BAB IV HASIL PENELITIAN
B. Pemikiran dan Strategi PengembanganJaringan Islam Liberal
2. Agenda Jaringan Islam Liberal tahun 2001-2005
Secara umum Islam liberal memiliki dua agenda besar. Pertama, secara internal adalah sebuah proses kritik diri bagaimana keberagamaan itu bukan sesuatu yang instant, tapi ia melibatkan sebuah pencairan yang serius dan tentu beresiko diasingkan (bahkan dikafirkan) oleh kaumnya sendiri. Kedua, secara eksternal adalah masalah strategi bagaimana menempatkan Islam dalam proses perubahan sosial dan global yang mengarah pada pelembagaan nilai-nilai demokrasi (Taufik Rahman, 2004: 63)
Charles Kurzman (2001: xliii-lx) dalam pengantar bukunya “Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global” menjelaskan Enam formulasi agenda Islam liberal antara lain : Pertama, melawan Teokrasi
(against theocracy). Kalangan Islam liberal menolak ide penyatuan agama dan
negara, dan menolak pandangan bahwa syariat Islam mewajibkan sistem politik tertentu bagi tegaknya tatanan politik Islam. Kedua, mendukung gagasan dan ide demokrasi. Kalangan Islam liberal berpendapat bahwa pada dasarnya Islam memberikan dukungan sepenuhnya terhadap ide demokrasi, seperti adanya konsep
commit to user
syura atau musyawarah yang tidak harus dibatasi pada bentuk-bentuk institusional khusus . Ketiga, Rights of Women, yaitu membela hak-hak kaum perempuan. Berkaitan dengan pembelaan terhadap hak-hak perempuan, posisi kalangan Islam liberal berhadapan dengan pandangan konvensional yang membentuk konstruksi pandangan konservatif dalam memberikan pemaknaan terhadap teks-teks Islam baik Al-Quran maupun hadist Nabi yang menjelaskan tentang poligami, hak-hak kewarisan, hak kaup pria untuk bercerai, otoritas kesaksian hukum pria yang lebih besar, tentang jilbab, pemisahan gender, ketidaksesuaian kaum perempuanuntuk menjadi pemimpin sebuah komunitas Muslim. Keempat, membela hak-hak Muslim (minoritas). Pandangan kalangan Islam liberal terhadap hak-hak non-Muslim maupun kalangan minoritas, mendapatkan basis historisnya yang kuat, terutama melalui kesepakatan Piagam Madinah pada masa kepemimpinan Rasulullah. Kelima, Freedom of Thought, yaitu membela kebebasan berpikir. Gagasan tentang kebebasan berpikir merupakan ide yang sangat fundamental bagi kalangan Islam liberal. Kebebasan berpikir menjadi suatu wacana yang substansial dalam ide-ide Islam liberal, agar dapat memberikan dasar pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran Islam lainnya. Keenam, Progress, yaitu ide membela gagasan kemajuan. Posisi kalangan Islam liberal yang mendukung gagasan tentang kemajuan, berhubungan erat dengan posisi kalangan Islam liberal yang melihat modernitas dan perubahan sosial sebagai proses transformasi yang bersifat positif dan potensial.
Sejak era kebangkitan Islam, berbagai persoalan menyangkut kehidupan kaum muslim telah didiskusikan. Terlihat bahwa Jaringan Islam Liberal terinspirasi dengan formulasi yang dikembangkan oleh Charles Kurzman, karena pada perkembangannya agenda besar yang diusung tidak jauh berbeda dengan formulasi Islam Liberal Charles Kurzman. Menurut Luthfi Assyaukanie (2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/empat-agenda-islam-yang-membebaskan,
diakses 10 Februari 2012), melihat paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi payung bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaru dan intelektual muslim selama ini. Yakni, agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi. Kaum muslim
commit to user
dituntut melihat keempat agenda ini dari perspektifnya sendiri, dan bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan kontradiksi daripada penyelesaian yang baik.
Agenda pertama adalah agenda politik. Yang dimaksud dengan agenda
ini adalah sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem pemerintahan yang berlaku. Dengan kata lain, agenda ini berusaha untuk menolak sistem pemerintahan Islam dan mendukung sekularisme. Secara teologis, persoalan ini bisa dikatakan telah selesai, khususnya setelah para intelektual muslim, semacam Ali Abd al-Raziq, Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan Nurcholish Majid (Indonesia), menganggap persoalan tersebut sebagai persoalan ijtihadi yang diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslim.
Pilihan terhadap bentuk negara, apakah republik, kerajaan, semi-kerajaan, parlementer adalah pilihan manusiawi, dan bukan pilihan ilahi. Umat Islam lebih mengetahui urusan dunia mereka, persis seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad: “antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian). Dan karena urusan politik adalah urusan dunia, maka menjadi hak kaum muslim untuk mengaturnya sendiri. Tak ada satu ayatpun di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan manusia menentukan satu bentuk atau sistem politik tertentu. Allah hanya mengisyaratkan perlunya memiliki tatanan yang jujur dan adil. Dan dalam hal politik, bisa apa saja, termasuk sistem demokrasi yang kini dianggap sebagai alternatif terbaik dari sistem politik yang pernah ada.
Agenda kedua adalah agenda yang menyangkut kehidupan antar-agama
kaum muslim (toleransi agama). Dengan semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negara-negara muslim, pencarian teologi pluralisme tampaknya menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar. Pengalaman awal-awal masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi, kerap dijadikan model percontohan adanya toleransi kehidupan antar-agama dalam Islam. Dengan model ini, Islam dianggap sebagai agama yang menghormati keberadaan agama-agama lain, inklusif, dan toleran. Menurut pemahaman tokoh-tokoh JIL, asas teologi Islam yang lebih penting menyangkut kehidupan antar-agama tidak terbatas hanya pada pengalaman Madinah. Al-Qur’an, sebagai kitab suci yang menjadi rujukan
commit to user
teologis kaum muslim, memiliki banyak sekali ayat yang memerintahkan umat Islam untuk, bukan saja menghormati keberadaan agama-agama lain, tapi mengajak mereka mencari kesamaan-kesamaan (QS. 3: 64). Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah menjamin para penganut agama-agama lain (seperti Yahudi, Kristen, Sabean) akan mendapatkan pahala sesuai dengan perbuatan baik mereka dan dijamin berada dalam lindungan Allah (QS. 2: 62 dan QS. 5: 69). Ayat-ayat seperti ini memperkuat ayat-ayat lainnya yang menyatakan bahwa semua agama, selama mengakui ketertundukannya kepada Allah (yang merupakan makna dari kata “Islam”), pada dasarnya adalah sama.
Agenda ketiga adalah agenda emansipasi wanita. Agenda ini mengajak
kaum muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin agama yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini karena doktrin-doktrin tersebut bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan menghormati hak-hak semua jenis kelamin (lihat misalnya QS. 33:35, QS. 49: 13, QS. 4: 1). Sudah saatnya kaum muslim bersikap kritis dalam melihat dan membaca warisan keagamaannya, karena sebagian dari pesan-pesan yang terkandung dalam warisan-warisan keagamaan itu dibentuk dalam kondisi sosial-budaya tertentu. Dan karenanya, perlu penafsiran dan pemahaman ulang.
Agenda keempat tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan
berekspresi. Agenda ini menjadi penting dalam kehidupan kaum muslim modern, khususnya ketika persoalan tersebut berkaitan erat dengan masalah Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Islam sangat menghormati hak-hak asasi manusia, dengan demikian, juga menghormati kebebasan berpendapat. Sejak dibukanya kembali “pintu ijtihad” lebih dari satu abad silam, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk takut memiliki pendapat pribadi. Pendapat (ijtihad) adalah sesuatu yang sangat dihargai dan dihormati dalam Islam. Begitu dihormatinya sebuah pendapat, sebuah kaedah fikih menegaskan bahwa seseorang akan diberikan dua pahala jika benar dalam berijtihad, dan diberikan satu pahala jika salah.
Atas dasar hal itu, Islam menghargai pendapat atau karya seseorang. Tidak ada hak bagi siapapun untuk melarang seseorang memiliki kebebasan berpendapat. Namun demikian, Islam mengakui adanya batasan-batasan dalam
commit to user
berekspresi. Ekspresi adalah persoalan cara yang berimplikasi pada masalah hukum yang menjadi urusan negara. Seseorang yang melanggar cara-cara berekspresi, akan berhadapan dengan undang-undang yang telah diatur oleh negara (Luthfi Assyaukanie, 2001 dalam
http://islamlib.com/id/artikel/empat-agenda-islam-yang-membebaskan, diakses 10 Februari 2012).
Sedangkan Ulil Abshar Abdalla yang dikutip oleh Budi Handrianto (2008: xlviii), mengungkapkan bahwa untuk menandingi kalangan revivalis, JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: Kampanye sekularisasi seraya menolak konsep Islam Kaffah (total) dan menolak penegakan syariat islam, menjauhkan konsep Jihad dari makna perang, penerbitan Al-Qur’an edisi kritis, mengkampanyekan feminisme dan kesetaraan gender serta pluralisme. Menurut Ulil, beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari berbagai segi, agama yang
kaffah hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami kehidupan
seperti zaman modern. Bagi Ulil, beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah. Berdasarkan agenda yang digagas oleh tokoh-tokoh JIL, selanjutnya akan dibahas secara rinci beberapa proyek besar agenda JIL sejak tahun 2001-2005.
a. Agenda Politik
Pada dasarnya istilah Islam progresif, Islam liberal, Islam sekular, Islam reduksionis, Islam akomodatif dan sejenisnya merujuk pada hal yang senada, yaitu tentang Islam yang tunduk atau tersubordinasikan kepada Barat. Komaruddin Hidayat menyebutkan bahwa ekspresi pemikiran liberal dalam politik adalah menolak formula klasik, dengan contohnya yang diterapkan oleh Ali Abdur Raziq dan Kemal Attaturk (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 33). Pemecatan Raziq dari anggota ulama Al-Azhar, dilakukan oleh Haiah Kibaril
Ulama (Dewan Ulama Terkemuka) yang terdiri dari 19 orang ulama dan
mengklasifikasikan kesalahan fatal Raziq dalam tujuh butir, yaitu: 1) Menjadikan syariat Islam hanya sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan atau tata laksana urusan duniawi, 2) berpendapat bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja dan bukan untuk
commit to user
mensyiarkan agama ke seluruh dunia, 3) menyatakan bahwa lembaga pemerintahan di masa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau, tidak komplit, dan membingungkan (bagi yang mencoba memahaminya), 4) berpendapat bahwa tanggungjawab (Muhammad) Rasulullah hanya menyebarluaskan syariat tanpa menjadi penguasa atau pemerintah, 5) menganggap sepi ijma’ (kesepakatan) para sahabat Rasul yang menetapkan umat harus menunjuk seorang untuk mengelola urusan keagamaan da keduniaan serta mengakui adanya kewajiban untuk mengangkat seorang imam, 6) mengingkari bahwa qudhat (kehakiman) merupakan fungsi syariat, 7) berpendapat bahwa pemerintahan Abu Bakar dan Khulafaur Rasyidin merupakan pemerintahan sekuler (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 13)
Selain itu proses sekularisasi Turki secara resmi dimulai dengan proklamasi negara Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923. Mustafa Kemal terpilih sebagai presiden pertama, lalu mengganti nama menjadi Kemal Attaturk (Bapak Bangsa Turki). Turki secara tegas menyebut dirinya sebagai negara sekuler. UUD Turki pasal 1 menegaskan, Turki adalah negara (1) Republik, (2) Nasionalis, (3) Kerakyatan, (4) Kenegaraan, (5) Sekularis, (6) Revolusioneris. Karena itu, hal-hal yang dianggap membahayakan prinsip sekuler akan diserang. Islam yang dipeluk oleh 99 % rakyat Turki dianggap suatu ancaman potensial yang dapat menghancurkan prinsip sekuler, kenyataan menunjukkan bahwa Islam tidak pernah mati di Turki, meskipun segala macam cara telah dilakukan untuk mensekulerkan rakyat Turki. Bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki, lembaga pendidikan agama ditutup, wanita dan pria dipaksa berpakaian ala Barat, Huruf Arab diganti dengan huruf latin, kalender Islam diganti dengan kalender Masehi (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 34)
Kedua tokoh tersebut cukup menginspirasi tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal dalam mengembangkan agenda sekularisme di Indonesia. Diskursus negara sekular tidak terlepas dari keterbatasan dan kekurangannya, mengalami pembusukan dari dalam dan dari luar. Dalam tataran nasional, ditemukan ketidakmampuan dan ketidaktegasan sistem sekular dalam menyelesaikan berbagai persoalan, seperti konflik etnis, penggusuran dan krisis ekonomi. Begitu
commit to user
juga dalam tataran global, sistem global telah menjerat dunia ketiga dengan hegemoni politik dan ekonomi sekaligus. Hal Ini menjadi amunisi kalangan pro negara syariat untuk menghancurkan sistem sekuler. Akibatnya, stigmatisasi terhadap sistem sekuler semakin kuat, bukan untuk keluar dari krisis kemanusiaan, politik, budaya dan lain-lain, melainkan untuk kembali kepada syariat (Zuhairi Misrawi 2002, dalam
http://islamlib.com/id/artikel/negara-syariat-atawa-negara-sekuler, diakses 2 Mei 2012)
Karena itu, yang patut disadari bersama adalah bagaimana memahami kembali sistem sekuler, dalam hal ini adalah demokrasi. Sebagai sebuah sistem, demokrasi merupakan jalan tengah untuk keluar dari ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Yang menjadi kata kuci dalam demokrasi adalah pelembagaan yang didasari atas nilai-nilai persamaan, pluralitas, kemanusiaan dan kesetaraan. Demokrasi meniscayakan terwadahkannya keadilan, sehingga dapat menghindari dari otoritarianisme dan meminimalisir segala bentuk penindasan, baik yang dilatarbelakangi agama, politik maupun ekonomi. Dalam konteks masyarakat beragama, seperti di tanah air, pemikiran keagamaan tidak hanya dikampanyekan dalam hal formalisasi, melainkan adanya pelembagaan pemikiran yang didasarkan atas nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan persamaan hak. Olivier Roy (1994) dalam The Failure of Political Islam mempunyai kritikan yang tajam bagi kalangan Islam Politik yang hanya berkutat pada kekuasaan dan mengesampingkan dimensi kemanusian, pluralitas, keadilan dan kesetaraan. Menurutnya, model yang diterapkan di Iran merupakan contoh terbaik yang tersedia dalam komunitas muslim, karena menjadikan sistem sekuler sebagai upaya melembagakan pemikiran keagamaan (the Iranian model is in fact a “secular” model, in the sense that it is the state that defines the place of the
clergy and not the clergy who define the place of politic). Dengan demikian,
sebenarnya permasalahan bukan hanya terletak pada akhir mendirikan negara
syariat atau negara sekuler, melainkan berupaya melembagakan keadilan,
kemanusiaan, kesetaraan dan kebhinnekaan (Zuhairi Misrawi 2002, dalam
http://islamlib.com/id/artikel/negara-syariat-atawa-negara-sekuler, diakses 2 Mei
commit to user b. Pluralisme Agama
Islam adalah agama yang dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif sebagai tantangan yang mengancam struktur yang menindas baik di dalam maupun luar Arab. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal
(universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice).
Islam menekankan kesatuan manusia, dan menekankan keadilan pada semua aspek kehidupan (Engineer, 1999: 33). Atas dasar keadilan dan kesetaraan maka umat manusia diharuskan untuk hidup berdampingan secara damai dan berusaha membebaskan golongan masyarakat lemah dari penderitaan. Bahkan Ibn Taymiyyah seorang ahli hukum abad pertengahan, menganggap keadilan adalah hal sentral, “Kehidupan manusia di muka bumi ini akan lebih tertata dengan sistem yang berkeadilan walau disertai perbuatan dosa, daripada dengan tirani yang alim” (Engineer, 1999: 39). Keyakinan semacam itu juga tercermin pada pemikiran tokoh-tokoh liberal yang berusaha mengembangkan pluralisme.
Sebelumnya perlu dibedakan antara makna pluralitas dan pluralisme. Pluralitas agama adalah wujud fakta keberagaman dan perbedaan agama-agama di dunia ini. Sebagai fakta, pluralitas merupakan ketentuan Tuhan (Sunnatullah), dan karenanya tidak dapat dihapuskan. Adapun pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, sikap dan pendirian yang dimiliki seseorang terhadap kenyataan akan keberagaman dan fakta perbedaan tersebut. Secara khusus, pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, keyakinan bahawa agama-agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda itu mempunyai kesamaan dari segi ontologi, soteriologi, dan epistemologi. Seperti dikemukakan Peter Byrne, profesor di King’s College London UK, pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga tesis. Pertama, semua tradisi agama-agama besar dunia adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent
dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang lebih benar dari yang lain, artinya setiap agama harus senantiasa terbuka untuk dikritik dan ditinjau kembali (Syamsuddin Arif, 2010: 2). Pluralisme didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah
commit to user
jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama (Budi Handrianto, 2007: xxxi).
Menurut Budhy Munawar Rachman, ide toleransi dan pluralisme antaragama, akan membawa umat manusia kepada paham “kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah”. Walaupun berbeda agama, tetapi iman di hadapan Allah adalah sama. Karena iman menyangkut penghayatan manusia kepada Allah, yang jauh lebih mendalam dari segi-segi formal agama, berkaitan dengan religiusitas atau bahasa keilmuan sekarang spiritual intelligence. Oleh karena itu, yang diperlukan dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, adalah pandangan bahwa siapapun yang beriman (tanpa harus melihat agamanya apa) adalah sama di hadapan Allah. Karena Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu
(http://islamlib.com/id/artikel/basis-teologi-persaudaraan-antar-agama,diakses
30 April 2012).
Menurut Rachman (2001), dari segi teologi Islam seharusnya tidak menjadi masalah. Al-Qur’an menegaskan bahwa keselamatan di hari akhir hanya tergantung kepada apakah seseorang itu percaya kepada Allah, percaya kepada hari akhir dan berbuat baik, dan inti ajaran agama adalah mengenai ketiga hal tersebut. Hal Ini dikemukakan Al-Qur’an dalam Al-Baqarah dan Al-Maidah (Q.S. 2: 62 dan 5: 69). Dalam mengomentari ayat tersebut, Abdullah Yusuf Ali menegaskan bahwa ajaran Allah itu satu, Islam mengakui keimanan yang benar dalam bentuk yang lain, asal dijalankan dengan sungguh-sungguh dan didukung oleh akal sehat, disertai tingkah laku yang baik (sebagaimana hal yang sama berlaku bagi orang Islam sendiri). Sementara Muhammad Asad dalam tafsirnya mengomentari, the idea of “salvation” here made conditional upon three elements only: belief in God, belief in the Day of Judgement, and rightous action
in life. Dengan begitu, agama jelas mengakui adanya kesetaraan kaum beriman di
hadapan Allah. Kalau orang Islam diwajibkan menjalankan agamanya, begitu juga umat dalam agama lain. Dalam QS. Al-Maidah (5: 66) tertera: “Dan sekiranya mereka mengikuti ajaran Taurat dan Injil serta segala yang diturunkan dari Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan menikmati kesenangan dari setiap penjuru”. Ukuran derajat seseorang dengan orang lain adalah takwa, bukan formalisme
commit to user
agama apa yang dianut. Perspektif ini akan sangat membantu dalam membangun kembali cintakasih dan persaudaraan antar agama (dari basis teologisnya) yang dicita-citakan dapat lebih baik di masa-masa mendatang
(http://islamlib.com/id/artikel/basis-teologi-persaudaraan-antar-agama, diakses
30 April 2012).
c. Kesetaraan Gender
Kesalahpahaman ekstrem tentang ijtihad dan pemahaman Al-Qur’an khususnya ayat-ayat yang dianggap merugikan kaum perempuan kembali terjadi dan bahkan lebih besar, didemonstrasikan dengan gamblang oleh kelompok Islam liberal (sekuler) yang memberikan salah satu bukti lain bahwa upaya melahirkan ijtihad yang benar di tengah-tengah umat Islam belum berhasil, dan kesalahan ekstrem ini jelas akan lebih menyesatkan umat dari hakikat ijtihad yang sebenarnya. Di Indonesia paham ini ditumbuhsuburkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani Ulil Abshar Abdalla yang bersinergi dengan Yayasan Paramadina Jakarta pimpinan mendiang Cak Nur (Nurcholish Madjid) (Ade Fariz Fazrullah, 2007: 466).
Gerakan feminis di Barat tidak dapat dipungkiri merupakan respons dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, terutama yang menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Salah satu penyebabnya ialah pandangan ‘sebelah mata’ terhadap perempuan (Misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) serta citra negative yang dilekatkan kepada wanita, bahkan telah terwujud dalam tata-nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan politik. Pada abad pertengahan hingga di awal abad modern, citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki, peran wanita dibatasi hanya dalam lingkup rumah tangga. Wanita disamakan dengan budak (hamba sahaya) dan anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi gereja menuding perempuan sebagai sumber malapetaka dan pembawa sial (Syamsuddin Arif, 2008: 103-104)
Kaum feminis di Barat umumnya menganggap Mary Wollstonecraft (1759-1797) sebagai nenek moyang dan pelopor feminis. Melalui A Vidication of
commit to user
Rights of Woman, Wollstonecraft mengecam berbagai bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan diperjuangkan untuk bersekolah dan memberikan suara dalam pemilihan umum (suffrage). selain hak pendidikan dan politik, para aktivis perempuan juga menuntut reformasi hukum dan undang-undang negara agar lebih adil dan tidak merugikan perempuan. Berbagai agenda emansipasi dilakukan secara intensif, termasuk menolak pembedaan di lingkungan kerja. Namun pada perkembangannya, gerakan feminis di Barat terlihat mengalami stigmatisasi dengan munculnya feminis-feminis radikal yang bersikap anti laki-laki, mengutuk sistem patriarki, mencemooh perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianism dan revolusi seks, justru menodai reputasi gerakan emansipasinya (Syamsuddin Arif, 2008: 106-107)
Gerakan feminisme juga disalahkan karena semakin menyuburkan pergaulan sesama jenis, menjauhkan keinginannya untuk menjalin perkawinan, dan mengubah perempuan menjadi makhluk yang gila karier. Emansipasi di Barat terbukti telah merusak sendi-sendi masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai keluarga. Banyaknya wanita yang mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan akan berdampak buruk bagi negara-negara yang bersangkutan karena menghentikan populasi generasi baru. Karena terlalu radikal dan melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan feminis di Barat berangsur-angsur surut dan nyaris tinggal wacana. Syamsuddin Arif (2008: 109), menjelaskan bahwa gerakan feminis hanya akan menyengsarakan kaum wanita. Relasi gender tidak harus dipahami sebagai perseteruan dan pertarungan antar kelompok (class
struggle) dengan saling menegasikan dan berebut posisi, melainkan dalam
perspektif kerjasama dan hubungan timbal balik, dalam arti saling menopang dan bahu membahu membangun keluarga, bangsa dan negara, saling melengkapi, saling mengisi dan saling menghargai satu sama lain.
Wacana emansipasi di kalangan umat Islam, pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis dari Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita Muslimah mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi agar mengetahui
commit to user
hak-hak dan tanggungjawab sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan umat. Menurut Hasan at-Turabi, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah public, termasuk hak dan kebebasan mengemukakan pendapat, mengikuti pemilu,