• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nicole Grandin

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 126-149)

Muslimin baru-baru ini4, bentuk penghormatan kepada wali-wali—yang jumlahnya tak terhitung itu dan yang asal-usul, martabat serta “mutu”nya juga amat beragam—tetap merupakan bagian yang penting (seperti pada masa dinasti Funj5) dari kehidupan dan budaya religius populer daerah Nubia Sudan dan daerah sekitarnya, baik di sisi barat (Kordofan dan Darfur) maupun di sisi timur (pesisir Laut Merah). Kawasan Afrika yang merupakan bagian paling jauh dari wilayah Islam Arab, yang berpusat di dekat kota-kota suci Hijaz dan Kairo itu, sejak abad ke-16 telah mengembangkan suatu budaya khas yang mencampurkan budaya Arab dan budaya Islam pusat dengan berbagai unsur Afrika kuno yang tetap hidup. Bisa jadi dalam bentuk penghormatan wali, orang-orang Sudan menemukan suatu bentuk religius yang disenangi dan mampu mengatasi dualitas kultural dan asal-usul mereka yang sekaligus Arab dan Afrika.

Disebabkan berbagai faktor historis, sejak awal periode islamisasi wilayah tersebut hingga kini, perkembangan Islam terkait erat dengan perkembangan aliran sufi di sepanjang lembah Sungai Nil6. Sejak abad ke- 16, bagi sebagian besar orang Sudan, beragama Islam berarti menjadi anggota suatu tarekat sufi—baik karena keturunan maupun karena kegiatannya—dan juga berarti menghormati pendiri tarekat itu serta para penerusnya. Penghormatan kepada wali-wali, yang terkait erat dengan praktik-praktik tarekat, menyebar di kawasan ini bersamaan dengan

4

Pemberontakan reformis oleh sang Mahd Sudan, alias Muhammad Ahmad b. Abdall h (1844-1885), melawan dominasi Turki-Mesir dimulai pada tahun 1881 dan, setelah Mahdi wafat pada tahun 1885, terus berlangsung sampai menemui kehancuran pada tahun 1898, ketika Sudan dikuasai kembali oleh kekuatan Inggris/Mesir. Doktrin yang diajarkan sang Mahdi mengutuk ritus penghormatan wali dan ziarah kubur. Kini rezim yang berkuasa di Sudan diilhami oleh pemikiran Ikhwanul Muslimin yang juga sangat menentang praktik Islam traditionalis yang bidah ini.

5

Itulah yang tampak pada Kitab karangan Muhammad al-Nūr b. Dayf All h (1971). Kitab ini yang dikenal dengan judul Thabaq t Wad Dayf All h, merupakan sebuah kamus biografi wali-wali Sudan, disusun sekitar tahun 1804/5 oleh seorang ulama Sudan yang lahir di Half yat al-Muluk di utara Khartum sekitar tahun 1728 dan wafat sekitar tahun 1809. Kamus ini mencakupi suatu periode kurang lebih tiga abad (Kesultanan Funj, abad ke-16 sampai ke-19) dan satu kawasan geografis yang mencakupi bagian utara daerah kekuasaan Sennar. Karya ini merupakan suatu sumber yang sangat penting untuk studi ziarah kubur pada periode dan daerah yang bersangkutan dan memungkinkan kita menempatkan berbagai praktik yang kini berlaku dalam satu perspektif historis.

6

Tentang Islam dan aliran sufi di Sudan, lihat terutama S. Hillelson (1923); J.S. Trimingham (1949); A.S. Karrar (1992).

Sudan Timur Laut 127

perkembangan aliran sufi. Seperti ditulis oleh J.S. Trimingham7, “Kepercayaan terhadap wali, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, serta ritus penghormatannya, semuanya itu datang dalam bentuk yang ‘siap pakai’ di Sudan, yang bagaikan sebuah ladang subur yang siap menerimanya; karena orang-orang Sudan memasuki ritus itu dengan semangat yang tidak akan pernah dapat dibangkitkan oleh ortodoksi formal”. Yang sesungguhnya dimaksud oleh pakar itu dengan istilah “ladang subur” (fertile field), seperti dijelaskan pada bagian lain8, ialah bahwa “mereka telah mempertahankan praktik-praktik animisme dalam kerangka Islam yang baru”, yaitu keseluruhan kepercayaan- kepercayaan dan praktik-praktik magis yang dianut oleh suku-suku Sudan sebelum diarabkan dan kemudian diislamkan pada waktu terjadi gelombang migrasi besar-besaran yang datang dari Jazirah Arab dan Mesir.

Beberapa penelitian pernah diadakan tentang “praktik-praktik kepercayaan pra-Islam” di Sudan, yang dilakukan terutama oleh pejabat kolonial Inggris, misionaris Nasrani, dan antropolog9. Namun penelitian itu sering dilakukan dengan semangat untuk menggali kebudayaan-kebu- dayaan etnis Afrika yang ditinggalkan ketika terjadi arabisasi/ islamisasi— yang dianggap merugikan kelompok masyarakat yang bersangkutan. Mungkin pendekatan yang diterapkan dalam penelitian-penelitian itu lebih bersifat ideologis daripada ilmiah ketika menelaah sinkretisme yang terus berubah dan selalu dipertanyakan ulang. Dalam penelitian itu tersirat juga anggapan bahwa, dengan mengidentifikasi praktik-praktik bentuk peng- hormatan yang mengacu pada lapisan kebudayaan Afrika pra-Islam, dapat dibuktikan bahwa Islam—seperti juga agama Nasrani yang mendahu- luinya10—tidak pernah berakar cukup kuat di kawasan Nubia Sudan untuk

7 Trimingham (1949, hlm. 129). 8 Idem, hlm. 78. 9

Edisi-edisi majalah Sudan Notes and Records, yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Inggris di Khartum antara tahun 1918 dan 1956, mencerminkan pendapat- pendapat itu. Tentang Darfūr, lihat juga studi M.J. Tubiana (1964).

10

Sejak pertengahan abad ke-6 dan selama lebih dari tujuh abad, kawasan Nubia Sudan terbagi atas tiga kerajaan Nasrani (monofisit): Kerajaan Maris atau Nobatia di antara air terjun Nil yang pertama dan yang ketiga; Kerajaan Maqurra atau Makuria di hulu air terjun ketiga (kedua kerajaan itu dipersatukan seabad kemudian dengan nama Nubia dengan ibu kotanya Old Dongola); dan kerajaan ‘Alwa atau Alodia di pinggir Sungai Nil Biru dengan Soba sebagai ibu kotanya. Kerajaan- kerajaan itu lenyap dengan cara dan pada waktu yang masih belum diketahui dengan jelas (pada pertengahan abad ke-16 berdasarkan sumber-sumber Arab), sebagai akibat dari gelombang migrasi Arab Islam, sehingga pada tahun 1504 muncul kesultanan Islam Sennar. Selama periode yang panjang itu, agama Nasrani

Nicole Grandin 128

menggantikan tradisi-tradisi animis setempat. Menurut anggapan itu, sesungguhnya praktik-praktik animis telah mengambil alih Islam; sama seperti halnya Islam mengambil-alih praktik-praktik animis. Ini terjadi karena meskipun asimilasi dari “unsur-unsur primitif telah melekat pada Islam sejak awal”, namun apa pun kontradiksi yang ada di antara kedua sistem kepercayaan itu, bagi para peneliti itu proses ini telah mencam- purkan Islam Sudan dengan unsur syirik. “Sebuah pohon atau sebuah batu yang terkait dengan kepercayaan-kepercayaan pra-Islam”, begitu ditulis J.S. Trimingham11, “menjadi terkait dengan seorang wali dan dianggap memiliki berkah wali tersebut”. Bagi H.A. MacMichael12 berbagai sinkre- tisme yang ada terutama berfungsi “mencabut tradisi-tradisi kuno dari ling- kungan aslinya” dan menempatkannya, dalam bentuk yang telah diubah, di tengah praktik-praktik Islam setempat13. Bagi penulis-penulis di atas, peranan tokoh-tokoh agama di kalangan rakyat jelata juga tidak begitu berbeda dari dukun-dukun (kujūr) zaman pra-Islam yang terdapat di tengah suku-suku Afrika di kawasan itu. Namun pandangan ini tidak diterima oleh orang Sudan, seperti terlihat pada cerita persaingan antara wali dan kujūr yang dikisahkan oleh Sharafedin Abdel Salam14, “Syekh Mūs Abū Ya’qūb

telah mapan sebagai agama negara di ketiga kerajaan di atas, dan berperan sebagai faktor utama yang mendorong kemajuan kultural dan ekonomi. Namun, meskipun terdapat kegiatan misionaris yang sangat aktif di Nubia, agama Nasrani ini nyaris tidak berhasil menjangkau penduduk. Itulah sebabnya, menurut J.S. Trimingham (1949, hlm 77-78) dan juga menurut berbagai penulis Arab, agama itu surut dan akhirnya menghilang. 11 Trimingham (1949, hlm. 165). 12 (1922, jil. I, hlm. 73-74). 13

Seperti dicatat oleh Neil McHugh (1986, hlm. 127), di bawah pemerintahan Funj (dan sampai sekarang) tanda-tanda kesucian tidak selalu terkait dengan Islam, melainkan juga dengan tradisi Afrika, baik animis maupun Nasrani. Bukannya duduk di atas sajadah, orang-orang suci memakai kakar untuk upacara. Kakar

adalah singgasana raja-raja dan sultan-sultan dari kawasan lembah Sungai Nil, dan merupakan bagian dari warisan kultural Afrika. Mereka juga memakai t qiyat umm qarnayn, sejenis kerpus bertanduk dua yang merupakan warisan kerajaan Nasrani Abad Pertengahan dari Makuria (Maqurra) di Nubia Tengah dan Hilir. Selain itu, antropolog Sudan S.H. Hurreiz (1977, hlm. 52) berpendapat bahwa isi berbagai cerita wali Sudan sesungguhnya mengacu pada kultus leluhur (komunikasi yang terus-menerus dilakukan antara leluhur dan mereka yang masih hidup, kewajiban leluhur terhadap keturunannya dan lain-lain) dan merupakan bagian dari strata dasar budaya Afrika.

14

S.E. Abdel Salam (1983, hlm. 259). Cerita-cerita wali, dalam sastra lisan Sudan, berasal dari jenis qissa, yaitu yang dianggap benar-benar terjadi dan historis, dan ini bertolak belakang dengan jenis hujwa, legenda. Pada umumnya cerita-cerita itu

Sudan Timur Laut 129

dan seorang kujūr diuji oleh raja Funj. Tiga anak sapi disembunyikan dalam sebuah goa, dan kedua orang itu diminta untuk mengenali binatang- binatang yang tersimpan di situ. Kujūr mengidentifikasikan mereka dengan baik, sedangkan Syekh Mūs menjawab bahwa yang ada di goa adalah kuda. Semua orang berpikir bahwa kujūr-lah yang menang, tetapi ketika diadakan pemeriksaan di goa, yang ditemukan adalah tiga ekor kuda…” Alhamdulillah.

Namun di Sudan ada pula teori lain tentang asal muasal kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang terkait dengan feno- mena wali. Teori ini, seperti yang ditunjukkan oleh tulisan Salah al-Tigani Humoudiberjudul “The Arab and Islamic Origins of the Tombs and Sacred Enclaves in the Sudan” (1977), merupakan rumusan ilmiah Sudan dari sudut pandang nasionalisme Arab. Teori itu menerima adanya sumbangan Afrika dan bahkan Nasrani pada kepercayaan dan praktik Islam di kalangan masyarakat serta mengakui peran yang penting dari aliran sufi, kendati muncul relatif kemudian. Namun yang terutama ditekankan adalah akar Arab dari fenomena wali. Hal itu sejalan dengan identitas Arab yang kini diperjuangkan oleh negara Sudan dan mayoritas penduduk Sudan Utara. “Kepercayaan Arab kuno berupa ketakutan akan hal-hal gaib juga berpengaruh di sini”, tulis Salah al-Tigani Hamoudi15, yang menganggap bahwa kepercayaan jenis ini dibawa oleh suku-suku Badui yang datang dari Jazirah Arab (terutama dari selatan) pada masa sebelum gelombang besar islamisasi sufi pada masa kerajaan Funj; tambahan pula dia memperlihatkan berbagai persamaan yang ada antara berbagai tempat suci, fungsinya dalam kehidupan suku-suku, serta ritus-ritus yang ada di Arab zaman awal Islam di satu pihak dan di Sudan masa kini di lain pihak. Wali-Wali Sudan

Apapun halnya berbagai pendapat itu, Islam yang dipraktikkan rakyat beserta penyembahan wali di Sudan sekarang ini, seperti halnya pada zaman dinasti Funj dan pada masa Thabaq t ditulis oleh Wad Dlayf All h16, tetap berada di bawah pengaruh dominan Islam sufi serta syekhnya

pendek, dan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Sharafedin Abdel Salam (Idem, hlm. 22) di daerah lembah Sungai Nil Biru, cerita-cerita itu terutama membicarakan karomah yang dilakukan oleh sang wali untuk mengatasi berbagai situasi krisis. Wali tampil sebagai perantara yang dibutuhkan karena kesaktian yang diberikan Allah kepadanya, bukan karena kearifan atau pengetahuan luar biasa yang dimilikinya.

15

(1977, hlm. 112).

16

Nicole Grandin 130

yang tak terhitung banyaknya dengan kelompok pengikut-pengikutnya. Pada dasarnya, dari kalangan tarekat sufi inilah muncul wali-wali, baik yang masih hidup maupun yang telah mati, baik di tingkat lokal maupun di lingkungan yang lebih luas, yang dihormati baik oleh penduduk desa maupun oleh suku penggembala. Lingkungan inilah pula yang sering kali menyusun ritus penghormatan wali dan menetapkan tempat-tempat suci. Masing-masing tarekat memiliki hierarkinya sendiri bagi para wali, makam-makam, pusat kegiatan umat, serta ritus-ritusnya tersendiri.

Seperti halnya di kawasan lain, di Sudan wali yang telah meninggal dibedakan dari wali yang hidup. Kelompok pertama, seperti terlihat pada berbagai tulisan mengenai riwayat hidup wali-wali dalam Thabaq t Wad Dlayf All h, telah mulai dihormati sejak masih hidup, tetapi kepercayaan masyarakat akan berkahnya barulah betul-betul mantap setelah mereka wafat. Wali-wali itu dianggap tertidur di makam-makam mereka, dan memperlihatkan diri dalam impian atau melalui fenomena kesurupan. Mereka juga merestui atau sebaliknya mengutuk kelakukan manusia dan kadang-kadang konon hadir melalui karomah-karomah, yang merupakan perwujudan dari keistimewaan yang dikaruniai Allah kepada mereka. Mereka memiliki empat fungsi utama: mendatangkan hujan, menyem- buhkan penyakit, melindungi dan menjaga kesejahteraan para pengikutnya (menghukum orang yang berbuat sewenang-wenang, menengahi konflik- konflik dan memiliki pengaruh politik), dan juga merupakan perantara antara manusia dengan Tuhan. Ketika para pengunjung, baik laki-laki maupun perempuan, berbicara tentang wali yang dikunjungi makamnya, dengan akrab mereka menyebut istilah “syekh kami”, seakan-akan wali itu adalah orang yang masih hidup, dan mereka mengandalkan bantuannya baik untuk masalah-masalah pribadi dan sehari-hari maupun untuk perkara- perkara besar. Dalam kepustakaan, wali yang sudah meninggal biasa juga disebut sh lih tetapi kadang-kadang syekh atau bahkan fak, yaitu istilah- istilah yang lebih acap dipakai untuk wali yang masih hidup, walaupun perbedaannya tidak begitu jelas dalam bahasa sehari-hari. Sebaliknya para wali jarang disebut wal atau sh lih semasa hidupnya, dan istilah bahasa Arab dialek Sudan fak lebih umum dipakai, seperti juga istilah syekh. Sebelum diakui dan dihormati sebagai seorang wali, seorang tokoh agama yang saleh harus dibuktikan tetap memperoleh anugerah Allah setelah kematiannya. Fak (fak ra untuk bentuk feminin) adalah suatu istilah yang sangat umum di Sudan, dan berlaku baik untuk seorang sufi maupun seorang ulama, baik untuk guru mengaji maupun berbagai macam dukun dan pembuat jimat. Istilah fak yang merupakan bentuk dialek Sudan dari ahli fikih (Ar. faq h), mengambil bentuk jamak fuqar ’, yaitu bentuk jamak

Sudan Timur Laut 131

Nicole Grandin 132

biasa dari faq r atau “darwis”, yang berarti pengikut tarekat sufi, dan hal ini menandakan bertumpuknya berbagai fungsi yang berbeda itu pada satu orang saja, suatu hal yang biasa dijumpai di seluruh Sudan selama periode utama islamisasi. Penggunaan istilah fak untuk menyebut wali yang masih hidup menunjukkan bahwa proses seorang wali diakui oleh masyarakat bersifat permanen dan sangat terbuka, yang terlihat dari masuknya pada setiap saat tokoh-tokoh dari berbagai lapisan sosial dan latar belakang berdasarkan kriteria yang amat beragam. Hendaknya dicatat juga bahwa tokoh-tokoh itu tidak memiliki status kewalian yang sama, sedangkan status tersebut tidak hanya ditentukan oleh status sosio-religius mereka di “dunia yang fana ini”. Hal tersebut jelas pada berbagai biografi dalam Thabaq t Wad Dlayf Allah dan manakib-manakib yang terbit kemudian. Salah satu tokoh penting adalah Idr s b. al-Arb b (1605-1651) yang disebut dalam Thabaq t sebagai khalifah pertama dari tarekat Q diriyah di Sudan, dan merupakan salah seorang wali yang makamnya (di ‘Aylafūn, suatu pusat ajaran agama di tenggara Khartum) hingga kini menjadi tujuan ziarah yang penting. Menurut Idris b. al-Arb b “ada tiga tingkat kewalian: utama, menengah, dan bawah. Tingkat bawah berarti sang wali dapat terbang, berjalan di atas air dan berbicara tentang hal-hal yang gaib; tingkat menengah berarti sang wali diberi kuasa oleh Allah untuk menciptakan sesuatu (al-darajah al-kauniyah)—apabila dia berkata: ‘jadilah’, maka hal yang disebut itu pun terjadi; dan tingkat utama adalah tingkat kutub (quthb)”.17

Sebagaimana halnya di daerah lainnya dalam dunia Islam, di wilayah lembah Sungai Nil ada keluarga yang bersifat keluarga wali, yang berkahnya diwariskan secara turun-menurun. Termasuk keluarga-keluarga yang tinggi derajatnya itu adalah keluarga tokoh-tokoh yang pernah men- dirikan atau memperkenalkan tarekat-tarekat besar di Sudan (Q diriyah, Sy dziliyah, Majdzūbiyah, Samm niyah, M rgh niyah, Isma’ liyah, dan Hindiyah) serta para khalifah yakni keturunan atau pewaris spiritualnya.

17 Idem

, hlm. 205. Yang juga disebut sebagai kutub adalah seseorang bernama T j al-D n al-Bah r (wafat sekitar 1550), yang konon datang dari Bagdad. Idr s b. al- Arb b berasal dari suku Mahas, suatu suku Nubia dari daerah Wadi Halfa-Donqola yang memainkan peran penting dalam proses islamisasi Sudan, terutama pada masa dinasti Funj. Dia termasuk angkatan pertama, pada awal abad ke-17, dari mereka yang mengajarkan ajaran sufi dan ilmu agama di kawasan Gez ra. Kini dia adalah salah seorang wali yang paling tersohor di seluruh Sudan. Wad Dayf All h yang menulis suatu uraian biografis panjang mengenai tokoh ini dalam Thabaq t (hlm. 49-65) menyebut juga umurnya yang sangat panjang. Dia konon lahir di ‘Aylafūn pada tahun 913 H, dan meninggal pada tahun 1059 H, yaitu pada umur 147 tahun (hlm. 50).

Sudan Timur Laut 133

Namun keluarga-keluarga wali itu tidak semua mencapai taraf kesucian yang sama dan tidak memperoleh penghormatan yang sama dari masyarakat. Di kalangan M rghan misalnya, wali yang syafaatnya paling dicari orang di Sudan Utara adalah Sayyid Muhammad al-Hasan (wafat 1869), yaitu putra kelahiran Sudan dari pendiri tarekat Khatmiyah. Pada tingkat yang sifatnya lebih lokal, di Sinkat, di pesisir Lautan Merah, tempat ia dimakamkan, Shar fa Myriam al-M rgh n (wafat 1952) sering diminta pertolongannya, sebagai cucu pendiri tarekat Mirgh niyah dan khalifah- nya, walaupun dia seorang perempuan. Anggota tarekat M rghan lainnya, meski juga dianggap memiliki berkah keluarga mereka, lebih sedikit atau jarang diminta pertolongannya.

Amat sulit menyusun suatu tipologi umum dari wali-wali Sudan, karena mereka sangat berbeda satu sama lain, baik dari sudut asal-usulnya, status religius, maupun pola hidup mereka. Juga amat sulit mengetahui peristiwa-peristiwa kehidupan atau sifat-sifat kepribadian mereka, yang menjadi dasar pengangkatan sebagai wali atau yang menentukan tingkat popularitas mereka, karena dalam hal ini pun para wali itu sangat berbeda satu sama lain. Beberapa wali, baik beraliran sufi maupun tidak, dianggap (pada umumnya setelah wafat) sebagai “kutub zamannya”, atau sebagai anggota darajah al-kauniyah (yaitu derajat orang yang mampu mencipta). Beberapa di antaranya adalah zahid (petapa) muslim yang menyepi dari kehidupan duniawi dan hidup sebagai orang saleh, sedangkan wali lainnya yang kadang-kadang buta huruf, melakoni ekstase mistis, atau seperti halnya Muhammad al-Ham m18, hidup di luar norma-norma yang berlaku. Lain halnya tokoh-tokoh sufi seperti Syekh Khogal ‘Abd al-Rahm n (wafat 1742), yang merupakan seorang perintis utama tarekat Sh dhiliyah di Sudan dan dimakamkan di Half yat al-Mulūk19, ataupun Sayyid Muhammad al-Hasan al-M rghan pada abad ke-19, yang merupakan ulama yang sesungguhnya, hidup dan mengajar di tengah masyarakat dan juga memainkan peran sosial dan politik. Ada pula sejumlah besar tokoh agama tingkat lokal atau tingkat suku (guru pengajian, khatib istimewa, dan lain- lain) yang mencapai status wali karena memiliki kemampuan meramal yang tinggi atau karena dianggap oleh lingkungannya memperoleh “wahyu” (khususnya melihat Nabi Muhammad dalam impian). Kelompok terakhir ini, yang umumnya disebut fak, termasuk dalam kategori “bawah”

18Idem

, hlm. 319.

19

Halfay t al-Mulūk, yang terletak di pinggiran Khartum Utara, berkembang sebagai pusat pengajaran agama pada masa dinasti Funj. Qubbat Khôgal yang daerah sekitarnya merupakan tempat tinggal keturunan syekh, masih menarik banyak pengunjung.

Nicole Grandin 134

dalam tingkat kewalian menurut definisi yang diberikan oleh Idr s b. al- Arb b. Sesungguhnya proses pengangkatan wali begitu dalam mengakar pada mentalitas masyarakat Sudan sehingga wali-wali baru terus bermun- culan. Di Omdurm n, suatu kota yang didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Mahd Muhammad Ahmad (wafat 1885) dan yang sejak waktu itu menjadi pusat kehidupan beragama di Sudan, jumlah makam wali terus bertambah. Baik sang Mahd sendiri, meskipun dia merupakan tokoh eskatolgis (ia meramal hari kiamat akan terjadi pada akhir abad 13 H/19 M) yang beraliran reformis dan sesungguhnya menentang ziarah kubur, maupun Sayyid Abd al-Rahm n al-Mahd (1885-1959), putra dan sekaligus pewarisnya sebagai pemimpin gerakannya (dan yang dianggap oleh sementara orang sebagai al-Nabi-Isa, yaitu juru selamat yang lain), keduanya merupakan tokoh yang memperoleh penghormatan masyarakat: keramat mereka disebut-sebut, dan Sayyid Abd al-Rahm n waktu hidup, yaitu pada masa penjajahan Inggris, didatangi rumahnya di Pulau Ab oleh peziarah-peziarah dan sementara orang Inggris tidak bisa berbuat apa- apa…

Bagaimanapun juga, sejak zaman dinasti Funj, para wali Sudan pada umumnya adalah tokoh religius (baik ulama maupun sufi) yang dianggap memperoleh ilham, atau mereka adalah fak -fak yang memperoleh predikat wali berdasarkan berkah yang lebih bersifat kesaktian magis. Jarang ada wali dari kalangan elite masyarakat atau yang terkait dengan pemerintahan. Satu perkecualian adalah Adl n b. Sub h , gubernur distrik Khashm al- Bahr dan tangan kanan Muhammed Abū Likaylik, yang mulai tahun 1747- 48 bersahabat dengan Sultan Funj Bad IV. Dia adalah seorang wali yang makamnya konon dapat menyembuhkan kaki pengkor20. Kekuasan duniawi yang dimiliki oleh banyak wali pada umumnya berdasarkan perannya sebagai tokoh agama, yaitu sebagai perantara antara rakyat, penguasa, dan Allah. Itulah pola klasik di seantero dunia Islam, dan hal itu telah memungkinkan banyak syekh Sudan yang terkenal saleh itu (terutama keluarga M rgh n ) untuk mengumpulkan kekayaan berupa tanah atau benda-benda lainnya. Mereka kadang-kadang dikritik oleh pengikutnya karena kekayaannya, bahkan setelah kematiannya, namun hal itu tidak

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 126-149)