• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fatwah Sesat Ahmadiyah dan Terbitnya SKB 3 Menteri

MUI, Fatwa dan Benturan Sosial Politik

4.1.3 Minimalis Konsensus: Formalisasi 5 fatwa MUI

4.1.3.1 Fatwah Sesat Ahmadiyah dan Terbitnya SKB 3 Menteri

Tahun 2005, MUI menerbitkan fatwa sesat Ahmadiyah dan didukung MMI, HTI, FPI serta sejumlah elit NU dan Muhammadiyah.65 Reproduksi fatwa yang pernah diterbitkan tahun 1980 ini, mengakibatkan Ahmadiyah mendapat persekusi luar biasa. Kasus Cikeusik, mengawali kekerasan demi kekerasan terhadap minoritas yang mengaku Islam ini. Tahun 2008, kekerasan kembali dilancarkan. 300 anggota Komando Laskar Islam menuntut agar pembubaran Ahmadiyah diwujudkan dalam bentuk keputusan presiden. Tuntutan ini dipertegas melalui insiden Silang Monas oleh ribuan massa gabungan FUI, FPI, HTI dan FBR (Forum Betawi Rembug) yang berujung pada kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah (Tempo, 22 Juni 2008).

Ahmadyah merupakan aliran dalam Islam yang berkembang di India sejak 1880an. Pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, menolak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan mengklaim bahwa ia sendiri telah menerima wahyu sebagai nabi baru. Setelah Mirza Ghulam wafat tahun 1908, Ahmadiyah terpecah dua yakni Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore yang pada awal abad 20 masuk ke Indonesia. Faksi Qadian mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Faksi Lahore mendirikan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Keduanya secara resmi terdaftar sebagai organisasi keagamaan sejak tahun 1950an dengan jumlah penganut 300.000 sampai 500.000. Baik komunitas Lahore maupun Qadian aktif dalam berbagai kegiatan sosial, mendirikan sekolah, menerbitkan buku dan menyebarkan ajaran mereka.66Ahmadyah dianggap bertentangan dengan pandangan umum dalam Islam yang mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir, keyakinan yang menempati posisi kedua setelah keyakinan akan Keesaan Tuhan (HRRC, 2015: 36).

63 Wawancara dengan salah satu mantan staf pribadi Presiden SBY (3) 64 Wawancara dengan Dr. Mafri Amir, pejabat MUI

65Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1985 dan sekali lagi pada tahun 1995 telah menyatakan bahwa Ahmadiyah menyimpang. Di dunia internasional, Rabitah Alam Islam sejak lama menyatakan Ahmadiyah adalah kelompok di luar Islam. Pengikutnya tidak diijinkan masuk Tanah Suci, tidak boleh melaksnakan ibadah haji. Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga menegaskan hal yang sama. Lihat, http://www.republika.co.id/berita/breaking, news/nasional/11/02/18/164743-ahmadiyah-juga-anggap kita-kafir

66 Lebih lengkap tentang Ahmadiyah lihat Zulkarnain (2005), Crouch (2009), bandingkan HRRC (2015: 36-37)

Ahmadyah, sejak itu menjadi arena perdebatan kalangan “Islam murni” dengan kelompok “Islam berkemajuan” (Abdi, 2014: 62). Dari penodaan agama, wacana bergeser kepada perlindungan hak. Fatwa serta andilnya atas penindasan dan penghilangan hak-hak Ahmadiyah menjadi acuan bagi berbagai kelompok untuk menuntut negara melindungi hak-hak minoritas.67Mohammad Atho Mudzar, pemerhati fatwa MUI yang juga merupakan salah satu perumus draf SKB Tiga Menteri menjelaskan posisi MUI dan pemerintahan SBY dalam kasus Ahmadyah.

“MUI bilang, kalau nambah-nambah nabi, ya bukan Islam. Tetapi pemerintah tidak bilang begitu, dia lebih mengacu kepada UU. PNPS No. 1/1965 mengenai penodaan agama. Kalau anda mengakui itu sendiri nggak ada masalah, tetapi kalau anda mengkampanyekan kepadaumat Islam begitu, itu menimbulkan keresahan sosial”.68

Menyikapi kontroversi fatwa sesat Ahmadiyah, pemerintahan SBY menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang intinya menerima aspirasi MUI agar Ahmadyah, “sepanjang mengaku Islam”, harus menghentikan kegiatan dan penyebaran ajaran yang bertentangan dengan ajaran Islam. SKB juga memberi peringatan kepada warga agar tidak melakukan perbuatan melawan hukum terhadap penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

SKB Tiga Menteri kontan menuai kritik. Harapan agar pemerintah bertindak tegas entah membubarkan Ahmadiyah mengikuti tuntutan kelompok pendukung fatwa atau melindungi Ahmadiyah sebagaimana tuntutan kelompok kontra fatwa tidak terjadi. Pemerintah SBY memilih “jalan tengah”, tidak membubarkan, tidak juga menyatakan melindungi. Tetapi formulasi “sepanjang mengaku Islam” memiliki konten yang sejajar dengan pernyataan Ketua Komisi Hubungan Antar Agama MUI, Slamet Efendy Yusuf, “lebih baik bagi Ahmadiyah untuk tidak mengaku diri Islam agar menghindari konflik berkepanjangan” (Bush dan munawar Rachman, 2014). Kebijakan “jalan tengah” ini telah menyebabkan Ahmadiyah memilih keluar dari Islam.

4.1.3.2 Fatwa Pornografi dan Terbitnya UU Anti Pornografi

April 2006, kantor redaksi majalah Playboy diserang kelompok FPI yang menuding “majalah pria” internasional itu sebagai ikon pornografi. Ujung dari ceritera serangan itu, tahun 2009 editor Erwin Arnada divonis dua tahun penjara dan Playboy dibredel. Serangan dan pembredelan Playboy erat kaitannya dengan fatwa pornografi dan pornoaksi yang terbit tahun 2001 yang bersumber dari peristiwa penting tahun 1998, ketika berlangsung Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) yang diselenggarakan MUI serta Munas MUI tahun 2000. Kedua forum itu antara lain menganjurkan penerbitan fatwa sekaligus penyusunan RUU Antipornografi dan Pornoaksi lengkap dengan tim pengawal RUU (Majelis Ulama Indonesia, 2003: 304).69

Pada tahun-tahun ketika MUI menerbitkan fatwa pornografi dan pornoaksi, komisi V DPR-RI periode 1999-2004 juga menggodok RUU APP. Oleh DPR periode 2005-2009 rancangan ini dimasukkan dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Tidak dapat disebut kebetulan jika proses yang terjadi di tubuh MUI berkembang pula di parlemen. Lobi politik ketika itu telah menghubungkan kelompok Islamis di luar parlemen dengan elit politik pro syariah yang menduduki posisi penting di parlemen. Selain melalui tokoh berbagai parpol yang mendukung RUU APP, kelompok seperti HTI dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) secara politik memang berafiliasi ke PKS

67http://www.assyauknie.com

68Wawancara dengan Prof. Dr. Mohammad Atho Mudzhar

69Lebih lengkap tentang fatwa pornografi dan pornoaksi serta hubungannya dengan maklumat dan insidenPlayboy, lihat Abdullah (Mimbar Ulama 27, no. 329, April 2006: 6-7). Lihat juga Ichwan (2014: 126-28).

yang salah satu tokohnya yaitu Hidayat Nur Wahid merupakan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hidayat Nur Wahid, sejak awal memang memainkan isu pronografi untuk memperkuat dukungan massa Islam bagi PKS (Rozaki, 2010: 134).

Penghubung RUU versi MUI dan RUU versi negara adalah anggota panitia ad hoc RUU-APP DPR yang dipimpin elit-elit pro syariah yakni Balkan Kaplale dari Partai Demokrat, Yoyoh Yusron dari PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan Ali Muchtar Ngabalin dari PBB (Partai Bulan Bintang). RUU yang digodok oleh panitia ad hoc parlemen ternyata merupakan RUU produk MUI dengan susupan syariah.70 Koalisi elemen-elemen pro syariah di dalam dan di luar parlemen memang menghendaki perlunya undang-undang yang dapat melindungi masyarakat dari kecenderungan deprivasi moral. Alasan yang tentu saja diterima luas tidak saja kalangan Islam, bahwa pornografi adalah penyimpangan dan bertentangan dengan budaya ketimuran.71

Tekanan politik kelompok Islam paling nyata terjadi pada Minggu, 21 Mei 2006 melalui demonstrasi jalanan bertajuk "Aksi Damai Sejuta Umat Menolak Pornografi dan Pornoaksi". Aksi itu mendesak DPR segera mengesahkan RUU APP. Ketua MUI, Nazri Adlani, di panggung orasi halaman gedung DPR/MPR meyakinkan elit parlemen akan dukungan umat Islam untuk perbaikan moral dan akhlak. Sementara juru bicara HTI, Ismail Yusanto, menegaskan bahwa RUU APP harus sesuai dengan fatwa MUI, yakni RUU APP yang sesuai syariah (Antara News, 21 Mei 2006).

Friksi fraksi-fraksi DPR berkenaan dengan RUU APP memiliki pola yang hampir mirip dengan pro kontra masyarakat luas. Koalisi parpol pendukung RUU APP juga cukup mencirikan koalisi parpol pendukung pemerintahan SBY. Dari 10 Fraksi DPR, 8 fraksi berkekuatan 428 kursi terdiri dari Golkar 129 kursi, PPP 58 kursi, Demokrat 57 kursi, PAN 53 kursi, PKB 52 kursi, PKS 45 kursi, BPD 20 kursi dan PBR 14 kursi; mendukung RUU APP. Fraksi yang menolak memiliki 122 kursi, terdiri dari PDIP 109 kursi dan PDS 13 kursi yang memilih walk out ketika Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi disahkan melalui rapat paripurna DPR-RI, November 2008.72

Seperti apa persisnya sikap SBY terhadap pornografi? Di luar urusan fatwa, SBY sesungguhnya memiliki pandangan yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang dianutnya secara pribadi,

“SBY sangat menghormati nilai, norma-norma dan etika. Dalam konteks seperti pronografi, saya kira dia akan setuju (fatwa anti pornografi). Dan persetujuan dia normatif sekali. Menyetujui fatwa anti pornografi itu bukan karena dia Islam, tetapi karena dia orang yang sangat menghargai nilai-nilai, norma dan etika”.73

Meski memberi dukungan politik bagi penyelesaian RUU APP melalui Surat Presiden No. 54 tanggal 20 September 2007, SBY membiarkan perdebatan berlangsung hingga pengesahan RUU APP tanpa intervensi apapun. SBY, sebagaimana “jalan tengah” yang diambilnya, mengakomodasi kepentingan kelompok pendukung sejak awal, sambil membolehkan beberapa daerah melakukan protes. Dengan itu ia memberi kesan

70RUU APP versi MUI sudah dititipkan kepada Kementerian Agama sejak tahun 2002 dan pernah menjadi perdebatan di parlemen. RUU itulah yang dengan beberapa perubahan, diajukan oleh panitia ad hoc DPR dan kembali menuai perdebatan (Ichwan, 2014).

71Dewan Syariah Pusat PKS Dukung Pemberlakuan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, http://pks.jepang.org

72Selengkapnya tentang konstelasi politik parlemen dalam perumusasan RUU APP dan pengesahannya, lihat Dokumen Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008tentang Pornografi yang disusun oleh Tim Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI- Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2010 di bawah pimpinan Dr. Firdaus Syam, MA. 73Wawancara dengan orang dekat SBY (1)

mengakomodasi juga kepentingan kelompok yang menolak RUU Pornografi (Rozaki, 2010: 133).

4.1.3.3 Fatwa Perekonomian Syariah dan Terbitnya UU Perbankan Syariah

Sebuah kekuatan ekonomi baru bernama pasar Islam tumbuh di Indonesia awal dekade 1990an. Lokomotif utama pasar berbasis syariah ini adalah MUI dan ICMI sejak keduanya membidani lahirnya Bank Muamalat yang kemudian berganti nama menjadi Bank Muamalat Indonesia (BMI). Berbeda dari sistem perekonomian konvensional yang kapitalistik, sistem perekonomian syariah patuh pada prinsip-prinsip Islam yakni investasi beretika yang mengedepankan nilai kebersamaan dan persaudaraan dengan mengharamkan riba (Hefner, 1996).

Resesi ekonomi yang menerjang Indonesia tahun 1998 terbukti tidak berdampak pada BMI. Bank syairah itu malah mencapai peningkatan saham hingga 45 persen dan menjadi 50 persen per tahun pada 21 April 1998. Pada 7 Mei 1998 saham BMI naik sampai 58 persen, sekaligus memberi harapan bagi pertumbuhan sektor ekonomi riil. Sementara Pada saat yang sama 17 bank kolaps, 16 ditutup, 7 dibekukan dan yang lain diambialih (Salim, 2003: 216-217).

Fakta ini menjadi alasan bagi MUI, ICMI dan para analis perbankan untuk meyakinkan pemerintahan Habibie menerbitkan UU No. 10/1998 yang memberi kewenangan kepada Bank Indonesia (BI) membuka “jendela syariah” pada bank-bank konvensional, disusul policy MUI membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN). Produk hukum ini juga memberi arahan teknis kepada bank non Islam termasuk bank negara tentang tata cara membuka cabang syariah. Sejak itulah negara menjadi basis penting berkembangya perekonomian syariah. Dalam waktu sangat cepat, bank-bank konvensional yang masih dihinggapi trauma resesi, segera membuka outlet syariah untuk mengantisipasi pengalihan saham-saham nasabah Muslim. BNI, Bank Mandiri, IFI, Bank Niaga, BTN, Bank Mega, BRI, Bukopin, BPD Jawa Barat dan BPD Aceh adalah beberapa contoh (Salim, 2003: ibid.).

Kehadiran meyakinkan BMI sebagai alternatif sistem keuangan yang dapat menopang sistem perekonomian negara menjadi dasar bagi MUI untuk meyakinkan umat Muslim beralih ke sistem ekonomi Islam. Lebih tegas, tahun 2003 MUI mengeluarkan fatwa haram bank konvensional berbasis bunga. Tetapi kekuatan fatwa saja tidak cukup. MUI memerlukan negara untuk mempermudah umat Islam mengalihkan saham-saham dari bank konvensional kepada bank syariah dengan menyiapkan produk-produk perekonomian Islam melalui kebijakan perbankan. Keinginan MUI mendapat respon positip SBY. Tahun 2008 pemerintahan SBY menerbitkan dua dokumen negara yakni UU No. 19 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Obligasi Syariah/Sukuk, disusul UU No. 21 tentang Perbankan Syariah. Pemerintahan SBY juga mendorong pengelolaan dana-dana sosial khas syariah yakni zakat, infaq, dan sedekah; termasuk pengelolaan dana haji melalui instrumen syariah.

Berpidato di lapangan Silang Monas, dalam acara pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah (GRES), SBY menegaskan,

“Dalam kaitan memperluas financial inclusion untuk sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), ekonomi syariah sangat diperlukan … Pemerintah telah mencanangkan pengembangan ekonomi syariah sebagai agenda nasional dan menetapkan visi Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia. Pemerintah juga secara aktif melakukan koordinasi dan komunikasi dengan para pemangku kepentingan baik dengan BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Baznas dan MUI

untuk terus mendorong tumbuh dan berkembangnya ekonomi syariah di tanah air” (Pidato SBY, 17 Nopember 2011 ).

Sistem ekonomi syariah sebenarnya bukan tanpa kritik. Pasar Islam ini, dinilai menggabungkan praktek agama Islam dengan etika kapitalis yang justru ditolaknya (Ichwan, 2014: 126) atau meminjam istilah Fealy dan Sally,komodifikasi Islam yaitu komersialisasi dengan mengubah keimanan dan simbol-simbol Islam menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan (Fealy dan Sally, 2008). Dawam Rahardjo melihat produk-produk ekonomi syariah yang ternyata juga menerapkan kapitalisme menyimpulkan bahwa bank syariah dalam prakteknya merupakan lembaga "peternakan uang" (making money out of money) atau lembaga ribawi yang diharamkan.74Hefner menyebut perekonomian syariah sebagai Islamizing capitalism atau kapitalisme yang dilabeli Islam (2003). Senada dengan Hefner, Su’adiberpendapat bahwa perekonomian syariah merupakan bentuk objektifikasi nilai-nilai Islam dalam ekonomi dimana prinsip Islam disesuaikan dengan tuntutan kapitalisme, sehingga Islam menjadi praksis ekonomi modern. Meskipun slogan ekonomi yang digaungkan adalah mudorobah (bukan bunga, melainkan kerjasama) tetapi sistem itu sesungguhnya memuat prinsip-prinsip kapitalisme. Yang berlaku dalam pasar Islam sebenarnya kapitalisme berbusana Islam.75

Sebagai seseorang yang berpandangan sekuler dan pro kapitalisme apalagi menyadari kelemahan-kelemahan perekenomian syariah, SBY memiliki sekurang-kurangnya tiga alasan mengakomodasi fatwa perekonomian syariah. Pertama, karena prakteknya sudah berjalan. Sebagai seorang konstitusional SBY tidak mungkin menolak undang-undang yang mengatur realitas yang sudah berjalan apalagi masyarakat juga sudah sejak lama menerima dan memprktekkannya. Kedua, terpuruknya kondisi perekonomian nasional pada era SBY, sementara perekonomian syariah terbukti memberi topangan bagi perekonomian negara terutama dukungan sektor riil. Ketiga, ada kepentingan khas MUI berkenaan dengan perannya sebagai pejabat DSN pada outlet syariah yang dipertimbangkan SBY.76