• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Terbentuknya Jaringan Islam Liberal (JIL)

2. Masuknya Pengaruh Islam Liberal Ke Indonesia

Berkembangnya Islam liberal di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari besarnya peran orientalis yang mempengaruhi pemikiran tokoh-tokoh dan generasi muda Muslim serta masuknya penjajah Barat ke tanah Indonesia yang

commit to user

secara langsung menerapkan sistem liberal dalam berbagai bidang kehidupan termasuk urusan agama.

a. Orientalisme

Orientalisme adalah gerakan pemikiran dan berbagai studi orang Barat (nonmuslim) tentang Timur (Islam) yang mencakup pokok syariat Islam, ilmu, peradaban, sastra, bahasa, dan kebudayaan. Gerakan pemikiran tersebut telah memberikan andil besar dalam membentuk persepsi Barat tentang Islam. Mengopinikan kemunduran pola pikir umat Islam dalam rangka pertarungan peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat yang kemudian bergerak dengan berbagai motif, mulai motif agama, ekonomi dan penjajahan, politik, maupun keilmuan. Orientalis menjadikan ilmu sebagai alat untuk menggerogoti da’wah Islam dan bersembunyi di balik pembahasan dan penelitian ilmiah. Memasukkan bibit-bibit (benih-benih) kebatilan terutama ke dalam Syari’ah Islamiyah, masalah-masalah Fiqih, muamallah dan lain-lain, dengan sengaja menyusun hal-hal menyesatkan terhadap generasi muda Islam, yang belajar kepada orientalis, memantapkan serta memberikan hal-hal yang membuat orang merasa cukup terhadap pikiran-pikiran yang merusak dan berbahaya, kemudian menarik secara halus agar para mahasiswa yang belajar dengan Orientalis dan yang belajar di Barat bergabung dengan Orientalis dalam merusak dan tanpa disadari mencari-cari kejelekan Islam (Abdul Mun’im Hasanain, 2008: 10).

Di antara cara orientalis dalam menggerogoti da’wah Islam adalah membenamkan umat Islam ke dalam pemikiran yang menyesatkan terutama generasi mudanya dengan memalingkan dan mengaburkan ajaran Islam yang telah memiliki landasan jelas (Al-Qur’an serta Hadist). Faham-faham tersebut diajarkan dengan memperlihatkan Firman Allah yang sesuai dengan pemahaman orientalis, tentu dengan tujuan menciptakan keragu-raguan dalam jiwa-jiwa umat Islam. Seperti melanggengkan materialism, faham yang mementingkan nafsu dan kesenangan dunia. Eksistensialisme, aliran kebebasan yang merupakan kelanjutan dari materialism modern. Ditanamkan pada pemuda-pemuda Islam untuk pendangkalan, yang dianggap sebagai gerakan kebebasan. Peranan besar yang

commit to user

dilakukan oleh oriental untuk menyesatkan pemuda-pemuda Islam dengan semboyan “Gerakan pembebasan yaitu bebas dari Agama, akal dan perikemanusiaan supaya mereka menjadi hewan yang lebih sesat, tidak khawatir lagi pada bahaya-bahaya kolonialis, dan Orientalis untuk memerangi Islam dan penggerogotan da’wahnya”. Selain itu, Orientalis juga menyebarkan faham kepada ilmuwan Islam, agar memisahkan antara ilmu dengan agama (yang disebut Sekularisme), yaitu propaganda dengan wajah intelektualisme (Islam dan Orientalis - IndoForum http://www.indoforum.org/t239248/#ixzz1ytiaHLsV,

diakses 26 Juni 2012)

Menurut Syamsuddin Arif (2008: 282), orientalisme dalam arti kata kajian terhadap kebudayaan dan peradaban Timur telah bermula paling tidak setelah terjadi kontak dan interaksi antara orang-orang Yunani dengan orang Mesir Kuno, Babylonia, dan Persia. Sedangkan di abad pertengahan, orientalisme adalah upaya mempelajari karya-karya ilmuwan Islam bahwa “Cahaya berasal dari Timur” (Ex Oriente Lux). Kemudian sejak zaman Renaissance, orientalis bukan hanya mempelajari bahasa, agama dan peradaban Mesir Kuno, Parsi, Zoroaster, Arab dan Islam, tapi juga bahasa dan peradaban India, Cina dengan agama Hindu dan Budhanya. Namun dengan motif dan tujuan yang lebih sempit, yaitu sebagai alat dan senjata untuk menjajah, menguasai, dan mempengaruhi bangsa dan peradaban Timur yang membawa slogan 3G (gold, glory, gospel). Atas motif tersebut maka lahirlah orientalis (seperti: Goldziher, Alphonse Mingana, Noldeke, Hurgronje, Lewis, Arthur J., Binder, dll) yang mendalami kajian Timur untuk menghancurkan Islam.

Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis Yahudi terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Pada usia 16 tahun, Goldziher telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa

Tarikhuhum. Kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih. Dalam bukunya

Al Aqidah was Syariah fil Islam Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan

menyimpang kepada Nabi Muhammad SAW. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya. Menurut Jamal, Goldziher melontarkan tuduhan

commit to user

bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain (Yahudi, Nasrani, Majusi dan pemuja berhala) yang sengaja dipilih Muhammad. Menurut Prof. Jamal, tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Goldziher sama halnya ketika turun Al-Qur’an, orang-orang Musyrik juga menyatakan Muhammad seorang yang gila, tukang sihir, mendongeng palsu dan lain-lain (Tabrani dalam

http://www.tabraniaceh.com/2011/06/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya.html, diakses 26 Juni 2012).

Pada tahun 1927 Alphonse Mingana, pendeta asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”. Pernyataan orientalis-missionaris tersebut dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab sucinya dan juga disebabkan oleh kecemburuannya terhadap umat Islam dan kitab suci nya Al-Quran (Syamsuddin Arif, 2008: 3).

Jauh sebelum Mingana, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Fluegel menerbitkan mushaf hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu dinamakan Corani Textus Arabicus. Naskah ini sempat dipakai tadarrus oleh aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL)

(

http://annastacy.wordpress.com/2008/06/29/tokoh-idola-uli-abshar-abdalla-orientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana-keislaman-mutakhir/, diakses 26 Juni

2012). Kemudian datang Theodor Noeldeke seorang pakar semitik Jerman yang menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin. Pada tahun 1859 tulisannya tentang Sejarah Al-Qur`an memenangkan penghargaan dari

French Academie des Inscription. Noeldeke yang ingin merekonstruksi sejarah

Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860).

Tulisan Noldeke tentang Sejarah Al-Quran terus direvisi oleh muridnya Friedrich Schwally dan karyanya diterbitkan dengan judul: The Origin of the

Qur’an (1909). Pada tahun 1919 Schwally menyelesaikan edisi keduanya dengan

judul The Collection of The Qur’an. Schwally juga merintis penyusunan, penyusunan buku The History of the Text. Setelah Schwally meninggal, usahanya

commit to user

dilanjutkan oleh Bergstassser dan terakhir disempurnakan oleh Otto Pretzl. Jadi buku tentang Sejarah Al-Qur’an itu ditulis oleh beberapa orientalis yang terus menerus disempurnakan. Hasil karya tersebut menjadi karya standar dalam masalah sejarah kritis penyusunan Al-Quran bagi para orientalis. Taufik Adnan Amal, Dosen Ulumul Qur’an dan aktivis Islam Liberal, juga menjadikan karya orientalis menjadi rujukan utamanya dalam menulis buku “Rekonstruksi Sejarah Al-Quran” (Tabrani dalam

http://www.tabraniaceh.com/2011/06/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya.html, diakses 26 Juni 2012)

Pada tahun 1937, Arthur Jeffery datang dengan ambisi membuat edisi kritis Al-Quran, mengubah Mushaf Utsmani yang ada dan menggantikannya dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, berkeinginan merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang dianggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan

(rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan

Otto Pretzl yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-lembaran naskah (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Quran tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia II berkecamuk (Syamsuddin Arif, 2008: 5).

Christian Snouck Hurgronje, orientalis yang banyak dikenal masyarakat Indonesia. Snouck meraih gelar sarjananya di Fakultas Teologi, Universitas Leiden. Kemudian Snouck melanjutkan ke jurusan sastra Semitik dan meraih doktor, ketika umur 23 tahun. Disertasinya tentang Perjalanan Haji ke Mekkah

(Het Mekkanche Feest). Tahun 1884 Snouck pergi ke Jeddah sampai 1885,

Snouck kemudian berpura-pura masuk Islam dengan menggunakan nama Abdul Ghaffar agar bisa ke Mekkah dan menjalankan ibadah haji, namun enam bulan kemudian diusir karena terbongkar jati dirinya. Snouck kembali ke Belanda sebagai lektor di Universitas Leiden hingga tahun 1887. Selanjutnya Snouck tinggal di Indonesia, dengan kedudukan sebagai penasihat pemerintah Belanda. Selain itu, juga menulis De Atjehrs (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894). Dalam disertasinya Het Mekkanche Feest, Snouck menjelaskan arti ibadah haji

commit to user

dalam Islam, asal usul dan tradisi yang ada di dalamnya dan mengakhiri tulisan dengan menyimpulkan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab Jahiliyah (http://myquran.org/forum/index.php?topic=65952.0, diakses 26 Juni 2012).

Keinginan orientalis untuk terus meningkatkan keragu-raguan di kalangan umat Islam tidak pernah surut bahkan semakin gencar dengan cara-cara baru sampai tujuan yang diinginkan benar-benar tercapai, seperti tercantum dalam Al-Qur’an:

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (QS. Al-Baqarah {2}: 120).

Pada tahun 1930, Samuel Zwemer pada Konferensi Misionaris di Kota Yerussalem menyatakan: "Misi kolonialisme dan misionaris terhadap Islam bukanlah menghancurkan kaum Muslimin. Namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar dia menjadi orang Muslim yang tidak berakhlak. Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam." Samuel Zwemmer yang juga orientalis-Yahudi ini bahkan mendirikan Jurnal the Muslim

World, namun isinya bukan untuk membela Islam bahkan ingin melemahkannya.

Bahkan pada tahun 1978 di Colorado, tepatnya di Green Area, Amerika Serikat (AS) seluruh pendeta dunia berkumpul untuk membicarakan strategi melumpuhkan umat Islam. (Qosim Nursheha Dzulhadi dalam

http://www.akhirzaman.info/islam/miscellaneous/1256-metode-studi-islam-orientalis-bahayakan-keilmuan-islam.html, diakses 30 Juni 2012)

Selain itu, lahir juga orientalis modern dengan berbagai karyanya yang banyak menjadi rujukan dan menginspirasi intelektual muslim Indonesia khusunya yang tergabung dalam kelompok Islam liberal. Leonard Binder adalah seorang Yahudi yang dikenal sebagai ahli Internasional untuk bidang Politik Timur Tengah dan Pemikiran Politik Islam ini juga memperoleh gelar Guru Besarnya dengan sponsor dari University Of California Los Angeles (UCLA). Dalam malakukan panelitian Binder sering bersama-sama Fazlur Rahman. Di

commit to user

antara penelitiannya adalah tentang “Islam dan Perubahan Sosial”. Riset yang dibiayai oleh Ford Foundation itu melibatkan puluhan ahli dan meneliti lima masalah pokok (Binder, 2001: v). Hasil risetnya kemudian di bukukan oleh Fazlur Rahman dalam karyanya Islam and Modernity : Tranformation of an Intellectual

Tradition (1982). Di antara karya-karya yang telah dipublikasikan: Religion and

Politics in Pakistan (1961), Iran : Poolitical Development in a Changing Society

(1962), The Ideological revolution in the Middle East (1964), In a Moment of

Enthusiasm : Political Power and the second Stratum in Egypt (1978), Islamic

Liberalism(1988) (Moh. Rofiq dalam

http://musrofiq.blogspot.com/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo_13.html#!/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo_13.html,

diakses 26 Juni 2012).

Philip K. Hitti, Guru Besar Emeritus Sastra Semit di William and Annie S. Paton Foundation, Universitas Princeton, selama beberapa dasawarsa diakui oleh dunia internasional sebagai ahli Islam (orientalis) yang paling berbobot di Barat. Salah satu karyanya, Islam and the West : An Historical, Cultural Survey,

meskipun ringkas namun secara garis besar menyoroti berbagai hal paling penting mengenai hubungan antara dua peradaban yang berlawanan (Islam dan Barat) semenjak abad pertengahan hingga sekarang. Selain itu Bernard Lewis, sejarawan Yahudi Inggris-Amerika yang menjabat sebagai Profesor Kehormatan bidang Timur Tengah di Universitas Princeton. Lewis mendalami sejarah Islam serta interaksi kebudayaan Barat dan Islam. Lewis adalah salah satu dari sedikit cendekiawan Eropa diizinkan untuk mengakses arsip dari Kekaisaran Ottoman di Istanbul. Selain itu dalam studi sejarah keislaman, telah diterbitkan terjemahan klasik Arab, Turki, Persia dan puisi Ibrani. Beberapa karya Lewis di antaranya ,

The Arabs in History , What Went Wrong? and The Crisis of Islam: Holy War and

Unholy Terror.

Selain orientalis-orientalis tersebut, masih banyak orientalis lain yang pengaruhnya besar bagi dunia Islam. Orientalis masa kini pun tak kalah banyaknya dengan zaman dahulu. Bahkan kini mendirikan Islamic-Islamic Studies

di Barat, untuk mendidik anak-anak cerdas Islam agar mengikuti jejaknya. Di antara tokoh yang terkenal adalah Wilfred C Smith dengan konsep World

commit to user

Theology yang digulirkan Smith lahir sebagai respons terhadap proses globalisasi

sehingga muncul keharusan mengkaji ulang terminologi agama dan Samuel P. Huntington dengan teori Benturan Peradabannya. Ada beberapa orientalis yang dikenal cukup akomodatif dengan Islam, meski masih ada bias-bias dalam tulisannya. Seperti John L Esposito dan Karen Armstrong. Esposito, meski banyak melahirkan karya-karya yang membela Islam, namun tetap memberi cap kepada Sayyid Qutb dan Al Maududi sebagai tokoh “Islam Radikal”. Karen Armstrong menyamakan “Islam Fundamentalis” dengan Kristen Fundamentalis dan Yahudi Fundamentalis. Dan itulah yang dirujuk dan dipuja-puja kaum liberal untuk melihat Islam (Tabrani dalam

http://www.tabraniaceh.com/2011/06/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya.html, diakses 26 Juni 2012)

b. Kolonialisme di Indonesia

Kedatangan penjajah Belanda dan Portugis ke Indonesia dengan melaksanakan program trilogy Imperialisme, yaitu Gold, Glory, Gospel, sangat jelas memperlihatkan bahwa di samping untuk menguasai kekayaan alam , para penjajah berusaha untuk menyebarkan agama, dalam hal ini adalah Kristen. Kekhawatiran akan munculnya kekuatan Islam yang akan melawan hegemoni penjajah, mengingat Islam adalah mayoritas di Hindia Belanda maka pemerintah kolonial berupaya untuk mempersempit peran Islam (Adian Husaini, 2005: 371).

Pemerintah baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran Aufklarung atau

Enlightenment memerintah di Indonesia, mulai diterapkan politik pengajaran

liberal (Haidar Putra Daulay, 2007: 29). Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan

Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah

Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah : a. dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; b. dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; c. dalam bidang politik

commit to user

atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Aqib Suminto, 1985: 12).

Sekularisme sebagai akar liberalisme masuk ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. Namun beberapa tahun setelah keluar Undang-undang tersebut beberapa pemberontakan terjadi, hal ini tentu melatarbelakangi penyimpangan kebijaksanaan netral pemerintah kolonial demi terpeliharanya ketertiban dan keamanan. Puncaknya pada tahun 1882 Lembaga Peradilan Agama diresmikan oleh pemerintah, dengan demikian maka politik tidak mencampuri masalah agama telah berakhir. Sejak itulah pemerintah semakin mencampuri agama Islam, terutama di bidang pendidikan (Aqib Suminto, 1985: 27-29).

Selanjutnya, Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad ke-20 semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakannya disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama (Deliar Noer, 1991: 183).

Bidang pendidikan menjadi jalur pilihan penjajah dalam memperluas liberalism. Pada awal abad ke-20 Indonesia telah dipengaruhi ide-ide pembaruan pemikiran Islam yang juga memasuki dunia pendidikan. Terlihat dari munculnya upaya-upaya pembaruan dalam bidang materi, metode. Bidang materi tidak hanya berorientasi pada mata pelajaran agama, tetapi dimasukkan pula mata pelajaran umum. Metode pengajaran telah lebih bervariasi, tidak lagi semata-mata membaca kitab dalam bentuk sorogan dan wetonan. Hingga bentuk lembaga pendidikan Islam yang tidak lagi berorientasi pada ilmu agama saja (Haidar Putra Daulay, 2007: 35).

commit to user

Selain faktor kolonialisasi masa pemerintahan Hindia-Belanda, pada abad ke 20 dan 21 mulai banyak generasi muda Muslim yang memutuskan untuk belajar keislaman di negara-negara Barat (Eropa, Amerika dan Australia) di bawah bimbingan mahaguru bukan Muslim (Yahudi, Nasrani, ataupun atheis) dan dengan bahasa pengantar selain Arab (Syamsuddin Arif, 2008: 280). Hal ini telah membentuk pandangan atau pemahaman generasi muda Muslim dalam mengkritisi Islam. Bibit-bibit sekular telah benar-benar tertanam di Indonesia, bahkan setelah pemerintah kolonial Belanda meninggalkan tanah jajahan, bukan berarti paham sekular telah hilang. Beberapa peristiwa yang memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh dan aturan yang ditetapkan masa penjajahan masih diwarisi oleh tokoh-tokoh bangsa. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan penjajah. Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rezim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular.

Menurut Adian Husaini (2005: 374), dapat dicermati dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Salah satu hal penting untuk diingat adalah seputar pembentukan konstitusi negara Indonesia. Perdebatan terjadi antara dua kelompok yaitu kelompok nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekular (golongan kebangsaan). Perdebatan dalam BPUPKI diakhiri dengan pembentukan Panitia Sembilan yang berhasil menyusun suatu Gentlemen’s Agreement, yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Tetapi dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, Piagam Jakarta digugat oleh seorang Kristen dari Maluku bernama Latuharhary, dengan alasan akan dapat mengalami kesulitan dalam aplikasinya di berbagai daerah, khususnya ketika berhadapan dengan adat istiadat. Sehingga, Piagam Jakarta yang sudah disepakati di BPUPKI dihapus, dengan alasan ada keberatan dari pihak Kristen Indonesia Timur yang menghendaki dicoretnya kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mohammad Natsir menyebut ini sebagai “peristiwa ultimatum terhadap Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan”.

commit to user

Kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, dan M. Yamin telah memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkar, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso.

Pemerintahan yang sekular tidak hanya berhenti dalam perjalanan sekitar proklamasi, dari awal masa Orde Baru sampai sekitar tahun 1988 dapat disebut sebagai tahapan antagonis antara pemerintah dan Islam, di mana semakin memperlihatkan sekularisasi dan deislamisasi. Pengembangan gagasan dan pemikiran rasional di Indonesia, secara langsung terlihat dari beberapa program Departemen Agama masa Orde Baru dengan mengirim para sarjana IAIN untuk melanjutkan studi dan belajar ilmu-ilmu Islam di negeri Barat pada kaum orientalis (Budi Handrianto, 2007: 57). Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh para pemikir Barat yang menggagas liberalisasi Islam dan secara cepat meluas dalam berbagai aspek. Proyek imperialis yang masuk melalui jalur pendidikan menjadi alur terprogram dan memberikan pengaruh besar bagi pandangan ideologis negara Indonesia cenderung berpihak pada Barat yang dinilai sukses dalam pengembangan Ilmu pengetahuan sehingga negara-negara Barat berhasil maju pesat, dan Indonesia pantas belajar dari para orientalis.

Dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini berwujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private

ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan

motif mencari untung (profit). Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang mengharuskan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. Dalam bidang agama, liberalisme diwujudkan dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat yang mengedepankan pluralisme

commit to user

Gagasan liberalisasi Islam tampak nyata masuk dan berkembang di Indonesia, terlihat dengan hadirnya Nurcholish Madjid dengan ide pembaruannya tahun 1970-an. Menurut Ulil Abshar Abdalla, tradisi liberal sebenarnya sudah ada dan berkembang kuat di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Sejak 1980-an, banyak isu-isu sensitif dalam Islam yang dipecahkan oleh NU dengan tidak biasa. Mulai dari Pancasila sebagai asas tunggal, bunga bank, bank konvensional, sampai ke isu insklusivisme Islam Indonesia. Wajar, jika citra NU sebagai organisasi Islam tradisionalis, sudah lama harus ditinggalkan. Sejak 1970-an, sudah dapat dikatakan mengisi posisi yang pernah ditempati Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) pada 1920-an. Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, meyakini bahwa posisi sebagai kelompok Islam konservatif sekarang ini justru dipegang oleh Muhammadiyah dan Persis (Rimbun Natamarga, dalam

http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/01/akar-dan-wajah-pemikiran-islam-liberal/, diakses 11 November 2011).

Dokumen terkait