• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama dan Perspektif Psikologi

Agama dalam sosoknya sebagai teologi atau seperangkat ajaran-keyakinan yang eksklusif, cenderung bersikap curiga terhadap psikologi. Oleh karena itu, ketika memaknai ilmu pendidikan agama sebagai ilmu lintas disiplin pun, yang disebut sebagai ilmu-ilmu jaringannya hanyalah teologi, sosiologi, liturgi, dan komunikasi; tidak termasuk psikologi (Adisusanto, 2000).

Psikoanalisis klasik Sigmund Freud memang cenderung melecehkan agama, dengan menyebutnya sekadar hasil reka-an hasrat dreka-an keinginreka-an mreka-anusia yreka-ang lemah dreka-an kerdil, se-buah proyeksi kekanak-kanakan, bahkan ilusi (Elias, 1979). Namun, psikologi bukan hanya psikoanalisis klasik. Di antara psikologi-psikologi yang menaruh perhatian pada agama, dapat dibedakan (Carter, 1991): (1) yang melawan agama (psychology against religion), seperti psikoanalisis klasik Sigmund Freud dan psikologi rasional-emotif Albert Ellis; (2) yang mengakui

agama (psychology of religion), seperti psikologi analitis Carl Jung dan psikologi sosial Erich Fromm; (3) yang berkoeksistensi

atau bersikap netral terhadap agama (psychology parallels religion), seperti psikologi F. Thorne; dan (4) yang lebur dengan

agama (psychology integrates religion), seperti psikologi Viktor Frankl dan psikologi Gordon Allport. Psikologi kategori kedua dan keempat sangat bersahabat dengan agama dan mem-punyai banyak gagasan yang dapat disumbangkan untuk pendidikan agama. Masalahnya, semua psikologi berangkat dari pandangan naturalistik tentang manusia dan agama. Maksudnya, pengalaman keagamaan dipandang lebih sebagai pengalaman manusiawi semata, bagian lumrah-wajar dari kodrat manusia yang tidak terlepas dari berbagai hukum pertumbuhan-pematangan. Namun, justeru dalam perspektif psikologis inilah, agama dan pendidikan agama dapat ber-kembang dan diber-kembangkan ke arah perjumpaan inklusif dalam konteks pergaulan agama-agama.

Psikologi, kendati menyadari perbedaan antara iman se-bagai pengalaman keagamaan dan agama sese-bagai institusi atau ungkapan iman, agaknya lebih tertarik untuk berbicara tentang agama sebagai iman. Iman yang dalam perspektif teologis agama-agama merupakan tanggapan manusia ter-hadap Allah yang mewahyukan diri (Jacobs, 2000), dalam bahasa psikologi menjadi penghayatan manusia atas suatu kebenaran mendalam kendati tak dapat dibuktikan oleh akal (Erik Erikson, dalam Elias, 1979), atau cara manusia mem-berikan makna terhadap berbagai kondisi kehidupan dalam kaitannya dengan gambaran tentang suatu lingkungan akhir (James Fowler, dalam Supratiknya, 1996). Menurut perspektif psikologi, iman bersifat universal dan memiliki dimensi sosial-relasional yang bersifat triadik atau bertiga serangkai, meliputi kepercayaan dan kesetiaan manusia terhadap diri, sesama dan terhadap pusat nilai dan kekuasaan akhir yang dalam bahasa teologis adalah Tuhan atau Allah.

Selanjutnya menurut Fowler, sebagai cara memaknai dunia yang bersifat triadik, iman meliputi tujuh aspek operasi atau fungsi, yaitu: (1) bentuk logika atau pola penalaran-penilaian; (2) pengambilan peran atau kemampuan me-ngambil perspektif sosial yang berbeda dari perspektif pribadi; (3) bentuk pertimbangan moral; (4) batas-batas kesadaran sosial yang menopang rasa identitas diri serta tanggung jawab sosial; (5) tempat otoritas, yaitu pribadi, gagasan, atau pranata yang diakui dan dipakai sebagai sumber otoritas dalam mem-pertimbangkan arti dan nilai; (6) bentuk koherensi dunia, yakni gambaran komprehensif tentang dunia, hidup, dan lingkungan akhir yang memberikan koherensi dan rasa ber-makna yang menyeluruh; serta (7) fungsi simbol, yakni daya afektif-kognitif imajinasi yang mengintegrasikan seluruh aspek pengenalan iman.

Masih menurut Fowler, sebagai salah satu aspek ke-pribadian, iman mengalami perkembangan secara bertahap seiring dengan perkembangan aneka aspek kepribadian lain-nya. Dalam seluruh rentang hidupnya mulai masa kanak-kanak sampai dewasa, manusia akan mengalami tujuh tahap perkembangan iman mulai dari tahap iman yang belum ter-diferensiasi di masa bayi ketika benih kepercayaan, keberani-an, harapan dan cinta masih tercampur aduk; melewati tahap kepercayaan sintetis-konvensional pada usia remaja ketika kepercayaan masih bersifat implisit, belum direfleksikan secara kritis, dan didasarkan pada kesetiakawanan, kesetia-an, dan kepatuhan pada tokoh yang dikagumi maupun mayoritas kaumnya; sampai ke tahap iman yang mengacu pada universalitas dalam masa dewasa saat individu mampu melepaskan diri dari ego dan aneka pusat nilai serta kekuasa-an ykekuasa-ang fkekuasa-ana-relatif untuk berserah diri sepenuhnya kepada

pusat nilai dan kekuasaan yang mutlak abadi nan tunggal, ialah Tuhan atau Allah sendiri.

Menurut Fowler, rangkaian tahap itu bersifat invarian alias tetap-ajeg dan harus dilalui satu demi satu. Setiap tahap baru membawa peningkatan atau pemekaran dalam ketujuh aspek operasi ke arah semakin matang, yakni: (1) memiliki keleluasaan yang semakin besar dalam melakukan penalaran (bentuk logika); (2) semakin tepat dalam mengambil pers-pektif orang lain dan menyelaraskannya dengan perspers-pektif pribadi yang semakin mengarah ke luar (pengambilan peran); (3) memiliki logika yang semakin kompleks dan semakin komprehensif dalam penalaran moral (bentuk penilaian moral); (4) semakin luas dan inklusif memperhitungkan ke-pentingan dan eksistensi yang lain dalam menyusun pers-pektif norma pribadi (batas kesadaran sosial); (5) semakin mandiri dan objektif dalam mempertanggungjawabkan pembenaran atas pandangan iman berikut aneka konsekuen-sinya dalam pola hidup dan pelibatan diri (tempat otoritas); (6) semakin meningkatnya tanggung jawab pribadi dalam membentuk sistem gambaran dan sistem nilai yang mem-berikan kesatuan dan koherensi yang semakin utuh-integral pada dunia makna pribadinya (bentuk koherensi dunia); serta (7) semakin mampu (secara kualitatif) memilih dan mengembangkan kesadaran serta pelibatan diri menyangkut simbol-simbol yang dipakai sebagai sarana untuk meng-ungkapkan, membangkitkan, dan membaharui iman pribadi (fungsi simbol).

Pandangan konstruktivis-strukturalis tentang iman ini, melihat bahwa iman adalah upaya manusia secara aktif meng-konstruksi dan meremeng-konstruksi realitas lewat interaksi dengan dunia. Selain itu, pandangan ini mengutamakan pola

pemaknaan hidup yang dianggap mengalami perkembangan ke arah semakin masak-inklusif (bandingkan Kauffman, 1987), Tentu saja, pandangan konstruktivis–strukturalis ini terasa asing bagi perspektif teologi agama-agama yang cenderung memaknai iman sebagai sesuatu yang diwahyukan, bersifat tetap-terberi, dan mendahului kehidupan itu sendiri (bandingkan Elias, 1979; Thomas, 1988). Namun, sekali lagi, dalam konteks perjumpaan agama-agama, perspektif psikologis inilah yang justeru memberikan peluang dan jalan ke arah kehadiran iman sebagai daya yang sungguh-sungguh me-muliakan dan mempersatukan kehidupan.