• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN KEAGAMAAN

AGAMA DAN RADIKALISME

Radikalisme adalah suatu paham dan gerakan yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk mengganti tatanan yang sudah ada dengan keyakinan yang mereka anggap benar (menarik-narik ajaran agama) dengan sikap emosional yang menjurus keras dan anarkis. Lebih tegas lagi diungkapkan bahwa radikalisme ini dapat dilihat pada dua lapis; pertama, kekerasan dan manipulasi untuk membenarkan radikalisme dengan mengutip doktrin-doktrin Islam tertentu, sehingga logis kekerasan dapat muncul karena interpretasi secara literal terhadap Islam. Kedua, penggunaan kekerasan melakukan perubahan sudah dapat dipastikan bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam (Azra, 2012).

Radikalisme berawal dari kata radikal yang berasal dari kata “radic” mempunyai arti perubahan secara mendasar dan prinsip. Dapat dipahami radikal adalah sebuah tingkah laku yang menjurus keras, radikalis adalah orang yang melakukan tindak kekerasan, sedangkan radikalisme adalah sifatnya yang terlahir dari radikal. Menurut Sartono Kartodirjo (1973) seorang sejarawan menyebutkan pemakaian kata “radikal” sering digunakan sebagai indikator sikap penolakan total terhadap seluruh kondisi yang ada dengan menggunakan simbol agama.

Berbagai kompleksitas krisis kehidupan masyarakat modern telah menjadi daya dorong yang sangat kuat munculny agerakan radikal. Terjadinya atomisasi dan isolisasi individu dalam gesellschaft yang bersifat impersonal, Riesman(1961) menyebutnya dengan "kerumunan yang kesepian", yaitu terjadinya proses keterasingan, kesepian dan penjungkir balikan nilai yang dapat mengancam komunitas, perpaduan dan kebersamaan (Sztompka2007). Perbedaan kekayaan, kekuasaan dan kedudukan yang sangat tajam membentuk ketimpangan sosial yang selanjutnya menimbulkan pengalaman dan kesan eksploitasi, penindasan, ketidakadilan dan pencabulan hak yang menggerakkan konflik kelompok. Oleh karena masyarakat modern mengalami peningkatan kualitas pendidikan membuka peluang bagi kesadaran, imaginasi, kepekaan moral dan perhatian terhadap masalah-masalah umum dalam derajat tertentu, serta kemampuan menghimpun pengalaman pribadi dan lokal untuk memperbanyak tumpukan potensi anggota gerakan sosial. Perasaanaanya masalah bersama dan perpaduan yang melampaui batas ini merupakan syarat sosio-psikologi kemunculan paham dan gerakan radikal.

Dalam konteks gerakan keagamaan, radikalisme, anarkisme atau kekerasan cenderung terus meningkat atau setidaknya timbul tenggelam dalam beberapa tahun belakangan ini. Radikalisme yang memunculkan konflik dan kekerasan sosial, termasuk yang bernuansa agama merebak tidak hanya antar agama—seperti Islam versus Kristen— tetapi juga intra agama—seperti intra Islam atau intra Kristen.

Menghadapi gejala seperti ini, kalangan figur publik dan masyarakat memandang terjadinya peningkatan intoleransi dan radikalisme di lingkungan intra dan antar agama bahkan dengan negara. Gejala ini jelas dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta eksistensi negara-bangsa Indonesia. Karena itu, program dan langkah deradikalisasi mesti terus dilakukan dengan mengerahkan segenap lapisan pemerintahan, termasuk Kementerian Agama, khususnya lewat PKUB, ormas and masyarakat umumnya, lembaga pendidikan dan keluarga—seperti dibahas di bawah.

Peningkatan paham dan gerakan radikal banyak berakar pada kenyataan kian merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran, denominasi, bahkan sekte di dalam (intra) satu agama tertentu. Di kalangan Islam, radikalisme keagamaan itu banyak bersumber dari pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong dan ad hoc terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Pemahaman seperti itu hampir tidak memberikan ruang bagi akomodasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok Muslim lain yang umumnya moderat—dan karena itu menjadi arus utama (mainstream) umat. Kelompok umat Islam yang berpaham seperti ini, yaitu golongan Khawarij, sudah muncul sejak masa al-Khulafa’ al-Rasyidun keempat Ali ibn Abi Thalib; mereka sangat radikal dan melakukan banyak pembunuhan dan aksi-aksi kekerasan lainnya terhadap pemimpin Muslim yang telah mereka nyatakan ‘kafir’. Di masa kontemporer, mereka ini dapat disebut sebagai termasuk ke dalam ‘neo-Khawarij’.

Radikalisme keagamaan di dalam Islam juga dapat bersumber dari bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam pada masa tertentu. Ini terlihat dalam pandangan dan gerakan Salafi, khususnya pada spektrum sangat radikal seperti Wahabiyah yang muncul di Semenanjung Arabia pada akhir abad 18-awal abad 19 dan terus merebak sampai sekarang ini. Tema pokok kelompok

dan sel Salafi ini adalah pemurnian Islam—membersihkan Islam dari pemahaman dan praktek keagamaan yang mereka pandang sebagai ‘bid’ah’, yang tidak jarang mereka lakukan dengan cara-cara kekerasan.

Dengan pemahaman dan praksis keagamaan seperti itu, kelompok dan sel radikal ini ‘menyempal’ (splinter) dari mainstream Islam yang memegang dominasi dan hegemoni otoritas teologis dan hukum agama dan sekaligus kepemimpinan agama. Karena itu, respon dan reaksi keras sering muncul dari kelompok-kelompok ‘mainstream’, arus utama, dalam agama. Mereka tidak jarang mengeluarkan ketetapan, bahkan fatwa, yang menetapkan kelompok-kelompok sempalan tersebut sebagai sesat dan menyesatkan. Ketetapan atau fatwa tersebut dalam prakteknya tidak jarang pula digunakan kelompok-kelompok mainstream tertentu sebagai dasar dan justifikasi untuk melakukan tindakan main hakim sendiri.

Radikalisme keagamaan juga dapat mendapat tambahan alasan dari deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Pada saat yang sama. disorientasi dan dislokasi sosial-budaya, dan ekses globalisasi, dan semacamnya sekaligus merupakan tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan kelompok-kelompok radikal. Kelompok-kelompok sempalan tersebut tidak jarang mengambil bentuk kultus (cult), yang sangat eksklusif, tertutup dan berpusat pada seseorang yang dipandang kharismatik. Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan memandang dunia sudah menjelang akhir zaman dan kiamat; sekarang waktunya bertobat melalui pemimpin dan kelompok mereka. Doktrin dan pandangan teologis-eskatologis seperti ini, tidak bisa lain dengan segera dapat menimbulkan reaksi dari agama-agama mainstream, yang dapat berujung pada konflik sosial.

Menggunakan pendekatan “teori konflik”, aktivitas sosial masyarakat yang berbentuk gerakan kolektif, dapat dibaca dengan menggunakan tiga andaian dasar, yaitu: 1) rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha keras untuk memenuhinya, 2) kekuasaan adalah inti dari struktur sosial, dan hal ini menciptakan perjuangan untuk mendapatkannya, dan3) nilai dan ide adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, berbanding sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat (Hardiman 1990). Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi pendekatan kedua ini, yaitu dengan teorinya tentang perubahan sosial yang nonreduksionis dan teorinya mengenai hegemoni. Implikasi teori hegemoni adalah bahwa kelas pekerja tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolusi atau bukan lagi titik fokus dan sebagai unsur utama dalam gerakan perubahan sosial(Patria 1999).

Radikalisme sebagai bentuk gerakan sosial biasanya diterjemahkan sebagai gerakan bersama sekelompok orang atau masyarakat yang terancang dan bersifat lintas kelompok untuk menentang atau mendesak perubahan. Banyak versi dan dimensi dari definisi gerakan sosial itu, tetapi Diani (dalam Nash 2000), misalnya, menekankan pentingnya empat unsur utama, yaitu(1) rangkaian yang kuat tetapi interaksinya bersifat informal atau tidak berstruktur. Dengan kata lain ada ikatan ide dan komitmen bersama diantara para anggota atau konstituen gerakan itu walaupun mereka dibedakan dalam profesi, kelassosial, dan lain-lain.(2) Ada kesamaan kepercayaandan perpaduan di antara mereka. (3) Ada aksi bersama-sama dengan membawa isu yang bersifat konfliktual. Ini berkaitan dengan penentangan atau desakan terhadap perubahan tertentu. (4) Aksi tuntutan itu bersifat berkelanjutan tetapi tidak terinstitusi dan mengikuti prosedur rutin seperti yang dikenal dalam organisasi atau agama, misalnya.

Merujuk kepada definisi yang dikemukakan Tarrow (1994), bahwa gerakan sosial adalah tantangan kolektif yang diajukan sejumlah orang yang mempunyai tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit,

kelompok lawan dan pihak penguasa. Tarrow melakukan elaborasi terhadap definisi tersebut dengan menekankan bahwa gerakan-gerakan tersebut (a) menyusun aksi mengacau (disruptive action) melawan kelompok elit, penguasa, kelompok-kelompok lain dan peraturan-peraturan budaya yang tertentu, (b) dilakukan atas nama tuntutan yang sama terhadap lawan, penguasa dan elit, (c) berakar pada perpaduan atau identitas kolektif, dan (d) terus melanjutkan aksi kolektifnya sampai menjadi sebuah gerakan sosial. Penekananserupa, dijelaskan pula oleh beberapa pakar dengan berbagai definisi, antara lain; usaha kolektif untuk membangun tatanan kehidupan yang baru(Blumer 1951), usaha bersama untuk menukar susunan sosial (Lang &Lang1961), usaha untuk menukar norma dan nilai(Smelser 1962), dan tindakan kolektif berterusan untuk mengelakkan atau menghalangi perubahan dalam masyarakat atau dalam kelompokyangmenjadi bahagian masyarakat itu(Turner &Killian1972).

Dengan demikian, bahwa paham dan gerakan radikal sesungguhnya berangkat dari kesadaran sekelompok orang atas kepentingannya. Walaupun selalu diperlukan kepemimpinan di dalam semua gerakan sosial tersebut, tetapi keuntungan (value-added) dan capaiannya selalu harus kembali kepada konstituen gerakan dan bukan kepada pemimpinnya. Tulisan-tulisan tentang gerakan sosial baru diIndonesia cenderung memberikan penekanan pada peranan pemimpin dan keuntungan yang kembali kepada mereka. Sedikit sekali, keberhasilan, jika ada, dari gerakan itu langsung memberikan keuntungan kepada konstituen gerakan itu. Olivier Roy (1994) menambahkan akar radikalisme didorong oleh tiga hal: pertama, kesombongan intelektual dengan memutlakkan kebenaran pandangan sendiri (absolutisme), kedua, kesombongan sosial berupa sikap tertutup dan tidak mau berdialog dengan pihak lain (eksklusivisme), dan ketiga, kesombongan emosional berupa sikap yang fanatik pada pandangan sendiri (fanatisme).

Diantara faktor yang mendorong kemunculan paham dan gerakan radikal, terutama yang berkaitan dengan radikalisme keagamaan adalah, faktor “teologis”. Hal ini bermakna, bahwa dalam mencermati fenomena radikalisme, tidak memadai kalau hanya menekankan pada aspek pelakunya, tanpa mengkaji keyakinan yang mendorong perbuatan pelakunya. Artinya, walaupun pelaku radikalisme dapat ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi kalau keyakinannya masih berkembang, maka ia terus berkesinambungan sepanjang waktu dengan pelaku yang berbeda. Demikian juga halnya dengan pergerakan radikalisme di Indonesia, meskipun para pelaku kekerasan (terorisme) telah ditangkap, bahkan terbunuh, seperti: Dr. Azhari, Noordin M. Top, Imam Samudra, Ali Gufran, lantas tidak ada jaminan kesinambungan radikalisme akan terhenti. Kalau dicontohkan seperti tanaman, ia bagaikan patah tumbuh, hilang berganti.

Dalam konteks radikalisme atas nama Islam, Menurut Azyumardi Azra (2011), akar persoalannya berawal dari pemahaman sepotong-potong dan ad hoc terhadap ayat-ayat al-Qur’an, sehingga pemahaman, penafsiran seperti itu hampir tidak memberikan ruang akomodasi dan kompromi terhadap kelompok-kelompok Muslim lain yang umumnya moderat (arus-utama). Pada konteks ini, pemahaman yang sempit terhadap agama, cenderung mengalami kekakuan, dan berpotensi salah. Apalagi, pemahaman tersebut tidak dibicarakan secara terbuka. Faktor sentimen keagamaan, di antaranya solidaritas keagamaan yang tertindas oleh kekuatan tertentu, atau juga disebut dengan faktor emosi keagamaan yang disebabkan oleh pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif yang dicampuri oleh sifat nisbi dan subjektif. Pada intinya radikalisme adalah permasalahan teologis, sesuai dengan yang dikemukakan Sartono Kartodirjo (1985), bahwa radikalisme keagamaan adalah gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total suatu tatanan politis dan tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan.

Sementara itu Mark Juergensmeyer dalam bukunya Teror in the Mind of God yang dikutip Bambang Pranowo (2011) menegaskan bahwa faktor pemahaman terhadap agama yang tidak tepat juga mengakibatkan munculnya sikap radikal. Analisisnya dijelaskan, semua agama yang ada, apabila ia dipahami secara eksklusif dan menutup pintu dialog akan berujung pada pembenaran tindakan radikal/terror. Kecenderungan yang berkembang adalah mengambil ayat-ayat untuk membenarkan ideologi mereka, seperti “Hidup Mulia atau Mati Syahid”.Hal yang sama juga diungkapkan oleh Alwi Shihab (2003) dalam bukunya Islam Inklusif, sesungguhnya penyempitan terhadap ruang gerak penafsiran agama yang dilimpahkan kepada manusia, sebenarnya akan menghambat keberagaman dalam menuju kesempurnaan. Agama pada dasarnya adalah memberikan ruang yang cukup bagi penganutnya mengekspresikan Islam sesuai dengan konteks sosial yang mengitarinya.

Dalam sejarah dan perkembangan Islam Indonesia diwarnai banyak pengalaman, sekaligus menunjukkan Islam Indonesia tidak terlepas dari kepentingan berbagai pihak, baik itu sifatnya lokal maupun itu sifatnya transnasional. Dalam konteks ini menurut sejarawan terkemuka, M.C. Ricklefs (2006) menggambarkan telah terjadi transisi-transisi budaya keagamaan di Indonesia, yang pada gilirannya ikut memengaruhi dinamika keagamaan masyarakat di Indonesia.

Pada sisi lain Azyumardi Azra (1999) melihat bahwa radikalisme berpeluang tumbuh dan berkembang, seperti yang disebut teori sosial klasik−sosiologi, psikologi maupun politik−gerakan radikal sosial baik yang mengatasnamakan agama atau murni gejala sosial dapat dianggap sebagai suatu gerakan menyimpang (deviance). Beberapa tahun belakangan ini, radikalisme, anarkisme atau kekerasan berbau agama cenderung terus meningkat, tidak hanya antar agama−seperti Islam versus Kristen−tetapi juga intra agama−seperti Islam garis keras (radikal) dengan Islam arus-utama (moderat).

Sebagai sebuah paham, radikalisme Islam tidak dapat dipisahkan dari gerakan fundamentalisme atau revivalisme, karena keduanya merupakan gerakan keislaman yang sejiwa. Arus radikalisme Islam ini dibawa oleh kelompok Islam radikal baik skala lokal maupun skala transnasional. Seiring dengan itu, Robert N. Bellah (2009) menyebut bahwa sesungguhnya ajaran Islam terlalu modern pada zamannya sehingga sulit dipahami oleh dunia saat itu, bahkan oleh umat Islam sendiri sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Kecenderungan ke arah radikalisme dan militansi keagamaan dapat juga dijelaskan sebagai implikasi dari berlangsungnya disorientasi nilai-nilai yang diakibatkan oleh modernisasi. Perputaran modernisasi kehidupan masyarakat membawa berbagai perubahan secara drastis, yang tidak hanya berlangsung di negeri industri maju, tetapi juga tengah merambah negara-negara berkembang.