• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fatwa Halal dan Terbitnya UU Jaminan Produk Halal

MUI, Fatwa dan Benturan Sosial Politik

4.1.3 Minimalis Konsensus: Formalisasi 5 fatwa MUI

4.1.3.4 Fatwa Halal dan Terbitnya UU Jaminan Produk Halal

Dibanding akomodasi aspirasi MUI lainnya, ini agak berbeda. Pertama, respon SBY sangat lama padahal MUI berulangkali memintanya. Pengajuan menerbitkan UU Jaminan Produk Halal sudah terjadi sejak 2006, produk hukumnya baru terbit 2014; persis di akhir kekuasaan SBY. Kedua, akomodasi kali ini sangat membatasi peran MUI karena menghapus monopoli bisnis yang telah berlangsung selama 25 tahun. Ketiga, dengan menerbitkan UU No. 33/2014 tentang Produk Halal dan Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), pemerintahan SBY menyejajarkan peran MUI dengan peran lembaga lain. Artinya dalam hal rujukan halal, MUI bukan satu-satunya otorita, meskipun MUI tetap diakui sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa halal (Tempo, 21 September 2014).

Peran MUI sebagai lembaga penjamin produk halal sebenarnya memiliki riwayat yang debatable. Tahun 1989 MUI mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Minuman dan Kosmetika (LPPOM-MUI) yang seyogianya merupakan lembaga khas negara. Baru pada era Habibie, negara memberi kewenangan kepada MUI sebagai otoritas

74http://print.kompas.com

75Wawancara dengan Dr. Ahmad Su’adi

76Wawancara dengan sumber di lingkaran dalam mantan Presiden SBY. DSN merupakan lembaga MUI memiliki wewenang antara lain mengangkat pejabat MUI yang bertugas memastikan bahwa prinsip syariah dijalankan dengan benar pada setiap bank yang membuka outlet syariah. Peran ini memberi profit bagi MUI

penjamin halal melalui Peraturan Pemerintah No. 69/1999. MUI bertanggungjawab memastikan bahwa produk makanan, obat-obatan dan kosmetika halal bagi konsumen Muslim. Hak atas sertifikasi halal sejak awal memang merupakan monopoli MUI, tetapi MUI dapat pula memberi kewenangan kepada perusahaan produsen untuk menjaga kualitas halal melalui auditor halal internal untuk perusahaan kecil dan lembaga audit halal untuk perusahaan besar (LPPOM-MUI, 2008). Atas cara ini, penerbitan sertifikat halal memberi keuntungan besar bagi MUI (Tempo, 9 Maret 2014).

Bisnis menjanjikan sertifikasi halal, menjadi alasan pemerintahan SBY mengoreksi kebijakan monopoli MUI. Tampil dalam pidato di Malaysia, Mei 2007, SBY menegaskan, “kita lalai jika tidak memanfaatkan fatwa halal”. Pidato SBY adalah bagian dari penegasan atas RUU Jaminan Produk Halal yang belum rampung dalam proses legislasi di DPR sejak tahun 2006, yaitu pada paruh pertama pemerintahannya. Pada akhir kekuasaan, SBY mengakomodasi aspirasi MUI, dengan membatasi monopoli sebagai lembaga penjamin halal.

4.1.3.5 Insentif-insentif Negara untuk MUI

Pemerintah SBY menyuntik 8,9 milyar rupiah dana APBN untuk pembangunan gedung MUI. 24 Juli 2008 gedung yang terbilang megah itu diresmikan dengan dihadiri antara lain Menteri Agama, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Wakil Ketua MPR dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Baru pada pemerintahan SBY, MUI yang sejak berdiri 26 Juli 1975 bermarkas di masjid Istiqlal dekat kawasan Monas, memiliki gedung sendiri.

Sepanjang era SBY, MUI mendapat sejumlah dana yang sangat erat berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Selain alokasi APBN untuk pembangunan kantor, secara tetap MUI menerima setiap tahun kucuran dana APBN sebesar 3 milyar rupiah. Melalui Menteri Agama, Surya Dharma Ali, pos bantuan sosial untuk MUI ini dijanjikan dinaikkan pemerintahan SBY sampai 5 milyar rupiah per tahun (.. . ). Langkah pemerintahan SBY ini sangat berarti bagi MUI. Pasalnya, sejak tahun 2002 pemerintahan Megawati mengunci kran aliran APBN yang sebelumnya sudah dijanjikan presiden Gus Dur sebesar 25 milyar. Dana itu baru dikucurkan 5 milyar termin pertama sebelum Gus Dur dilengserkan (Ichwan, 2014).

Sejak SBY mengakui MUI sebagai lembaga otoritas fatwa, peran MUI dipertegas dalam regulasi berimplikasi profit. MUI mendapat anggaran 20 juta hingga 30 juta rupiah untuk sosialisasi setiap fatwa berkenaan dengan program-program pemerintah. Fatwa vasektomi untuk mendukung program BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) dan fatwa larangan hasil laut berformalin, bekerja sama dengan Kementerian Perikanan dan Kelautan adalah sekedar contoh (Tempo, 12 Maret 2013). Pemerintah SBY juga memperpanjang waktu bagi MUI untuk mendapatkan dana atas monopoli sertifikasi halal. Sejak diajukan tahun 2006, pembahasan RUU Jaminan Produk Halal untuk mengoreksi monopoli MUI tertunda sepanjang delapan tahun dan baru terwujud tahun 2014 menjelang SBY turun takhta.

Sumber MUI mengatakan bahwa sikap akomodatif MUI tetap diperlihatkan hingga akhir era kekuasaannya. Hingga menjelang akhir pemerintahan, SBY masih mengeluarkan kebijakan keuangan bagi MUI. Tiga hari menjelang berakhir masa tugasnya sebagai presiden, tepatnya 17 Oktober 2014, SBY masih mengumumkan Kepres tentang pendanaan MUI dari APBN melalui kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Agama.77

4.2 Konflik-Konsensus: “Inclusion Games” SBY-MUI

Sepanjang 10 tahun, SBY terlihat “patuh” pada MUI. Tekanan demi tekanan yang seharusnya sangat mudah diberangus mesin kekuasaan, di era SBY seolah-olah sulit dikendalikan. Jika dicerna, ini seperti sebuah “permainan” yang disengaja di antara upaya keduanya membangun negosiasi-negosiasi. Seperti apa permainan konflik konsensus SBY-MUI?

Fatwa haram pluralisme ternyata juga menyasar SBY. Tahun 2005, MUI melarang SBY menghadiri acara doa bersama kelompok non Muslim. Bukannya bersikap tegas, SBY malah mengeluh pada Gus Dur dan memintanya memonitor fatwa-fatwa MUI.78 Meski diwarnai ketegangan, pada tahun itu juga, SBY melalui Departemen Agama (Depag) membentuk tim penanggulangan radikalisme bersama MUI .79Pada tahun 2008, sesaat setelah SBY mengucapkan “bismalah” ketika meresmikan monumen Pekabaran Injil di Papua Barat, MUI mengeluarkan pernyataan yang menghina simbol negara, “tindakan SBY sama seperti mengucapkan “bismilah” sebelum mengkonsumsi narkoba”.80Tidak terlihat SBY mengambil tindakan luar biasa. SBY malah memenuhi undangan Munas ke VII MUI. Dalam pidato Munas itu, SBY mengapresiasi pameran makanan halal yang digelar MUI.81

Menarik bahwa, pada tahun itu, MUI melalui keputusan Ijtima’ Ulama tahun 2009, mengakui “Pancasila sebagai falsafah nasional dan Undang Undang Dasar 1945 merupakan upaya untuk melindungi keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan Kehidupan bersama (Majelis Ulama Indonesia, 2010: 783). Penegasan ini penting mengingat MUI sedang mewadahi ormas-ormas radikal yang secara pragmatikal mencita-citakan perubahan sistem negara dari demokrasi kepada sistem Islam.

Konflik kembali terjadi tahun 2010, ketika SBY menobatkan Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme. Kebijakan SBY mendapat kritik keras MUI yang menuding presiden melanggar fatwa haram pluralisme. Tahun 2012, MUI sekali lagi menegaskan bahwa SBY boleh menghadiri perayaan Natal tetapi tidak boleh mengikuti ritual Natal. “Kepatuhan” SBY terhadap pernyataan MUI, mempengaruhi sentimen publik terhadapnya. Hasil survey tentang presiden-presiden RI yang menghargai keberagaman yang dirilis tahun 2012 menempatkan SBY pada posisi terakhir kedua sebelum Soeharto.82

Tahun 2013, MUI, FPI dan ormas-ormas yang tergabung dalam FUI menekan SBY melarang konser Lady Gaga. Oleh MUI Lady Gaga difatwakan sebagai ikon pornografi, liberalisme dan iluminasi. FPI dan FUI bahkan menulis surat langsung kepada SBY hingga akhirnya konser Lady Gaga dibatalkan (Tempo, 3 Juni 2012). Sesudah memenuhi aspirasi MUI, FPI, HTI dan ormas-ormas yang tergabung dalam FUI, SBY menerima “penghargaan” dari MUI. Penghargaan yang tentu saja mahal, karena dengan memberi penghargaan itu, MUI melawan fatwanya sendiri. MUI mengapresiasi SBY atas penghargaan World Stateman Award (WSA) dari Apeal of Conscience Foundation (ACF) yang mengakui SBY sebagai tokoh pluralisme. Tahun 2012, MUI menyatakan SBY melanggar fatwa haram pluralisme karena menobatkan Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme; tahun 2014, MUI mengapresiasi SBY yang secara internasional dinobatkan sebagai tokoh pluralisme. Dukungan MUI sangat berarti bagi SBY, karena penghargaan ACF justru ditolak sejumlah elemen di tanah air sebagai reaksi terhadap diskriminasi terhadap 78 http://news.detik.com/berita/419115/ketua-mpr-tak-persoalkan-fatwa-mui-pengharaman-doa-bersama 79http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2005/11/27/3540/radikalisme-dan terorisme.html 80http://www.bringislam.web.id/2014/08/mui-keliru-jika-bismillah-diucapkan.html 81http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4678 82 http://www.arrahmah.com/read/2010/01/16/6629-sebut-gus-dur-bapak-pluralisme-sby-lecehkan-gus-dur.html

minoritas di tanah air. Di antara penolakan, surat terbuka Franz Magnis Suseno adalah yang paling menggemparkan.83

Bersama dengan penghargaan sebagai tokoh pluralisme, melalui sebuah forum formal tahun 2014, SBY meminta MUI lebih dominan menjaga kerukunan antar umat beragama. Permintaan yang disahuti MUI dengan janji akan memberi perhatian pada upaya perbaikan akhlak bangsa dan pengembangan ekonomi umat.84

4.3 Moderasi: Melunakkan yang Keras 4.3.1 Moderasi Aspirasi

SBY tidak dapat begitu saja mengabaikan aspirasi Islam. Tetapi fatwa MUI yang tidak mengenal pilihan selain “haram” atau “sesat” menyebabkan konten fatwa bisa menjadi keras bahkan sangat keras. Tetapi pemerintahan SBY perlu menanggapi dua hal serius yaitu bahwa fatwa telah menjadi landasan bagi aksi vigilante kelompok fundamental-radikal. Problemnya, negara tidak dapat menjalankan fatwa yang merupakan produk sipil selain alasan bahwa fatwa tidak dapat dimoderasi. Tidak ada pilihan bagi SBY, kecuali mengkonversi fatwa menjadi produk kebijakan negara dan atas cara itu aspirasi MUI dirumuskan lebih moderat.

Moderasi aspirasi tentang Ahmadiyah. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah intinya menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat dan berada di luar Islam. Tuntutan MUI kepada pemerintahan SBY adalah pemerintah harus membubarkan Ahmadiyah. Di luar MUI ada aspirasi yang juga keras, Ahmadiyah tidak boleh dibubarkan dan pemerintahan SBY harus melindungi hak-hak minoritas.

Melalui SKB Tiga Menteri, SBY melakukan softning, moderasi, memperlunak fatwa. Formulasi “sepanjang mengaku beragama Islam” sungguh memperlunak tuntutan Ahmadiyah sesat, bukan Islam dan di luar Islam. Meski karena formulasi ini, Ahmadiyah akhirnya sendiri memutuskan keluar dari Islam, jelas terlihat bahwa melalui SKB Tiga Menteri, SBY mengubah sekaligus memperlunak fatwa. Atau mengutip pernyataan Mohammad Atho Mudzhar, salah satu perumus SKB, “SKB Tiga Menteri merupakan bukti pemerintahan SBY tidak mengikuti fatwa MUI”.85

Moderasi aspirasi antipornografi dan pornoaksi. Fatwa yang didukung RUU APP produk MUI dan menjadi materi dasar pembahasan DPR-RI memuat formula-formula yang potensial mengeliminasi ekspresi-ekspresi masyarakat plural dalam tata busana,86

baik untuk upacara keagamaan, adat istiadat, pentas seni termasuk tata gerak, suara dan pemakaian khazanah rohani dan kesenian seperti patung; sebagaimana dirumuskan dalam draf,

“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” (Pasal 1 RUU APP).

Ini hanya salah satu pasal dari banyak pasal lain yang mencerminkan campur tangan publik yang terlalu jauh atas kehidupan privat warga, mengabaikan prinsip Bhineka Tunggal Ika, kriminalisasi dan penghinaan terhadap perempuan karena melihat perempuan seakan-akansebagaiperayu dan obyek seks dan juga memberi amunisi

83http://www.beritasatu.com/nasional/179376-sby-dianggap-gagal-jaga-keberagaman.html 84http://www.tribunnews.com/tag/franz-magnis-suseno

85 Wawancara dengan Prof. Dr. Mohammad Atho Mudzhar

86Busana perempuan dalam budaya Bali, busana masyarakat tradisional Papua atau busana artis di panggung Pentas terancam oleh RUU APP. Produk ini juga dipandang “memasung” kreativitas para seniman yang menghasilkan lukisan, pahatan atau patung telanjang. Demikian pula ekspresi seni pentas sebagaimana “goyang ngebor” Inul Daratista.

bagi perilaku anarkis dengan memperbolehkan setiap warga melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi (Perspektif Online, 31 Oktober 2008).

SBY, sekali lagi, menempuh “moderasi aspirasi” melalui akomodasi terbatas (minimal consensus) fatwa MUI. Setelah hampir 10 tahun perdebatan, DPR mengubah nomenklatur Rancangan Undang Undang Antipornografi dan Pornoaksi dengan singkatan RUU APP menjadi Rancangan Undang Undang Pornografi (RUU P) dengan menyisahkan hanya 30 dari 93 pasal (Jakarta Post, 2007); meski pada draf akhir saat pengesahan produk hukum dengan nomenklatur UU Pornografi ini memuat 45 pasal (Lindsey,2012). Walau tetap menyisakan perdebatan, UU Pornografi jauh lebih moderat dari fatwa dab RUU APP MUI.

4.3.2 Moderasi Institusi MUI

Moderasi merupakan kata yang sensitif dalam MUI, karena terma moderasi mengandung pengertian seakan-akan MUI tidak moderat. Meski memperdebatkan, MUI sebenarnya sejak lama melakukan persuasi agar tokoh-tokoh radikal menyelaraskan pandangannya dengan falsafah negara dan agar ormas fundamentalis seperti FPI menghindari anarki.

Secara umum, harus dikatakan bahwa upaya moderasi sebagaimana dimaksudkan MUI saat menetapkan kebijakan akomodasi “gagal”, karena kelompok ini ternyata tetap bergerak di luar koridor MUI. Pilihan MUI pada akhirnya adalah menghentikan keterlibatan tokoh-tokoh radikal dari kepengurusan MUI.87

SBY sendiri, sejak lama menghendaki perubahan dalam institusi MUI. Tahun 2005, SBY memberi pesan penting kepada MUI, :jangan ada kekerasan apapun dalam fatwa-fatwa MUI”. Dalam pertemuan formal tahun 2013, saat sejumlah pejabat MUI hadir di istana untuk mengapresiasi kebijakan SBY atas fatwa Ahmadyah, fatwa antipornografi, fatwa perbankan syariah, SBY menghimbau MUI agar tampil sebagai garda terdepan dalam pencegahan konflik. Tahun 2014, SBY sekali lagi meminta agar MUI lebih dominan menjaga kerukunan umat beragama. Meski tidak terdapat korelasi langsung, tetapi sejumlah pernyatan formal SBY terutama inklusi yang dilakukannya terhadap MUI secara inheren mengandung pesan-pesan moderasi dan transformasi.

Sepanjang SBY berkuasa, dua kali MUI melakukan pergantian kepengurusan dan persis di akhir pemerintahan SBY, MUI kembali membenahi kepengurusan. Pada awal pemerintahan SBY, tepatnya periode 2005-2010, MUI merekrut Adhian Hussaini, Hussein Umar, Muhammad al-Khatthath, Cholil Ridwan, Amin Djmaluddin dan Ismail Yusanto menduduki posisi penting. akomodasi ini dalakukan MUI bersama dengan kebijakannya mencopot tokoh-tokoh berpandangan liberal seperti Masdar Mas’udi dan Siti Musdah Mulia, seorang aktivis feminism dan hak asasi.88Sesuatu yang berbeda terjadi pada periode sesudahnya. Kecuali Adhian Hussaini yang sejak lama memutuskan untuk meninggalkan MUI setelah berbagai pandangannya tidak dapat diterima,89 MUI membersihkan tokoh-tokoh garis keras dari jabatan-jabatan kunci.

Perkembangan paling mengejutkan dari perombakan kepengurusan MUI terjadi pada akhir pemerintahan SBY. MUI 2015-2020 merekrut sejumlah tokoh berpandangan

87Wawancara dengan Dr. Mafri Amir

88Langkah ini diambil MUI untuk melindung diri dari pengaruh ideologi yang mereka anggap menyimpang termasuk untuk melaksanakan fatwa haram sekularisme dan liberalisme yang telah diterbitkasn (Ichwan, 2014: 107-108).

89Dalam kedudukannya sebagai Wakil Ketua Komisi Hubungan Antar Agama, Adhian Hussaini memang dikenal sangat anti dialog. Ia misalnya menolak masuk ke dalam Gereja jika ada kunjungan forum dan enggan menghadiri rapat-raapat yang menyertakan tokoh agama bukan Islam. Wawancara dengan Dr. Mafri Amin.

progresif liberal.90 Ini mengejutkan karena pada tahun 2005, MUI telah mengeluarkan rekomendasi yang menegaskan bahwa “kepengurusan MUI hendaknya bersih dari unsur aliran sesat dan faham yang dapat mendangkalkan aqidah (Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI, 2005: 90). Paham yang dapat mendangkalkan aqidah di tahun-tahun itu antara lain adalah paham progresif liberal yang oleh MUI difatwakan haram.

Melalui SK No.359/MUI/IX/2015, MUI masa khidmat 2015-2020 mengakomodasi tokoh-tokoh yang berpandangan maju bahkan sangat maju, meski mereka tidak menyebut diri dan tidak mau disebut progresif-liberal.91 Azyumardi Azra, Rektor UIN (Universitas Islam Negri) Jakarta dan Ketua Yayasan Wakaf Paramadina adalah salah satu yang direkrut. Dalam berbagai kesempatan terutama melalui tulisan-tulisannya, ia terang-terangan menolak penerapan syariah dan mempromosikan Islam yang toleran, inklusif, modern, kompatibel dengan demokrasi. Mengeritik komodifikasi Islam melalui perbankan syariah, ONH-Plus atau bimbingan keagamaan instan melalui SMS, Azyumardi menegaskan bahwa komodifikasi Islam membuat kehidupan keIslaman kelihatan penuh syiar dan kemeriahan, tetapi dapat membuatnya dangkal karena bergerak mengikuti kemauan pasar (Republika, 11 September 2008).

Abdul Moqsith Ghazali, pentolan JIL yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Katolik Driyarkara Jakarta. Ia lahir dari tradisi NU dan sejak lama mengenal pemikiran Abdurrahman Wahid. Kesibukan koordinator JIL ini antara lain sebagai peneliti The Religion Reform Project (RePro) Jakarta, peneliti Wahid Institut Jakarta, Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar PP Lakpesdan NU Jakarta, fasilitator serta narasumber Gender, HAM dan pluralisme; selain sebagai dosen Universitas Islam Negri (UIN) Sayfullah Hidayat, Ciputat. Mendorong demokratisasi ia memandang perlu dilakukan revisi kurikulum pendidikan agar lebih toleran pada agama lain. Di ranah kultural, ia mengharapkan sebuah mekanisme kebudayaan yang bisa memerangi ketegangan antar umat beragama. Ia juga memandang penting keterlibatan dalam dunia politik untuk ikut memberi andil dalam perumusan regulasi yang mengedepankan pluralisme dan toleransi. Moqsith merupakan salah satu tim penyusun CDL KHI (Counter Draft Legal Kompilasi Hukum Islam) yang banyak mengecewakan kelompok Islam karena berjuang menolak pasal-pasal syariah.

Syafiq Hasyim. Peraih doktor dari Freie Universitat Berlin, Jerman ini menduduki jabatan Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama (KAUB) MUI. Melalui disertasinya “Council of Indonesian Ulama (MUI) and its Role in the Shariatisation of Indonesia” ia sangat kritis menilai fatwa-fatwa MUI. Usai pengangkatannya sebagai pejabat MUI, mantan Rais Syuriah PCINU Jerman ini menaruh banyak harapan transformatif serta mendorong MUI mengemban cita-cita Islam Nusantara dan Islam berkemajuan. Ia misalnya, berharap agar MUI tidak mempengaruhi negara memperlakukan penganut Syah dan Ahmadiyah sebagai second citizen. Syafiq Hasyim juga berharap terjadi softning (penghalusan) atas fatwa-fatwa MUI agar dapat menghargai hak-hak minoritas (Madina Online, 3 September 2015).

4.3.3 Moderasi Islam Tak Terlembaga

90Perkembangan ini tentu saja tidak terlepas dari dinamika MUI sendiri, selain dinamika dua ormas paling berpengaruh di dalam MUI yaitu NU dan Muhammadiyah yang secara internal mengalami perang wacana-wacana keIslaman khususnya di antara kelompok tradisionalis dan kelompok modernis

91Sejumlah narasumber yang mengenal secara pribadi beberapa tokoh yang secara publik dikenal progresif mengatakan bahwa meski berpandangan maju, mereka tidak ingin dikelompokkan sebagai progresif liberal.

Di tengah menguatnya radikalisme, moderasi sebetulnya merupakan upaya softning (pelembutan) atas cara menghayati agama. Ini penting karena moderasi berarti “quality of being moderate and avoiding extremes”, atau “lessening severity or intensity“, atau “change for the better”.92Ketiganya sama-sama menjelaskan moderasi sebagai upaya mengurangi dan menghindari intensitas ekstrim untuk mencapai hal yang lebih baik. Moderasi, dengan begitu, lebih berurusan dengan langkah antisipatif yaitu bimbingan atas cara memahami dan menghayati ajaran dan bukan isi ajaran itu sendiri.

Perlu dibedakan upaya MUI melakukan moderasi dengan program deradikalisasi sebagai sikap MUI terhadap karakter radikal yang telah mewujud menjadi terorisme, ekspresi-ekspresi serta bahaya-bahayanya. Sikap MUI yang ternyata mendapat kritik pedas. Abu Jibril, Wakil Amir Majelis Mujahiddin, menganalogikan deradikalisasi yang dilakukan MUI bersama negara melalui BNPT (Badan Naasional Penanggulangan Terorisme) sebagai politik “belah bambu” untuk memecah belah Islam.93 Ketua FPI, Habieb Rizieq mempersoalkan program deradikalisasi karena hanya menyasar kalangan Islam. Ia juga menyerukan untuk waspada terhadap jendral “Kristen radikal” Gories Mere dan Petrus Reinhad Colosse yang disebutnya antek asing.94 Sementara politisi parlemen, Ahmad Yani, meyakini bahwa deradikalisasi merupakan proyek yang dibekingi Yahudi internasional.95

Terhadap radikalisme dan terorisme, sikap MUI sejak awal tegas menolak. Tahun 2004, MUI mengeluarkan fatwa terorisme yang pada prinsipnya menyebut terorisme sebagai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban, menimbulkan ancaman serius pada kedaulatan negara, membahayakan keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan. Terorisme, sebagaimana dijelaskan dalam fatwa, merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), bersifat transnasional, tanpa aturan dan tanpa batas sasaran.96 Mendukung peran MUI menolak terorisme, November 2005 pemerintahan SBY menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 546/ 2005 tentang pembentukan Tim Penanggulangan Terorisme (TPT) yang dipimpin MUI.

Sepuluh tahun sesudah fatwa terorisme, tepatnya tahun 2014 yaitu ketika teror ISIS meluas, MUI mengeluarkan empat pernyataan resmi. Pertama, ISIS adalah gerakan radikal yang mengatasnamakan agama Islam, tetapi tidak mengedepankan rasa kasih sayang dan pengampunan terhadap sesama umat Islam sendiri. Kedua, organisasi dan institusi Islam di Indonesia harus menolak kehadiran ISIS karena berpotensi memecah belah umat Islam di Indonesia serta mengganggu kedaulatan NKRI. Ketiga, menekankan kepada seluruh umat Islam Indonesia agar tidak mudah dihasut oleh ajaran ISIS yang beredar. Keempat, mendukung pemerintah untuk memberikan hukuman yang tegas sesuai undang-undang terhadap semua orang yang memiliki keterkaitan dengan jaringan dan aktivitas terorisme di Indonesia.97

Moderasi sebagai istilah, menurut Ahmad Ridho, sebenarnya merupakan upaya softning (pelembutan) pemahaman keIslaman agar tidak menjadi terlalu ke kanan (fundamental-radikal) atau ke kiri (progresif liberal). Ini perlu disadari karena Islam adalah sebuah jalan tengah atau jalan moderat. MUI telah memulai langkah moderasi sejak tahun 2005. Usai bertemu Wapres Jusuf Kalla untuk mengklarifikasi pernyataannya tentang 92 http:/www.artikata.com 93http://gurubesar-yaibad.blogspot.co.id/2012/01/proyek-deradikalisasi.html 94http://rangviikoto.blogspot.co.id/2013/01/masih-adakah-teroris.html 95http://gurubesar-yaibad.blogspot.co.id/2012/01/proyek-deradikalisasi.html 96http://mui.or.id/

97Majelis Ulama, press release, “Pernyataan Sikap Resmi Sikap FU-MUI tentang ISIS”, 7 Agustus 2014

pembatasan ruang gerak sejumlah pesantren, delegasi MUI yang terdiri dari Sekretaris Umum Ichwan Sam bersama para Ketua MUI yakni Amidhan, Umar Shihab, dan Nazri Adlani berjanji akan melakukan sosialisasi pengajaran Islam yang benar melalui