• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eric Geoffroy

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 93-99)

ilihan kami jatuh pada tempat ini, karena kompleks makam ‘Abd al- Q dir al-J l n merupakan makam yang paling menarik dan yang paling banyak dikunjungi di seluruh daerah penelitian kami. Martin Lings bahkan mengatakan bahwa kompleks makam ini adalah makam kedua yang terpenting, dilihat dari sudut jumlah peziarah, sesudah makam Nabi Muhammad dan beberapa anggota keluarganya1. Memang Najaf dan Kerbela didatangi peziarah dalam jumlah yang sangat besar, tetapi sebagian besar pengunjung terdiri atas kaum Syiah, yang merupakan kelompok minoritas di Timur Tengah. Selain itu, pola beragama dari orang-orang Irak lebih ekspansif daripada orang-orang Suriah. Oleh karenanya andaikan kami pilih melukiskan ziarah kubur Syekh Arslan di Damaskus pasti akan tampak sangat sederhana, dan bagaimanapun juga wali ini hanya dikenal secara regional atau bahkan lokal. Adapun tentang Ibn ‘Arab , betapapun besarnya penghormatan umumnya peziarah kepada tokoh ini, peran yang dimilikinya terutama bersifat esoteris, yang terwujud melalui frekuensi penampakan dirinya, konon, pada sejumlah besar penduduk Damaskus. Di samping itu, kompleks makamnya yang relatif kecil dan sempit, hanya terisi sebuah masjid, sedangkan kompleks makam al-J l n amat luas sebagaimana layaknya sebuah kompleks monumental.

Kompleks makam ‘Abd al-Q dir al-J l n (wafat 561 H/1166 M) terletak di pusat Kota Bagdad, tidak jauh dari jalan besar pusat perdagangan lama al-Rasy d. Letaknya di pusat kota itu tentu saja sangat mendukung ziarah kubur pada wali ini, kalau dibandingkan dengan Ahmad al-Rif ‘ , pendiri besar aliran sufi di Irak lainnya, yang jumlah pengunjungnya tidak sebanyak al-J l n ; makamnya memang terletak di daerah yang mayoritas penduduknya beraliran Syiah, di dekat W sit. Kampung tempat al-J l n dimakamkan dinamakan B b al-Chaykh (“pintu

1

Lings (1977, hlm. 161).

Eric Geoffroy 94

gerbang sang Syekh”) sebagai penghormatan kepada wali ini, dan penduduk kampung itu, kaum Chayhiliyye, di mata masyarakat tampil sebagai “penduduk asli Bagdad”. Orang Kurdi dari Irak Utara, yang menyebut wali ini sebagai Ghauts Jail n (atau “penyelamat besar J l n ”) suka menggarisbawahi bahwa kampung itu juga dihuni oleh wakil etnis Kurdi. Pada kenyataaannya, para Fuayliyah yang memang beretnis Kurdi itu merupakan golongan sosial yang miskin dan tidak lebih dari minoritas kecil di B b al-Chaykh; selain itu mereka beraliran Syiah dan oleh karena itu tidak begitu menyanjung-nyanjung sang syekh.

Kompleks makam terletak di lahan luas berbentuk segi empat yang dikelilingi oleh tembok berhiaskan lubang-lubang, yang tingginya sekitar lima meter. Ada beberapa pintu masuk, salah satu di antaranya adalah gerbang utama. Ruangan makam berada di kiri gerbang utama dan di atasnya terdapat sebuah kubah dari tembikar berglasir warna biru; ruangan itu berhubungan dengan sebuah zawiyah, tempat diadakan acara zikir oleh kelompok Q diri dari berbagai daerah. Sebuah masjid yang megah berdiri di sebelahya. Masjid itu memiliki dua mihrab, karena ada dua imam, yang satu beraliran Hanafi, dan yang lain beraliran Syafii. Imam-imam ini adalah pemuka agama di Kota Bagdad, dan para pengunjung dari luar sering berdesakan mendekati mereka sehabis salat untuk bersilaturhami; salah seorang dari kedua imam itu, Abd al-Kar m al-Mudarris, adalah seorang ulama Kurdi yang pernah menjadi mufti besar Irak.

Di halaman makam terdapat sebuah menara jam dan sebuah kolam untuk berwudu; dua madrasah serta satu perpustakaan yang masih dikelola oleh pimpinan keluarga J l n . Beberapa gedung bertingkat ditata sebagai asrama, dan harus dicatat di sini besarnya kapasitas penginapan dan penyediaan makan bagi pengunjung2. Peziarah memang datang dari seluruh dunia Islam. Seperti yang sudah kami sebutkan, orang-orang Turki-lah yang paling sering mengunjungi kompleks al-J l n dalam perjalanan haji ke Mekkah; ketika pulang mereka lalu mengunjungi kompleks makam Ibn ‘Arab di Damaskus. Selain itu, banyak pula peziarah yang datang dari India, dari Asia Tenggara, atau malah dari Magribi dan Afrika Hitam. Maka jumlah orang Irak konon tidak lebih dari seperempat jumlah keseluruhan pengunjung kompleks yang datang untuk salat Jumat. Dengan demikian berbagai bangsa berbagi asrama: sejumlah penganut Q diri ditanggung oleh wakaf setempat selama sebagian besar hidupnya; ada pula yang tinggal di situ selama beberapa bulan atau hanya beberapa hari.

2

Sampai tidak lama yang lalu, 1.200 sampai 1.500 pengunjung ditampung secara tetap di kompleks tersebut (lihat Mehmed Ali Aini 1967, hlm. 93). Sulit menerka jumlahnya sekarang.

Makam ‘Abd Al-Q dir Al-J l n di Bagdad 95

Tempat yang paling ramai di seluruh kompleks tentu saja makam ‘Abd al-Q dir sendiri. Makam dan pagarnya berwarna perak; sedangkan pada tembok ruangan makam dan kubah terpasang banyak kaca kecil segi empat yang memantulkan cahaya tanpa henti. Kesan umum adalah kemegahan, tetapi juga kesejukan, yang mengingatkan kita pada suasana kompleks makam Syiah. Di Timur Tengah, tidak ada makam (mazar) sunni yang semegah kompleks ini. Dengan tujuan untuk menentang praktik ziarah ini, Ibn Taymiyah menceritakan jalannya praktik ritual yang dilakukan oleh peziarah pada zamannya. Setelah memasuki kompleks, mereka mengucapkan ayat al-Kursi sebelum berpaling ke makam, dan mengucapkan salam (taslimah); mereka kemudian maju tujuh langkah menuju makam, sambil mengucapkan salam lagi pada setiap langkah; dengan ritus ini para peziarah yakin bahwa permohonan mereka akan dikabulkan3. Kini, para pegunjung mengelilingi makam satu kali, seperti biasanya pada ziarah di kebanyakan makam Sunni lainnya.

Pengunjung yang datang berziarah ke makam ‘Abd al-Q dir al-J l n berasal dari berbagai daerah. Penduduk setempat, dan terutama kaum perempuan, sering ke makam untuk menyampaikan permohonannya kepada wali. Hal itu mereka lakukan dengan cara berpegang pada terali pagar berwarna perak itu. Banyak pengunjung juga menyampaikan nazar dengan mengaitkan sepotong kain—kerap berwarna hijau—pada pagar tersebut. Kain itu sering diberikan oleh salah satu kh dim penjaga makam. Dapat dicatat bahwa pada makam Abū Han fa penjaga setempat membagi- bagikan potongan kain berwarna hijau yang disentuhkan pada makam, dan hal itu juga berlaku, seperti telah kita lihat di atas, pada makam-makam Syiah; maka praktik itu adalah khas Irak, atau paling sedikit tidak berlaku di Bilad al-Syam. Ada ritus lainnya yang berlaku baik untuk kalangan Sunni maupun kalangan Syiah Irak lainnya, yaitu kebiasaan orang memasang gembok (qifl) pada pagar, untuk memperkuat hubungan mereka dengan wali, atau untuk memperkuat nazar mereka. Memang, potongan kain dapat dilepaskan dengan mudah oleh para penjaga, namun lain halnya dengan gembok, yang harus dibuka dengan gunting besi… Para peziarah pun tidak kurang akal dalam hal ini: karena terali pagar memang amat tebal, dan tidak bisa digembok oleh semua jenis gembok, maka mereka

3

Ibn Taymiyah (1980, hlm. 41-42). Bagi juru polemik Suriah itu, ritus sejenis ini syirik, yaitu menyamakan Tuhan dengan sesuatu makhluk; namun harus dicatat bahwa dia sama sekali tidak mempertanyakan al-J l n ; dia malah pernah ikut dalam tarekatnya. Dalam fatwa-fatwannya, Ibn Taymiyah berkali-kali menggaris- bawahi bahwa selama ziarah para pengunjung harus bersembahyang kepada Allah demi almarhum dan bukan demi diri sendiri.

Eric Geoffroy 96

memasang gemboknya yang kecil pada gembok yang lebih besar yang sudah tergantung pada pagar.

Semangat religius setempat juga nampak pada berbagai pemberian: wangi-wangian yang disebar-sebarkan, manisan yang dilemparkan dari atas makam dan jatuh di atas para pemohon (karena penutup makam miring). Apabila ada nazar yang terkabul, biasanya orang-orang membagikan manisan, atau kaum perempuan memekikkan sebuah lolongan khas (“ulululu”) yang nyaring. Sesungguhnya, walilah yang menjamu dan bersikap royal; ketika seorang peziarah dari jauh sedang mengeluh dalam hati karena belum mendapatkan perhatian al-J l n , konon mendadak akan jatuh sebuah manisan dari atas makam, dekat tempat dia duduk, dan manisan itu menggelinding sampai ke kakinya...

Kendati banyak orang Syiah dari kelas bawah membenci al-J l n , banyak juga di antara mereka yang mengajukan permohonan di makamnya apabila permohonannya itu tidak dikabulkan oleh para imam4. Tindakan sebaliknya juga benar terjadi, bahkan konon orang-orang Sunni dari Babilonia (B bil) meratapi ulang tahun kematian al-Husayn, pada tanggal 10 Muharram, dengan lebih keras lagi daripada orang-orang Syiah. Kadang-kadang persaingan antara kedua kelompok ini muncul ke permukaan; maka sampai baru-baru ini penduduk kampung B b al-Chaykh masih mengunjungi makam Salman al-F ris , sahabat Nabi Muhammad yang tersohor itu, yang dikenal di Irak dengan nama “Salman Pak”; mereka berlayar ke makamnya di al-Mad ’in, dan berkemah di situ selama satu minggu. Dengan atas nama al-J l n , mereka mengaitkan kedua wali itu dan sambil menyatakan bahwa Salman bukan hanya wali orang Syiah. Orang Nasrani Irak, yang di masa lalu berlindung di kompleks makam pada waktu kelaparan5 juga tidak segan-segan mengajukan permohonan-permohonan kepada al-J l n .

Apabila wali yang dimakamkan adalah seorang guru kerohanian— seperti halnya di sini—maka harus dibedakan adanya dua tingkat ziarah. Kami telah membahas di atas ritus-ritus yang diikuti oleh ‘ mma, yaitu oleh umat muslimin biasa. Lain halnya dengan para sufi, yang datang menghormati sang syekh pertama-tama atas dorongan adab, yaitu kesopanan spiritual. Pada umumnya, permohonan yang diajukan oleh kaum sufi itu tidak menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan dunia yang fana ini (kemandulan, penyakit, pernikahan atau perceraian, ujian dan

4

Pada permulaan abad ke-20, L. Massignon (1908a, hlm. 649) mencatat bahwa kaum Syiah juga mengunjungi makam Ma'rūf al-Karh dan Ğunayd.

5

Makam ‘Abd Al-Q dir Al-J l n di Bagdad 97

Eric Geoffroy 98

sebagainya), melainkan yang berkaitan dengan “pencerahan” (al-fath), atau kalau tidak bisa, tuntunan dalam jalan tasawuf, atau bahkan penampakan wali dalam mimpi malam. Para sufi memandang al-J l n sebagai satu “kutub” universal, dan jangan dianggap bahwa dalam hal ini ada perbedaan sikap di antara tarekat-tarekat: seperti dikatakan kaum Bektasyi, “Wali adalah milik semua orang”. Maka banyak sufi yang bukan Q diri juga berkunjung dari jauh untuk berbagi berkah sang wali serta berzikir di makam. Menurut kabar yang beredar di kalangan sufi, orang-orang tarekat tertentu dapat melihat al-J l n mengambil wujud fisik di samping makamnya, dengan badannya tertutupi kain hijau6. Menurut doktrin tasawuf, para wali, kendati telah wafat, mempertahankan kekuatan spiritualnya (tashr f atau tasharruf), bahkan ada penulis yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan itu malah bertambah.

6

Warna hijau adalah warna Islam, tetapi anggota tarekat Q diriyah dahulu membedakan diri dari pengikut tarekat lainnya dengan memakai pakaian warna ini.

MESIR

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 93-99)