juga akan ikut dihormati dan diziarahi. Setelah memperoleh pembenaran dari teologi Asy’ari, ziarah kubur mendapat pengakuan di mana-mana. Perkembangan ini terwujud dalam bentuk pembangunan makam-makam, juga dalam bentuk penyebaran berbagai manakib dan naskah-naskah doktrinal yang bertujuan memberi pembenaran terhadap keberadaan wali dan ziarah kubur. Perkembangan tersebut terutama terjadi di Bagdad sejak abad ke-4 H/ke-10 M6.

Ketika muncul ancaman penyerangan dari bangsa Frank dan Mongol, pengakuan terhadap peribadatan ziarah ke makam wali oleh khalifah Abbasiyah berubah menjadi anjuran terbuka demi tujuan politik taktis. Di kawasan Bilad al-Syam yang paling terbuka terhadap serangan, kehadiran wali pada dasarnya merupakan pernyataan kedaulatan penguasa Islam atas wilayahnya. Sultan Mameluk Baibars (wafat 676 H/1277 M) kiranya memahami hal tersebut dengan jelas karena dia membangun kompleks bangunan megah di makam-makam Mūs dan S lih, nabi masyarakat Tsamud. Baibars juga memprakarsai berbagai perayaan musiman (mawsim) di tempat-tempat ziarah untuk menghormati para wali itu: masyarakat Islam bahkan dianjurkan untuk datang ke perayaan itu

6

Eric Geoffroy 58

dalam jumlah besar dan bersenjata lengkap untuk membuat takjub para peziarah Nasrani Ortodoks yang datang berbondong-bondong ke al-Quds (Yerusalem) pada waktu Paskah7. Sebaliknya masjid agung Homs juga amat ramai dikunjungi, karena di tempat itulah dimakamkan H lid Ibn al- Wal d (wafat 21 H/642 M), Sahabat Nabi Muhammad dan panglima tentara Islam yang, dengan kemenangannya di Yarmuk (15 H/636 M), memungkinkan penaklukan Suriah. Demikian pula, penghormatan kepada Syekh Arsl n (wafat 541 H/1146 M) oleh masyarakat Damaskus, terutama muncul karena ia membangun rib th-nya (tempat khusus sufi untuk beribadah) di tempat H lid konon mendirikan perkemahannya ketika menyerang dan merebut Kota Damaskus pada tahun 14 H/635 M. Menurut tradisi lisan, masjid pertama di Damaskus didirikan di tempat tersebut. Selain itu Syekh Arsl n memanfaatkan rib th-nya, yang terletak di luar tembok kota lama, sebagai pusat berjihad melawan bangsa Frank. Itulah sebabnya dia dijuluki “pelindung daerah dan tanah Suriah” (h m l-barr wa l-Sy m, dalam arti Suriah besar dan Damaskus)8. Kini masjid Syekh Arsl n terletak di pinggiran kampung Nasrani B b Tūma.

Hanya para nabi atau wali besar yang makamnya dibangun menjadi kompleks makam lengkap dengan ruang untuk bersembahyang di dekatnya, musala, masjid, atau bahkan masjid jami. Biasanya, bangunan-bangunan itu tidak didirikan apabila sudah ada makam di tempat tersebut. Hal itu berdasarkan hadis yang menyatakan “jangan memilih kuburan sebagai masjid”9. Namun larangan itu sering kali tidak dipatuhi, terutama di Bagdad, di mana terlihat kubah-kubah masjid bagi para wali sufi seperti Ma‘rūf al-Karh dan Junaid menjulang di tengah kompleks pemakaman Karkh. Selain Zakaria dan Yahya yang merupakan kasus khusus, makam nabi-nabi besar terletak di Palestina. Namun, karena mereka merupakan tokoh-tokoh dari masa yang sudah sangat lama berlalu, para nabi hampir tidak meninggalkan bekas-bekas fisik, dan keberadaan mereka dalam makam yang menurut tradisi dianggap sebagai makam mereka memang tidak menyakinkan. Oleh karena itu ikatan para nabi dengan kota tempat makam mereka relatif lemah, namun mereka tetap menduduki posisi istimewa di kawasan Timur Tengah.

7

Lihat Tewfik Canaan (1927, hlm. 299); Nab l H lid al- (1993, hlm. 141).

8

Lihat ‘Izzat Hasriyah (1965, hlm. 101-106). Konotasi jihad begitu erat terkait pada Syekh Arsl n sehingga, menurut penulis tersebut, menyebut namanya saja cukup untuk menyulut semangat para pejuang yang melawan mandat Prancis atas Suriah.

9

Timur Tengah 59

Berbeda dari para nabi, sejarah para wali terkait erat dengan sejarah kota mereka. Baik mereka lahir di kota itu ataupun memilihnya sebagai tempat tinggal—seperti Ibn ‘Arab di Damaskus—bagaimanapun juga mereka turut mengharumkan nama kota tersebut. Di antara wali dan masyarakatnya terdapat sejenis keakraban yang sudah lama terbina, baik oleh ritus ziarah kuburmaupun oleh penampakan wali dalam impian dan penyebutan namanya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga wali tersebut diangkat oleh masyarakatnya menjadi “wali pelindung”. Di Damaskus, Syekh Arsl n dan Ibn ‘Arab sama-sama menarik peziarah; yang pertama terkait dengan wilayah bagian dalam tembok lama dan masjid Umayah, sedangkan yang kedua terkait dengan lereng-lereng Gunung Q siyūn. Poros yang terbentuk mulai dari makam syekh besar Andalusia itu (wafat 638 H/1240 M) terus ke utara, melalui makam-makam yang lebih muda usianya, yaitu makam Abd al- han al-N bulus (wafat 1143 H/1731 M) dan makam syekh bangsa Kurdi beraliran Naqsybandiyah Am n Kuft rū (wafat 1938) membentang bagaikan garis demarkasi yang memisahkan dunia pegunungan/pedesaan dari dunia perkotaan. Ibn ‘Arab unggul baik dari sudut spiritual maupun materiil, karena kedua wali lainnya dipengaruhi oleh ajarannya. Acara pembacaan zikir sufi diadakan secara berkala di makam-makam di atas, namun masjid Syekh Kuft rū, yang merupakan pusat kehidupan kampung Kurdi di Damaskus, kini adalah yang paling ramai dikunjungi. Di atas makam syekh terakhir ini dibangun sebuah gedung yang sangat besar sebagai tempat untuk sebuah lembaga kajian agama, asrama, apartemen-apartemen dan tentu saja sebuah ruang sembahyang yang luas; di pusat keramaian, yang bagaikan sebuah sarang lebah itu, ratusan orang datang dan pergi setiap hari.

Makam-makam di perkotaan bukan hanya merupakan pertanda ketakwaan tetapi juga menandakan pertentangan religius dan ideologis yang sepenuhnya memanfaatkan karisma wali-wali yang bersangkutan. Di Suriah identitas Islam melawan tentara Perang Salib terbangkit, sedangkan Bagdad selama berabad-abad menjadi ajang persaingan antara kaum Sunni dan kaum Syiah. Dalam hal ini, baik makam Imam Abū Han fah maupun makam Syekh ‘Abd al-Q dir al-J l n telah menjadi tempat penting yang diperebutkan sampai sekarang ini. Ketika Sultan Usmaniyah Sulaiman Agung merebut Bagdad dari kekuasaan kaum Shafawi (Sefevi) pada tahun 941 H/1534 M, dia mendapatkan makam imam dan syekh di atas dalam keadaan hancur; bahkan makam Abū Han fah ditutupi kotoran10

. Dua puluh

10

Ibn Battūta (1968, hlm. 220) menulis bahwa ketika dia mengunjungi Bagdad, zawiyah Abū Hanifa adalah satu-satunya di kota itu yang menjamu para musafir yang lewat di situ.

Eric Geoffroy 60

tahun sebelumnya, Selim, ayah Sulaiman Agung, mendapati makam Ibn ‘Arab di Damaskus dalam keadaan serupa, dan langsung memerintahkan pembangunan kompleks makam yang ada sekarang ini; namun ditentang oleh para ahli fikih11. Sulaiman Agung mengikuti contoh ayahnya: dia membangun sebuah masjid dan sebuah madrasah di samping makam Abū Han fa, dan sebuah masjid besar, lengkap dengan imarat (im rah) untuk membagikan makanan pada fakir miskin, di dekat kubah makam al-J l n12. Kedua kompleks makam itu dihancurkan lagi oleh tentara Shafawiyah pada tahun 1623, dan diperbaiki setelah kesultanan Usmaniyah merebut kembali Bagdad pada tahun 1638... Ziarah yang hingga kini dilakukan oleh sejumlah besar orang Turki memiliki arti simbolis yang penting bagi mereka, karena mengingatkan perjuangan anti-Syiah yang dilakukan oleh Kesultanan Usmaniyah. Mengikuti tradisi zaman kesultanan tersebut, hampir semua orang Turki adalah pengikut mazhab Hanafi dan amat mengagungkan imamnya; sedangkan ziarah mereka ke syekhbesar tarekat Q diriyah semata-mata adalah bagian dari penghormatan luas kepada wali yang bersangkutan, dan akan menjadi topik studi kasus di bawah ini.

Tempat-tempat ziarah Syiah di Irak Selatan juga menjadi incaran, baik oleh para peziarah maupun oleh para penguasa Timut Tengah. Saddam Hussein melakukan restorasi atas komplek megah di Najaf dan Kerbala—tempat imam Ali dan putranya al-Husain dimakamkan—tetapi pada waktu yang bersamaan ia juga menindas masyarakat Syiah Irak13. Ritus peribadatan kaum Syiah dilaksanakan pada makam-makam anggota keluarga Ali yang semuanya terpusat dalam satu kompleks, dan terletak di tengah sebuah halaman yang luas (sahn). Situasi di tempat ini amat mirip dengan situasi di Ka’bah, apalagi para peziarah juga bertawaf tiga kali mengelilingi makam wali; ritus dilalukan pula untuk orang mati yang digotong dalam peti mayat sederhana dari kayu dibawa mengelilingi makam wali. Kemegahan “ambang keramat” itu (‘atabah muqaddasah), dengan kubah dan menara dari emas yang gemerlapan, tidak ada tandingannya di seluruh Timur Tengah. Tempat-tempat ziarah tersebut

11

Dapat dicatat di sini bahwa keinginan balas dendam kaum Syiah kini disalurkan di Damaskus. Beberapa penduduk kota itu menceritakan kepada kami bahwa banyak orang Iran yang berziarah ke Damaskus mengunjungi makam khalifah Umayah Mu‘ wiya, dekat masjid besar, untuk memakinya dan membuang sampah di atasnya. Sudah diketahui bahwa khalifah itu adalah lawan ‘Al b. Ab T lib, terutama di Siffin.

12

Di Damaskus, kantin umum yang dibangun bersebelahan dengan kompleks makam Ibn ‘Arab disebut Takiyah Sal miyah.

13

Eric Geoffroy 62

berada di tengah kawasan pemukiman, dan kemegahannya merupakan kontras yang amat mencolok dengan “daerah perkotaan di kawasan bawah yang rumah-rumahnya terutama terbuat dari tanah liat”14. Di dekat Damaskus, di sebuah kota kecil yang disebut menurut nama tokohnya, konon terdapat kompleks makam Siti Zainab, putri imam Ali. Teknik pembuatan maupun tata letak kompleks itu tidak berbeda dengan yang ditemukan di tempat-tempat keramat di Irak, yaitu memiliki corak khas Persia. Hubungan yang erat antara rezim politik Suriah dan Iran telah memungkinkan para seniman yang dikirim dari Iran ke Suriah untuk bekerja dalam kondisi terbaik. Sejak pembangunan masjid Sayyida Roqayya, putri Husain, yang baru rampung itu, aliran Syiah telah memasuki jantung Kota Damaskus kuno, hanya beberapa langkah dari pusat spiritual kaum Umayah: geografi spiritual jelas mengandung dimensi geo-politik tertentu...

Berbicara tentang lingkungan Syiah, perlu dicatat bahwa maz r (tempat ziarah) kaum Alawi Suriah tidak menghadap ke Mekkah. Oleh karena anggota-anggota sekte itu tidak melakukan salat, tempat keramat itu tidak memiliki ruang sembahyang. Malah kebanyakan mazar hanya berupa bangunan-bangunan kecil yang terpencar-pencar di pegunungan.

Kehadiran wali, seperti telah dikatakan di atas, membangkitkan kehidupan di lingkungan sekelilingnya. Kompleks Najaf, yang pada awal- nya tidak lebih dari suatu “dataran tinggi yang gersang”15 sejak lama merupakan salah satu pusat pengajaran agama Islam yang terbesar, lengkap dengan lembaga-lembaga pendidikan agama serta perpustakaan-perpusta- kaannya. Kebanyakan ulama Syiah yang terbesar (mujtahid, marja‘) pernah menetap di situ, termasuk Khomeini sendiri. Di situ, seperti juga di tempat lain di dunia Islam pada umumnya, kegiatan-kegiatan religius berjalan penuh semarak dan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan perda- gangan yang tidak kurang semaraknya16. Al-Haraw (wafat 611 H/1215 M) menggambarkan Kerbela sebagai sebuah desa, sedangkan kini penduduk kota Kerbala berjumlah lebih dari delapan puluh ribu jiwa, ditambah seratus ribu peziarah yang datang berkunjung pada bulan Muharam17. Di lingkungan Sunni, daerah di sekitar makam yang ada di wilayah perkotaan, juga dapat berkembang dengan mengesankan. L. Massignon menulis

14

P.J. Luizard (1991), hlm. 144-145 mengenai Najaf, dan hlm. 149 mengenai Karbala.

15Encyclopédie de l’Islam

, edisi ke-2, jil. III, 871.

16

P.J. Luizard (1991, hlm. 141-144).

17

Lihat Abū l-Hassan ‘Al Al-Haraw (1957, hlm. 175); Encyclopédie de l’Islam, edisi ke-2, art. Karbal ', jil. IV, 665.

Timur Tengah 63

bahwa kubah al-J l n di Bagdad “benar-benar dikelilingi oleh sebuah Kota Q diry n (pengikut Qodir)”18; sedangkan kampung Kurdi Damaskus ber- kembang menjadi makmur di antara dua kutub spiritualnya: yaitu makam Syekh Amin Kuft rū di Selatan, dan makam Syekh Kh lid (H lid) Naqsyband di utara. Sementara itu F. de Jong menyatakan bahwa kehadiran makam Ibrahim dan para leluhur lainnya di Kota Hebron telah menimbulkan pemusatan sejumlah besar zawiyah di daerah sekitarnya19.

Lebih sering lagi, sang walilah yang memberikan namanya kepada kampung tempat dia dimakamkan. Di tepi kiri Sungai Tigris, kampung al- A‘zamiyyeh—yang dahulu merupakan sebuah desa merdeka yang terpisah dari Bagdad—memperoleh namanya dari al-im m al-a‘zham Abu Han fah, dan sebuah pintu gerbang yang terletak di Selatan desa disebut B b al- Mu‘azzam20. Berhadapan dengan al-A‘zamiyyeh, di tepi kanan Sungai Tigris, terdapat kampung K zhimain, yang dinamakan menurut nama Mūs K zhim, salah seorang keturunan Ali, yang dimakamkan di tempat itu dengan cucunya, yaitu Muhammad al-Jaww d: jadi Imam Syiah yang ketujuh dan kesembilan dimakamkan di bawah dua kubah kembar keemasan. Di Kota Hebron terdapat sebuah kampung bernama “Kampung Ali al-Bakk ”, untuk mengingat betapa syekh ini (wafat 670 H/ 1271 M) disanjung oleh para penguasa-penguasa Mameluk yang pertama21. Juga tidak boleh diabaikan kampung “Syekh Muhy l-D n” di Damaskus; makam Ibn ‘Arab terkurung di tempat itu di tengah jaringan sempit lorong-lorong di mana terdapat salah satu pasar yang paling ramai di kota ini.

Orang-orang berusaha berada di dekat tempat suci itu bukan hanya ketika semasih hidup, tetapi juga setelah meninggal, dalam penantian akan kehidupan di masa depan (dibangkitkan dari kematian ketika kiamat). Kompleks pemakaman W d -al-Sal m di Najaf merupakan kompleks pemakaman yang paling luas dan paling mengesankan dari wilayah studi kami. Banyak orang Syiah mendatangi kompleks tersebut ketika merasa sudah tua atau dalam keadaan sakit parah dengan tujuan meninggal di situ; atau memohon supaya dikuburkan di tempat itu22. Kompleks pemakaman

18 Lihat Massignon (1908b, hlm. 330). 19 Lihat De Jong (1983, hlm. 173). 20

Lihat G. Le Strange (1900, hlm. 192, 282, 349); L. Massignon (1908b, hlm. 336). Pada tahun 567 H/1171 M, seorang musafir Barat yang mengunjungi Bagdad melukiskan “kampung Abū Han fa”; lihat Encyclopédie de l’Islam, edisi ke-2, jil. I, 928.

21

Mengenai al-Bakk dan zawiatnya, lihat M. al-‘Ulaym (1866, hlm. 425, 492); Muğir al-din al-‘Ulaym wafat tahun 928 H/1521 M.

22

Suatu laporan Inggris menyebut bahwa ada enam ribu jenazah yang dimakam setiap tahun di kuburan agung Najaf (P.J. Luizard 1991, hlm. 165). Menurut

Eric Geoffroy 64

raksasa itu, dengan batu nisannya yang tak tertata dan berwarna-warni itu, tiada hentinya didatangi mobil-mobil atau bis-bis yang menurunkan peti mayat, dan Kota Najaf memiliki kegiatan luar biasa di bidang industri jasa pemakaman23. Menurut kepercayaan di kalangan kaum Syiah, orang-orang yang dimakamkan di Karbala atau Najaf bakal luput dari siksaan di alam kubur; oleh karena itu, daya tarik kompleks pemakaman imam Ali dapat dibandingkan dengan keinginan umum di kalangan umat Islam untuk dikubur di Madinah dekat makam Nabi. Dahulu di Bagdad, keterkaitan antara wali dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda turut menentukan penyebaran geografis tempat-tempat pemakaman; misalnya, kaum bangsa- wan lama minta dikubur dekat Ma’rūf al-Karkhi atau Junaid, sedangkan budak-budak hitam dikubur dekat al-Hall j, “wali yang dikucilkan itu”24. Banyak pengikut mazhab Hanbali dikuburkan di dekat makam al-Hanbali, dan dengan sendirinya pengikut Hanafi dimakamkan dekat makam Abū Han fah25. Sedangkan bagi anggota-anggota tarekat Q diriyah, sudah lama tidak ada lagi tempat luang yang tersedia dekat makam gurunya, dan oleh karena itu mereka acap dikuburkan di pemakaman umum Ma’rūf al-Karkhi. Di Damaskus, sudah berabad-abad lamanya Syekh Arsl n merupa- kan daya tarik bagi “para ulama” dan kaum sufi yang meminta dikuburkan

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 55-93)