• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaringan Islam Liberal dan Cita-cita Civil Society

BAB IV HASIL PENELITIAN

C. Pengaruh Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia tahun 2001-

1. Jaringan Islam Liberal dan Cita-cita Civil Society

Civil society, dipadankan dalam bahasa Indonesia dengan “masyarakat

sipil”, “masyarakat kewargaan” adalah suatu istilah yang pada mulanya berasal dari Barat kemudian masuk ke negeri-negeri yang sedang giat melakukan

commit to user

demokratisasi, termasuk Indonesia. Telah menjadi agenda penting yang sering dibicarakan banyak pemikir sebagai wacana dari praktik politik kontemporer. Sebagaisalah satu ajaran yang mwmpunyai misi mengubah tatanan sosial masyarakat, Islam memiliki konsep tentang masyarakat ideal dank arena itu Islam juga berkepentingan untuk mengubah masyarakat menuju cita-cita idealnya. Kesesuaian ajaran-ajaran Islam dengan civil society disepakati bahwa Islam mendorong penciptaan masyarakat madani, Nabi Muhammad bahkan telah mencontohkan secara aktual bagaimana perwujudan civil society yaitu ketika Nabi mendirikan dan memimpin Yatsrib yang kemudian dikenal sebagai kota Madinah dengan Piagam Madinah sebagai aturan yang disepakati bersama antara siapapun yang ada di Madinah (Masduki, 2007: 159).

Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat nongovermental untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya terhadap negara. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara dan negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak kebebasan yang sama (Mawardji J., 2008: 20)

Terdapat beberapa unsur yang merupakan bagian dari proses pemaknaan masyarakat madani yang lebih dari sekadar gerakan-gerakan pro-demokrasi yang menekankan peranan Islam, demokratisasi sebagai pemberdayaan, bukan oposisi, pemerintah tetap merupakan faktor yang krusial bagi demokratisasi dan reformasi politik, kerjasama pemerintah dan masyarakat sipil, bukan konflik dan perebutan kekuasaan, pemerintah memerintah masyarakat sipil, tatanan demokratis tidak bisa diciptakan tanpa kekuasaan negara, menjamin stabilitas, di samping unsur

commit to user

kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bertamaddun atau civility (Ahmad Baso, 1999: 257)

Memasuki dekade 1990-an, orang banyak berbicara tentang civil society

yang oleh kalangan Islam disebut sebagai masyarakat madani. Tidak jarang terjadi salah kaprah dalam memberikan interpretasi tentang konsep dasar apa yang disebut sebagai civil society. Dan tidak jarang pula ada yang memahami dengan melihat civil society sebagai masyarakat sipil vis a vis militer dalam kehidupan politik di Indonesia (Afan Gaffar, 1999: 176). Sebutan masyarakat madani, seperti banyak diakui para pendukungnya, pertama kali diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim sewaktu masih menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia dalam satu forum ilmiah menyampaikan ceramah berjudul “Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani”, bahwa dalam sejarah Asia Tenggara, Islamlah yang pertama kali memperkenalkan cita-cita keadilan sosial dan pembentukan masyarakat madani, yaitu civil society yang bersifat demokratis. Meskipun Anwar menyadari bahwa konsep civil society berasal dari Barat, tetapi Ernest Gellner juga menyebut konsep High Islam yang menegaskan bahwa budaya tinggi Islam yang juga beroperasi dalam sejarah Asia Tenggara (Ahmad Baso, 1999: 258)

Menurut Hikam dalam Ahmad Baso (1999: 259-260), civil society

diperlukan untuk menjembatani kemungkinan terjadinya dominasi oleh kekuatan primordial seperti agama. Maka, jika disepakati untuk membangun sebuah civil

society dengan agama sebagai panglimanya akan mengalami kesulitan sebab

dalam civil society agama ditempatkan sebagai salah satu elemen identitas. Hal ini berbeda dengan apa yang berlaku dalam wacana masyarakat madani yang menjadikan peranan Islam sebagai faktor dominan. Arena konsep civil society

sepenuhnya berawal dari kemaslahatan manusia sebab civil society bukan berdasarkan prinsip agama, tetapi kewarganegaraan.

Senada dengan itu, kelompok JIL sejak awal telah bekerjasama dengan Asia Foundation dalam mendorong demokratisasi dan civil society di Indonesia. Seperti dijelaskan Ulil dalam Gatra (8 Desember 2001: 66), “kami susun program, kami ajukan ke Asia Foundation, dan disetujui”. Hal tersebut dibenarkan oleh Ahmad Suaedy, selaku Program Officer Islam dan Civil Society

commit to user

Asia Foundation, “Dalam rangka mendorong demokratisasi dan civil society,

kami memang bekerjasama dengan banyak organisasi Islam”. Bukan hal yang mustahil bahwa organisasi Islam yang dirangkul dalam kerjasama tersebut adalah organisasi yang mengangkat agenda-agenda sejalan dengan Barat.

Dari penjelasan program-program JIL sebelumnya selama lima tahun (2001-2005), dapat diamati beberapa tahapan besar yang berjalan dalam pengembangan gagasan-gagasan liberalnya. Sejak berdiri tahun 2001 JIL mulai dari diskusi-diskusi mengenai istilah liberal dalam Islam Liberal dan menyusun agenda-agenda yang harus dikerjakan. Tahun 2002, seiring dengan datangnya respon, kritik dan sejumlah peristiwa politik yang banyak mengusung Islam sebagai kekuatan ideologis, sehingga muncul penolakan terhadap penerapan syariat dalam negara, JIL mulai menggagas secara serius mengenai teologi negara sekular. Tahun 2003, pluralisme Nampak menjadi puncak dari agenda-agenda JIL, di mana sikap toleransi, kebebasan menafsirkan Al-Qur’an, kebebasan berekspresi (mulai pembahasan agama, seni, dan batasannya) menjadi tema diskusi yang diusung. Tahun 2004, seiring maraknya pemilu 2004, di mana partai Islam bersaing dengan legitimasi agama untuk meraih simpati masyarakat, diskusi JIL diwarnai dengan pembendungan-pembendungan politisasi agama dalam pemilu, posisi ulama dengan godaan politik kekuasaan sehingga gagasan sekularisasi Nurcholis Madjid dianggap perlu dikembangkan dengan tidal mencampuradukkan antara kepentingan politik menggunakan label Islam. Tahun 2005, memuncaknya respon dengan hadirnya Fatwa MUI mengenai haramnya Sekularisme, pluralisma dan liberalisme semakin memojokkan posisi JIL, namun JIL tetap intens dalam berbagai diskusinya dan mulai menegaskan kembali mengapa perlu meniru Barat yang maju, karena Islam terus berubah.

Agenda tersebut mengarahkan pada cita-cita Jaringan Islam Liberal dalam Islam dan civil society yang sebenarnya adalah implementasi dari bentuk masyarakat madani dalam terjemahan era modern karena menurut Ulil (Kompas, 18 November 2002) menjelaskan,

…Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul

commit to user

tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.

Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yang partikular”.

Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah

one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.

Jadi dalam konteks ini Ulil menganggap bahwa masyarakat madani hanya ada pada masa Rasulullah, yang tidak akan bisa diterapkan di masa sekarang. Anggapan tersebut jelas bertentangan dengan konsep konstitusi Modern. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, & Ni’matul Huda (2008: 47), menjelaskan bahwa Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah yang dibuat untuk mempersatukan kelompok-kelompok sosial di Madinah menjadi satu umat dan mengakui hak-haknya demi kepentingan bersama, merupakan contoh atau teladan dalam sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang bercorak majemuk. Ide-ide dalam ketetapan Piagam Madinah tetap mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini, dan telah menjadi pandangan hidup modern berbagai negara di dunia. Tujuan membentuk masyarakat beradab atau dalam konteks ini disebut civil society yang penuh dengan toleransi antar umat beragama direpresentasikan dalam menggagas sekularisme dan pluralisme agama.

a. Kehidupan Politik (Menggagas Agenda Penolakan Negara Syariat)

Diskursus negara syariat sebenarnya bukan diskursus baru dalam wacana Islam Politik. Panorama seperti ini hampir menjadi karakter utama negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bisa dilihat dari maraknya organisasi

commit to user

keagamaan yang lantang menyuarakan isu negara syariat di berbagai dunia Islam, seperti Ikhwan Muslimin (Mesir), Jamaat Islamiyah (India, Pakistan dan Bangladesh) dan FIS (Aljazair). Syariat Islam menjadi istilah penting dalam kajian hubungan Islam dengan negara. Sejak terbentuk kesadaran nasionalisme Indonesia, syariat Islam menjadi salah satu ideologi yang bersaing dengan kekuatan ideologi lain, pada era tertentu syariat Islam dianggap sebagai kekuatan yang bisa mengganggu stabilitas Nasional sehingga perlu dikendalikan. Dan di masa transisi Indonesia menuju Demokrasi, syariat Islam kembali memasuki arena wacana politik dan gerakan yang cukup sistematis untuk diterapkan sebagai hukum nasional (Taufik Rahman, 2004: 105-106).

Menguatnya keinginan masyarakat muslim di tanah air untuk menerapkan syariat Islam merupakan gejala yang menarik, bukan hanya dalam hal penerapan yang bersifat teknis, akan tetapi dalam mengungkap dimensi yang hilang dalam wacana syariat Islam. Terdapat ruang yang lebar untuk memahami kembali syariat Islam yang hanya dianggap identik dengan istilah “penerapan dan formalisasi”. Arus reformasi dan demokratisasi yang berkembang pesat pasca-totalitarianisme Orde Baru telah mengilhami keterbukaan dan kebebasan untuk mendiskusikan wacana keagamaan yang telah mengalami keterkungkungan (Zuhairi Misrawi, 2001: dalam

http://islamlib.com/id/artikel/tafsir-humanis-atas-syariat-islam, diakses 30 April 2012).

Demokrasi yang dicita-citakan tentunya mempunyai keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik. Demokrasi tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya melalui lembaga pengadilan dan kepolisian. Setiap Muslim memiliki kepercayaan bahwa kultur politik Nabi Muhammad adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat politik (polity) yang dibangun, yakni Madinah, harus dijadikan acuan. Rasulullah bukan saja seorang pemimpin spiritual umat tapi juga seorang pemimpin politik. Dalam diri Nabi, dua kekuatan ini menyatu, dan Nabi dipercaya menjalankan kepemimpinan politiknya atas dasar Syari’ah. Berdasarkan keterangan tersebut

commit to user

Saiful Mujani, (2001: dalam

http://islamlib.com/id/artikel/syariat-islam-dan-keterbatasan-demokrasi diakses 30 April 2012) menegaskan

Demokrasi itu sendiri membutuhkan kultur politik demokrasi, yakni kultur massa mayoritas yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dibanding sistem lain. Di dalamnya ada keyakinan terhadap pluralisme politik: keyakinan bahwa keragamaan politik, teruatama yang berkaitan dengan politik yang bertumpu pada kekuatan primordial seperti agama, merupakan keniscayaan. Karena itu, tidak boleh ada kekuatan priomordial apapun untuk memaksakan dirinya menjadi dominan terhadap kekuatan primordial lain dalam wilayah publik. Kalau kultur ini lemah, di mana kekuatan primordial mayoritas menuntut menjadi kekuatan dominan dalam arena publik, maka sistem politik yang cocok untuk ini adalah non-demokrasi, misalnya saja otoritarianisme atau bahkan totalitarianisme. Sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok dalam masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Tapi kalau sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka ia akan mengikat semua Muslim. Kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang syari’ah, mulai terancam keberadaannya.

Maka, pada dasarnya penerapan syariat dianggap sebagai hal yang mengancam keragaman di Indonesia yang multikultural sehingga kelompok Islam liberal begitu menolak wacana syariat diterapkan di Indonesia. Penerapan syariat dikhawatirkan akan menjadi penghambat proses demokrasi yang diharapkan mampu menampung kebebasan. Secara umum argumentasi kaum liberal untuk menolak penerapan syariat Islam dapat dikategorikan menjadi tiga. Argumentasi

historis, bahwa hukum Islam adalah produk masa lalu yang dibentuk berdasarkan

latar belakang sosial dan politik masyarakat dan merupakan sebuah respon terhadap keperluan dan kepentingan masyarakat saat itu. Karena itulah, syariat Islam tidak mungkin diaplikasikan untuk saat ini karena tidak merefleksikan kepentingan masyarakat saat ini. Berdasarkan pertimbangan maqashid syariah, argumentasi ini menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai objektif/maqasid

utamanya sendiri. Dan objektif utama syariat Islam secara umum adalah menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. Konsep maslahat itu sendiri berubah seiring dengan berjalannya waktu. Apa yang dianggap maslahat pada saat

commit to user

tertentu dan oleh masyarakat tertentu belum tentu dianggap sama oleh masyarakat lain dan dalam konteks waktu yang lain. Yang terakhir berdasarkan argumen pertimbangan Hak Asasi Manusia, syariat Islam yang diterapkan dalam aturan pemerintahan sebagai dasar hukum dikhawatirkan akan menghambat toleransi dan melanggar HAM (Wildan Hasan dalam, http://www.voa-

islam.com/news/indonesiana/2011/03/16/13797/kejanggalan-pemikiran-ulil-abshar-abdalla-tentang-islam/, diakses 10 Juni 2012). Menurut Ulil (Gatra, 21

Desember 2002: 29), pemberlakuan syariat Islam sama saja melibatkan secara penuh peran negara dalam kehidupan beragama, cara ini bisa mempersempit cara pandang Islam, Syariat menjadi terjebak dalam urusan larangan-larangan seperti minuman keras, Jilbab, perzinaan, perkawinan sesama jenis.

b. Terhadap Kehidupan Agama (Mengedepankan Pluralisme Agama)

Pengaruh cara pandang JIL terhadap kehidupan beragama jelas menimbulkan kontroversi luar biasa khususnya artikel yang ditulis Ulil dalam Kompas 18 November 2002. Menurutnya, temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugrah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya adalah milik orang Islam juga, tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam. Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri, yang harus dilawan adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu. Ulil berpandangan lebih jauh lagi, bahwa setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islam juga. Islam (seperti pernah dikemukakan

commit to user

Cak Nur dan sejumlah pemikir lain) adalah nilai generis yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.

Paham pluralisme sangat dekat dan didukung oleh pandangan Islam inklusif yang terbuka terhadap kemajuan. Idea of progress bertitik tolak pada konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik , suci dan cinta kepada kebenaran dan kemajuan (manusia diciptakan Allah dalam fitrah dan berwatak hanif). Konsistensi idea of progress adalah sikap mental yang terbuka, berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja, asalkan mengandung kebenaran. Jadi, sejalan dengan intellectual freedom,

manusia harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spectrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang menurut ukuran objektif mengandung kebenaran (Nurcholish Madjid, 2008: 234). Menurut Madjid (2008: 235), sikap terbuka merupakan salah satu tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari Allah, sedangkan sikap tertutup, sehingga “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit”, merupakan salah satu tanda kesesatan.

Di satu sisi, JIL mengedepankan toleransi beragama, namun di sisi lain pengaruhnya sangat buruk bagi manusia, kelonggaran-kelonggaran yang dipercaya datang dari Al-Qur’an sebenarnya merupakan kelonggaran yang dibuat oleh manusia itu sendiri, bisa jadi kelonggaran tersebut telah malampaui batas toleransi. Kebebasan yang diususng oleh JIL telah meresahkan umat muslim khususnya bagi kelompok yang awam dan menerima mentah-mentah indahnya sebuah kebebasan termasuk kebebasan untuk tidak beragama. Menurut Djohan Effendi (dalam wawancaranya dengan Nong Darol Mahmada, Agustuss 2001,

http://islamlib.com/id/artikel/harus-ada-kebebasan-untuk-tidak-beragama,

diakses 30 April 2012)

Pertama, keberagamaan harus menjadi suatu pilihan, keyakinan. Dan setiap orang harus meyakini bahwa keberagamaannya itu merupakan keyakinan yang ultimate. Kalau tidak seperti itu, buat apa beragama kalau kita tidak meyakini bahwa agama yang kita pegang akan menyelamatkan kita. Kedua, salah satu wujud keberagamaan yang paling dalam adalah ketulusan. Jadi ia harus secara tulus, tidak ada paksaan untuk menganut agama. Karena itu

commit to user

segala macam bentuk paksaan tidaklah dibenarkan, karena musuh yang paling fundamental dari agama adalah kemunafikan. Jadi kalau orang tidak memperoleh kebebasan untuk menentukan pilihannya, entah karena paksaan secara halus ataupun kasar, dalam bentuk apapun, menurut saya tidak akan lahir keberagamaan yang tulus, yang betul-betul murni. Kalau tidak ada kemurnian dalam beragama, buat apa?

Pluralisme yang disalahartikan telah menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan umat Islam khususnya di Indonesia. Pluralisme dan toleransi disuguhkan dengan berbagai argumentasi yang menolak adanya pemaksaan untuk memeluk satu agama. Menurut Nurcholish Madjid (2001), tidak boleh ada pemaksaan agama artinya tidak boleh memaksa manusia untuk memeluk satu agama. Agama-agama yang ada (sepanjang benar-benar bersifat standar dan mempunyai kitab suci) harus ditolerir dan juga harus diberi hak hidup. Al-Qur’an bahkan menuntut agar menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Berdasarkan hal itu, secara historis, masyarakat yang paling berhasil belajar soal kemajemukan adalah masyarakat Islam. Karena itu, negara-negara Islam rata-rata multi-agama, kecuali Arab Saudi, negara ini menerapkan kebijakan politik yang dimulai Umar bin Khattab untuk daerah Hijaz. Untuk Hijaz tidak boleh ada agama lain, karena dimaksudkan sebagai sebuah homebase yang aman. Mereka yang keluar dari hijaz, dan mereka yang bersedia keluar ke Irak atau Yaman, diberi kompensasi yang besar. Tapi kalau kita ke Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab, Libanon dan lain-lain masih banyak orang-orang Nasrani, Yahudi dan lain-lain-lain-lain, dengan Gereja dan Sinagogenya

(http://islamlib.com/id/artikel/dalam-hal-toleransi-eropa-jauh-terbelakang, diakses 30 April 2012). Pemahaman-pemahaman semacam ini telah

merasuk dalam pandangan masyarakat Indonesia bukan hanya di kalangan tokoh-tokoh intelektual saja melainkan hingga lapisan bawah, pemahaman pluralisme telah mengakar mulai dari pendidikan tingkat Sekolah Dasar, dengan menanamkan bahwa semua agama adalah sama sehingga perlu adanya toleransi antarumat beragama.

Dokumen terkait