• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Lain Guru: Intelektual Transformatif

Kendati sudah terasa begitu berat, masih ada satu peran penting pendidikan sekolah pada abad ke-21. Menurut Giroux (1992) sekolah merupakan bagian dari realitas ekonomi, politik, dan sosial yang tidak bisa dilepaskan dari persoalan perebutan kekuasaan dan kontrol. Aneka kekuatan ideologis saling bertarung untuk memperebutkan posisi dominan di dalam masyarakat. Akibatnya, sekolah tidak bisa meng-elak dari nasib menjadi suatu tempat dan komunitas yang

merepresentasikan bentuk dan jenis pengetahuan, bahasa, pola relasi, dan nilai-nilai tertentu yang merupakan bagian dari kultur dan ideologi yang tengah dominan di masyarakat. Seperti sudah disinggung, dalam masyarakat hiper-industri dengan ideologi demokrasi dan pasar yang bertumpu pada pluralisme, diduga pertarungan kekuasaan akan menjadi semakin seru sekaligus semakin canggih dan semakin tidak kentara.

Salah satu hasil dominansi suatu ideologi yang dimaksud, khususnya ideologi teknokratik-birokratik, adalah gejala yang oleh Giroux (1992) disebut proletarianisasi tugas guru. Yaitu, kecenderungan mereduksikan tugas guru ke status teknisi spesialis dalam birokrasi sekolah. Fungsi guru men-jadi semata-mata me-manage atau mengelola dan sekadar melaksanakan aneka program kurikular yang sudah dibaku-kan dan disiapdibaku-kan oleh para pakar, budibaku-kan mengembangdibaku-kan sendiri atau secara kritis-kreatif-inovatif menyesuaikan kurikulum dan pelaksanaannya bertolak dari suatu wawasan dan keprihatinan pedagogis tertentu. Singkat kata, guru di-cabut dari perannya sebagai pendidik, diturunkan statusnya menjadi proletar (kendati mungkin diberi imbalan gaji tinggi) dalam komunitas birokrasi pendidikan, menjadi sekadar pelaksana setia-tekun dari kebijakan yang sudah digariskan. Kondisi diatas menunjukkan bahwa kebanyakan idelogi yang dominan beserta aneka kebijakan yang dilahirkannya, jarang sejalan dengan cita-cita pedagogi humanistik yang sungguh-sungguh bertujuan memfasilitasi perkembangan kaum muda secara maksimal dan optimal. Kebanyakan ideologi itu, justeru membelenggu, membuat picik, membuat kerdil, menciptakan ketergantungan, tidak memandirikan, dan tidak memerdekakan. Dalam konteks inilah panggilan

dan peran guru yang oleh Giroux (1992) disebut intelektual transformatif, menjadi penting dan mendesak. Meminjam gagasan Paulo Freire, Giroux (1992) menyatakan bahwa se-bagai intelektual transformatif dalam menjalankan peran dan tugasnya, guru harus secara sadar memilih jenis pedagogi yang mempersiapkan kaum muda agar benar-benar menjadi warga negara yang aktif dan kritis. Untuk itu, ada tiga strategi yang perlu ditempuhnya. Pertama, membuat pedagogi ber-corak lebih politis, maksudnya, guru harus menumbuhkan kesadaran politis dalam pendidikan sekolah. Kongkretnya, lewat proses pembelajaran dan interaksi pedagogisnya dengan peserta didik, guru senantiasa berupaya menolong peserta didik mengembangkan sikap peduli dan terlibat untuk me-ngatasi aneka ketidakadilan baik ekonomi, politik, maupun sosial yang berlangsung di masyarakat sesuai kemampuan mereka, serta agar selalu lebih memanusiakan diri. Kedua, membuat politik bercorak lebih pedagogis. Artinya, dalam proses pembelajaran dan interaksi pedagogisnya, guru perlu memilih menggunakan bentuk-bentuk pedagogi yang men-cerminkan pandangan politik yang bersifat emansipatorik alias memerdekakan dan mencerdaskan. Kongkretnya, guru perlu menggunakan aneka pendekatan yang memperlakukan peserta didik sebagai subjek yang kritis, menyajikan bahan pembelajaran secara problematik, menggunakan pendekatan dialog yang kritis sekaligus meneguhkan harga diri peserta didik, dan bersemangat menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua orang. Ketiga, mengembangkan wacana yang memadukan bahasa kritik dengan bahasa kemungkinan. Kongkretnya, sebagai pendidik sosial guru perlu memahami bahwa dirinya bisa berubah dan mengupayakan aneka perubahan, wajib melawan berbagai bentuk ketidakadilan baik

di luar maupun di dalam lingkungan sekolahnya sendiri, serta selalu berusaha menciptakan kesempatan agar peserta didik belajar menjadi mampu dan berani melawan ketidak-adilan serta berani dan mampu menciptakan keadilan di mana pun mereka berada.

Penutup

Pertanyaannya sekarang, bagaimana merealisasikan semua cita-cita di atas? Ada beberapa faktor yang bisa me-nolong pendidikan sekolah dan guru untuk mencapai tujuan mulia menghantarkan kaum muda memasuki dunia baru abad 21 secara berhasil. Pertama, sekolah perlu menjadikan ke-seluruhan cita-cita di atas sebagai bagian penting dari visi dan misinya yang diyakini dan dihayati oleh seluruh personalia sekolah, mulai dari pimpinan (termasuk yayasan untuk sekolah-sekolah swasta), staf guru, karyawan administrasi dan para peserta didik. Untuk itu, visi dan misi ini perlu disosiali-sasikan dan penghayatannya pun perlu disegarkan secara terus-menerus. Kedua, tentu saja adalah tersedianya guru-guru yang baik. Lebih dalam arti, para guru-guru yang terbuka dan rela untuk secara terus-menerus belajar dan meningkatkan diri, membuka diri terhadap hal-hal baru, mencintai tugas-nya sebagai pendidik maupun mencintai peserta didik yang dipercayakan kepadanya, memiliki kepedulian terhadap keadilan dan dirinya sendiri pun bersikap adil. Ketiga, rasa kebersamaan yang diwujudkan dalam bentuk kolegialitas atau kerja sama dan sikap saling menghargai dalam menjalan-kan semua tugas pendidimenjalan-kan di antara pimpinan, staf guru, karyawan administratif, maupun para peserta didik sendiri.

Keempat, jaringan kerja sama dengan sekolah atau lembaga lain termasuk kalangan perguruan tinggi dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi aneka program dalam rangka mewujudkan visi dan misi pendidikannya. Akhirnya, diperlukan kepemimpinan yang visioner dan kuat oleh kepala sekolah. Kepemimpinan yang kuat tersebut selain bersumber dari wawasan dan kemampuan pribadi kepala sekolah juga tumbuh akibat pemberian otonomi, otoritas dan kontrol atas diri sendiri yang besar kepada kepala sekolah oleh aneka instansi di atasnya, entah birokrasi pemerintah entah yayasan menyangkut berbagai segi kehidupan di sekolah yang dipimpinnya. Meminjam istilah Boyer (1992), agar mampu mewujudkan visi dan misi sekolah secara optimal kepala sekolah harus menjadi otoritas puncak dan pendidik kunci di sekolahnya.

PENGEMBANGAN “AA”

DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR