• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepercayaan yang Mengacu pada Universalitas

Kedewasaan Iman, Intelektual, dan Emosional

Tahap 6: Kepercayaan yang Mengacu pada Universalitas

(umur 45 tahun ke atas).

Seseorang yang sungguh-sungguh dewasa-matang akan mampu melepaskan diri sepenuhnya dari egonya, mengatasi aneka polaritas dan paradoks, mengatasi ke-terikatan pada aneka pusat nilai dan kekuasaan yang sempit dan relatif, untuk mengidentifikasikan diri dengan pusat nilai dan kekuasaan yang paling dalam dan sejati, ialah Allah. Kesadaran sosialnya ditandai oleh identifikasi dengan keluarga umat manusia dan cinta sejati pada segala yang ada. Perhatian dan aktivitasnya akan difokus-kan pada perjuangan ke arah penegadifokus-kan kebenaran, keadilan, dan kesatuan sejati berdasarkan semangat cinta universal dalam rangka mewujudkan persekutuan cinta dan kesetiakawanan yang tulus di antara segala yang ada, ringkas kata: dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah.

Menurut Fowler, rangkaian tahap di atas merupakan urutan yang bersifat tetap dan berlaku secara universal. Kendatipun perkembangan iman-kepercayaan tidak boleh dipandang sebagai sekadar rangkaian peristiwa progresif

linear dari tahap yang rendah ke tahap berikutnya yang lebih tinggi, dia tetap mengakui bahwa pola yang makin sempurna akan dicapai pada tahap perkembangan iman yang semakin dewasa (Cremers, 1995b). Hal ini juga berarti bahwa per-tambahan usia tidak secara otomatis menghasilkan peralihan ke tahap perkembangan iman yang semakin dewasa.

Penutup

Lantas apa relevansi semua uraian di atas dengan Musyawarah Agung Masyarakat Katolik (Kota Semarang) ini? Seandainya Musyawarah Agung ini benar memiliki kesinambungan dengan Forum Masyarakat Katolik Indonesia yang dideklarasikan pada tanggal 15 Agustus 1998 di Jakarta (Djoko Mulyono, Sularto, & Parera, 1998), dan seandainya Forum dan Musyawarah ini sungguh-sungguh mau memelopori ter-bentuknya jaringan perpolitikan nasional dengan semangat dasar Bhinneka Tunggal Ika, mengikis semangat neotradisi-onalisme yang bercorak “self-centered” sekadar demi mem-bangun kekuatan, kehormatan, martabat, dan kebesaran komunitasnya sendiri sebagaimana ditengarai marak di kalangan berbagai komunitas politik di Tanah Air pasca-Orde Baru, serta mendorong gerakan nasionalisme baru yang menyatu dengan nasib umat manusia sedunia berdasarkan humanisme Katolik, semogalah gagasan Teilhard de Chardin dan James Fowler di atas mampu memberikan sejenis kerangka acuan kerja dan sumber motivasi dalam rangka mewujudkan agenda kerja politik yang dituangkan dalam semboyan antara lain bahwa: “Menjadi Katolik berarti hidup di dunia dengan memenuhi persyaratan kehidupan dunia

yang layak dan berjuang untuk semua golongan” (bandingkan, Djoko Wiyono, Sularto, & Parera, 1998, h. 25). Selamat berjuang.

INTELEKTUALITAS

“ …kita terus saja melemparkan batu-batu ke dalam sungai, ada yang melemparkan batu-batu kecil, ada yang menggerakkan batu-batu raksasa. Tetapi, kecil atau besar, batu-batu itu akan lenyap dengan hampir tidak me-ninggalkan riak-riak pada permukaan air, apalagi mem-pengaruhi arus atau kecepatan air itu…Biarpun demikian, kita terikat untuk melemparkan batu-batu kita, entah kecil entah besar. Karena bukan sukses atau kegagalan yang merupakan ukuran bagi makna kehidupan manusia”

(Soedjatmoko, 1980).

Pengantar

S

ecara reduksionistik-karikatural, dapatlah dikemukakan bahwa seorang mahasiswa boleh dan bisa memilih salah satu dari dua kemungkinan citra tentang dirinya, yakni sebagai calon inetelektual atau sebagai calon profesional (Widodo, 1993). Kalau ia memilih citra sebagai calon profesional, di benaknya tentu terbayang bahwa hari-harinya di kampus akan diisi dengan berbagai kegiatan belajar yang serba

mengarah ke penguasaan iptek program studinya, berlangsung di perpustakaan atau laboratorium yang tenang. Sesudah tamat, terbayang dirinya masuk ke dalam jajaran profesional muda yang bekerja pada sebuah korporasi besar dengan gaji jutaan, bahkan puluhan juta per bulan, selalu mengenakan

business attire alias pakaian dinas bisnis dengan dasi lebar dan sepatu mengkilap, lengkap dengan arloji Rolex, manset, dan cincin emas atau keemasan, serta beberapa lembar credit cards di dompetnya.

Sebaliknya, kalau ia memilih citra sebagai calon intelek-tual, maka kegiatannya akan menjurus pada perburuan ide-ide dan penciptaan konsepsi-konsepsi baru menyangkut peri kehidupan masyarakatnya. Ia tidak puas hanya belajar di perpustakaan dan laboratorium formal di kampus. Ia butuh perpustakaan dan laboratorium “hidup” di masyarakat, berupa aktivitas-aktivitas dalam bidang pers, kelompok diskusi, bahkan mungkin organisasi politik. Sesudah tamat pun ia memilih jalan dan gaya hidup bersahaja. Yang berbeda, sikap dan pemikirannya semakin luas, dalam, dan matang. Karena-nya ia juga semakin tegar dalam pendirian.

Saya yakin, sebagai kaum muda dengan idealisme yang menyala-nyala, banyak mahasiswa akan memilih citra yang kedua, yakni memandang dirinya sebagai calon intelektual. Pilihan semacam ini amat tepat dan sangat sesuai dengan kenyataan sejarah. Di berbagai masyarakat di dunia, kaum muda dan lebih khusus lagi mahasiswa, senantiasa berperan sebagai pencetus pembaharuan sosial-politik ke arah ter-bentuknya tata masyarakat yang lebih adil dan lebih manusia-wi di tengah lingkungannya. Contoh-contohnya, perubahan sosial-politik di Argentina pada tahun 1955, di Venezuela pada

tahun 1958, dan di Pakistan pada tahun 1969. Contoh lain, demonstrasi mahasiswa di Lapangan Tiananmen di Beijing, Republik Rakyat Cina, pada tahun 1989 menuntut keterbuka-an dketerbuka-an demokratisasi dari pemerintah. Contoh lain lagi, gerakan unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai kelompok kaum muda-mahasiswa di negeri kita sendiri pada dasa warsa sembilan puluhan untuk membela nasib rakyat yang lemah dan menderita berbagai bentuk ketidakadilan serta mencapai puncaknya pada tahun 1998 dengan menelorkan pergantian kepemimpinan nasional.

Jadi, sejarah telah membuktikan bahwa di mana-mana mahasiswa senantiasa berperan sebagai apa yang oleh Jack Newfield (dalam Dawam Rahardjo, 1993) disebut minoritas profetik. Artinya, dalam setiap masyarakat atau bangsa, mahasiswa selalu hanya merupakan minoritas atau bagian kecil dari kaum muda atau bahkan masyarakat seumumnya, namun mampu memainkan peranan yang bersifat profetik atau kenabian, yaitu melihat jauh ke depan dan menangkap persoalan-persoalan yang belum atau tidak terpikirkan oleh masyarakat pada umumnya, ke arah perbaikan tata ke-hidupan bersama. Dalam menjalankan peran profetiknya, tidak ada motif atau dorongan lain kecuali apa yang oleh Alfian Darmawan (1993) disebut motif cendekiawan, yaitu keinginan untuk berbakti kepada kebenaran berdasarkan komitmen atau pelibatan diri terhadap kepentingan masyarakat, tanpa disertai vested interest atau kepentingan untuk menarik keuntungan duniawi bagi dirinya sendiri. Ringkas kata, dengan memilih citra sebagai intelektual, mahasiswa dapat berperan sebagai hati nurani bangsa (Jack Newfield, dalam Dawam Raharjo, 1993).