• Tidak ada hasil yang ditemukan

AJARAN-AJARAN ZARATHUSTHRA

Dalam dokumen SEKILAS TENTANG sejarah administrasi PENGARANG (Halaman 108-116)

Agama yang diajarkan oleh Zarathusthra telah dikenal sebagai agama Zoraster, tetapi sesungguhnya nama yang diberikannya

3 A. R. Wadia, The Life and Teaching of Zoroaster, p. 15 (G. A. Natesan adn Co, Madras, 1938)

sendiri adalah agama Mazhayasna, kebaktian kepada Mazda, yakni Tuhan Maha Segala Yang Esa, Sejati, dan Maha Mengetahui. Zarathusthra tidak mendakwahkan dirinya sebagai Nabi pertama dari Mazdayasna. Di antara nabi-nabi terdahulu yang tersebut dalam kitab-kitab Majusi, kami temukan nama-nama Yima (belakangan disebut Jamshed), Tharaetaona (Faridun), dan Kavaushan. Seseorang dapat membaca kisah-kisah dan dongeng- dongeng tentang nabi-nabi Iran purba dalam buku syair Persia, kumpulan epos sajak Firdawsi, Shahnama.

Pada saat kelahiran Zarathusthra agama yang murni dari nabi- nabi ini telah dilupakan semuanya, dan tempatnya telah diganti oleh politeisme dan upacara-upacara yang tidak keruan. Misi Zarathusthra adalah membangkitkan kembali agama yang sejati dengan tiga ajaran, yakni hoomta, hookhia, dan huvereshta, yakni fikiran yang suci, kata-kata yang suci, dan tingkah laku yang suci. Dan bagaimanakah hal ini dapat dicapai? Hanya melalui keimanan kepada Ahura-Mazdha (belakangan disebut Ormuzd), Tuhan Ketulusan. Nama Ahura Mazdha yang diberikan kepada Tuhan Yang Esa dan Sejati, adalah berasal dari dua kata, Mazdha berarti Yang Maha Tahu, Maha Bijaksana, dan Ahura berarti Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dari satu rangkaian pertanyaan yang mirip retorika, di mana seolah-olah mereka sudah tahu jawaban sebelum Zarathusthra menjelaskan Keesaan dan Kemurahan Tuhan, Ahura Mazdha adalah Sang Pencipta dan Tuhan segala sesuatu:

“Inilah yang aku tanyakan , Ahura, katakanlah padaku dengan sebenarnya

Siapakah Sang Pencipta Agung yang mendapatkan tempat pada orang orang yang tulus?

Dzat apa yang meletakkan jalannya matahari dan bintang-bintang?

Siapakah penyebab bulan bersinar dan memudar setiap waktu?

Segalanya ini dan seterusnya akan aku tanyakan, wahai Tuhanku

Inilah yang aku tanyakan Ahura, katakan padaku dengan sesungguhnya:

Siapakah yang berkenan memisahkan bumi dan langit?

Siapakah yang akan menjaga air dan tanaman di tempatnya?

Siapakah yang meniupkan angin ke arah yang tak terduga?

Siapakah yang mengembangkan awan gelap yang membawa air hujan dari kejauhan.

Dan siapakah yang mengilhami kecintaan kepada fikiran kebajikan?

Inilah yang aku tanyakan, Ahura, katakan padaku dengan sesungguhnya:

Arsitek manakah yang membangun kerajaan cahaya Dan juga kerajaan kegelapan? Siapakah yang dengan bijak merencanakan,

Untuk kita baik untuk tidur dan berjalan—beristirahat dan bekerja?

Siapakah yang telah menciptakan fajar siang dan malam,

Yang mengajarkan dengan bijak tujuan seluruh kehidupan?”

Dan di sini dengan kata-katanya sendiri, dinyatakan bahwa inti sari dari agamanya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Satu Tuhan yang Sejati dan berbuat kebajikan:

“Inilah yang aku tanyakan, Ahura, katakan padaku dengan sesungguhnya:

Bagaimanakah membaktikan seluruh pribadiku kepada Mu

Dalam kebaktian suci yang kulakukan dengan segala dayaku?

Ini adalah agama kebijaksanaan yang telah diajarkan kepadaku.

Para Pengabdi Mu yang tersayang akan menetap bersama Mu

Kuat dalam pengabdian, cinta sesamanya dan kebenaran”.

(Gathas, Yasna 44 : 9) Enam asma utama dari Ahura Mazda, menurut Zarathushtra, adalah Asha (Ketulusan dan Kebenaran), Vohu-mano (Fikiran Kebajikan), Kshatra (Yang Maha Kuasa), Armaitti (diimani Yang Pengasih dan Penyayang), Haurvatatat (Yang Sempurna atau Suci), dan Ameretatat (Yang Abadi)

Agama Majusi dikatakan dualistis keimanan, padahal ini bukanlah ajaran asli dari Zarathushtra. Memang benar Zarathushtra berbicara mengenai dua kekuatan – Spento Mainyu (Roh yang Baik) dan Angro-Mainyu (juga disebut Ahriman, Roh yang Jahat), tetapi keduanya ciptaan Ahura Mazda yang mengatasi serta meliputi kedua roh tadi. Mengutip Gathas:

“Yang mula diciptakan adalah dua roh kembar

Seperti si pekerja kembar, mereka mengungkap dirinya;

Namun dalam fikiran serta perbuatan keduanya Tidak pernah bersetuju, satu baik, dan lainnya jahat Dan dari keduanya inilah si bijak memilih yang tepat Sedangkan si bebal tidak memilih demikian, dan tersesat”

(Gathas, Yasna 30 : 3). Ketika mengomentari ayat ini, Dr. Taraporewala menulis dalam bukunya The Religion of Zarathushtra:

“Majusi mengajarkan dua roh, tetapi filsafatnya bukan dualistis. Ide dualisme ini sesungguhnya merayap ke dalam agama itu setelah tahap-tahap belakangan perkembangannya, tetapi pada zaman Gurunya sendiri dan dari kata-katanya sendiri, ide yang berkembang dan paling ditekankan bukanlah dualistis. Ini bukanlah dualistis dalam makna yang bisa dimengerti, yakni timbulnya dua tenaga yang sama-sama abadi, sejajar, satu baik dan lainnya buruk, yang selalu bertempur selama-lamanya. Konsep Zarathushtra pada dasarnya berbeda. Dia mengatakan bahwa ada dua roh – yang baik dan yang jahat – selalu bertempur satu sama lainnya. Mereka membentuk antitesis satu sama lain di setiap segi. Namun ada dua hal yang terpenting dari ajarannya berbeda dengan pandangan umum. Hal pertama yang harus diletakkan, bahwa pertentangan itu terbatas dan ada akhirnya Buku-buku itu dan bahkan buku-buku yang terbit belakangan bertanggung jawab atas semua kekaburan pengertian, mengatakan bahwa kemenangan akhir dari roh yang baik dan tenggelamnya si jahat ke bawah tanah. Dan nabinya sendiri telah menyatakan bahwa di mana mana kejahatan itu pada akhirnya akan musnah. Karena itu, jikalau salah satu dari kekuatan yang dinamakan sistem dualistis itu akhirnya lenyap, tidaklah dapat dikatakan bahwa sistem itu mengajarkan dua kekuatan yang sama kekal dan sebanding. Dan memang dari sisi yang lainnya, dan mungkin sisi yang lebih fundamental dari ajaran Majusi bukanlah

dualistik. Dua roh tersebut tidak menciptakan dirinya sendiri, sebagaimana yang dapat diperkirakan dalam sistem dualistik yang sesungguhnya. Karena keduanya berasal dari ciptaan Ahura Mazda.”4

Agama Zarasthushtra telah digariskan sebagai jalan Asha. Istilah Asha dalam Avesta agaknya mempunyai arti yang sama dengan istilah Rta dalam Weda, dan dalam bahasa China Tao

(sebagaimana digunakan Lao Tzu dalam Tao Te Ching). Dr. Taraporewala memberi batasan sebagai berikut:

“Apakah selanjutnya arti Asha? Para cendekiawan

menterjemahkan dengan berbagai pengertian, seperti kesucian, ketulusan, atau kebenaran, tetapi itu jauh lebih luas pengertiannya daripada maksud yang biasa dipakai. Ini adalah Kebenaran Abadi, Satu-Satu Realitas, dan darinya memancar segenap pengewantahan dan segala evolusi. Adalah sangat sulit untuk melahirkan konsep itu dengan sekedar kata-kata, itu harus direnungkan dan dinyatakan sendiri dalam pribadi masing-masing. Kebenaran yang mendukung pemahaman Tuhan itu sendiri. Adalah Hukum Yang Besar, Rencana Ilahi , di mana Dia membangun alam semesta ini.”5

Jadi mengikuti jalan Asha adalah selaras dengan ketentuan Sang Pencipta. Ahura-Mazda adalah tuhan Ketulusan dan agama Majusi adalah agama akhlak. Karena itu, Zarathusthra menghapus paham kuno yang meletakkan pada ritus-ritus, sesajen yang tidak keruan bentuknya, dan pengorbanan serta menggantikan-nya dengan agama baru tentang ketulusan – Jalan Asha. Prof. Jaques Duchesne-Guillemin menulis:

“Majusi menolak pengorbanan darah dan menawarkan minuman suci. Barang-barang yang mengambil bagian dalam

4 Dr. I.J.S. Taraporewala, The Religion of Zarathushtra, pp. 49-50 (Theosophical Publishing House, Adyar, Madras 1926)

pengorbanan telah disantap seka-rang. Dia menghilangkannya, bersama dengan dongeng yang mengikutinya.”6

Dan inilah apa yang dituliskan Prof. Wadia tentang masalah yang sama:

“Reformasi terbesar yang dicapai oleh Majusi adalah di bidang moralitas. Dengan mengidentifikasikan apa yang diinginkan oleh Ahura-Mazda, dia meletakkan dasar-dasar keagamaan dan membebaskan dari penyembahan berhala dalam ritual keagamaan.”7

Menurut Prof. Wadia, etika Zorasterian adalah (1) tidak ada pertapaan, dan (2) keberanian. Hal yang pertama berarti tidak ada tempat bagi agama Majusi untuk biara, membujang, dan bunuh diri. Mengenai hal kedua dari etika Majusi, ia menulis:

“Sejauh karakteristik lainnya, keberanian, diterapkan bahwa seseorang dilahirkan tidak dengan dosa atau juga tidak dengan kelemahan dirinya sendiri sehingga memerlukan penebus seperti kemurahan Tuhan atau; Yesus dalam agama Nasrani. Majusi sendiri tidak pernah menyatakan bahwa ada kekuatan yang menyelamatkan seseorang, missinya adalah untuk menunjukkan jalan yang benar, dan setiap laki-laki dan perempuan untuk mengikuti jalan tersebut agar mengukir keselamatannya sendiri.”8

Tuhan memberkati manusia dengan urwan – kemampuan di dalam dirinya untuk melakukan pilihan sendiri. Setiap manusia adalah pribadi yang ber-tanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri, dan tidak seorang pun dapat menanggung dosa orang lain. Agama Majusi adalah agama perbuatan. Ia berdiri langsung bertarung menghadapi kejahatan. Pengikut Majusi yang sejati adalah selalu mengatur dirinya dari sisi kebenaran dan siap

6 Jaeques Duchesne Guillemin, The Hymns of Zarathushtra, Introduction, p.14 (The wisdom of the East series, London, 1952)

7 A.R. Wadia, The Life and Teaching of Zoroaster, p. 21 (G.A. Natesan and Co., Madras, 1938)

membantu orang lain yang membutuhkan. Gambaran akhlak yang dijelaskan dalam Gathas adalah berfikir suci, berkata benar, berbuat tulus, dan melayani umat manusia. Selanjutnya berlaku baik kepada hewan dan tumbuh-tumbuhan di tanah ini. Inilah yang tertulis dalam Gathas:

“Singkirkan jauh-jauh kebencian darimu; jangan memberi tempat sedikit pun dalam fikiranmu untuk berbuat kekacauan; - berpegang teguhlah pada cinta: guru-guru suci (yakni para nabi) yang membangun jembatan ke Kebenaran, dan akan membimbingmu ke kediaman O Tuhan, di mana ketulusan selalu menetap.” (Gathas, Yasna 48:7)

“Engkaulah Tuhanku, O Yang Maha Kuasa; Engkaulah yang akan menghabiskan yang pertama, saya tahu, ketika hidup dimulai: semua fikiran, kata-kata, dan perbuatan seseorang akan berbuah, seperti Engkau tetapkan dalam hukum abadi Mu – jahat berbuah jahat, berkah kebaikan akan berbuah kebaikan – Kebijakan Mu lah yang akan selalu berkuasa sampai akhir waktu,” (Gathas, Yasna 43 : 5)

Pahala dari perbuatan baik dan hukuman dari perbuatan jahat, tidak hanya diceritakan di dunia ini. Di sana, hidup sesudah kematian. Dalam Gahas, Zarathushtra menjanjikan surga bagi kebaikan dan neraka untuk kejahatan. Dia juga berbicara tentang pengadilan pada jembatan Chinvat, di mana jiwa yang telah mati akan melewatinya. Bagi orang-orang yang tulus jembatan ini akan mudah dilewati, tetapi bagi orang-orang jahat akan melewati ujung pedang dan terjerumus ke dasar neraka.

Dalam dokumen SEKILAS TENTANG sejarah administrasi PENGARANG (Halaman 108-116)