• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumbangsih Pendidikan Sekolah

Untuk membentuk kaum muda menjadi manusia-manusia yang siap memasuki dunia kehidupan baru pada abad ke-21, pendidikan sekolah perlu berusaha keras menempuh

strategi dan langkah-langkah yang pernah disarankan oleh sejumlah pakar (Soedjatmoko, 1993; Mangunwijaya, 1997) sebagai berikut. Cara atau praksis pendidikan haruslah bersuasana mengakui dan menerima individualitas peserta didik dan mampu merangsangnya untuk berpikir sendiri se-cara kritis. Hal ini berarti bahwa para pendidik harus cukup terbuka dan leluasa untuk menyesuaikan bahan dan metode pembelajarannya sesuai kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Artinya terdapat, pluralisme dalam pola pendidikan. Praksis pendidikan juga harus mencakup pengembangan motivasi dan pengembangan karakter. Artinya, pendidikan terus menumbuhkan kemauan dan kemampuan peserta didik untuk belajar, jauh lebih kaya dari sekadar pengalihan aneka pengetahuan dan keterampilan. Praksis pendidikan juga harus mampu menciptakan jiwa terbuka, meliputi jiwa eksploratif yang selalu haus mencari dan bertanya, jiwa kreatif yang tidak suka terikat pada pola lama bahkan suka mencipta sendiri pola-pola baru secara inovatif, dan sikap integral atau keasadaran bahwa kehidupan ini bersifat multi-dimensional penuh dengan berbagai kemungkinan dan alternatif.

Untuk mewujudkan aneka tujuan tersebut secara se-dikit lebih operasional, tidak ada salahnya kita menimba inspirasi dari apa yang kini dikenal sebagai usulan Paideia

(Adler, 1992). Aslinya, gagasan ini dimaksudkan sebagai usul-an perbaikusul-an pendidikusul-an dasar meliputi isi kurikulum dusul-an metode pembelajarannya yang mencakup rentang waktu dua belas tahun, jadi setara dengan jenjang SD sampai SLTA kita, pada sistem pendidikan di Amerika Serikat dalam dasa warsa delapan puluhan. Paideia berasal dari kata Yunani yang berarti pembelajaran humanistik umum, yakni pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh seluruh umat manusia.

Dengan demikian, yang terpenting untuk menghadapi dunia baru pada abad ke-21 adalah dikembangkannya berbagai kemampuan dan kearifan dasar manusiawi kita sehingga terampil membuat pilihan-pilihan dan tidak mudah gumun

atau bengong-heran menghadapi aneka kemajuan yang di-hasilkan oleh teknologi super canggih.

Untuk membentuk pribadi yang cerdas, berwatak, dan arif, sekolah harus memperhatikan hal-hal berikut. Pertama-tama pendidikan sekolah harus benar-benar mampu membekali kaum muda dengan pengetahuan yang luas dalam tiga bidang, yaitu: (1) bahasa, kesusastraan, dan kesenian; (2) matematika dan ilmu pengetahuan alam; (3) sejarah, geografi, dan ilmu pengetahuan sosial.

Kedua, pendidikan sekolah juga perlu mengembangkan keterampilan intelektual sehingga kaum muda benar-benar mampu mengolah dan menerapkan pengetahuannya yang luas itu untuk menghadapi aneka tugas dan tantangan nyata dalam kehidupan. Keterampilan intelektual ini meliputi tiga bidang, yakni: (1) keterampilan bahasa yang sangat diperlu-kan untuk berpikir dan berkomunikasi, seperti membaca dengan pemahaman, menulis dengan jelas, mendengarkan dengan seleksi dan diskriminasi, berbicara dengan tepat dan jelas, menerapkan pengetahuan yang sudah dimiliki pada hal-hal baru lewat berpikir kritis; (2) keterampilan matematis dan ilmiah, mencakup kecakapan melakukan pengamatan, pengukuran, membuat estimasi dan melakukan perhitungan mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks secara benar; dan (3) keterampilan menggunakan teknologi, seperti komputer dan aneka piranti ilmiah-canggih lain secara benar dan bermanfaat. Ketiga, untuk membentuk pribadi yang selain cerdas dan terampil juga arif, berbudi, dan bercita rasa tinggi;

pendidikan sekolah juga perlu menolong kaum muda mem-perluas pemahaman mereka tentang aneka gagasan atau pemikiran dan nilai-nilai kemanusiaan lewat diskusi tentang buku-buku sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat, sastra, maupun seni lainnya seperti musik, seni rupa, teater, film, dan sebagainya.

Selain itu, sebagaimana ditengarai oleh Goleman (1996), kaum muda sekarang banyak mengalami kesulitan emosional berupa rasa kesepian dan pemurung, sikap berangasan dan kurang menghargai sopan-santun, mudah gugup dan cemas, serta cenderung impulsif dan agresif. Bisa diduga kesulitan itu akan semakin meningkat di kalangan kaum muda abad ke-21 manakala problema hidup yang mereka hadapi juga semakin kompleks. Karena ternyata fungsi emosi sangat me-nentukan intelek dalam membuat pilihan dan keputusan secara arif dan tepat, maka pendidikan sekolah pun tidak bisa menghindarkan diri dari kewajiban untuk memberikan pendidikan emosi kepada kaum muda. Pendidikan sekolah mengajarkan kepintaran sekaligus kepekaan perasaan, me-numbuhkan aneka kecakapan manusiawi dasar seperti pe-mahaman diri, pengendalian diri, empati, kemampuan men-dengarkan, kemampuan menyelesaikan aneka konflik secara

win-win, serta kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Termasuk dalam pendidikan emosi, atau lebih luas lagi pendidikan afeksi, pendidikan sekolah wajib mendampingi kaum muda mengatasi persoalan-persoalan yang muncul akibat aneka perubahan pada pola relasi dalam keluarga maupun masyarakat. Seperti dinyatakan oleh Elkind (1995), di masa mendatang pendidikan sekolah juga harus mampu menjalankan sebagian tugas keluarga yang tidak lagi bisa di-jalankan oleh orang tua seperti memberikan dukungan afektif

bagi peserta didik yang tidak berayah, tidak beribu, atau tidak keduanya baik secara harfiah maupun secara emosional, memberikan pendidikan seks, pencegahan penyalah-gunaan obat, dan sebagainya, dengan tingkat kompleksitas persoalan yang lebih tinggi.

Untuk mencapai semua tujuan itu, pendidik atau guru harus kreatif menciptakan dan menyesuaikan metode pem-belajarannya. Dia tidak lagi cukup secara konservatif ber-tumpu hanya pada salah satu metode. Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Adler (1992), tak peduli metode apa pun yang digunakan, yang paling esensial untuk mempersiapkan kaum muda menjadi pribadi yang benar-benar cerdas, terampil, dan arif adalah mengusahakan proses belajar secara aktif. Pembelajaran harus benar-benar mengaktifkan peserta didik dan melibatkan seluruh budinya. Tugas dan peran pendidik adalah membantu, memfasilitasi agar proses belajar ber-langsung atas usaha dan dalam diri peserta didik sendiri lewat berbagai bentuk penguasaan, penemuan, pemerolehan ke-sadaran baru, dan pencerahan.