• Tidak ada hasil yang ditemukan

AJARAN CHUANG TZU

Dalam dokumen SEKILAS TENTANG sejarah administrasi PENGARANG (Halaman 161-167)

AGAMA TAO

AJARAN CHUANG TZU

Agama Lao Tzu mengalamai nasib seperti kebanyakan agama- agama lainnya. Mula-mula agama itu tidak diacuhkan orang, kecuali oleh sedikit murid-muridnya. Kemudian masuklah para pengikut dari kalangan penguasa yang terpilih dan sejauh itu mempopulerkannya, tetapi dengan berbuat demikian mereka juga mengadakan perobahan perobahan penting dalam ajarannya. Mereka menyebarkan huruf-hurufnya tetapi menghilangkan semangatnya. Di saat Meng Tzu memberikan semangat baru kepada agama Kong Hu Chu, munculah seorang pembaharu agama lainnya, yakni Chuang Tzu membeberkan secara terinci kebenaran yang dibawa oleh Lao Tzu dalam bentuk harfiah. Karya karya tulisnya menunjukkan pandangan mendalam digabung dengan gambaran bersanjak yang sangat indah. Seringkali syair-syair itu juga mengandung humor yang aneh. Dia menulis buku yang setelah

dia meninggal disebut Chuang Tzu. Dalam bentuknya yang sekarang berisi tujuh puluh tiga bab semuanya campuran teka-teki filosofis dan anekdot serta perumpamaan. Chuang Tzu dengan

mengikuti Lao Tzυ sebagai pembimbingnya, bermaksud

menguatkan kenyataan Tao (Jalan Tuhan). Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini adalah tidak tetap atau selalu berubah. Hanya Tao saja yang senantiasa tetap dan selalu sama.

“Karena Tao mempunyai realitas mendasar atas peristiwa- peristiwa yang mengikutinya, maka dia terhindar dari tindakan atau berbentuk. Jalan itu bisa disalurkan tetapi tidak bisa diserap. Bisa dicapai tetapi tidak bisa dilihat. Jalan ini berdasarkan dirinya sendiri, berakar dalam dirinya sendiri. Sebelum adanya langit dan bumi, hanya Tao sendiri yang ada dan selalu ada dari masa ke masa. Jalan itu memberi roh dan penguasaan atau daya-daya rohani mereka, dan memberi penciptaan langit dan bumi. Bagi Tao titik tertinggi di langit tidaklah tinggi, dan yang terdalam tidaklah rendah, tak ada noktah dalam waktu yang lama atau berlalunya abad menjadi tua.”2

Menurut Chuang Tzu ada dua tingkat ilmu yang dipelajari dengan panca indera kita atau yang dikenal sebagai “ilmu rendahan”, dan yang diwahyukan langsung ke fikiran dan hati kita disebut “ilmu yang lebih tinggi”. Chuang Tzu dengan penuh penyesalan melihat kenyataan bahwa manusia itu mudah puas dengan ilmu rendahan, dan melalaikan ilmu yang lebih tinggi. Dia juga percaya atas relativitas dari semua nilai-nilai yang ada dalam perwujudan Nya di dunia, dan sebagai korelasi dari prinsip identitas dan teori timbal balik. Pola ini mencakup semua kebalikan dan dasar kehidupan aktif-pasif, positif-negatif, cahaya-gelap, laki-

2 Chuang Tzu, bab “Yang Maha Kuasa”. Terjemahan dari buku Chuang Tzu dan kutipan- kutipan yang dberikan di sini berasal dari Lin Yutang (Wisdom of China, Michael Joseph, London)

perempuan, hidup-mati. Doktrin kenisbian ini dengan indahnya digambarkan dalam pernyataan riwayat dirinya sendiri berikut ini:

“Suatu peristiwa saya, Chuang Tzu, bermimpi bahwa saya seekor kupu-kupu yang terbang dan hinggap ke sana ke mari untuk memenuhi kebutuhan dari maksud seekor kupu-kupu, tanpa menyadari bahwa aku adalah Chuang Tzu. Segera setelah aku terjaga dan menyadari diriku sendiri lagi, aku tak tahu apakah aku ini seorang manusia yang bermimpi menjadi kupu-kupu ataukah aku seekor kupu-kupu yang bermimpi menjadi seorang manusia,” (Chuang Tzu, bab “Dalam Tingkatan Segala Perkara”)

Pada akhirnya segenap kebalikan dan ketegangan itu ditentukan dalam keserasian dan keesaan Jalan Tuhan. Dalam kata-kata Chuang Tzu:

“Kata-kata argumentasi semuanya nisbi. Bila kita ingin mencapai yang mutlak kita harus menserasikan mereka dengan sarana Keesaan Ilahi dan dengan mengikuti prinsip evolusi yang alami. Dengan demikian kita bisa melengkapi sisa kehidupan kita yang sudah ditentukan. Tetapi apa yang dimaksud dengan menserasikan mereka dengan sarana sarana Keesaan Ilahi ini adalah demikian. Apa yang kelihatannya benar, belum tentu benar. Apa yang kelihatannya demikian, belum tentu dalam kenyataannya demikian. Bahkan jika apa yang benar kelihatannya benar itu memang benar, di mana letak perbedaan dengan yang salah tidaklah dapat dibuat terang dengan argumentasi. Bahkan jika apa yang kelihatannya demikian itu memang benar-benar demikian, apa bedanya dengan yang tidak demikian juga tidak bisa dibuat terang dengan alasan-alasan. Jangan pedulikan waktu baik atau buruk. Langsung masuklah dalam Ketentraman Yang Tak Terjangkau, ambillah kedamaian akhir di dalamnya.” (Chuang Tzu, bab “Dalam Tingkat Segala Perkara”)

Seperti pembimbingnya yang besar, Chuang Tzu juga mencita- citakan alam dengan cara hidup alamiah. Dia berkata bahwa fitrah asli manusia itu dalam cita-citanya adalah kebahagiaan :

“Pernahkan Anda mendengar Abad Alam Sempurna pada masa Yung Ch’eng, Tat’ing, Pohuang, Chungyng ,,, orang-orang yang mengikat tali-tali perhitungan. Mereka menikmati hidangan, mengenakan pakaian indah, puas dengan rumah tangganya, dan bergembira atas adat istiadatnya. Tetangga bersilaturahmi satu dengan lainnya, hingga mereka bisa mendengar salak anjing dan kokok ayam tetangganya, dan orang-orang hingga akhir hayaattnya tidak berkelana ke luar daerahnya. Masa itu adalah kedamaian sempurna,” (Chuang Tzu, bab “Membelah Batang Pohon atau Protes Kepada Kebudayaan”).

Manusia menjadi menderita dan dilanda kesusahan dalam kehidupan mereka, karena bermain-main dengan alam dan menempuh cara-cara hidup yang direkayasa. Seperti halnya manusia yang kehilangan kebahagian disaat mereka meninggalkan kehidupan fitrah dari masa kanak-kanaknya, begitu pula masyarakat menjadi sesat bila mereka terikat dengan upacara- upacara lahiriah dan larangan-larangan yang diada-adakan. Manusia harus dibiarkan bebas untuk menempuh kehidupan yang sederhana dan alamiah:

“Kukira orang yang tahu bagaimana memerintah kerajaan tak akan berbuat demikian. Sebab rakyat itu mempunyai naluri alamiah yang tertentu untuk menentukan dan membuat pakaiannya sendiri, untuk menggarap ladangnya, dan menyediakan makanannya sendiri. Inilah sifat mereka yang umum di mana semua orang terlibat. Naluri semacam ini bisa dinamakan ‘terlahir dari Langit’. Demikianlah dalam hari-hari kehidupan alamiah yang sempurna, manusia itu tenang tentram dalam gerak-geriknya, dan berwibawa dalam pandangannya.” (Chuang Tzu, bab “Berlarinya Kuda”)

Chuang Tzu bertindak lebih jauh dari pembimbingnya dengan mengutuk kebudayaan, dan menganjurkan pengasingan diri dari dunia. Dia boleh dikatakan nyaris tak melihat gunanya pemerintahan:

“Tidak ada suatu perkara seperti membiarkan manusia bebas sendiri dengan penuh toleransi, tidak ada suatu perkara seperti dalam memerintah manusia. Biarlah manusia sendiri terjauh dari ketakutan. Bila sifat-sifat asli manusia tidak dirusak, dan kehendak mereka tidak diselewengkan, apalagi perlunya ada pemerintahan?” (Chuang Tzu, bab “Toleransi”)

Ia memberikan penjelasan yang indah tentang prinsip Wie-wu- wie,”biarkan sendiri” atau kelambanan, dan diakhiri dengan pembahasan yang disebutnya Jalan Tuhan.

“Dia yang tidak mengenal Tuhan akan tidak suci tabiatnya. Dia yang tidak jelas penghargaannya kepada Tao, tidak akan tahu bagaimana memulai. Dan dia yang tidak mendapat pencerahan dari Tao – aduh sungguh menyesal dia! Selanjutnya apakah Tao? Tao adalah Tuhan, Tuhannya manusia. Kehormatan melalui tanpa usaha datang dari Tao Tuhan: keterlibatan melalui tindakan datang dari Tao manusia. Tao Tuhan adalah dasar, Tao manusia adalah akibat. Jarak pemisahnya demikian besar. Marilah perhatian kita ke arah sana!” (Chuang Tzu, bab “Toleransi”)

Kehidupan yang ideal dinamakan Chuang Tzu “Tamasya Kebahagian”, adalah keadaan di mana manusia “akan mengubur emasnya dilereng-lereng bukit dan melemparkan mutiara- muatiaranya ke laut. Dia tidak akan mengejar harta atau kemasyhuran. Dia tidak akan bergembira ria karena umur panjang atau pun berduka cita karena harus segera meninggal dunia. Dia tidak akan bersuka ria dalam sukses ataupun merasa sakit hati dalam kegagalan. Dia tidak merasa bahwa mahkota di kepalanya itu sebagai hasil usaha pribadinya, dan bahwa dia tidak mengaku bahwa kemaharajaan dunia ini kemuliaan pribadinya.

Kemuliaannya adalah dalam memiliki pandangan yang dalam bahwa segalanya adalah Esa sehingga kehidupan dan kematian itu sama saja.

Chuang Tzu beriman kepada Hari Akhirat dan kehidupan sesudah mati. Dia menganggap takut mati sebagai sumber pokok ketidakbahagiaan manusia. Namun melalui pemahaman yang diajarkannya, ketakutan ini tidak ada artinya. Kisah Chuang Tzu dan tengkorak dapat menggambarkan secara baik hubungan ini:

Dalam perjalanan ke Ch’u, Chuang Tzu melihat sebuah tengkorak tergeletak di pinggir jalan. Dengan memegang cambuknya, dia menundukkan kepalanya dan bertanya: “Tuan, ambisi apakah yang tak terpuaskan dan keinginan tak terkendalikan yang manakah sehingga Anda seperti ini. Jatuhnya suatu kerajaankah yang dibinasakan oleh kampak atau toya? Atau Anda menempuh kehidupan jahat sehingga mencemarkan nama keluarga dan karenanya Anda sampai pada keadaan semacam ini. Apakah Anda meninggal karena kelaparan dan kedinginan, ataukah Anda meninggal secara wajar dalam usia tua?” Kemudia diambilnya tengkorak itu dan diletakkan di bawah bantalnya ketika tidur. Pada tengah malam, tengkorak itu muncul di hadapannya dalam mimpi, dan bercerita tentang kebahagiaan mereka yang sudah mati. Namun Chuang Tzu tidak mempercayainya, dan bertanya kalau-kalau tengkorak itu mau dikembalikan ke dunia fana dan dipulangkan kembali ke rumahnya. Mendengar hal ini, tengkorak pun melotot sambil mengangkat alisnya dan berkata; “Bagaimana Anda dapat bayangkan bahwa saya akan lemparkan kebahagian besar sebagai raja hanya untuk kembali ke dunia guna bertani dan membuat kesusahan di alam fana itu?”

Dan disinilah gambaran Chuang Tzu tentang manusia sejati itu: “Manusia sejati dari zaman dahulu, nampak bagaikan menara yang kokoh tak dapat dirobohkan. Sikap mereka selalu berusaha keras dalam pribadinya, tanp menengok orang lain. Secara fitriah

mereka memiliki kebebasan berfikir, tetapi mereka tidak keras hati. Hidup dalam kemerdekaan yang tak terhambat, mereka tidak mencoba untuk menonjolkan diri. Mereka tampak tersenyum seolah selalu bahagia, dan hanya bereaksi atas umpan balik yang wajar dari lingkungannya. Kewibawaan mereka mengalir dari timbunan kebajikan dalam hatinya. Dalam hubungan sosial , mereka tampak menjaga watak aslinya. Lapang dada mereka terlihat anggun, unggul, dan selalu terkendali. Mereka senantiasa menetap seolah pintu tertutup. Mereka selalu merenung seolah lupa bicara. Mereka melihat hukum pidana dari bentuk luar, dan upacara di masyarakat sebagai sarana-sarana tertentu. Ilmu pengetahuan dilihat sebagai alat mencapai tujuan. Moral sebagai petunjuk, karena alasan inilah maka bagi mereka hukum pidana berarti administrasi yang baik, upacara sosial suatu cara untuk bergaul , dan ilmu pengetahuan sebagai penolong untuk hal-hal yang tak terhindarkan. Dan moralitas sebagai petunjuk bagi mereka yang bersedia berjalan bersama orang lain untuk mencapai bukit kebahagian. Dan semua manusia mengira bahwa mereka dalam penderitaan agar dapat hidup dengan benar. Karena apa yang mereka perhatikan adalah Satu dan yang mereka abaikan juga Satu. Apa yang mereka anggap Esa adalah Satu dan apa yang mereka tidak anggap Esa juga Satu. Di mana Yang Esa semua adalah dari Tuhan, dan di mana yang tidak dianggap Esa dari manusia. Dan demikianlah maka antara manusia dan keilahian itu sebenarnya tidak ada pertentangan. Inilah yang dinamakan seorang manusia sejati.” (Chuang Tzu, bab “Yang Maha Kuasa”)

Dalam dokumen SEKILAS TENTANG sejarah administrasi PENGARANG (Halaman 161-167)