• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meneropong Kekuasaan SBY, Mengeritik Demokrasi

MUI, Fatwa dan Benturan Sosial Politik

1. Meneropong Kekuasaan SBY, Mengeritik Demokrasi

1. Meneropong Kekuasaan SBY, Mengeritik Demokrasi

Pemerintahan SBY disebut sebagai pemerintahan paling demokratis dan stabil di antara pemerintahan era reformasi berdasarkan pencapaian indeks demokrasi menurut standar Freedom House yakni kebebasan pers, equality before the law dan indeks partisipasi dalam pemilu demokratis, hak memilih dan dipilih. Sepanjang 10 tahun berkuasa pemerintahan SBY juga sangat terbuka terhadap aspirasi sipil sehingga tidak mengalami gejolak politik luar biasa.

Tetapi indeks demokrasi tidak dapat diukur secara pukul rata, tanpa melihat konteks sosial politik dimana demokrasi diterapkan (civic culture) terutama konteks pluralisme. Liddle dan Mudjani membuktikan dalam kajian kuantitatif bahwa demokrasi paling dihambat di tengah masyarakat heterogen dengan kelompok mayoritasnya intoleran. Pengalaman politik Indonesia pada awal perumusan nation state dengan pertentangan sangat tajam antara kelompok nasionalis agama dengan nasionalis sekular, sebagian menunjukkan kuatnya pengaruh Islam sebagai kultur politik terhadap kegagalan transisi menuju demokrasi (2000).

Ini membenarkan kritik aterhadap demokrasi sebagai sistem gagal, ketika demokrasi yang sejak awal dipopulerkan para pengagumnya sebagai ruang negosiasi untuk memenangkan kepentingan bersama, dalam perkembangan kontemporer ternyata mengutamakan kehendak yang kuat. Sejak Robert Dhal secara serius melakukan intervensi pemikiran terhadap demokrasi sebagai “ruang sakral” untuk membangun konsensu-konsensus ia dengan jelas melihat terjadinya desakralisasi demokrasi, yaitu bahwa demokrasi tidak dapat diharapkan sebagai penghasil keputusan yang benar. Dalam kondisi tertentu kaidah mayoritas kebih besar kemungkinannya dibandingkan dengan yang lain untuk menghasilkan keputusan yang benar(Dahl, 1991).

Winston Churchill sejak lama mengkritik demokrasi setelah ia sendiri mempraktekkannya. Menurut Churchill. Dalam pidato di hadapan Majelis Perwakilan Rendah Inggris, 11 November 1947 Churcill mennegaskan, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk, tetapi yang paling baik di antara semua semua bentuk pemerintahan yang pernah dicoba dari masa ke masa”. Kritikan ini sesungguhnya hanya menegaskan apa yang sejak awal dikhawatirkan ketika demokrasi sejak diprkatekkan di polis Athena telah meminggirkan hak-hak minoritas yaitu anak-anak, kaum wanita. Dalam demokrasi modern, apa yang disebut konsensus, sebagian besar ditentukan oleh mayoritas atau kelompok warga dengan asesibilitas memadai baik sosial, politik, kapital maupun media. Padahal yang lebih banyak tidak selalu yang lebih baik. Rakyat yang mana dan kepentingan siapa yang mendapat tempat dalam demokrasi modern? Demos yang ditunjuk dalam demokrasi adalah kelompok terbatas dan bukan rakyat dalam pengertian sebuah keseluruhan (Bentham, 1991).

Dialektika demokrasi modern dalam di tengah civic culture yang paling mengemuka di Indonesia pada era SBY adalah ketika World Stateman Award (WSA) dari Apeal of Conscience Foundation (ACF) pada tahun 2014 menobatkan SBY sebagai tokoh pluralisme yang disambut penolakan berbagai elemen prodemokrasi di antaranya surat kawat Franz Magnis Suseno (Tempo, 9 Juni 2013). SBY, menurut elemen-elemen pluralis prodemokrasi tidak pantas menerima penghargaan itu berkenaan dengan berbagai persoalan anti pluralisme dan kekerasan terhadap agama yang mengemuka di Indonesia. Penolakan ini sebenarnya merupakan puncak dari kekecewaan terhadap sikap lemah pemerintahan SBY. SBY merupakan pemerintahan yang sangat akomodatif terhadap aspirasi mayoritas, giat membangun konssensus bersama kelompok-kelompok dengan

identitas kuat yaitu Islam, tetapi sikap itu tidak dibarengi dengan ketegasannya untuk membuat bangsa ini bersikap positip terhadap minoritas.

pemerintahan SBY mengabaikan prasyarat normatif dalam membangun konsensus yaitu terabaikannya prinsip kebhinnekkan sebagaimana diamanatkan UU No. 10 tahun 2004.. Diskriminasi terhadap minoritas agama merupakan catatan utama pemerintahan demokratis SBY. Demokrasi seakan-akan berarti membiarkan warga berpacu di arena balapan, sebagaimana digambarkan salah satu petinggi MUI,

“Biasa aja. Kalau mereka (mayoritas, Islam) berhasil mendapatkan peluang untuk memperjuangkan nilai-nilai agama itu kan sebuah keberhasilan. Ibarat balapan kenapa anda tidak ngegas? Demokrasi itu gas yang kencang, lari! Mana ada demokrasi di dunia yang nahan-nahan diri. Mobil yang cc-nya besar, ya larinya juga kencang”101

Kritik terhadap pemerintahan demokratis SBY, yang dalam praktek diwujudkan melalui pemerintahan inklusif atau (open government) adalah ketika negara gagal mengakomodasi semua elemen dan justru menghadirkan diri sebagai instrumen bagi kelompok kuat melakukan ketidakadilan dan penindasan terhadap minoritas. Kritik yang paling kuat dilancarkan terhadap praktek demokrasi era SBY adalah inklusi dan akomodasi yang menyebabkan upaya membuat Islam semakin selaras dengan demokrasi mencapai titik kritis dan berbalik menjadi tirani mayoritas.

Demokrasi sering memadamkan proses politik politik dan cenderung menyadarkan diri pada konsensus dengan menaruh kepercayaan sepenuhnya pada suara terbanyak. Praktek demokrasi seperti in dikritik Goenawan Mohamad yang melihat praktek seperti itu sebagai tidak memiliki itidak membuka diri pada alternatif-alternatif baru. Atas cara ini, Barack Obama terkurung oleh sikap mayoritas pemilih yang tidak menginginkan perubahan-perubahan besar. Di bawah tekanan mayoritas, Obama tampil sebagai “pembangun consensus daripada mendengarkan suara-suara yang menghendaki perubahan (Mohammad: 2011).

Pemerintahan demokratis dengan akomodasi tanpa prosedur ketat, sering menabrak prinsip yang seharusnya mengawal batas-batas demokratis. Dalam negara demokratis agama adalah urusan privat dan negara menjamin kebebsan dalam ekspresinya. Dengan melakukan akomodasi fatwa, apalagi mengkonversinya menjadi produk hukum dan lebih lagi mengutamakan kehendak mayoritas, pemerintahan SBY yang menggaungkan ketaatan konstitusional justru menabrak konstitusi. Ekspresi keagamaan yang menurut prinsip demokrasi menjadi urusan privat dicengkram negara. Pemerintahan SBY mencampuri sangat jauh hak-hak privat warga. (Van Zorge Report, January 29, 2008).

4.KESIMPULAN

Sebagai mayoritas dengan sejarah depolitisasi atau lebih luas de-Islamisasi yang panjang, Islam Indonesia terus berjuang memperkuat identitas sosial dan politik sebagai mayoritas berpengaruh. Sikap rezim, sangat menentukan wajah Islam Indonesia yang direpresentasi oleh simbol-simbolnya terutama MUI. Sejarah peminggiran telah menjadikan Islam sebagai sebuah isu yang sensitif, tidak saja dalam hubungan Islam dan negara tetapi dalam konteks negara secara menyeluruh. Pengakuan akan tempatnya sebagai mayoritas tanpa menghilangkan identitas Indonesia sebagai negara demokrasi, menjadi penting untuk mengembalikan wajah Islam yang ramah, plural, toleran dan demokratis. Daripada memandang sebagai musuh, mengelola Islam (managing Islam) sebagai aset nampaknya lebih produktif untuk membawa Islam menjadi selaras dengan demokrasi.

Pilihan mengelola Islam, bukan tanpa resiko bagi demokrasi. Negara sebagai pemilik monopoli kekuasaan, pada konteks-konteks tertentu tidak selalu dapat weujudkan kekuasaan secara linear. Tantangan demokrasi modern, yang sekaligus merupakan kritik terhadapnya- adalah ketika dari satu pihak negara harus bersikap adil terhadap semua, pada saat yang sama ia diharuskan menurunkan standard-standard baku demokrasi seperti prinsip pluralisme dan kesejajaran hak-hak sipil atau kemutlakan ideologi. Di tengah menguatnya kebebasan terutama kebebasan menyatakan hak-hak sipil, demokrasi perlu menempuh langkah toleransi dan akomodasi dengan resiko yang tidak dapat dibantah yaitu pengarusutamaan kelompok kuat dan peminggiran yang lemah.

Pemerintahan SBY bertaruh dalam dilema seperti ini. Meski demokrasi sering mengecewakan, pemerintahan SBY nampaknya mengambil “jalan bersiko demokrasi” dengan meletakkan radikalisme sebagai aspirasi sipil. Dengan memamakai instrumen sipil yaitu MUI, pemerintahan SBY memberi ruang kepada kaum radikalis melakukan negosiasi dan membuat konsensus, yang terbukti tidak selaras bahkan menciderai demokrasi. Kultur KeIslaman SBY yang moderat dan kebijakan inklusi melalui MUI dengan mengakomodasi elit dan berbagai aspirasi memang membawa bangsa ini sedikit dapat “berdamai” dengan Islam radikal, dan demokrasi yang cukup stabil. Tetapi untuk itu, demokrasi telah merampok hak-hak minoritas, mengabaikan realitas plural serta multikultural. Bersama dengan itu persekusi, vigilante, kekerasan merefleksikan bahwa demokrasi, dalam konteks tertentu dapat menjadi ajang bagi warganya untuk berperang dan saling melukai.

Era SBY dan pilihan mengelola Islam menjadi catatan sejarah bahwa Indonesia telah mengambil salah satu dari sekian banyak cara menghadapi radikalisme Islam. Seperti kritik terhadap demokrasi Barat dimana pencapaian demokrasi hanya ditakar berdasarkan indeks keterbukaan terhadap negosiasi dan konsensus, pemerintahan SBY dipandang tidak demokratis ketika upayanya menerima aspirasi kelompok mayoritas dan kelompok kecil “bersuara kuat” telah menyebabkan bangsa ini tidak bersikap positip terhadap minoritas

Moderasi dan promosi demokrasi perlu menjadi agenda bersama untuk mengembalikan Islam Indonesia yang selalu tersenyum. “Bergerak tanpa henti untuk menemukan format yang lebih ramah, terbuka, inklusif, moderat dan modern” (Buya Ahmad Syafii Maarif).

5.DAFTAR PUSTAKA A.Buku

Beetham David. 1993. Liberal Democracy and Limits of Democratizations. In David Held (Ed.). Prospects for Democracy: North, South, East, West, Cambridge: Polity Press

Bush, Robin.and Munawar-Rachman Budhy. 2014. NU and Muhammadyah: Majority Views on Religious Minorities in Indonesia. In Bernhard Platzdasch & Saravanamuttu Johan (Ed.). Religious Diversity in Muslim-Majority States in

Southeast Asia, Areas of Tolerantion and Conflict (16-50), Singapore: Institute

of Southeast Asian Studies.

Dahl, Robert. 1991. Polyarchy: Participation and Opposition, New Haven, CT: Yale University Press

Esposito, L. and Kalin, Ibrahim. 2009. The 500 Most Influential Muslims in The World, Washington: The Royal Islamic Strategic Studies Centre

Hefner, W.Robert. 1996. Islamizing Capitalism: On the founding of Indonesia’s First Islamic Banck. In Toward a New Paradigm: Recent Developments in Indonesian Islmaic Thought, Tempe: Programme for Southeast Asian Studies, Arizona State University.

Human Rightes Resource Centre. 2015. Keeping the Faith: A Study of Freedom of Thought, conscience and religion in Asean, 47.

Ichwan, Moch. Nur. 2014. Menuju Islam Puritan: Majelis Ulama Indonesia dan Politik Ortodoksi Keagamaan.Dalam Martin van Bruinessen (Ed.). Concervatif Turn: Islam Indonesia Dalam Ancaman Fundamentalisme (101-156), Bandung: Mizan Media Utama.

Jones, Sidney. 2013. Indonesian Government Approaches to Radical Islam Since 1998. In Mirjam Kunkler and Alfred Stepan (Eds.).Democracy and Islam in Indonesia (109-125), New York: Clumbia University Press.

Mohamad, Goenawan. 2011. Demokrasi dan Kekecewaan, Jakarta: Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi

Platzdasch, Bernhard. 2009. Islamism in Indonesia: Politics in the Emerging Democracy, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies

Sasaki Takuo . 2010.The Politics of Moderate Islam: From The Rise of Yudhoyono to The Ahmadiyah Decree. In Ota Atsushi, Okamoto Masaaki and Ahmad Suaedy (Eds.). Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia.(256-279),Jakarta: Wahid Institute

Rozaki, Abdur. 2010. The Pornography Law and the Politics of Sexuality. In Ota Atsushi, Okamoto Masaaki & Ahmad Suaedy (Eds.). Islam in contention: Rethinking Islam and State in Indonesia.(122-135),Jakarta: Wahid Institute

B.Jurnal:

Geertz, Clifford. 1984. “Distingiuished Lecture: Anti Anti-Relativism”. American

Anthropologyst 86 (2):263-277

Hefner, Robert W. 2002. “Global Violence and Indonesian Muslim Politics”.Jorunal of American Anthropological Asociation, 104 (3).

……… :2008. “Islam in Indonesia Post Soeharto: the Struggle for the Sunni

Center”. Academic Research Library

Liddle, R. William. 2000. “Indonesia in 1999: Democracy Restored”. Asian Survey 40, No. 1, 32-42

C.Artikel:

Su’adi, Ahmad . Agama Sebagai Permainan Politik

……… Refleksi 10 tahun Reformasi Pluralisme Pasca Reformasi Indonesia: Tantangan dan Arah Baru.

……… RUU Kerukunan Antar Umat Beragama vs Menjamin Kebebasan Beragama atau Kepercayaan Dalam Debat Publik Indonesia

D.Dokumen-Dukumen