• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERINTAH PUSAT vis a vis PEMERINTAH ACEH: SEBUAH KONSTRUKSI MEDIA

2.3. Berita Sebagai Hasil Konstruksi

Polemik pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh telah menjadi komoditas media. Polemik diberitakan secara massif dengan berbagai sudut pandang. Media menjadi aktor sentral “penyambung” kepentingan elite politik di Jakarta dan elite politik lokal di

Aceh. Kepentingan media terletak pada kepentingan pemilik, pemodal, serta kebijakan yang diberlakukan oleh aparatus negara terhadap media.

Sebagai produk jurnalistik, berita tidak dipandang memiliki nilai objektivitas. Jikapun memiliki, objektivitas dalam berita tidak lebih dari sekedar upaya menutupi ketidakobjektivan itu sendiri. Kita tentu pernah menggerutu ketika membaca koran atau menonton berita di televisi atau kita pernah kesal terhadap sebuah berita karena menganggap ada fakta yang disembunyikan. Inilah yang dikatakan sebagai proses konstruksi, menyeleksi isu dan menonjolkan fakta (Entman, 1993).

Bagi masyarakat awam, berita dipandang sebagai produk jurnalistik yang merepresentasikan keinginan publik (khalayak) terhadap dinamika sosial, politik, ekonomi, dan budaya setiap hari. Permasalahan kemudian adalah pertanyaan mengenai apa yang disebut dengan berita? mengapa berita menjadi hasil dari sebuah konstruksi? serta Siapa yang mempengaruhi produksi berita? Banyak tokoh dan ilmuwan di bidang jurnalistik dan media mendefinisikan berita. Namun, beberapa ilmuwan mengatakan sangat sulit untuk memberikan definisi berita. Tidak jarang pula ditemukan wartawan yang tidak tahu apa itu berita (Othman, Nayan, dan Tiung, 2013).Herbert J. Gans (1979) melakukan penelitian dengan mewawancarai wartawan untuk menemukan definisi berita berdasarkan pemahaman para wartawan. Hasil dari penelitian Ganscukup mencengangkan, kebanyakan jawaban wartawan saat ditanya,“apa itu berita?” maka mereka menjawab, “berita adalah apa yang anda rasa akan menjadi berita.”

Beberapa wartawan dan ilmuwan dalam bidang jurnalistik memiliki definisi terhadap berita. Sebuah definisi yang menurut penulis agak tepat untuk mendefinisikan berita adalah pendapat Edward Jay Freidlander dkk. menyatakan bahwa:

“News is what you should know that you don’t know. News is what has happened recently that is important to you in your daily life. News is what fascinates you,… News is what local, national, and international shakers and movers are doing to affect your life. News is the unexpected event that, fortunately or unfortunately, did happened.”(Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2012).

Dalam pemahaman Freidlander dkk. (1987), berita adalah apa yang harus anda ketahui dan apa yang tidak harus anda ketahui. Berita adalah apa yang terjadi belakangan ini yang penting bagi anda dan berguna dalam kehidupan sehari-hari. Berita juga merupakan sesuatu yang menarik bagi anda. Berita adalah apa yang dilakukan oleh “pengguncang” dan “penggerak” tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk mempengaruhi kehidupan anda. Berita adalah kejadian yang tidak disangka-sangka yang – untungnya atau sayangnya –telah terjadi.

Mengikuti berbagai definisi tentang berita tersebut, berita merupakan suatu bentuk laporan khas hasil liputan dan penemuan fakta oleh wartawan di lapangan. Ada beberapa pertimbangan sebuah peristiwa atau isu dapat dijadikan sebuah berita. Unsur pokok yang paling penting jadi pertimbangan redaksi adalah nilai berita (newsvalue). Nilai berita sangat menentukan berapa banyak berita yang menonjol harus diberikan oleh media dan berapa banyak perhatian yang diberikan oleh para khalayak.

Wacana tentang nilai berita atau kriteria dalam menyeleksi berita, dimulai dalam lingkungan para pakar komunikasi pada tahun 1960-an serta memiliki tradisi yang panjang. Dalam Schediasma Curiosum de Lectione Novellarum, Christian Weise mengemukakan pada tahun 1676 dalam memilih berita harus dipisahkan antara yang benar dan yang palsu. Daniel Hartnack (1688) memberikan penekanan pada unsur penting dari suatu peristiwa sebagai dasar pemilihan berita. Menurut Hartnack, yang membuat berita bernilai bukan terletak pada dampak (consequence) dari peristiwanya melainnya terletak pada unsur pentingnya. Hartnack sudah mengetahui bahwa tampilan surat kabar-surat kabar secara

periodik telah menyebabkan timbulnya permintaan akan berita yang bebas dari kejadian yang sebenarnya, atau dengan perkataan lain ia telah melihat masalah pembentukan realitas oleh media massa (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2012).

Nilai berita dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti nilai menurut reporter yang mengumpulkan berita tersebut, menurutwarga masyarakat yang menjadi subjek pemberitaan, menurut sudut pandang editor, dan menurut organisasi media. Pelbagai sudut pandang ini berpeluang memengaruhi nilai berita. Untuk membuat sebuah berita bernilai dan laik dipublikasikan kepada masyarakat, tak jarang dilakukan konstruksi yang mengarah kepada manipulasi fakta atas sebuah peristiwa (Liliweri, 2011). Konstruksi dan manipulasi ini bermain dalam diskursus media dan dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi-bisnis media (Nimmo, 2011).

Dalam menentukan nilai berita dari peristiwa, ada baiknya menyimak apa yang dikemukakan oleh Michele Weldon (2009) bahwa setidaknya ada tujuh unsur pokok dalam menentukan nilai berita, yaitu, Timeliness hal ini merujuk kepada aspek ketetapan dan kecepatan waktu bagi wartawan dalam meliput, mengolah, hingga menyebarkan berita. Proximity terkait dengan kedekatan suatu isu dengan pembacanya (lokal, nasional, atau internasional). Unusualness, suatu peristiwa dikatakan memiliki nilai berita jika berita itu bukanlah suatu yang biasa terjadi, seperti pameo yang biasa dikenal dalam dunia jurnalistik: “anjing menggigit manusia itu bukan berita, namun jika manusia menggigit anjing itu baru berita”.

Prominence, nilai berita dilihat berdasarkan kebesaran (luas cakupan) peristiwanya atau arti pentingnya. Jika suatu isu atau peristiwa tersebut dianggap sangat penting bagi masyarakat luas, maka media akan menghadirkannya sebagai konsumsi informasi khalayak. Unsur lainnya adalah Impact, merujuk kepada dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut. Conflict, merupakan segala isu atau peristiwa yang mengandung konflik, polemik, kontroversi, pertentangan, dan lain sebagainya dan selalu menjadi headline dalam berita. Terakhir, Human Interest, suatu peristiwa baru dapat dikatakan berita atau dimunculkan dalam media jika mengandung unsur haru, sedih, dan menguras emosi khalayak. Khalayak dipandang sebagai insan yang lemah secara emosional, oleh karena itu media melalui sajiannya akan menggunakan kelemahan emosi khalayak untuk mendongkrak perolehan ekonomi media.

Ibnu Hamad menyatakan bahwa nilai berita dan nilai politik hadir dalam media berkaitan dengan kepentingan media massa dan kepentingan masyarakat sebagai konsumen atau publik dari media massa tersebut (Tamburaka, 2012). Suatu peristiwa politik akan sangat mungkin ditanggapi dengan cara yang berbeda oleh berbagai media massa, antara lain pada peletakan berita (utama atau biasa), volume berita, dan teknik kecenderungan pemberitaannya dimana isi media massa mengenai peristiwa tersebut sangat mungkin mendapat tanggapan berbeda oleh khalayak yang berbeda. Lebih lanjut Arifin (2010) mengatakan bahwa:

“Tidak dapat dibantah bahwa selain masalah teknis pemuatan, penempatan, dan juga jumlah berita, maka pemilihan narasumber, gaya berita, dan opini media yang ditawarkan bisa menjadi frame bagi khalayak untuk menentukan sikapnya atas isu tertentu. Dengan demikian, peranan media massa dalam proses pembentukan opini publik dalam konteks komunikasi politik menjadi strategis, tidak hanya dalam konteks pendistribusian pesan yang bersifat umum, melainkan yang lebih penting dari itu adalah nilai berita politik yang diterima oleh khalayak.”

Konstruksi merupakan dasar bagi produksi sebuah berita. Dalam pandangan konstruksionis, fakta yang menjadi sumber dari sebuah berita merupakan hasil konstruksi. Fakta tersebut bersifat subjektif. Realitas itu sendiri hadir karena dihadirkan oleh wartawan

lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan(Eriyanto, 2012). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Saverin dan Tankard, Jr. (2010) bahwa terkadang pembingkaian berita dihasilkan oleh trik-trikkhusus yang diakses pada awal pemrosesan cerita. Perlengkapan meliputi headline, lead (paragraf awal berita),pull quote (kutipan yang diambil dari artikel dan dicetak dengan huruf besar), nut graph (paragraf kunci dalam artikel yang menceritakan isi artikel).

Berita tidak dapat dipercaya sebagai sebuah tulisan yang objektif. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang rigid (baku) seperti halnya pandangan kaum positivistik. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atasrealitas. Kaum konstruktivis menolak pandangan bahwa berita adalah cermin dari ralitas (mirror of reality). Berita semata-mata adalah hasil konstruksi wartawan yang melibatkan pandangan ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media (Eriyanto, 2012: 29).

Menurut Fishman (1980) ada dua kecenderungan studi bagaimana proses produksi berita dilihat. Pertama, seleksi isu (selectivity of news).Dalam bentuk yang umum proses seleksi ini sering dikenal sebagai bentuk “gatekeeper”. Intinya, proses produksi berita adalah proses seleksi. Proses ini bekerja mulai dari ruang redaksi saat wartawan akan turun kelapangan, menuju kepada proses peliputan di lapangan, hingga di meja para editor. Kedua, pembentukan berita (creation of news). Dalam perspektif ini berita bukan hanya diseleksi, tetapi dibentuk oleh wartawan. Wartawanlah yang membentuk peristiwa: mana yang disebut berita mana yang tidak. Titik perhatian utama perspektif ini ada pada rutinitas dan nilai-nilai kerja wartawan yang memproduksi berita.

Sebagai alat penafsir realitas, berita ikut membawa dan menyebarkan ideologi yang ada dalam media. Biasanya ideologi yang dibawa oleh media melalui berita adalah ideologi dominan (status quo). Misalnya ,ideologi bias gender akan terlihat saat berita ditulis oleh seorang jurnaliswati. Berkaitan dengan topik kajian penelitian ini, ideologi “nasionalisme” di media massa nasional mengonstruksi realitas bahwa Bendera Aceh sebagai bendera separatis –alih-alih memberikan paparan realitas hukum bahwa Aceh berhak memiliki bendera dan lambang daerah sesuai Undang-Undang yang mengamanatkannya. Melalui berita, media menyebarkan ideologi dengan memberikan pelabelan, jargon, sentilan, dan lain sebagainya untuk menunjukkan posisi media dalam sebuah kasus.

Entman (1993) memberikan tawaran konsep bagi analisis framing. Bagi Entman, konsep framing digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat alokasi lebih besar daripada isu lain.

Konsep framing dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkapkan the power of acommunication text. Analisis framing dapat menjelaskan dengan cara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer (atau komunikasi) informasi dari sebuah lokasi, seperti pidato, ucapan/ungkapan, news report, atau novel (Sobur, 2012). Bagi Eriyanto (2012), konsep framing dimaknai sebagai pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya menentukan apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut.

Sejalan dengan apa yang dikatakan Entman, Todd Gitlin seorangilmuwan yang menaruh perhatian kepada konsep framing mengutippendapat Erving Goffman, menjelaskan frame berkaitan dengan prinsip seleksi, penekanan, dan presentasi dari realitas oleh media. Hampir semua ilmuwan analisis framing sepakat dengan dua prinsip dari konsep analisis framing, yaitu, pertama seleksi isu. Metode penyeleksian isu ini

mekandung dua kemungkinan, yaitu, apa yang dipilih (include) dan apa yang dibuang (exclude). Wartawan tidak mungkin melihat realitas tanpa perspektif. Wartawan melihat peristiwa dari sisi tertentu sehingga pemahaman dan konstruksi atas peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain (Eriyanto, 2012).

Kedua, penulisan fakta atau penonjolan fakta, hal ini terkait dengan bagaimana strategi dan cara wartawan menuliskan fakta yang didapatkan di lapangan, bagian mana yang harus diberi keterangan lebih dalam, bagian mana yang bisa dihilangkan, apa yang bisa dijadikan judul berita agar mampu menarik perhatian khalayak. Biasanya penonjolan ini bisa terlihat dalam judul berita, lead, posisi berita (headline atau halaman belakang), serta foto atau grafik yang digunakan. Penggunaan elemen-elemen ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian tulisan, kalimat, dan foto atau grafik merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Sehingga, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapat alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok ini akan mendapat perhatian lebih besar oleh khalayak.

3. METODE PENELITIAN

Proses konstruksi realitas tidak bisa dipisahkan dari proses pengambilan keputusan di newsroom. Dinamika yang ada dalam newsroom ini telah lama menjadi objek penelitian yang menarik melalui pelbagai pendekatan dan telah menghasilkan sejumlah teori penting. Pelbagai metodologi telah dipakai peneliti yang berupaya menjelaskan secara komprehensif bagaimana dinamika proses produksi dan reproduksi berita. Diantara beberapa metodologi yang ada, analisis bingkai (framing analysis) menjadi mata pisau untuk mengetahui bentuk konstruksi realitas media. Mata pisau metodologi ini pula yang dipakai dalam penelitian ini. Analisis Framing lazim digunakan untuk membongkar konstruksi, ideologi, dan politik media (Eriyanto, 2012).

Penelitian ini berparadigma konstruktivisme, dimana peneliti melakukan interpretasi terhadap teks dan konteks dari fenomena yang terjadi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Dalam pengertian ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2013).

Objek pada penelitian ini adalah teks berita pada situs online antaranews.com dalam rentang waktu Maret – Mei 2013 –dalam masa ini polemik pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh mencuat. Topik pemberitaan yang dianalisis terkait dengan polemik pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang telah menempatkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh menjadi dua faksi yang berbeda pandangan.

Metode analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah Analisis Framing model Gamson dan Modigliani. Framing pada intinya merujuk kepada usaha pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu diskursus (discourse)untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan media. Analisis Framing adalah strategi analisis yang dipakai untuk membongkar teks media. Melalui analisis framing, peneliti dapat menemukan ideologi dan keberpihakan media. Model Analisis Gamson dan Modigliani.

Konsep utama dari gagasan framing Gamson dan Modigliani terletak pada pergerakan sosial (social movement). Keberhasilan gerakan/protes sosial di antaranya ditentukan oleh sejauhmana khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu, musuh bersama, dan tujuan bersama. Framing memainkan peran penting untuk menghidupkan simbol dan makna dalam gerakan sosial. Simbol dan makna ini digunakan siapa lawan dan siapa kawan serta untuk membentuk solidaritas kolektif dengan merasakan bahwa suatu masalah adalah masalah bersama.

Unit analisis framing model Gamson dan Modigliani adalah frame central atau Package yang terdiri atas framing devices –dianalisis melalui methapors, catchphrases, exemplar, depiction, dan visual images. Unit analisis kedua adalah reasoning devices – dianalisis melalui roots, appeals to principles, dam consequences.

4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Dalam pembicaraan konstruksi media dan polemik sebagai bagian dari dinamika politik lokal di era desentralisasi, penggunaan analisis framing menjadi mata pisau yang dianggap cukup tajam untuk membedah teks media. Pola kerja jurnalis tidak hanya dimaknai sebagai rutinitas biasa saja, melainkan sebuah proses yang kompleks serta membutuhkan profesionalitas kerja –lazim disebut sebagai proses redaksional. Dalam menentukan apakah suatu peristiwa memiliki nilai berita sesungguhnya merupakan tahap awal dari proses kerja redaksional. Biasanya seorang redaktur menentukan apa yang harus diliput, sementara seorang reporter menentukan bagaimana cara meliputnya, karena ia berurusan dengan tahap pencarian/penghimpunan dan penggarapan berita. Setelah seluruh materi terhimpun, maka dilakukanlah penulisan dan penyuntingan (editing). Dalam tahap akhir, sambil dilakukan penyuntingan, dilakukan pula pemerkayaan terhadap berita. Proses inilah yang dikenal sebagai konstruksi realitas media.

Proses kerja redaksional terjadi dalam polemik polemik pengesahan Qanun Nomor 03 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Polemik ini mulai mengemuka di ruang publik setelah diketahui bahwa substansi Bendera dan Lambang Aceh menyerupai Bendera dan Lambang GAM. Situs online antaranews.com mulai merespon dengan memunculkan pemberitaan pasca-pengesahan dalam berbagai judul dan sudut penekanan berita (lihat Tabel 1).

Tabel 1 Judul Berita Situs Online Antaranews.com

No Judul Berita Waktu Publikasi

1 Bendera Aceh Diarak Keliling Banda Aceh 26 Maret 2013/19.09 WIB 2 Kemendagri Akan Evaluasi Pengesahan Bendera Aceh 27 Maret 2013/22:43 WIB 3 DPRA: Pengibaran Bendera Aceh Tunggu Klarifikasi

Mendagri

01 April 2013/16:12 WIB 4 Kemendagri Klarifikasi Soal Bendera Aceh 02 April 2013/18:12 WIB 5 Yusril Heran, Bendera Aceh Mirip Bendera GAM 02 April 2013/21:05 WIB 6 JK Dinilai Tepat Selesaikan Masalah Bendera Aceh 03 April 2013/13:13 WIB 7 Politisi Pdip Minta Pemerintah Sikapi Terkait Bendera Aceh 03 April 2013/21:49 WIB 8 YARA Usulkan Revisi Pasal Qanun Bendera Aceh 03 April 2013/20:21 WIB 9 Ketua FPKB MPR Usulkan Sedikit Perubahan Bendera Aceh 04 April 2013/20:07 WIB 10 Revisi Qanun Bendera Aceh Masih Dalam Proses 04 April 2013/19:23 WIB 11 Ribuan Warga "Gayo" Tolak Bendera Aceh 04 April 2013/17:37 WIB 12 Priyo Ingatkan Pimpinan Tidak Kibarkan Bendera Aceh 05 April 2013/19:26 WIB 13 Soal Bendera Aceh, MPR Minta Tahan Diri 09 April 2013/14:19 WIB 14 SBY Yakin Ada Jalan Keluar Untuk Masalah Bendera Aceh 18 April 2013/15:05 WIB 15 F-Peta Minta Presiden Batalkan Qanun Bendera Aceh 20 April 2013/20:32 WIB 16 Bendera Aceh Dikibarkan Tanpa Adzan 03 Mei 2013/17:11 WIB 17 Mendagri: Bendera Aceh Masih Terus Dinegosiasikan 23 Mei 2013/21:51 WIB Sumber: data penelitian

Dalam melihat dan menginterpretasikan polemik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh terkait pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, situs berita online antaranews.com menggunakan frame “Bendera Aceh mengadopsi Bendera GAM dan harus direvisi”. Hal ini terlihat melalui kutipan berita berikut:

“... Bendera Aceh yang qanunnya disahkan DPRA pada 23 Maret 2013 itu ketika Aceh masih dilanda konflik bersenjata atau sebelum perjanjian yang ditandatangani di Helsinki 15 Agustus 2005 merupakan salah satu simbol perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).” (antaranews.com/26 Maret 2013, pukul 19.09 WIB).

“…Yang namanya perda atau qanun itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi ataupun kepentingan umum." kata Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, usai sidang pengujian UU Pembentukan Pemda Kalimantan Utara di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu. (antaranews,com/27 Maret 2013, pukul 22:43 WIB).

"… Setelah DPRA menyetujui qanun (peraturan daerah) mengenai bendera Aceh dan kemudiandikibarkan di ruang publik, menimbulkan berbagai persoalan sosial. Apalagi bendera tersebut miripdengan organisasi separatis di Aceh," katanya (Priyo Budi Santoso –pen). (antaranews.com/05 April 2013, pukul 19.26 WIB).

Melalui frame ini antaranews.com menginterpretasikan bahwa terjadinya polemik terhadap Qanun Bendera dan Lambang Aceh karena substansi Qanun yang disahkan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam Pasal 6 butir 4PP No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah dimana disebutkan bahwa desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Media memiliki ketajaman untuk melihat peristiwa yang mengandung nilai berita. Conflict dan Controvercy menjadi nilai berita yang sangat laku di pasaran (Weldon, 2009 dan Cramer, 2011). Peristiwa pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh dimaknai media sebagai bentuk keberanian Pemerintah Aceh. Keberanian ini muncul karena kursi Pemerintah Aceh dan DPRA dikuasai dan didominasi oleh mantan kombatan GAM.

Untuk memperkuat konstruksinya-nya, situs berita online antaranews.com memakai metaphors “jangan sampai luka lama terkoyak kembali, akibat pengesahan Bendera GAM sebagai Bendera Aceh”. Hal ini sesuai dengan kutipan berita berikut:

"Jangan sampai luka lama terkoyak kembali, desain bendera GAM mengingatkan semua pihakkepada masa lalu, mari kita menatap ke depan. Kita ubah sedikit desainnya agar memori itu tidakterbayang kembali," ungkapnya. (antaranews.com/04 April 2013, pukul 20:07 WIB).

Sikap Pemerintah Aceh yang mengesahkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh bukan merupakan sikap patriotik. Meskipun Aceh memiliki kewenangan melalui UU Pemerintah Aceh dan disepakati dalam MoU Helsinki, namun Pemerintah Pusat tidak sepakat dengan desain Bendera Aceh yang menyerupai Bendera GAM. Media melihat sikap Pemerintah Aceh ini akan berdampak pada terkoyaknya kembali luka lama yang dialami oleh rakyat Aceh selama konflik berlangsung. Mungkin saja sebagian masyarakat Aceh mendukung kehadiran Bendera Aceh dengan desain Bendera GAM ini, namun yang tidak boleh dilupakan bahwa ada rakyat Aceh yang tidak mendukung bahkan membakar Bendera Aceh tersebut. Oleh media, hal ini disoroti sebagai bentuk inkonsistensi Pemerintah Aceh dalam program mensejahterakan rakyat Aceh. Elite politik Aceh lebih memilih menghabiskan energi untuk sebuah Bendera dari pada menuntaskan visi pembangunan Aceh pasca-tsunami dan konflik.

Dalam catchphrases, situs berita online antaranews.com menyebutkan Bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dulu digunakan saat konflik disahkan oleh DPRA dan Pemerintah Aceh menjadi Bendera Daerah. Frase kontras ini digunakan olehantaranews.com untuk memperkuat frame yang semula bahwa substansi Qanun Bendera dan Lamban Aceh mengadopsi Bendera dan Lambang GAM.

“… Menurut dia (Reydonnyzar Moenek –pen), lambang daerah tidak boleh menyerupai gerakan separatis, seperti di Papua, Maluku,atau GAM di Aceh. "Itu tidak diperbolehkan menyerupai atau menginspirasikan," katanya. (antaranews.com/27 Maret 2013, pukul 22.43 WIB).

Catchphrases yang dipakai oleh antaranews.com dikutip dari pernyataan Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek. Pemilihan narasumber yang cenderung berasal dari perwakilan Pemerintah Pusat membuat konstruksi yang dibangun oleh antaranews.com hanya memihak pada satu sudut pandang saja. Situs online antaranews.com terlihat seperti mengabaikan pendapat dari elite lokal di Aceh, jika pun ada pendapat tersebut pasti diarahkan kepada kontra pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh.

Exemplars yang dipakai oleh situs online antaranews.com menyatakan bahwa Bendera Aceh mirip Bendera GAM. Exemplars ini dipakai hampir dalam setiap berita