• Tidak ada hasil yang ditemukan

Golongan Intelektual sebagai Kelas Menengah

Di Tanah Air kaum intelektual dan mahasiswa bersama kelompok profesional lain termasuk ke dalam kelas menengah (Faisal Siagian, 1993; Sri Bintang Pamungkas, 1993). Yang dimaksud kelas adalah penggolongan masyarakat berdasar-kan akses atau kemudahan yang mereka miliki untuk me-manfaatkan aneka sumber kekuasaan seperti kekayaan dan informasi (Poulantzas, dalam Happy Bone Zulkarnaen dkk., 1993). Dalam setiap masyarakat modern akan terdapat se-dikitnya tiga kelas sosial. Pertama, kelas bawah, yakni rakyat jelata yang lemah menghadapi kekuasaan. Kedua, kelas elite, meliputi para pejabat tinggi negara atau biasa disebut birokrat dan mereka yang umumnya bergerak di bidang bisnis dan bergabung dengan kekuasaan dan birokrasi. Ketiga, kelas menengah, yakni golongan yang telah mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidup sampai ke taraf cukup tinggi (lebih dari sekadar tercukupi kebutuhan mereka akan pangan, sandang, dan papan) serta memiliki akses terhadap iptek maupun kekuasaan sebab mereka memiliki tingkat pen-didikan dan kemampuan intelektual yang tinggi (Happy Bone Zulkarnaen dkk., 1993; Sri Bintang Pamungkas, 1993).

Sejumlah pengamat sosial menilai bahwa kelas me-nengah di Indonesia memiliki sejumlah cacat mendasar, maka mereka patut digugat (Happy Bone Zulkarnaen dkk., 1993). Cacat-cacat mencolok yang dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, mereka tergantung pada patronase politik (dari kata

patron, berarti pelindung, penopang, atau penyokong). Mereka tidak mandiri, tidak dapat hidup tanpa mengadakan aliansi atau hubungan erat-mesra dengan kelas penguasa. Dengan kata lain, yang merupakan cacat kedua, mereka menderita

kronisme (dari kata crony, berarti teman lama yang karib). Maksudnya, keberadaan dan kejayaan mereka tergantung pada kebaikan kelompok lain khususnya pemilik kekuasaan, yang merupakan sahabat. Akibatnya, dan merupakan cacat-cacat berikutnya, mereka tidak berani melawan arus untuk memulai suatu perubahan, terutama disebabkan mereka juga cenderung hanya mengutamakan kepentingan sendiri. Mereka tidak atau kurang mempedulikan tuntutan agar sebagai golongan terpelajar mengembangkan pola pikir dan tingkah laku yang demokratis. Disadari atau tidak, mereka cenderung lebih suka dan bangga menjadi pendamping kaum teknokrat, agen imperialisme budaya maupun ekonomi, dan pelayan multinational corporation, yakni perusahaanp e r u s a h a a n r a k s a s a y a n g m e m i l i k i j a r i n g a n g l o b a l -internasional.

Dengan kata lain, telah terjadi la trahison des clercs

alias pengkhianatan kaum intelektual di kalangan kelas menengah di Indonesia (Happy Bone Zulkarnaen dkk., 1993; Tasrif, 1980). Artinya, kelas menengah di Indonesia dinilai telah berkhianat terhadap tanggung jawab moralnya sebagai intelektual. Mereka lebih mementingkan nilai-nilai praktis berwujud kedudukan tinggi, gaji besar, rumah mewah, mobil mulus, shopping ke luar negeri dan sejenisnya, daripada nilai-nilai ilmu pengetahuan berwujud kebenaran, keadilan, hak azasi manusia, kejujuran, fair play, dan sejenisnya. Mereka dinilai telah memrostitusikan pengetahuan dan keahlian mereka demi kedudukan dan keuntungan materi. Mereka tidak memelopori dan memimpin usaha-usaha yang bertuju-an meningkatkbertuju-an berlbertuju-angsungnya perubahbertuju-an masyarakat ke arah atau tingkat yang lebih baik, mereka malah berserah diri kepada golongan yang berkuasa secara politis maupun

ekonomis demi mengejar kepentingan-kepentingan pribadi yang bersifat duniawi belaka.

Tugas golongan intelektual sebagai kelas menengah semestinya sebagai berikut (Happy Bone Zulkarnaen dkk., 1993). Pertama, mendobrak kemacetan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan selanjutnya melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan. Kedua, menahan diri untuk tidak bersekongkol dengan golongan penguasa baik politik maupun ekonomi. Ketiga, menghindarkan diri dari sikap anti demokrasi. Keempat, memperjuangkan ditegak-kannya hak-hak azasi manusia. Kelima, mempertinggi moralitas dan kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat antara lain dengan cara memberikan teladan nyata. Keenam, menghindarkan diri dari menjadi agen atau pelayan kekuatan-kekuatan ekonomis-budaya yang bersifat imperialistis, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negara kita sendiri. Dengan kata lain, golongan intelektual kelas menengah di Indonesia dituntut untuk memilih peran sebagai kaum intelektual, bahkan lebih tegas lagi sebagai kaum intelektual yang bebas. Sebagai golongan intelektual bebas, tugas mereka adalah sebagai berikut (Dawam Rahardjo, 1993). Pertama, memperluas pendidikan dan usaha-usaha lain yang bertujuan mencerdaskan kebidupan bangsa, demi memperkuat peranan golongan terpelajar sendiri dalam proses perubahan sosial dan pemerintahan ke arah yang semakin baik. Kedua, menumbuhkan terus idealisme di kalangan kaum intelektual muda untuk mengabdi dalam sektor kemasyarakatan, demi memperkuat masyarakat sipil seumumnya dan dengan demikian mengimbangi kekuasaan birokrasi. Ketiga, mem-perluas bentuk-bentuk pengabdian profesi mereka lewat gerakan-gerakan sosial yang dalam jangka panjang dapat

mendorong proses demokratisasi, tanpa harus terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis.

Tugas-tugas di atas dapat dicoba didekati dengan sejumlah kiat sebagai berikut. Pertama, apabila mereka memasuki biro-krasi pemerintahan dengan menjadi pegawai negeri, maka mereka dapat berusaha menciptakan iklim birokrasi yang lebih manusiawi dan berorientasi kepada rakyat kecil. Kedua, apabila mereka terjun dalam lingkungan korporasi atau perusahaan besar, mereka dapat berusaha mengembangkan iklim dan budaya korporasi yang punya kepedulian dan tanggung jawab sosial. Ketiga, mereka juga bisa terjun langsung dalam masyarakat dan mengembangkan karya-karya alternatif yang berdampak meningkatkan martabat dan kualitas kehidupan rakyat banyak (Dawam Rahardjo, 1993).

Penutup

Tugas dan panggilan seorang intelektual memang tidak ringan. Memilih jalan intelektual berarti menghadapi risiko untuk menjadi orang yang disiksa oleh rasa sepi-terasing karena benturan antara dunia lama dan dunia barunya, antara realitas dan cita-citanya yang saling bertentangan (Soedjatmoko, 1980). Memilih jalan intelektual juga menuntut keberanian sebab menjadi seorang intelektual sering berarti menjadi bagian dari kelompok masyarakat yang merupakan lapisan yang terapung bebas tanpa pertalian dengan kelas atau golongan lain mana pun (Karl Mannheim, dalam Arief Budiman, 1980). Atau, meminjam kata-kata Rendra (1980), menjadi seorang intelektual berarti menjadi salah satu dari mereka yang memilih “berumah di angin.” Selain itu, menjadi seorang

intelektual juga harus pantang menyerah karena frustrasi atau kekecewaan, sebab sebagai pemikir, pembaharu, dan pemecah masalah, seorang intelektual harus selalu mencoba mencari jawab atas berbagai masalah yang muncul di tengah masyarakatnya kendati masalah-masalah tersebut selalu muncul kembali dalam bentuk yang berlainan. Sebagaimana diwasiatkan oleh Soedjatmoko (1980), sebagai golongan intelektual, kita terikat untuk tetap terus melemparkan batu-batu kita ke dalam bengawan kehidupan masyarakat, entah kecil entah besar, sekalipun batu-batu itu lenyap dengan hampir tidak meninggalkan riak pada permukaan air, apalagi mempengaruhi arus atau kecepatannya. Sebagai intelektual muda, siap dan beranikah kita memikul peran itu? Kalau bukan kita, siapa lagi? Selamat berjuang.