• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dunia pada Milenium Ketiga

Banyak pakar sudah mencoba memroyeksikan keada-an dunia memasuki abad ke-21. Berkat kemajukeada-an teknologi komunikasi dan transportasi, globalisasi akan semakin meningkat. Batas-batas antarnegara akan menjadi semakin kabur. Dunia seolah-olah menjadi tidak lagi mengenal batas,

the borderless world, baik secara ruang maupun waktu. Seorang guru di Yogyakarta dengan mudah dapat berkomunikasi dengan mitranya entah di Tokyo, Paris, atau New York. Memang, akibat perbedaan waktu, seorang pengusaha ekspor agrobisnis di Kendari tetap harus rela berjaga sampai larut malam di rumahnya agar bisa bertransaksi bisnis lewat telepon dengan rekannya di Washington, AS. Semua itu menuntut apa yang oleh Soedjatmoko (1993) disebut kompetensi internasional, yakni kemampuan untuk senantiasa mengikuti perkembangan yang berlangsung di berbagai belahan dunia ini serta memberi-kan respon yang sesuai secara cepat. Maka, dibutuhmemberi-kan jenis manusia yang memiliki kemampuan dan sifat antara lain:

well-informed atau memiliki pengetahuan yang luas, mampu berpikir secara integratif dan konseptual, mampu berpikir dan bernalar secara rasional-runtut, bersikap kreatif, bertanggung jawab, peka terhadap keadilan dan solidaritas sosial, peka pada batas-batas toleransi masyarakat terhadap perubahan sosial dan ketidak-adilan, memiliki harga diri, mampu ber-organisasi dan bekerja sama serta memiliki moralitas yang tajam (Soedjatmoko, 1993).

Secara sosial-ekonomis masyarakat abad ke-21 akan menjadi masyarakat hiper industri (Attali, 1997). Artinya, masyarakat yang aneka jasanya digantikan oleh barang-barang konsumsi yang diproduksi secara besar-besaran.

Teknologi mikro-chip membuka jalan bagi industrialisasi jasa secara massal, meliputi bidang-bidang antara lain komunikasi, pendidikan, perawatan kesehatan, dan keamanan. Maraknya penggunaan aneka piranti canggih dan portable atau mobile

alias bisa dibawa-bawa ke mana disukai, seperti telepon selular, komputer palmtop alias berukuran setelapak tangan, CD-VCD-DVD yang makin ringkas namun dengan kapasitas yang makin besar dengan isi mulai dari ensiklopedi, hiburan, sampai panduan physical exercise alias latihan penurunan berat dan peningkatan kesehatan badan, dan masih banyak lagi; hanyalah awal dari suatu revolusi gaya hidup yang akan semakin total dan radikal pada milenium mendatang. Aneka piranti berteknologi mikro-chip tersebut akan berakibat ter-putusnya ikatan kekeluargaan dan kebangsaan serta me-lemahkan berbagai institusi atau pranata, profesi, dan biro-krasi dengan cara memberikan kepada individu kewenangan pribadi, mobilitas, informasi, dan kebebasan yang semakin besar. Penduduk dunia akan menjadi pengembara kaya, menjelajahi bumi mencari jalan agar dapat menikmati ke-bebasan untuk memperoleh informasi, sensasi serta benda-benda portable yang dapat dibeli (Attali, 1997). Secara politik-ekonomi, demokrasi dan pasar sebagai ideologi dominan akan membentuk masyarakat hiper industri menjadi masyarakat konsumen yang demokratis. Inti dari demokrasi dan pasar menurut Attali (1997) adalah terbukanya kesempatan yang luas bagi individu untuk memilih. Demokrasi dan pasar menawarkan kepada masyarakat sebagai konsumen hak untuk menerima atau menolak pilihan. Dasar dari pilihan adalah pluralisme atau kebhinnekaan dan perubahan. Maka, memasuki abad ke-21 ini janganlah kita mengangankan sesuatu yang langgeng dan lestari. Tak ada sesuatu yang

abadi. Segala sesuatu bisa dan akan diubah, ditukar, atau dibuang (Attali, 1997).

Secara kultural, dunia akan semakin masuk ke alam posmodernitas. Inti dari posmodernisme adalah menjunjung tinggi pluralisme atau kebhinnekaan, sekaligus individualitas atau keunikan setiap individu manusia. Lawannya adalah modernisme yang menjunjung tinggi regularitas atau ke-teraturan serta sifat-sifat universal seperti aneka bentuk hukum alam. Mengambil contoh dari perubahan yang akan ber-langsung dalam keluarga sebagai satuan terkecil masyarakat, posmodernisme akan melahirkan antara lain gejala-gejala berikut di dalam keluarga (Elkind, 1995). Konsep keluarga akan menjadi lebih lentur. Keluarga batih seperti yang kita idealkan sekarang hanya akan menjadi salah satu bentuk keluarga. Bentuk-bentuk keluarga lain, seperti single parents

atau orang tua tunggal, two parent working atau kedua orang tua bekerja, remarried atau menikah kembali sesudah perpisahan khususnya akibat perceraian dengan atau tanpa membawa anak akan semakin jamak kita temukan.

Kehidupan keluarga juga akan ditandai dengan gejala yang oleh Elkind (1995) disebut urbanitas. Yakni, menjadi terbuka-lenturnya batas antara rumah dan tempat kerja, antara kehidupan pribadi dan kehidupan publik, antara dunia anak dan dunia orang dewasa. Setiap anggota keluarga juga akan menuntut otonomi yang lebih besar. Suami, isteri, dan anak menuntut ruang yang lebih besar untuk mengejar kepentingan pribadi masing-masing serta mendahulukan-nya di atas kepentingan keluarga. Rumah sebagai sekadar losmen tidak akan lagi menjadi sekadar gurauan-canda, melainkan kelaziman. Selain itu, anak-anak dan terlebih remaja cenderung akan dipandang kompeten, siap dan mampu

menghadapi sendiri aneka tugas dan problema kehidupan. Menurut Elkind (1995), hal ini bukan didasari oleh keyakinan, melainkan lebih oleh kebutuhan. Orang tua butuh me-mandang anak-anaknya kompeten sebab kesulitan menemu-kan dan menyisihmenemu-kan waktu untuk membimbing dan men-dampingi mereka seperti pada masa yang lewat.

Apakah semua orang akan dengan mulus dan mudah mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan zaman dan gaya hidup yang serba baru itu? Menurut Attali (1995) dan se-bagaimana kita semua pun bisa menduga, jawabnya adalah tidak. Berjuta-juta manusia di berbagai belahan dunia yang hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan akan menjadi pihak yang kalah. Para pengembara miskin ini dengan sorot mata penuh kecemburuan dan iri hati akan membayang-bayangi setiap gerak langkah para pengembara kaya mengonsumsi kenikmatan dan kemudahan yang di-tawarkan oleh kekayaan dan kemajuan teknologi. Maka, selain menjanjikan kemajuan dan kemudahan, dunia pada abad ke-21 juga memendam potensi kerusuhan dan huru-hara yang mungkin lebih dahsyat dibandingkan yang pernah terjadi. Semua itu jelas akan berpengaruh terhadap tugas serta peran pendidikan dan para pendidik. Khususnya, bagaimana mereka mempersiapkan kaum muda menghadapi dunia baru tersebut dengan cara-cara yang sekaligus mampu meng-hindarkan masyarakat dari bencana sosial baru.