• Tidak ada hasil yang ditemukan

AJARAN SANG BUDDHA

Dalam dokumen SEKILAS TENTANG PENGARANG (Halaman 55-63)

Sang Buddha sendirι tidak menulis apa-apa. Tak sedikit pun dari ajarannya yang tertulis setidaknya selama empat ratus tahun sesudah wafatnya. Yang lebih buruk lagi, praktik-praktik para pengikutnya dalam menerangkan agama Buddha telah menyisipkan kata-kata dan komentar sendiri dari ucapan Guru Besar itu. Karena itu mustahil memisahkan kata-kata asli dari Buddha dengan segolongan besar kata-kata dan ceramah-ceramah yang tersiar yang telah dinisbahkan kepadanya dalam kitab-kitab suci agama Buddha. Cendikiawan Buddha terkenal, Chirstmas Humpreys menulis:

“Karena itu tidaklah kita mengetahui apa yang diajarkan Buddha lebih dari apa yang diajarkan Yesus, dan saat ini sedikitnya ada empat aliran dan masing-masing ada pembagian lagi yang menyatakan bahwa pandangan mereka sendiri-lah yang

mencerminkan apakah agama Buddha”.4

Nyonya Rhys Davids mengakui bahwa kitab suci agama Buddha yang pertama adalah sesuatu seperti “kritisisme lebih tinggi” dan berdasarkan penemuannya, suatu usaha akan kita paparkan di sini untuk menyajikan risalah asli dari Sang Buddha.

Sang Buddha adalah Buddha, sebab dia Buddha Yang Sadar, Yang Diterangi, Yang Waspada” Kebenaran yang tertinggi telah diwahyukan kepadanya. Siddharta Gautama bukanlah Buddha yang pertama. Beliau sendiri berkata telah banyak Buddha atau Guru Kebenaran yang mendapat penerangan penuh sebelum beliau, dan banyak sekali yang akan datang sesudah beliau.

Inti sari ajaran Buddha adalah cinta kasih yang terdapat dalam khotbahnya “Meletakkan diri dalam Gerak Roda Kebenaran”. Beliau mengajarkan bahwa mereka yang ingin memasuki hidup keagaman harus mencegah dua ekstrimitas yang mengumbar nafsu pribadi, hidup menyiksa diri, dan mengikuti jalan tengah. Beliau mengungkapkan Empat Kebenaran Mulia: (1) kebenaran pertama, yakni tentang adanya penderitaan dan kesusahan di dunia ini, (2)

kebenaran kedua menyatakan bahwa sebab dari penderitaan dan kesusahan itu adalah nafsu pribadi, (3) kebenaran ketiga menjamin bahwa nafsu pribadi dan kesusahan dapat dibinasakan, (4) kebenaran keempat menunjukkan jalan yang menuntut ke arah menghilangkan kesusahan dan ketidakbahagian. Sang Buddha memberikan gambaran yang mengagumkan dari Jalan Bersegi Delapan yang mendorong ke arah akan diakhirnya penderitaaan, dan ketidakbahagian. Yaitu pandangan yang benar, gagasan yang yang benar, bicara yang benar, tindakan yang benar, hidup yang benar, usaha yang benar, dan renungan yang benar. Pandangan yang benar berarti pengetahuan atau empat kebenaran mulia. Tetapi sepanjang kebenaran itu hanya dikenal oleh akal fikiran saja, maka kebenaran itu tidak punya daya kehidupan. Karena itu harus diketemukan dan dibuktikan oleh setiap orang dikedalaman hati nuraninya sendiri. Karena itu, langkah pertama adalah menimbulkan kesadaran suatu panggilan untuk meninggalkan cara di mana kita telah kehilangan kebenaran dan nasib kita. Aspirasi yang benar adalah menolak hawa nafsu rendah, tidak boleh membenci atau menyakiti sesama makhluk. Bicara yang benar, menyuruh kita agar menghentikan dusta, fitnah, caci maki, kata-kata kasar, dan omong kosong. Tindakan yang benar, berarti menghindari pencabutan jiwa atau mengambil apa yang tidak diberikan atau dari akibat-akibat nafsu sex. Hidup yang benar, berarti menghentikan setiap cara hidup yang terlarang, misalnya menjadi pedagang senjata, penjual budak, mencari nama atau penjual racun. Usaha yang benar, terdiri dari menahan timbulnya nafsu jahat ,membinasakan nafsu rendah yang timbul dalam mendorong nafsu baik dan menyempurnakannya bagi mereka yang telah bisa mewujudkannya. Fikiran yang benar, adalah mencapai penguasaan diri dengan sarana-sarana ilmu pengetahuan, pribadi. Renungan yang benar mengambil bentuk dalam empat macam semedi atau meditasi. Ini adalah akhir dan mahkota dari jalan

bersegi delapan. Ini adalah bagian penting dari kehidupan tertinggi disaat nafsu kejahilan dan egoisme menghilang, dan pencerahan serta kesucian menggantikannya. Ini adalah renu-ngan penuh kedamaian dan kebahagian yang mendalam, menyertai bersatunya pribadi sendiri dengan Pribadi Universal.5

Metode pengajaran agama Buddha dengan baik sekali dilukiskan oleh ‘Perumpamaan Biji Mustard’. Kisah Gotami, seorang wanita tua miskin, telah kehilangan putra tunggalnya. Penuh kedukaan yang tak terhingga dia datang kepada Sang Buddha dan memohon kepadanya agar menghidupkan puteranya kembali. Buddha setuju untuk berbuat demikian, asal wanita itu mau mengambil beberapa biji mustard dari satu rumah yang belum mengalami kematian. Wanita itu pergi dari rumah ke rumah, tetapi kemana pun dia pergi selalu diberitahukan bahwa tak ada sebuah rumah pun yang tidak pernah mengalami kematian. Dengan cara ini, dia memperoleh pengertian secara simpatik. Wanita itu kembali kepada Sang Buddha, dan tidak lagi meminta agar puteranya dihidupkan kembali, melainkan agar dia diberikan kedamaian dan ketentraman.

Kisah yang mengharukan ini mengajarkan dua hal dari ajaran Buddha yang paling penting. Pertama, segala sesuatu yang ada dalam fenomena dunia selama-nya akan berubah dan sementara. Apa pun yang ada akan berlalu, siapa pun yang dilahirkan akan mati. Setiap makhluk hidup adalah suatu gabungan elemen-elemen, cepat atau lambat akan bercerai berai. Karena itu, suatu penerimaan yang wajar atas kematian adalah bagian yang penting dalam penyesuaian yang sejati kepada kenyataan. Kedua dari ajaran ini adalah menerima secara realistik terhadap kematian, dan pelaksanaan kasih sayang yang tercurah kepada sesama makhluk

5 F.L. Woodward (Penterjemah), Some Sayangs of the Buddha, pp 7-13 (The World’s Classics, Oxford University Press, London, 1939)

yang seperti kita sendiri yang akan menjadi sasaran dan kesakitan, serta penderitaan semacam itu.6

Sang Buddha mengajarkan kasih sayang dan simpati yang universal:

“Tidak pernah di dunia ini kebencian dapat diluluhkan dengan kebencian, hal itu hanya dapat diluluhkan dengan kasih sayang – inilah hukum yang abadi” (Dharmmapala 1:5).

“Hendaklah manusia menundukkan kemarahannyα dengan kasih-sayang, hendaklah dia tundukkan kejahatan dengan kebaikan, hendaklah keserakahan dengan kedermawanan, kebohongan dengan kebenaran.”7

Hanya sedikit tentang apa yang kita sebut dogmα dalam ajaran agama Buddha. Dengan keluasan pandangan yang jarang pada masa itu, dan tidak jamak pula di zaman kita, dia menolak kritik yang ngotot. Sifat tidak toleran dianggap sebagai musuh agama. Suatu peristiwa beliau masuk dalam balai pertemuan di Ambalatthika dan mendapatkan beberapa muridnya sedang marah-marah kepada seorang Brahman yang telah menuduh Buddha sebagai seorang yang tidak jujur dan menemukan cacat dalam jemaat yang didirikannya. “Saudara-saudara”, kata Buddha, “bila orang lain berbicara menentang saya atau ajaran agama saya, atau melawan jemaat saya, tidak ada alasan kalian untuk marah atau tidak senang kepada mereka. Jika Anda berbuat demikian, tidak saja Anda tidak akan mampu menimbang lagi apakah yang dikatakannya itu benar ataukah tidak tepat”. Beliau melarang kritik yang tidak jujur terhadap kepercayaan lain. Tidak ada satu peristiwa pun di mana Buddha itu terbit amarahnya, tidak ada satu peristiwa

6 E.A. Burt (Editor), The Teaching of the Compassionate Buddha, pp. 43-46 (Mentor Book, New York, 1956)

7 Dharmmapada (17:223), terjemahan oleh N.K. Bhagwat (The Buddha Society, Bombay). Terjemahan lainnya yang dipetik bab ini dan diambil dari (i) S.Radhakrishnan (Oxford University Press); (ii) Narada Thera (Wisom of the East series); (iii) F.Max Muller (Sacred Books of the East), iv Juan Mascaro (Penguin Classics)

pun di mana kata yang tidak lemah lembut meluncur dari lisannya. Beliau memiliki toleransi yang sangat luas terhadap sesama manusia.

Sang Buddha tidak diragukan lagi adalah pembaharu masyarakat yang terbesar di India. Hasil yang paling dapat dicatat adalah penghapusan sistem kasta. Dia mengatakan bahwa seseorang Brahmana tidak karena dilahirkan oleh orang tua Brahmana sebagaimana diajarkan oleh agama Hindu, tidak pula karena dia menjalankan upacara-upacara dan melakukan bentuk-bentuk luar dari kasta Brahmana, tetapi dia adalah seorang Brahmana karena akhlak dan pengabdiannya kepada kebenaran serta kehidupan.

“Seorang bukanlah Brahmana karena rambutnya yang dicukur ataupun keturunan atau kastanya, dalam pribadi yang terdapat Kebenaran dan Hukum dia adalah suci, dia adalah seorang Brahmana”. (Dharmmapada 29:33).

Buddha tidak percaya kepada apa yang disebut juru selamat dan penebusan dosa. Beliau mengajarkan bahwa manusia itu secara pribadi harus bertanggung jawab atas tindak tanduknya sendiri. Kebahagiaan atau kesusahannya, dosa atau kesuciannya adalah sebagai akibat tingkah lakunya sendiri. Tak seorang pun dapat menyelamatkan diri dari dosanya.

“Kejahatan itu hanya dilakukan oleh dirinya sendiri, dengan dirinya sendiri seorang itu ternoda, karena dirinya sendiri sajalah kejahatan itu diperbuat manusia, dengan diri sendiri sajalah seseorang itu disucikan. Kesucian atau pun kekotoran tergantung kepada pribadinya sendiri. Tak seorang pun dapat mensucikan orang lain’. (Dharmmapada 12:165).

Pendeknya kita menuai apa yang kita tanam, baik di dunia ini maupun di alam nanti. Orang baik akan ke sorga dan si jahat ke neraka:

“Para pahlawan yang tidak mengenal kekerasan dan selalu mengendalikan dirinya untuk menuju Kediaman Abadi, di mana di tempat itu seseorang bebas dari kedukaan.” (Dharmmapada 17:225) ‘Bagaikan satu kota berbenteng yang terletak di tanah perbatasan dan terjaga baik di dalam mau pun di luarnya, hendaklah seseorang itu mengendalikan dirinya sungguh-sungguh dan jangan dia lewatkan sedikit pun tak terjaga, karena bagi mereka yang terlewat sedetik saja akan jatuh ke dalam kesusahan, seolah-olah mereka ditetapkan ke neraka.” (Dharmmapada 22:313)

Buddha menolak terlibat dalam pertentangan metafisik yang meresahkan dan tidak terarah. Banyak ajaran yang sekarang dianggap bagian penting agama Buddha, tidaklah merupakan bagian ajaran yang asli dari Buddha. Nyonya Rhys Dacids, H.J. Jennings dan Ananda Coosmaraswamy sepakat bahwa ajaran reinkarnasi dari agama Hindu, “penolakkan diri” (Anatta) dan kependetaan itu bukanlah termasuk asli agama Buddha. Tidak diragukan lagi tentang kepercayaan Buddha terhadap keabdian jiwa. Waktu beliau berbicara tentang penghancuran “diri sendiri”, itu berarti penghancuran nafsu rendah. Nafsu rendah inilah yang dinyatakan oleh Buddha sebagai tidak permanen dan tidak nyata. Beliau yakin atas kenyataan dan keabadian dari nafsu yang lebih tinggi.

“Jika seseorang mengetahui bahwa pribadinya itu berharga, dia harus selalu menjaga dan mengawasinya dengan baik-baik.” (Dharmmapada 12:157).

“Melalui diri sendiri seseorang harus mengajar Pribadi, seseorang harus mengendalikan diri dengan Pribadi; jadi menjadi Bhikku itu dijaga oleh Pribadi dan bukan fikiran, inilah yang akan berjalan ke arah kebahagian.” (Dharmmapada 25:379)

Tidak satu pun yang lebih disalahfahami selain sikap Buddha kepada Tuhan. Seringkali dikatakan bahwa Buddha itu tinggal diam bilamana dia ditanya tentang Tuhan, diamnya itu ditafsirkan

sebagai penolakkan atas adanya Tuhan. Namun Ny. Rhys Davids dan Sir Francis Younghusband, kedua-duanya menunjukkan bahwa Buddha itu membawakan ajaran Upanishad. Dia tidak asing lagi dengan fikiran-fikiran dan istilah-istilah keagamaan. Ketika Upanishad menggunakan kata-kata “Pribadi” seringkali digunakan dalam pengertian Pribadi Semesta atau Tuhan, prinsip metafisik dari kehadiran – inilah Brahman, Pribadi yang tersembunyi dalam-dalam di segala makhluk.” Sang Buddha jelas-jelas menggunakan kata Pribadi dengan pengertian yang sama ketika beliau berkata: “Aku berlindung kepada Sang Pribadi” (Digya Nikaya 2:120), dan dalam kata-kata berikut:

“Pribadi adalah Tuhan itu sendiri, apakah ada Tuhan yang lebih tinggi dari itu? Bila seseorang menguasai baik-baik diri pribadinya, maka dia akan menemukan Satu Tuhan yang sukar didapat.” (Dharmmapada, 12: 159)

“Pribadi adalah Tuhan diri pribadi, Pribadi adalah tujuan diri pribadi; karena itu kendalikan dirimu bagaikan seorang pedagang yang mengendalikan seekor keturunan yang baik”. (ibid, 25:380)

Buddha seringkali menunjukkan Dharma (Dhamma dalam bahasa Pali), keimanan yang sejati sebagai Brahmacariyam atau jalan menuju Brahman, kehendak Tuhan yang kekal. Dalam suatu peristiwa, beliau menunjukkan bahwa bila seseorang itu mengikuti hidup yang mulia dan suci, “dengan kalbu penuh kasih sayang, luas pandangan, bertumbuh menjadi besar dan selalu terukur”, orang semacam itu mendekati persatuan dengan Brahman dan bahwa “dia sesudah kematiannya dan ketika tubuh jasmaninya bercerai berai akan menjadi satu dengan Brahman yang senantiasa sama” (Tevijja

Sutta). Brahman tentulah nama yang diberikan dalam Upanishad

“Hukum atau Dhamma selalu menjadi suatu nomen Dei, dan dalam agama Buddha itu sinonim dengan Brahman.”8

Dan ini pula yang ditulis Sir Francis Younghusband tentang masalah tersebut:

“Walaupun demikian, sikapnya tentang menuju ke idea Tuhan seringkali disalahtafsirkan. Karena itu ia berusaha memperhalus dan mempertajam pengertian Tuhan … ia meletakkan seorang ateis dan Buddhis sebagai dentingan halus suatu renungan yang tidak penting. Tetapi hal ini mungkin disebabkan Buddha terlalu besar, tidak terlalu kecil, idea tentang Tuhan diperhalus untuk menekankan pada diri sendiri agar memperoleh ketajaman pengertian tentang kedewataan. Adalah sesuatu yang terlalu besar untuk dinyatakan dalam kata-kata. Siapa, misalnya, yang dapat mendefinisikan cinta? Buddha tidak memperkirakan untuk mendefinisikan Tuhan, tetapi baik beliau dan muridnya telah jenuh dengan konsep Kekuatan dibalik mata yang melihat, dan telingga yang mendengar, dan semua kejadian di alam.”9

Jadi tujuan agama Buddha itu seperti semua agama lainnya adalah Nirwana (bahasa Pali, Nibbhana), yang dalam risalah asli dari Sang Buddha berarti kembalinya roh ke haribaan Tuhan.

Dalam dokumen SEKILAS TENTANG PENGARANG (Halaman 55-63)