Teknisi Litkayasa Terampil pada Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9, Sukamandi, Subang, Jawa Barat 41256
Telp. (0260) 520157, Faks. (0260) 521104
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Percobaan untuk mengetahui penampilan pertumbuhan dan produksi varietas unggul baru padi pada ketinggian menengah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat telah dilaksanakan di lahan sawah Kebun Percobaan Kuningan Balai Besar Penelitian Padi pada Musim Tanam II 2018. Sebanyak 7 VUB padi (Inpari 24, Inpari 28, Inpari 33, Inpari 38, Inpari 40, Inpari 42, dan Inpari 43) dievaluasi keragaannya bersama dengan 2 varietas pembanding (Sintanur dan Ciherang). Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa secara umum ketujuh varietas yang diuji memiliki komponen hasil yang lebih baik dibanding varietas pembanding Sintanur dan Ciherang. Produktivitas gabah kering panen tertinggi ditunjukkan oleh Inpari 42 sebesar 6,98 t ha-1. Kata kunci: padi sawah, varietas unggul baru, ketinggian menengah
PENDAHULUAN
Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang penting untuk meningkatkan produksi. Varietas unggul umumnya mempunyai sifat-sifat yang menonjol dari aspek potensi hasil, ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT) tertentu dan keunggulan agronomis penting lainnya. Sembiring (2010) menyatakan bahwa penggunaan varietas unggul baru (VUB) merupakan salah satu komponen teknologi dasar pengelolaan tanaman terpadu yang dianjurkan. Hingga saat ini Kementerian Pertanian telah melepas lebih dari 233 Varietas unggul yang terdiri atas 144 varietas padi sawah inbrida, 35 varietas padi hibrida, 30 varietas padi gogo, dan 24 varietas padi rawa. Varietas unggul merupakan komponen teknologi utama pertanaman padi yang telah memberikan kontribusi sebesar 56% dalam peningkatan produksi pada dekade 1970-2000.
Pemilihan varietas yang sesuai dengan agroekosistem lingkungan sangat mendukung keberhasilan usahatani padi sawah. Berbagai kendala ditemukan dalam sistem produksi perpadian Indonesia, antara lain penggunaan input yang tidak efisien, pelandaian peningkatan produksi dan belum dimanfaatkannya potensi genetik dalam bentuk varietas unggul baru. Sementara itu rata-rata laju pertambahan penduduk Indonesia sekitar 1,27-1,29% per tahun. Dengan
laju pertumbuhan tersebut pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 296 juta jiwa dengan kebutuhan beras sekitar 41,5 juta ton atau setara dengan 78,3 juta ton gabah kering giling.
Untuk mencapai target tersebut diimplementasikan melalui; (1) Perluasan areal tanam dengan mencetak sawah baru, (2) Peningkatan produktifitas dengan penerapan budidaya tanaman sesuai dengan konsep Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah. Salah satu komponen teknologi PTT padi sawah adalah Varietas Unggul Baru (VUB) baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil maupun toleransi ataupun ketahanannya terhadap cekaman biotik atau abiotik. Varietas unggul merupakan komponen teknologi utama pertanaman padi yang telah memberikan kontribusi sebesar 56% dalam peningkatan produksi pada dekade 1970-2000 pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2007). Kontribusi nyata varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 (Hafsah, 2005).
Banyak VUB padi yang sudah dilepas tetapi sebagian kurang berkembang. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain varietas tersebut kurang memiliki keunggulan spesifik, atau kurang sesuai dengan preferensi petani dan konsumen, atau varietas yang dilepas memiliki beberapa kelemahan yang sebelumnya belum diantisipasi. Akibatnya petani menanam varietas yang sama yang diyakini akan memberikan hasil tinggi, baik kualitas maupun kuantitas, dari musim ke musim.
Masyarakat di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat mempunyai preferensi tersendiri terhadap tekstur nasi. Beberapa varietas unggul yang sesuai dengan preferensi masyarakat Kuningan dan sudah cukup lama dibudidayakan diantaranya varietas Sintanur, Ciherang, Mekongga dan Inpari 19. Varietas-varietas tersebut sangat disukai pengguna, namun seiring waktu menunjukkan kerentanan terhadap serangan OPT seperti wereng coklat, tungro, dan blas dengan intensitas serangan ringan sampai berat, sehingga perlu adanya penambahan keragaman varietas atau penciptaan VUB.
Pemilihan varietas unggul baru yang tepat diikuti dengan penerapan komponen teknologi pendukung yang sesuai
Penampilan Hasil Varietas Unggul Padi Sawah pada Ketinggian Lahan Menengah di Kuningan, Jawa Barat (Emod Ahmadi)
merupakan pendekatan yang diyakini mampu meningkatkan produktivitas padi. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui penampilan pertumbuhan dan produksi VUB padi sawah pada ketinggian menengah di lokasi pengujian Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan dilaksanakan di lahan sawah Kebun Percobaan (KP) Kuningan Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi) pada Musim Tanam (MT) II 2018 (Februari-Oktober).
Bahan dan Alat Percobaan
Bahan utama yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih padi dan pupuk. Benih yang digunakan adalah benih padi kelas FS (benih dasar) yang diproduksi oleh Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) BB Padi, terdiri atas varietas Inpari 24, Inpari 28, Inpari 33, Inpari 38, Inpari 40, Inpari 42, Inpari 43, serta Ciherang dan Sintanur sebagai varietas pembanding. Adapun pupuk yang digunakan dalam percobaan terdiri atas pupuk tunggal (Urea, TSP, ZA) dan pupuk majemuk (Phonska). Alat percobaan yang digunakan meliputi sabit, cangkul, hand tractor, power thresher, meteran, timbangan, tali, alat tulis menulis, kamera, dan terpal.
Persiapan Percobaan
Persiapan percobaan yang dilakukan adalah 2 (dua) tahap pengolahan tanah untuk menyiapkan petak persemaian dan lahan percobaan. Olah tanah pertama dilakukan dengan membajak tanah menggunakan hand tractor, meratakan tanah, dilanjutkan pembuatan caren untuk petak persemaian. Setelah petak untuk persemaian siap kemudian benih padi ditebar dan disemaikan/dibibitkan selama 21 hari. Menjelang bibit berumur 15 hari, lahan untuk percobaan mulai disiapkan dengan jalan membajak tanah sebanyak 2 (dua) kali. Pembajakan pertama dilakukan dengan jalan membalik tanah (disingkal). Dua hari kemudian dilakukan pembajakan kedua dengan menghaluskan dan meratakan tanah.
Tanam
Penanaman dilakukan pada MT II 2018 (bulan Pebruari) setelah bibit yang disemai siap untuk pindah tanam. Bibit yang ditanam berumur 21 hari setelah semai (hss) dan dicirikan berdaun dua sampai tiga helai. Penanaman dilakukan satu lubang tiga bibit.
Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi pemupukan, pemeliharaan areal tanam, serta pengairan. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 (tiga) tahap yaitu: 1) pemupukan pertama pada saat tanaman berumur 7-15 hari setelah tanam (hst) berupa pemberian Urea dan TSP dengan dosis berturut-turut 100 dan 50 kg/ha, 2) pemupukan kedua dilakukan saat tanaman berumur 25-30 hst berupa pemberian Urea dan Phonska dengan dosis berturut-turut 50 dan 100 kg/ha, 3) pemupukan ketiga dilakukan saat tanaman berumur 40-45 hst berupa pemberian Urea dan Za dengan dosis masing-masing 50 kg/ha. Pemeliharaan areal tanam meliputi penyiangan dan pengendalian OPT. Penyiangan adalah pembersihan areal pertanaman dari gulma dan rumput liar yang mengganggu dan merupakan tahap penting yang harus dilakukan dalam budidaya padi yang direkomendasikan. Penyiangan dimulai pada saat umur tanaman memasuki 21 hst. Pengendalian OPT dilakukan jika diperlukan dengan mengaplikasikan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Adapun pengairan dilakukan secara berselang-seling sehari diairi sehari tidak diairi mengikuti konsep alternate wet drying (AWD).
Perlakuan Percobaan
Ketujuh varietas Inpari (24, 28, 33, 38, 40, 42, 43) serta 2 varietas pembanding (Ciherang dan Sintanur) masing-masing ditanam pada petak seluas 0,5 ha
Peubah Percobaan
Pengamatan dilakukan untuk mengetahui respon pertumbuhan dan perkembangan tanaman sejak awal tanam hingga panen. Peubah yang diamati dalam pada percobaan ini adalah:
1. Tinggi tanaman (cm), yaitu diukur mulai dari pangkal batang di atas permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi. Pengukuran dilakukan pada saat tanaman padi berumur 30 sampai 60 hst dengan selang waktu pengamatan setiap 15 hari.
2. Jumlah anakan produktif per rumpun, yaitu rata-rata jumlah anakan dari 10 rumpun contoh yang ditentukan secara acak. Jumlah anakan per rumpun dihitung bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman.
3. Panjang malai (cm), diukur dari dasar malai sampai ujung malai. Pengamatan dilakukan saat panen.
4. Jumlah gabah per malai, yaitu jumlah seluruh gabah dari lima rumpun contoh.
5. Jumlah gabah hampa per malai, yaitu jumlah gabah yang tidak bernas dari lima rumpun contoh. Peubah poin 4 dan 5 kemudian diformulasi untuk menghitung persentase gabah hampa dengan rumus:
6. Bobot 1000 biji gabah (g), diperoleh dengan menimbang gabah bernas sebanyak 1000 biji yang diambil dengan menggunakan timbangan analitik.
7. Bobot gabah kering per plot ubinan (kg), adalah hasil gabah bersih yang dipanen dari ubinan 2,4 m x 4,2 m (12 rumpun x 21 rumpun) yang dikeringkan hingga kadar air 11%. Peubah ini kemudian dijadikan dasar untuk melakukan konversi hasil gabah kering panen per satuan luas standar (t/ha) dengan rumus:
Analisis Data Percobaan
Data hasil pengamatan dari percobaan dihitung nilai rata-ratanya dan dianalisis secara deskriptif serta disajikan dalam bentuk tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan pertumbuhan tanaman pada percobaan ini dilakukan terhadap karakter tinggi tanaman dan jumlah anakan, sedangkan komponen hasil tanaman diwakili oleh karakter-karakter panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, berat 1000 biji, serta konversi hasil gabah kering panen. Hasil pengamatan untuk seluruh karakter meliputi nilai-nilai rerata pengamatan per varietas, nilai minimum dan maksimum, serta rerata umum secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
Tinggi tanaman dari varietas yang diuji berkisar antara 76 cm (Inpari 33) – 103,4 cm (Ciherang) dengan rerata 87,6 cm. Secara umum terlihat bahwa varietas Inpari yang diuji memiliki tubuh tanaman yang lebih pendek dibanding Ciherang dan Sintanur, kecuali Inpari 28 yang berada di antara tinggi tanaman kedua varietas pembanding tersebut. Berdasarkan Rice Standard Evaluation System, tinggi tanaman padi sawah <110 cm dikategorikan pendek, 110-130 cm sedang, dan >130 cm tinggi (BPPP 2003). Hasil penelitian Wibowo (2010) menyatakan semakin rendah batang tanaman padi maka akan cenderung tahan terhadap kerebahan dan petani pada umumnya lebih menyukai batang tanaman padi yang pendek karena siklus pertumbuhan relatif lebih cepat dibanding tanaman padi berbatang tinggi.
Pengamatan terhadap jumlah anakan produktif menunjukkan kisaran antara 17,3 (Inpari 40) – 21,3 (Inpari 24) dengan rerata seluruh varietas 18,8 anakan per rumpun. Jumlah anakan yang dihasilkan Inpari 24 melampaui kedua varietas pembanding Ciherang dan Sintanur yang berturut-turut jumlah anakannya 17,6 dan 19,6 per rumpun. Adapun keenam varietas Inpari yang lain menunjukkan jumlah anakan yang masih berkisar diantara jumlah anakan kedua varietas pembanding tersebut. Inpari 24 adalah varietas beras merah yang dirilis Balitbangtan pada tahun 2012 dan memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan. Beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan menkonsumsi beras merah ini di antaranya stroke, diabetes, kanker, kardiovaskular dan obesitas (Sinar Tani 2018).
Panjang malai yang teramati dari hasil percobaan berkisar antara 26,5 cm (Ciherang) – 29,3 cm (Inpari 33) dengan rerata umum 27,8 cm. Panjang malai merupakan variabel yang penting dalam menentukan produksi (Wibowo 2010). Semakin panjang malai peluang terbentuknya jumlah gabah
Tabel 1. Komponen pertumbuhan dan hasil beberapa varietas unggul padi sawah pada ketinggian lahan menengah (Kuningan, MT II 2018)
Varietas Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan Panjang malai (cm) Jumlah gabah per malai Persentase gabah hampa (%) Berat 1000 biji (g) Hasil GKP (t/ha) Inpari 24 87,3 21,3 27,8 142 25 26,1 6,50 Inpari 28 97,7 18,6 28,6 185 13 26,4 5,93 Inpari 33 76,0 18,3 29,3 167 15 26,3 6,00 Inpari 38 83,7 19,3 26,6 132 23 24,6 5,70 Inpari 40 83,2 17,3 28,2 162 20 24,9 6,13 Inpari 42 78,1 18,0 28,7 183 12 29,1 6,98 Inpari 43 85,3 19,0 27,5 144 24 25,5 6,06 Ciherang 103,4 17,6 26,5 143 29 25,8 5,40 Sintanur 93,3 19,6 27,4 140 27 23,8 5,31 Minimum 76,0 17,3 26,5 132 12 23,8 5,31 Maximum 103,4 21,3 29,3 185 29 29,1 6,98 Rerata 87,6 18,8 27,8 155 20,9 25,8 6,0
Penampilan Hasil Varietas Unggul Padi Sawah pada Ketinggian Lahan Menengah di Kuningan, Jawa Barat (Emod Ahmadi)
per malai semakin besar (Utama dan Haryoko 2009). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa varietas Inpari yang diuji memiliki panjang malai yang lebih baik dibanding Ciherang dan Sintanur, kecuali Inpari 38. Varietas Inpari 38 ini adalah varietas padi sawah yang agak tahan kekeringan dan dapat tumbuh dengan baik pada elevasi rendah hingga ketinggian 600 m dpl.
Hasil pengamatan komponen hasil berikutnya menunjukkan jumlah gabah per malai berkisar antara 132 (Inpari 38) – 185 (Inpari 28) dengan rerata 155. Selain Inpari 28, terdapat tiga varietas Inpari lain yang juga memperlihatkan hasil pengamatan gabah per malai yang jauh lebih tinggi dibanding Ciherang dan Sintanur, yaitu Inpari 42, 33, dan 40. Kerapatan gabah, atau yang dalam percobaan ini dinyatakan sebagai jumlah gabah per malai, menurut Dewi et al (2009) lebih berperan penting dibandingkan panjang malai dalam berkontribusi terhadap hasil tanaman. Hal ini memberi sinyal positif bahwa varietas-varietas Inpari yang kerapatan gabahnya tinggi akan berproduksi lebih baik melebihi kedua varietas pembanding yang sudah lama dibudidayakan di Kabupaten Kuningan.
Zen (2007) menyatakan bahwa persentase gabah bernas menentukan potensi hasil maksimum suatu varietas padi dan oleh karenanya maka persentase gabah hampa haruslah seminim mungkin. Lebih lanjut Maintang et al (2010) menjelaskan bahwa tingkat pengisian gabah atau gabah bernas ditentukan oleh hasil fotosintat (karbohidrat) dalam batang dan daun, yang ditranslokasikan dan diakumulasi dalam gabah. Daun yang tegak, tebal, sempit dan hijau tua, serta tidak lekas luruh (tua) sangat dibutuhkan untuk pengisian gabah secara maksimum. Pada percobaan ini persentase gabah hampa berkisar antara 12% (Inpari 42) – 29% (Ciherang) dengan rerata 20,9%. Secara umum terlihat bahwa ketujuh varietas Inpari yang diuji mengelompok menjadi 2 grup berdasarkan persentase gabah hampanya, yaitu persentase <20% terdiri atas varietas-varietas Inpari 42, 28, dan 33, serta persentase >20% terdiri atas varietas-varietas Inpari 40, 38, 43, dan 24.
Pengamatan terhadap bobot 1000 biji memberikan hasil berkisar antara 23,8 g (Sintanur) – 29,1 g (Inpari 42) dengan rerata 25,8 g. Bobot biji ditentukan oleh besar kecilnya ukuran gabah dimana semakin besar ukuran gabah maka semakin berat bobot biji. Karakter ukuran gabah ini sangat menentukan potensi hasil, dimana gabah berukuran besar dan berat mengandung lebih banyak cadangan makanan dan memiliki ukuran embrio lebih besar (Yoshida 1981 dan Sopa 2010). Selain Inpari 42, bobot 1000 biji keenam varietas Inpari yang lain tidak terlalu berbeda jauh dibanding Ciherang dan Sintanur.
Produktivitas tanaman merupakan karakter utama yang menjadi sasaran akhir setiap program pemuliaan tanaman. Pada tanaman padi, produktivitas umumnya dinyatakan dalam satuan ton per hektar, sehingga apabila pengujian suatu varietas dilakukan pada luasan lahan yang kecil maka perlu dikonversi terhadap satuan tersebut. Petani yang memiliki lahan luas sering memiliki plot kecil untuk mencoba varietas-varietas terbaru. Apabila hasil pengujian tersebut memuaskan maka dapat diperluas skalanya pada musim berikutnya (Wibowo 2010). Konversi hasil gabah kering panen pada percobaan ini menunjukkan produktivitas tanaman berkisar antara 5,31 t ha-1 (Sintanur) – 6,98 t ha-1 (Inpari 42). Secara umum terlihat bahwa produktivitas ketujuh varietas Inpari yang diuji melebihi produktivitas kedua varietas pembanding (Sintanur dan Ciherang). Mulai dari peringkat produktivitas tertinggi hingga yang lebih rendah adalah Inpari 42 (6,98 t ha-1), Inpari 24 (6,50 t ha-1), Inpari 40 (6,13 t ha-1), Inpari 43 (6,06 t ha-1), Inpari 33 (6,00 t ha-1), Inpari 28 (5,93 t ha-1), dan Inpari 38 (5,70 t ha-1). Hasil ini cukup menggembirakan dan memberi harapan bahwa petani akan tertarik untuk membudidayakan VUB yang diperkenalkan, mengingat produktivitasnya yang relatif lebih tinggi dibanding Sintanur dan Ciherang yang selama ini dibudidayakan petani di Kuningan. Akan tetapi dirasa masih perlu melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap kualitas dan citarasa beras yang dihasilkan ketujuh varietas Inpari tersebut untuk memastikan bahwa varietas-varietas tersebut akan dikembangkan secara berkelanjutan di Kabupaten Kuningan.
KESIMPULAN
Hasil pengujian tujuh varietas Inpari (24, 28, 33, 38, 40, 42, dan 43) untuk mengetahui penampilan pertumbuhan dan produksinya pada ketinggian menengah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, memperlihatkan hasil yang relatif beragam antar karakter yang diamati. Secara umum terlihat bahwa ketujuh varietas yang diuji memiliki karakter komponen hasil yang lebih baik dibanding varietas pembanding Sintanur dan Ciherang, kecuali untuk karakter pertumbuhan tinggi tanaman. Produktivitas gabah kering panen tertinggi ditunjukkan oleh Inpari 42 sebesar 6,98 t ha-1.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan terimakasih kepada Idrus Hasmi, SP yang telah membimbing dalam pelaksanaan percobaan dan penulisan karya tulis ilmiah ini serta kepada Dr. Nuning Argo Subekti yang telah membimbing dalam proses penyempurnaan tulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
BB Padi. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta. BPPP. 2003. Panduan Sistem Karakterisasi dan Evaluasi
Tanaman Padi. Departemen Pertanian, Bogor.
Dewi, I. S., A. C. Trilaksana, T. Koesoemaningtyas, dan B. S. Purwoko. 2009. Karakterisasi galur haploid ganda hasil kultur antera padi. Buletin Plasma Nutfah 15(1):1-12. Guswara, A. dan M.Y. Samaulah. 2008.Penampilan beberapa
varietas unggul baru pada system pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu di lahan sawah irigasi. Prosiding Seminar Nasional Padi, BB Padi. Sukamandi
Hafsah, M. D. 2005. Potensi, Peluang, dan Strategi Pencapaian Swasembada Beras dan Kemandirian Pangan Nasional. Hlm. 55-70.
Hasil Penelitian Padi 2009. Inovasi Teknologi Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong Ekspor Beras. Balai Besar Padi. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Las, I, H. Syahbuddin, E. Surmaini, dan A. M. Fagi. 2008. Iklim dan Tanaman Padi; Tantangan dan peluang. Dalam: Suyamto dkk (Eds). Buku Padi, Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Maintang, Asriyanti.I., Edi T., dan Yahumri. 2010. Kajian
Keragaan Varietas Unggul Baru (Vub) Padi di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar.
Muliasari, A. A. 2009 Optimalisasi Jarak tanam dan umur bibit pada padi sawah (Oryza sativa L.). Skripsi Intansi Pertanian Bogor . 76 hal.
Mulsanti, W. Indira, Sri Wahyuni dan Hasil Sembiring. 2014. Hasil Padi dari empat Kelas Benih
Sembiring, H. 2010. Ketersediaan Inovasi Teknologi Unggulan dalam Meningkatkan Produksi Padi Menunjang Swasembada dan EksporDalam Prosiding Nasional.
Sinar Tani. 2018. Beras merah Inpari 24, lebih pulen tapi tetap sehat. Diakses melalui tautan https://tabloidsinartani.com/ detail/indeks/pangan/7037-Beras-Merah-Inpari-24-Lebih-Pulen-Tapi-Tetap-Sehat pada tanggal 9 Juni 2019.
Suprihatno et al. (Ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku Satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Pusat Sosial Ekonomi Pertanian, Sukabumi.
Utama, M. Z. H dan W. Haryoko. 2009. Pengujian empat varietas padi unggul pada sawah gambut bukaan baru di Kabupaten Padang Pariaman. Jurnal Akta Agrosia 12(1):56-61.
Wibowo, P. 2010. Pertumbuhan dan produktivitas galur harapan padi (Oryza sativa L.) hibrida di desa Ketaon, Kecamatan Banyudono, Boyolali. Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Sebelas Maret. Solo. Diakses melalui tautan https://core.ac.uk/download/pdf/16507198. pdf pada tanggal 9 Juni 2019.
Sopa, E. M. 2010. Pengaruh dosis radiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan dan hasil tiga kultivar padi lokal rawa lebak Bengkulu. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu, Bengkulu (tidak dipublikasikan). Yoshidha, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. The
International Rice Researce Institute, Los Banos, Laguna, Philippines.
Zen, S. 2007. Stabilitas hasil galur baru padi sawah preferensi konsumen Sumatera Barat. Jurnal Agritrop 26(1):1–5.