• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

2. Demokrasi

Demokrasi merupakan suatu sistem politik yang lahir pada abad ke-18, setelah kemerdekaan Amerika Serikat, kemudian meluas ke Eropa melalui proses

commit to user

monarki konstitusi dan bahkan revolusi, seperti di perancis, yang sekaligus merubah kerajaan menjadi republik. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan atau kratein yang berarti memerintah. Demokrasi dapat diterjemahkan sebagai “kekuasaan rakyat”. Dengan kata lain demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui perwakilan). Dengan demikian dalam suatu Negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat sebagaimana pengertian demokrasi yang diucapkan oleh Abraham Lincoln

the goverment from the people, by the people and for the people (suatu

pemerinthan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat) (http://masri.blog.com, diakses 27 Desember 2011).

Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana rakyat yang berkuasa. Pemerintah dalam Negara demokrasi pada dasarnya adalah pilihan rakyat yang berdaulat dan diberi tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan Negara serta mempertanggungjawabkan pada rakyat. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat.

Robert A. Dahl dalam studinya Dilemmas of Pluralist Democracy

menjelaskan bahwa demokrasi pada hakekatnya merupakan penataan hubungan antara pemberian otonomi di satu sisi dengan kebutuhan akan kontrol di sisi lain (Eep Saefulloh, 1994: 44). Lebih lanjut Dahl menggambarkan dalam hubungan tersebut demokrasi menghadapi 6 kontradiksi: a. hak versus kebutuhan umum, b. masyarakat yang terbuka versus masyarakat yang lebih tertutup, c. persamaan individu versus persamaan kolektif, d. persamaan versus perbedaan, e. sentralisasi

versus desentralisasi, f. konsentrasi versus ketersebaran kekuasaan dan

sumber-sumber politik. Bagi Dahl, demokrasi tidak lain adalah satu model ideal pengelolaan konflik otonomi (kebebasan) versus kontrol (pengendalian). Istilah Dahl sebagai “demokrasi yang lebih maju”, yaitu demokrasi yang ditujukan untuk mencari sumber ketidaksamaan dan mengelolanya, bukan demokrasi yang

commit to user

memaksakan persamaan serta mematikan kemajemukan dan realitas konflik politik (Eep Saefulloh, 1994: 55).

Demokrasi institusional atau prosedural dikemukakan oleh Joseph A. Schumpeter sebagai kesepakatan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di mana individu-individu meraih kekuasaan untuk menentukannya melalui sebuah perjuangan kompetitif yang mewakili suara rakyat. Sedangkan demokrasi menurut David Beetham adalah sebuah modus pembuatan keputusan tentang sejumlah peraturan dan kebijakan yang secara kolektif bersifat mengikat di mana rakyat menjalankan kontrolnya (Masdar Hilmy, 2009: 28).

Tiga komponen demokrasi politik, yaitu: a. persaingan (competition) antara pribadi atau organisasi politik untuk merebut posisi pemerintahan, b. partisipasi politik yaitu dengan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk duduk di kursi parlemen, dan kebebasan serta persamaan (civil and political freedom), c. kebebasan untuk mengekspresikan dan mengeluarkan pendapat tanpa takut terhadap kekuatan manapun. Secara terminologi, demokrasi adalah suatu sistem yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan yang berdasarkankan pada kedaulatan di tangan rakyat yang kebijakan-kebijakannya ditujukan untuk mensejahterakan keseluruhan rakyat di dalam negara tersebut.

Demokrasi mempunyai peran yang sinergis antara proses pembuatan kebijakan negara oleh institusi negara dengan rakyat yang menjadi penghuninya. Proses demokrasi menjadi wacana yang mudah diingat karena dalam lingkungan suatu negara harus berjalan sesuai dengan keinginan rakyatnya. Oleh sebab itu, proses demokratisasi diterapkan agar seluruh kepentingan yang bernaung dalam keinginan dan harapan rakyat atas proses pemerintahan harus mengikutsertakan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negara tersebut, sehingga setiap kebijakan-kebijakan pemerintah semata-mata untuk kepentingan rakyatnya dan mencapai kemudahan hidup bernegara dengan keadilan dan kesejahteraan yang merata. Namun bukan hal mudah untuk melihat konsep demokrasi dalam konteks Indonesia (Masdar Hilmy, 2009: 99). Kejatuhan pemerintah Orde Baru yang otoriter memberikan harapan demokratisasi di Indonesia. Transisi politik yang

commit to user

direpresentasikan oleh era reformasi berdampak signifikan kepada pergantian sistem politik sentralistik menuju pemerintahan yang lebih demokratis (Masdar Hilmy, 2009: 101). Kondisi keagamaan yang cenderung mengalami penekanan masa Orde Baru juga secara langsung memberikan harapan baru di era selanjutnya (reformasi)

Wacana Islam dan demokrasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa pemikiran, yaitu: Islam dan demokrasi sebagai dua sistem politik yang berbeda. Islam sebagai agama yang kaffah (sempurna) tidak saja mengatur soal keimanan

(aqidah) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia.

Dengan demikian, Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda. Adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tetapi mengakui adanya perbedaan antara Islam dan demokrasi. Islam merupakan sistem politik demokratis jika demokrasi didefinisikan secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Islam dalam demokrasi tidak hanya karena prinsip syura

(musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma’ (konsesus)

(http://alharasy.multiply.com/journal/item/4?&show_interstitial=1&u=%2Fjourn

al%2Fitem diakses 3 januari 2012).

Vali Nasr berpendapat bahwa “Muslim Demokrasi” (Masdar Hilmy, 2009: 105) telah lahir dan berkembang sejak awal 1990-an di beberapa Negara dengan jumlah mayoritas penduduk beragama Islam. Meskipun mendukung gagasan Islam dan demokrasi, dia berargumentasi bahwa demokrasi di dunia Islam tidaklah muncul dari kerangka konseptual keagamaan ideologis yang merepresentasikan sebuah sintesis antara islam dan demokrasi melainkan dari hubungan pragmatis yang muncul di banyak negara Islam sebagai respon politik.

Demokrasi menjadikan suatu bangsa dan negara memiliki pandangan hidup yang pluralistik dan memiliki norma-norma yang timbul dari pandangan hidup setiap individu yang menjadi warganegara suatu bangsa dan negara tersebut. Adapun menurut Nurcholis Madjid di negara-negara yang memiliki kemapanan demokrasi mencakup tujuh norma yang menjadi pandangan hidup

commit to user

demokratis, yaitu: 1) pentingnya kesadaran akan pluralism, 2) musyawarah, 3) perkembangan moral, 4) pemufakatan yang jujur dan sehat, 5) pemenuhan segi-segi ekonomi, 6) kerjasama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai maksud baik masing-masing, 7) pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan.

Robert Pinkney menjelaskan tentang model-model demokrasi di Indonesia. Dua model demokrasi yang relevan untuk dikemukakan, yaitu demokrasi berwawasan radikal (radical democracy), dan demokrasi berwawasan liberal (liberal democracy). Menurut Pinkney, demokrasi radikal ditandai dengan kuatnya pandangan bahwa hak-hak setiap warga negara dilindungi dengan prinsip persamaan di depan hukum, tetapi perhatian yang diberikan tidak sama dengan perlindungan hak individu di bawah demokrasi liberal. Sedangkan demokrasi liberal lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Oleh karena itu lebih bertujuan menjaga tingkat representasi warga negara dan melindunginya dari tindakan kelompok lain ataupun dari negara. Negara dalam hal ini tidak berposisi sebagai operator kehendak mayoritas, karena dikhawatirkan akan bertentangan dengan kepentingan minoritas. Kelompok yang berwawasan demokrasi radikal adalah mereka yang pro syariat. Dengan pemahaman utama bahwa karena mayoritas warga negara beragama Islam maka sudah seharusnya jika hukum yang diimplementasikan bersumber dari syariat. Namun disadari bahwa implementasi syariat hanya bisa dilakukan melalui mekanisme konstitusional, maka kelompok ini percaya bahwa usaha tersebut baru tercapai jika mampu mendominasi panggung politik (Arskal Salim dalam

http://islamlib.com/id/artikel/islam-di-antara-dua-model-demokrasi, diakses 19 Februari 2012).

Dapat dipahami bahwa fungsi demokrasi menjadi penting (essential) bagi suatu negara untuk menerapkan demokratisasi ke dalam proses pemerintahannya. Bukan hanya menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup, namun juga menjadi dasar bagi proses pengambilan keputusan bagi setiap kebijakan oleh pemerintahan. Namun dalam negara yang mayoritas penduduknya muslim harus lebih peka dalam melihat realita di masyarakat karena tidak semua pemegang

commit to user

kekuasaan menyetujui demokrasi ala Barat. Dalam hal ini, Jaringan Islam Liberal berusaha menjadi bagian bahkan jaringan yang mempelopori agenda demokrasi di samping banyak organisasi dan institusi Islam yang telah ada. Secara umum, agenda Jaringan Islam Liberal menghendaki sebuah negara yang mengedepankan asas demokrasi terutama dalam penempatan agama.

Dokumen terkait