• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catherine Mayeur-Jaouen

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 99-117)

i antara negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah, Mesir dapat dikatakan adalah negara yang paling berkembang dan paling menyebar kegiatan ziarah kuburnya di seluruh negeri. Baik di Mesir Hulu maupun di Mesir Hilir, di oasis-oasis maupun di gurun, ziarah kubur Islam bersaing dengan ziarah kaum Nasrani Koptik yang juga masih sangat hidup dan berkembang. Kecenderungan orang Mesir untuk menyukai ritus-ritus keagamaan, tradisi sufi yang tertanam kuat, serta berbagai harapan dari masyarakat yang sangat miskin, adalah beberapa faktor utama yang menyebabkan ziarah kubur di Mesir mampu bertahan terhadap pemba- haruan sekaligus pemurnian Islam yang dipelopori oleh Muhammad ‘Abduh.

Lapisan-Lapisan Kewalian

Bagi mereka yang percaya, para wali boleh dikatakan tidak memiliki akar sejarah yang jelas. Wali adalah tokoh-tokoh yang “ada dalam ketidak- hadiran”, mereka masih hidup, masih aktif di dunia fana ini. Karena mereka lepas dari maut, mereka tidak terikat lagi pada waktu. Akan tetapi, lapisan demi lapisan telah membentuk masyarakat wali yang dimuliakan itu. Para wali memiliki riwayat, meskipun pengikutnya boleh dikatakan tidak tahu banyak dari riwayat hidup mereka. Ada suatu perkembangan fenomena wali, yang hingga kini belum diteliti secara baik, dan tampaknya pada setiap periode historis terdapat tipe wali yang berbeda.

Ziarah kubur Islam, jika tradisi lisan yang dijadikan referensi, dimulai sejak masa penaklukkan dan penguasaan Arab atas Mesir. Para syuhada yang gugur demi kebesaran Islam memang sudah lama dimuliakan, namun kuburan-kuburan pejuang Islam dari abad pertama

1

Waktu menyusun artikel ini, penulis mengajar di Universitas Paris IV, 75005, Paris. Kini telah menjadi Professor bahasa Arab di INALCO (Institut National des Langues et Civilisations Orientales), Paris.

Catherine Mayeur-Jaouen 100

Hijriah ini tampaknya lebih merupakan pertanda legendaris masuknya satu desa Koptik secara massal ke dalam agama Islam, daripada bukti kehadiran historis yang sesungguhnya dari wali-wali yang bersangkutan2. Bahkan terdapat makam yang dinyatakan sebagai makam sahabat-sahabat Nabi Muhammad, walaupun sudah diketahui secara historis bahwa sahabat- sahabat yang dimaksud tidak pernah menginjak tanah Mesir. Sebaliknya diketahui dengan pasti bahwa ada makam zahid (petapa) muslim yang saleh yang diziarahi sejak dini. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Dzū l-Nūn al Mishr (wafat 858), yang lahir di Akhmim dan dimakamkan di Kairo. Mungkin tokoh-tokoh yang mengembara di gurun pasir itu dipengaruhi oleh tradisi pertapa Nasrani di Mesir pada abad-abad pertama tarikh Masehi.

Tampaknya kompleks-kompleks makam dibangun sejak abad ke-8 untuk menampung sisa tubuh atau benda keramat kepunyaan berbagai anggota-anggota keturunan Ali. Namun baru pada periode dinasti F thimiyah (969-1171) perkembangan ziarah kepada anggota keluarga nabi, yang sebagian besar konon dimakamkan di Mesir dan khususnya di Kairo, mendapatkan momentumnya. Di bawah pengaruh dinasti penguasa yang beraliran Syiah, ziarah ke makam Sayyida Nafisa, seperti juga kepada Husain dan Ibrahim b. ‘Abd Allah, berkembang di Kairo3.

Ketika aliran-aliran sufi yang terorganisir mulai muncul pada abad ke-13, pendiri tarekat-tarekat dan murid-murid utama mereka dengan sendirinya menjadi wali4. Sejak waktu itu, tarekat-tarekat menjadi penyumbang tak terhenti dunia kewalian Islam: tarekat-tarekat itu, hingga kini, selama tujuh abad, terus menghasilkan wali-wali yang tersohor5.

Zaman Mameluk juga adalah masa jayanya wali pedesaan, yang merupakan pembela dan pejuang keadilan bagi rakyat jelata yang tertindas. Banyak di antaranya adalah zahid (petapa) dengan tingkah laku tercela (mal mati) atau yang bergaya kesurupan (majdzūb). Mereka dijunjung

2

Maka di Bahnasa, tempat pertempuran ketika Mesir ditaklukkan oleh Arab, Syekh Mujahid dihormati; namanya menandakan kehadiran simbolis para pejuang Islam.

3

Lihat Yusuf Ragib (1976) dan (tth.).

4

Pada kenyataannya sulit mengetahui secara tepat kapan tarekat muncul. Menurut tradisi, tarekat Rif ’iyah, Ahmadiyah, Q diriyah, Sy dziliyah, dan Burh miyah muncul antara abad ke-13 dan ke-14 di Mesir. Tetapi kemungkinan besar tarekat- tarekat tersebut bukanlah tarekat terorganisir yang dikenal mulai zaman Usmaniyah. Penelitian Denis Gril memberi kita akses pada sumber historis aliran sufi Mesir pada abad ke-13, dan memungkinkan kita untuk mengetahui apa arti “wali” pada waktu itu. Lihat D. Gril (1980) dan (1986).

5

Annemarie Schimmel (1969) memberi gambaran yang menarik tentang ziarah di Mesir pada akhir periode Mameluk.

Mesir 101

sebagai orang suci oleh rakyat, sedangkan para pengunjung Eropa pada abad ke-19 menganggap bahwa mereka hanyalah sekedar wali yang tidak penting atau malah dipertanyakan kewaliannya6.

Di antara wali-wali tersebut, tidak banyak yang merupakan tokoh historis dengan asal-usul yang dapat ditelusuri. Sering kali wali-wali itu tak lebih dari suatu nama yang tertulis pada pintu masuk makamnya; tidak diketahui kapan mereka hidup dan siapa mereka sebenarnya. Jika kubah kuburannya runtuh, hilanglah sisa terakhir dari keberadaan mereka7.

Ada kalanya tempat-tempat biasa, sebuah pohon, sebuah gundukan tanah atau sebuah mata air di tengah gurun, dianggap sebagai tempat berlindung seorang wali8. Sebuah sebutan yang amat luas, yang secara singkat saja disebut dalam suatu angka, kerap menunjukkan suatu situs suci kuno pra-Islam, misalnya banyak makam dinamakan dengan panggilan “Empat Puluh Tokoh” (Sidi al-Arba’ n) di Qalyub, di Tanta, dan di Kairo9; begitu pula makam “Tujuh Anak Perempuan” (al-Sab’ah Ban t dalam dialek Arab setempat) sering menandakan peninggalan Romawi; di Shuhada’ nama mereka menjadi “Tujuh Saudara Perempuan”, yaitu Sidi Syibl; di Aswan kompleks makam “Tujuh Puluh Tujuh Wali” (al-Sah’ah wa sab’ n), yang terletak di atas bukit kecil, mendominasi kompleks pemakaman.

Di Mesir terdapat banyak peninggalan pra-Islam, dan bukan makam sebenarnya (kosong). Sebuah pepatah mengejek hal ini secara terang- terangan dengan mengatakan bahwa “di bawah kubah, terdapat seekor kera” (taht al-qubbah ‘erd, taht al-qubbah qird)10.

6

Tentang salah seorang wali jenis itu di abad ke-19, lihat studi yang gemilang oleh ahli Mesir Serge Sauneron (1983). E. Amélineau (1888, hlm. LXXIV-LXXIX) mencatat dengan tepat kesejajaran yang kentara antara wali-wali “yang dipertanyakan” itu dan wali petapa dari abad-abad awal gereja Nasrani Koptik.

7

I. Goldziher (1897) telah dengan tepat menekankan bahwa banyak makam wali tidak bernama. Dapatkah kita menyimpulkan seperti dia bahwa hal itu membuktikan bahwa wali Islam adalah penerus dari kultus pra-Islam?

8

Suatu kesaksian yang menarik tentang pohon-pohon keramat di Roda dan Matariyah, yang telah dicabut, lihat R. Kriss & H. Kriss-Heinrich (1960). Dalam buku itu juga terdapat suatu pemaparan yang baik tentang kasus khas ular suci Haridi, di Nazlat Haridi dekat Tahta, di Mesir Tengah.

9

Untuk Goldziher (1897, hlm. 239), hal itu merupakan penampilan kembali dari 40 syuhada dari Sebaste.

10

Pada tahun 1900, suatu perusahan yang membuka kawasan pertanian di muara Sungai Nil membangun suatu makam semu dan mengadakan peringatan maulid seolah-olah untuk merayakan seorang wali sebagai sarana untuk menarik para

Catherine Mayeur-Jaouen 102

Perbedaan Tingkat Para Wali

Di antara para wali ada yang sangat tersohor, ada pula yang sama sekali tidak dikenal11. Ada wali-wali pelindung yang dikenal oleh khalayak ramai, seperti Ahmad al-Badawi, Imam Syafii, Abū l-Hasan al-Sy dzil . Ini belum termasuk para ahlulbait (kerabat Nabi Muhammad) Nabi langsung yang dimakamkan di Kairo, seperti Husain dan Zainab, yang makamnya menjadi tujuan ziarah oleh seluruh masyarakat muslim di Mesir. Dari pesisir Laut Tengah sampai ke Sudan, wali-wali itu memiliki martabat nasional yang pengaruhnya kadang-kadang melampaui tapal batas negara. Peringatan maulid wali-wali itu diikuti oleh peziarah yang datang dari seluruh Mesir.

Di samping wali-wali yang diperingati secara “nasional”, ada pula wali tingkat regional yang baik di Mesir Hilir maupun di Mesir Hulu berfungsi sebagai pelindung, seperti ‘Abd al-Rahim dari Qina dan Abu l- Hajjaj dari Luxor di wilayah selatan, serta Ibrahim dari Disuq dan Syisytaw dari Mahalla di wilayah utara. Para wali terkenal di daerah ini menarik peziarah, bahkan kadang-kadang sampai peziarah dari Kairo, yang merupakan pusat ziarah kubur, sewaktu para imigran dari desa yang tinggal di Kairo pulang ke daerah asalnya, baik untuk berziarah atau berkunjung, lalu mampir ke makam wali-wali di daerah asalnya12. Kadang-kadang, masyarakat yang menjadi pengikut wali tertentu hanya terbatas di kawasan yang luasnya setara dengan kabupaten atau bahkan kecamatan. Ada pula wali yang hanya sekadar pelindung sebuah kota kecil, dan hampir tidak dikenal di luar daerah yang bersangkutan.

Pada tingkat terendah, yang paling banyak jumlahnya adalah wali- wali yang penyembahannya merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Mesir. Nama syekh-syekh desa itu, yang dimakamkan dalam

pemukim dan tenaga kerja. Muslihat itu diketahui dan maulidnya dilarang pada tahun 1918. Lihat Elie Sidawi (1921, jil. I, no. 12).

11

Sayangnya hanya sedikit jumlah buku dalam bahasa Eropa tentang wali-wali besar Mesir. Karya-karya rujukan yang tersedia tertulis dalam bahasa Arab, sering dengan nada pujaan atau sebaliknya dengan nada polemis. Tentang kedua wali besar dari kawasan muara Sungai Nil, dua buku sedang dalam persiapan, yaitu C. Mayeur-Jaouen (1994) dan H. Hallenberg (akan terbit). Mengenai wali-wali dari Mesir Hulu pada Abad Pertengahan, karya Tali’al-Sa’id oleh Udfuwi telah menjadi sumber utama J.-Cl. Garcin dalam tesisnya (1986). Tesis yang kini sedang disiapkan oleh Rachida Chih tentang tarekat Khalwatiyah di Mesir Hulu diharapkan memberikan banyak data baru tentang wali-wali dari daerah itu pada abad ke-20.

12

Kami di sini hanya membicarakan kedua daerah besar di mana terdapat tradisi kewalian, yaitu Delta Nil dan Mesir Hulu. Khususnya mengenai ziarah di oasis gurun Libya, lihat F. Bliss (1981). Tetapi kebiasaan-kebiasaan di kawasan itu praktis tidak lagi bersifat Mesir.

Mesir 103

naungan sebuah kubah putih kecil, hampir tidak dikenal dan riwayatnya juga tidak diketahui13. Sering kali, untuk memberikan legitimasi pada wali pelindung sebuah desa, dibuat silsilah kekerabatan atau silsilah sufi yang mengaitkan wali itu dengan salah satu wali terkenal, supaya warga desa dapat memperoleh pula berkah dan perlindungannya.

Di perkotaan pun wali-wali “kecil” dari dunia keseharian seperti itu juga dikenal. Makam-makam sufi-sufi tak dikenal, sebagai pelindung yang merupakan bagian dari kampung-kampung, bisa terdapat di tingkat dasar sebuah rumah, di belakang sebuah jendela berjeruji ataupun di dalam sebuah ruangan gelap yang disinari lampu-lampu neon hijau. Kadang- kadang, untuk wali-wali yang lebih “beruntung”, terdapat sebuah kubah yang dibuat ala kadarnya, yang terbuka untuk siapa saja, dan kadang- kadang merupakan tempat tidur bagi pengikutnya yang setia.

Di bawah kubah terdapat sebuah bangunan berbentuk kubus dan di dalamnya terdapat sebuah ruangan yang polos, tanpa hiasan. Di tengah ruangan itu terdapat makam itu sendiri, berupa makam kosong yang terbuat dari kayu atau batu (t būt). T būt itu diselubungi sepotong kain (kiswah) dari bahan yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan/”kekayaan” wali yang bersangkutan (kain katun kasar atau sutra yang gemerlap, kadang- kadang dihiasi kain kasa kalau wali perempuan). Acap kali nama wali dan beberapa ayat al-Qur’an tertulis dalam bentuk sulaman pada kiswah. Kalau wali itu dikenal secara luas, t būt dikelilingi oleh sebuah pagar terali (maqshūrah) yang bisa terbuat dari kayu, yang kadang-kadang ditaburi mutiara (Syafi’i), bisa pula dari tembaga (Badawi, F thimah al-Naba- wiyah) ataupun dari perak (Husain, Zainab). Kendati pagar terali itu terkunci, melalui lubang-lubangnya kita dapat melihat kuburan wali, yang dipenuhi berbagai benda sebagai tanda nazar, seperti kitab al-Qur’an, botol-botol minyak wangi, bunga-bunga plastik, tasbih-tasbih ataupun kalung-kalung. Sering kali sebuah sorban diletakkan di makam untuk menandakan bagian kepala sang wali.

Makam-makam yang terpenting bersebelahan dengan sebuah masjid, dan hal ini menyebabkan makam menjadi semakin terkenal dan jumlah pengunjungnya pun bertambah.

Tipologi Wali

Perbedaan-perbedaan antara para wali juga ada dalam kepribadian mereka, dalam realitas historis mereka, baik yang nyata maupun yang direka.

13

Kubah sekecil apa pun secara tradisional merupakan pertanda keberadaan wali, sehingga istilah qubbah menjadi istilah yang dipakai untuk makam itu sendiri, namun wali-wali baru bisa saja dimakamkan di bawah atap datar.

Catherine Mayeur-Jaouen 104

Dengan demikian dapatlah digambarkan sebuah tipologi yang sesungguh- nya dari wali-wali di Mesir.

Keluarga Nabi Muhammad merupakan sumber besar wali-wali yang memang banyak di Mesir, terutama di Kairo. Husain, Zainab, Nafisa, F thimah al-Nabawiyah, ‘A’isyah, Hasan al-Anw r, Sak nah, ‘Ali Zain al- ‘Abid n, dan banyak lagi yang lain tetap sangat dihormati. Sebagai keluarga Nabi Muhammad, mereka meneruskan berkahnya. Lagi pula banyak wali yang telah memperoleh penghormatan besar dari masyarakat masih ditingkatkan lagi status kesuciannya dengan mendapatkan silsilah keturunan syarif. Serangkaian tulisan populer senantiasa memberikan daftar para Ahlulbait yang dihormati di Mesir14.

Para penakluk Arab diberi predikat yang digambarkan dengan sifat- sifat kepahlawan dalam manakibnya dan dikaitkan sedekat mungkin dengan Nabi Muhammad. Dapat saja orang mengira bahwa daftar para wali itu sudah lama tamat, dan ini bisa dimengerti karena penaklukan itu telah lama selesai. Namun ternyata ada saja makam-makam penakluk Arab yang masih terus “ditemukan” sebagai hasil dari semangat penghormatan umat, seperti yang baru-baru ini terjadi di Desa Awl d Thu‘aimah di Daqahliyah. Para sufi anggota berbagai tarekat adalah tipe wali yang lebih umum lagi, dan wali dari kelompok itu terus bermunculan. Di antaranya ada pendiri tarekat (Badawi, Sy dzil , Disūq ), penerus dari pendiri (‘Abd al-‘ l untuk Badawi dan Abū l-‘Abb s al-Murs untuk Sy dzil ), pembaharu dari suatu cabang yang kemudian menjadi otonom (Bayyūm ) atau hanya syekh dari tarekat yang bersangkutan pada zaman tertentu. Banyak syekh dari tarekat Sy dziliyah dihormati di Mesir, seperti misalnya Muhammad al-Hanaf (wafat 1443) yang dimakamkan di Kairo. Meskipun tradisi tarekat berpengaruh luas di suatu daerah, dan seorang wali adalah anggota dari tarekat itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa wali yang bersangkutan dihormati baik oleh anggota-anggota tarekat lainnya maupun oleh peziarah yang tidak terkait dengan tarekat apa pun: seorang pengikut tarekat Sy dziliyah tidak akan segan-segan mengunjungi makam Badawi, pendiri tarekat Ahmadiyah, yang juga dikunjungi oleh banyak orang Mesir yang sama sekali awam dalam hal aliran sufi. Wali-wali Mesir adalah wali “terbuka” dan jumlah peziarah wali-wali di Mesir jauh melampaui lingkungan sufi dari tarekat-tarekat yang ada.

14

Untuk masa menjelang abad ke-20 dapat dikutip karya Al-Sayyid Mu’min b. Hasan al-Shiblanj (1873), yang banyak ditiru kemudian, misalnya oleh Ahmad Abū K f (1980).

Mesir 105

Catherine Mayeur-Jaouen 106

Daftar panjang dari wali pelindung tarekat terus bertambah panjang: banyak wali dari abad ke-20 kini termasuk dalam kategori yang ber- kembang itu15. Rantai yang tak putus-putusnya antara guru dan murid, kadang-kadang diperkuat lagi dengan hubungan ayah-anak, lama kelamaan membentuk semacam dinasti keluarga wali.

Para wali dari lingkungan ahli fikih sesungguhnya lebih sering ditemukan daripada yang diduga sebelumnya, melihat tradisi pertentangan (yang kadang-kadang dilebih-lebihkan) antara para sufi dan para ahli fikih. Di antara wali dari golongan ini, yang paling terkemuka adalah Imam Syafii, yang makamnya ramai diziarahi di Kairo, dalam makamnya yang tersohor16. Di antara wali-wali yang baru, terdapat banyak ulama dari Universitas Al-Azhar, terutama pada abad ke-19 dan permulaan abad ke- 20. Kadang-kadang para pengikut seorang wali yang kurang tinggi tingkat pendidikannya akan menyulap wali tersebut sebagai lulusan Al-Azhar, karena pengetahuan tentang ilmu agama tetap merupakan salah satu dasar untuk mencapai status wali.

Wali pelindung desa adalah tipe wali yang paling umum, tetapi juga yang paling tidak dikenal asal-usulnya. Acap kali sang walilah yang mem- berikan namanya kepada desa yang bersangkutan, dan hal itu terjadi sampai baru-baru ini. Bahkan dalam beberapa kasus kita dapat mengetahui tanggal dari perubahan nama itu: di daerah Gharbiyah, Desa Abu Tur diperkenankan berubah nama menjadi Abu Masyhūr pada tahun 1932, sebagai penghormatan atas wali pelindungnya, Syekh ‘Ali Abu Masyhūr. Desa Mansyiyaht al-Badaw di daerah Gharbiyah dahulu dikenal dengan nama Mit al-‘Ajil; perubahan diadakan pada tahun 1932 sebagai tanda penghormatan atas Badaw17. Baru-baru ini, Muhammad Ridlw n, yang wafat tahun 1968, mewariskan namanya pada Desa Ridlw niyah, di dekat Luxor.

Banyak di antara wali-wali ini adalah zahid (petapa), yang sering bisa juga kesurupan; mereka dikenal sebagai majedub (majdzūb, jamak maj dzib), dan di antaranya terdapat baik orang-orang yang betul-betul dungu maupun petapa yang memiliki karisma yang nyata. Tipe tokoh-tokoh seperti itu terus menghasilkan wali-wali baru pada era Mesir modern.

15

Contoh yang khas adalah Salam b. Hasan Salama, pendiri tarekat Hamidiyah Sy dziliyah, yang diteliti dalam studi M. Gilsenan (1973) yang kini sudah menjadi klasik.

16

Buku Sayyid ‘Uwais (1978) tentang surat-surat yang dialamatkan pada imam Syafii merupakan suatu kesaksian yang luar biasa tentang ziarah kubur di Mesir kontemporer.

17

Mesir 107

Demikianlah misalnya Muhammad Ramadan (1866-1947) yang dimasuk- kan ke rumah sakit jiwa oleh keluarganya sendiri karena dianggap gila namun lalu diangkat sebagai wali oleh penduduk suatu desa di daerah Delta Sungai Nil, dekat Kafr al-Zayyat. Muhammad al-‘Askari, yang wafat tahun 1978 dan yang perayaan hari lahirnya saat ini merupakan salah satu tujuan ziarah utama di kawasan Delta Sungai Nil, juga termasuk dalam kategori wali seperti itu, yang selain menjadi pelawan arus misterius; juga tidak peduli tentang rasa malu dan tata krama yang berlaku.

Tetapi kenangan tentang legenda para wali sering pula hilang: yang tinggal hanyalah sebuah nama atau sebuah tempat, yang bisa surut atau bahkan lenyap, tetapi bisa juga muncul kembali secara tak terduga. Para wali muncul dan menghilang seperti halnya manusia biasa, mereka mengikuti siklus hidup dan mati, dan mereka mempunyai alasan gaib kenapa ritus ziarah mereka semarak atau sebaliknya lenyap. Tinggallah kita menulis sejarah dari ziarah kubur wali-wali, tergantung pada pasang surutnya semangat rakyat.

Tempat Ziarah

Perkembangan suatu makam wali tergantung juga pada tempat makam itu terletak, sedangkan ada ciri-ciri tertentu yang selalu ada pada situs makam- makam wali, yang semuanya indah dan mengesankan.

Mesir sejak lama menerima akibat dari pasang naik air Sungai Nil. Banjir menggenangi tanah pertanian selama beberapa bulan setiap tahun- nya. Bagi masyarakat Mesir, kedekatan pada air, sebagai jalur pelayaran untuk angkutan peziarah maupun sebagai saluran irigasi yang melahirkan kota-kota dan perkampungan-perkampungan di pinggirannya, merupakan hal yang luar biasa pentingnya. Banyak wali dimakamkan di pinggir Sungai Nil, dan legenda-legenda tentang mereka sangat terkait dengan bermukim- nya mereka di kawasan sungai itu. Menurut legenda, Abu Mandur di Rosette konon mampu menjauhkan banjir, sedangkan Ibr h m di Disuq, Abu l-‘Al ’ di Bulaq di utara Kairo dan Sidi Fūl di Minya konon dapat menjinakkan buaya sungai. Seorang wali lain, Ahmad al-Nūt , yang berarti “Ahmad Sang Pelaut”, dengan namanya itu sendiri menunjukkan keter- kaitannya dengan daerah di kawasan Sungai Nil. Wali-wali lainnya memiliki nama yang secara lebih sederhana terkait dengan wilayah tepian terusan, tepi danau atau pantai, seperti Sidi Gharib, wali pelindung Kota Suez, ataupun Sidi Abū l-‘Abb s al-Murs , wali pelindung Iskandariyah.

Sebagai negeri datar yang kerap digenangi banjir pasang naik, Mesir tahu bagaimana menghargai tempat-tempat dengan ketinggian sekecil apa pun yang muncul di atas permukaan dataran rendah dan luput dari banjir: tempat-tempat seperti itulah yang dipilih untuk menempatkan makam-

Catherine Mayeur-Jaouen 108

makam, dan di situlah para wali dimakamkan. Ada kalanya ketinggian itu berupa tebing batu yang sesungguhnya, seperti tebing Muqaththam dan batu-batu penopang pinggirannya di Kairo, di mana terletak makam Qar fah Besar yang tersohor itu18. Di tempat lain, tebing batu kawasan gurun itu langsung menjorok ke sungai, seperti lokasi makam Syekh Abū l- Nūr yang dikelilingi oleh kumpulan kuburan lainnya. Tetapi sering juga, tempat yang tinggi tidak sespektakuler itu, hanya sekadar bukit buatan, atau sebuah kōm, yaitu bukit yang sering terbentuk dari sisa-sisa peninggalan kota-kota yang telah lenyap. Misalnya makam Badawi berada di atas Bukit Pande Besi, sedangkan makam Sidi Syibl menjorok di atas

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 99-117)