• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT KEHIDUPAN BUDDHA

Fakta sejarah mengenai kehidupan pendiri agama Buddha telah tenggelam dalam banjir dongeng yang muncul sejak awal sejarah agama tersebut. Dari seluruh catatan yang telah ditulis tentang beliau, hanya ada sebagian kecil yang dapat dianggap sebagai kebenaran sejarah, sampai-sampai seorang yang ulama pun seperti Ananda Coomaraswamy percaya bahwa Buddha bukanlah seorang manusia melainkan suatu mitos Dewa Matahari.

“Pertimbangan-pertimbangan ini”, tulisnya, “membangkitkan pertanyaan apakah ‘kehidupan’ dan ‘penakluk kematian’ dan ‘Guru dari dewa dan manusia’ yang menyatakan bahwa ia dilahirkan dan diturunkan di dunia-Brahma, dan yang turun dari langit serta masuk dalam rahim dan lahir dari Maha Maya dapat dianggap sebagai fakta sejarah ataukah sekedar suatu mitologi di mana sifat dan tindakan dewa Weda yakni Dewa Agni serta Dewa Indra yang kurang lebihnya telah bercampur dengan jelas di dalamnya”.3

Keraguan yang sama diungkapkan dalam sejarah Yesus Kristus dan Lao Tzu. Jika mereka menggarisbawahi kesulitan tugas cendekiawan yang ingin mengungkapkan fakta sejarah tentang Buddha, Lao Tzu, dan Yesus karena kumpulan cerita dongeng yang ada di sekelilingnya, namun untuk menganggap hal itu sepenuhnya sebagai dongeng adalah sikap yang berlebihan diambil oleh cendikiawan.

Siddharta Gautama yang kelak menjadi Buddha dilahirkan pada tahun 563 sM di tanah Lumbini dekat Kapilavastu. Ayahnya Suddhodana adalah seorang raja dari marga Sakya yang negerinya

3

Ananda Coomaraswamy dan I,B, Horner, The Living Thoughts of Gautama the Buddha, p.1.2 (The Living Thoughts Libaray, Cassel and Co. London, 1948)

terletak di sudut Selatan Nepal dengan Kapilavastu sebagai ibu kotanya.

Ibunya Maya meninggal dunia ketika dia berumur tujuh hari dan anak itu dibesarkan oleh saudara perempuan ibunya, yakni Pajapati. Dalam Sutta Nipata, kita temukan juru ramal Asista yang datang ke istana Suddhodana yang haus akan Dharma yang sejati. Kita membaca tentang betapa dia mengenal tanda-tanda pribadi pada dirinya sebagai Buddha dan meramalkan kebesaran anak itu di masa datang. Dia menangis karena berfikir bahwa dia sendiri sudah tidak ada lagi sampai saat yang akan tiba itu dan mendengarkan Kitab ajaran yang baru.

Ayahnya cemas, sehingga dia harus tidak tahu tentang gejolak dunia. Dia dikelilingi dengan segala macam kecantikan dan kemewahan. Namun Siddharta tidaklah seperti anak-anak muda yang lain. Dia tidak ingin bebas riang gembira atau menyukai olah raga berkelahi dan wanita. Ayahnya telah mengawani dengan sepupunya yang cantik, yakni Yasodhara , Siddharta mencintai istrinya tetapi dia pun tak sanggup mengobati kegelisahan hatinya.

Dia merasa sebagai seorang tawanan dalam istana serta taman- taman kemewahan yang didirikan ayahnya. Dia meneguhkan niatnya untuk mengadakan perjalanan guna melihat dunia nyata. Kita baca dalam kitab-kitab suci bahwa bagaimana dia pergi dengan Channa, sais keretanya, dan melihat berturut-turut seorang tua renta seorang yang sakit dan meninggal dunia. Ia merasa sangat tergoncang melihat penderitaan dan kematian manusia. Kemudian dia melihat seorang pertapa berkepala gundul dengan jubah kuning sudah tua dan pemandangan atas orang itu mengilhami keinginan untuk mencari kedamaian hidup keagamaan, dan ketentraman serta penyembuhan atas penderitaan kemanusian. Di malam yang larut dia mengucapkan selamat tinggal kepada isterinya yang sedang tidur dengan bayinya dan meninggalkan istananya. Di tepi hutan dia

mengenakan jubah pendeta dan memulai karirnya sebagai seorang pencari kebenaran. Ini adalah penolakkan keduniawan yang besar.

Dia mengembara di hutan dari satu guru ke lain guru, mempelajari segala hal yang diajarkan kepadanya, tetapi tidak menemukan kepuasan. Berikutnya dia mulai berpuasa berturut- turut, dengan keras menjalankan latihan meditasi dan membebani dirinya dengan cobaan-cobaan yang dahsyat, dengan harapan bahwa dengan cara ini dia akan menemukan kebenaran. Ini usaha yang besar, meskipun seringkali dia di ambang maut, tetapi tidak menemukan sekalipun dari gelombang kehidupan ini. Karena itu, dia berkesimpulan bahwa hidup bertapa bukanlah jalan ke arah penerangan. Dia memutuskan untuk makan minum lagi, sehingga lima pertapa yang mengikuti dirinya, akhirnya pun meninggalkannya. Akhirnya dia duduk bersila dengan gaya yang disebut bunga teratai di bawah pohon yang yang suci dengan penuh harapan memperoleh penerangan. Cerita mengisahkan kepada kita bahwa pada saat krisis Siddharta diganggu oleh Mara, penggoda yang mencoba dengan sia-sia dengan segala bentuk tema dan godaan yang menggoncangkan. Dia teguh dalam meditasi dan akhirnya pintu hijab pun terangkat di mata beliau, dan cahaya yang membahagiakan meliputi beliau. Ini adalah penerangan yang besar, dan Siddharta Gautama telah mencapai bodhi atau pemancar cahaya dan menjadi Buddha atau seorang yang diterangi.

Selama tujuh hari atau lebih beliau tinggal di sana, Mara si setan mencobanya lagi. Cobaan ini agar dia menerima sekaligus menggenapkan atas pembebasan dirinya sendiri ketika itu juga dengan kematiannya untuk langsung ke Nirwana. Ini cobaan yang paling rumit. Fikiran bahwa dia mengumumkan ajarannya, maka manusia tidak akan menerimanya, dan dia hanya akan kehilangan ketentraman dirinya ini juga menakutkannya dan agar berbalik lagi. Tetapi kasih sayang dalam kalbu Buddha membangunkannya demi kebutuhan manusia yang abadi, dia merasa bahwa perasaaan

pribadinya yang mendalam untuk mengasihi dan menyayangi serta menyuruh dia untuk mengabdi kepada sesama umatNya. Karena itu, Sang Buddha memutuskan untuk terjun ke masyarakat dan mengumumkan kepada dunia jalan ke arah kedamaian dan hidup abadi.

Orang-orang pertama yang kepada siapa dia memutuskan untuk menyam-paikan risalahnya, adalah lima pertapa yang dulu telah meninggalkannya saat dia menghentikan hidup bertapa. Beliau menemukan mereka di Varanasi, dan di sana di Taman Menjangan, beliau mengajarkan khotbah pertama mengenai ‘Meletak-kan Diri dalam Gerak Roda Kebenaran’. Beliau mengajarkan mereka Jalan Tengah, Empat Kebenaran Mulia, dan Delapan Segi Jalan ke Arah Keselamatan. Mereka menjadi murid- muridnya yang pertama dan Arahant (Wali yang sempurna)

Jumlah pengikutnya bertambah dengan cepat, dan beliau mengutus mereka ke dunia dengan penuh kasih sayang kepada

sesama manusia untuk mengumum-kan Dharma (atau Dhamma

bahasa Pali), yakni Keimanan Sejati atau Hukum demi keselamatan banyak orang. Buddha sendiri pergi Uruvella. Di perjalanan beliau menemukan sekelompok orang-orang muda yang sedang berdarmawisata dengan isteri mereka . Salah seorang dari mereka membawa selirnya dan ternyata wanita simpanannya minggat bersama harta miliknya. Si orang muda itu bertanya kepada Sang Buddha kalau-kalau beliau melihat wanita itu. “Coba kau fikirkan wahai anak muda” tanya Sang Buddha, “manakah yang lebih baik bagi dirimu, mengejar seorang wanita atau mencintai Dirimu sendiri?”. Dalam perjalanan ini, beliau dapat merebut hati orang- orang muda tersebut dari nafsu rendah ke jalan keagamaan dan kemuliaan. Di Uruvela, Sang Buddha bertemu dengan sekolom-pok penyembah api, dan beliau mengajarkan kepada mereka khotbah apinya yang termasyur. Mereka juga bertobat dan menjadi murid- muridnya.

Di Rajagraha, Sang Buddha menyadarkan Raja Humsara dan menerima dari raja itu taman yang dikenal sebagai Celah Bambu untuk digunakan jemaahnya sebagai tempat semedhi yang tetap. Kemudian, beliau pergi ke Kapilavastu dan menjumpai ayah, isteri, dan anaknya. Puteranya, Rahula, dan Ibunya, Prajapati, bergabung dalam jemaah . Sang Buddha kurang senang menerima wanita dalam jamaahnya, namun dibujuk untuk berbuat demikian oleh saudara sepupu yang juga muridnya, Ananda Buddhacarita. Riwayat hidup awal dari Buddha ditulis oleh Asvaghosa, berisi banyak peristiwa mujizat yang dilakukan Buddha dan juga perjalanan ke langit untuk mengajarkan Dharma kepada roh-roh dari mereka yang sudah tiada.

Demikianlah Sang Buddha selama empat puluh tahun melanjutkan kelana-nya dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajarkan Dharma dan Jalan kedamaian abadi dan hidup kekal. Akhirnya, datanglah saat bagi beliau untuk meninggalkan badan jasmaninya. Salah satu cerita tentang hari-hari terakhir Sang Buddha diriwayatkan dalam Mahaparinibhana Sutta dari Digha Nikaya. Beliau mengatakan kepada para pengikutnya untuk membuat “Diri sendiri sebagai tempat mengungsi, dan pengungsian Hukum Abadi mereka”. Kata-kata terakhir-nya, “Dapat rusaklah segala perkara yang berpasangan; bekerjalah dalam kesung-guhan demi tujuan Anda”. Gambaran yang utuh dari Buddha telah menyinarkan cahayanya ke jutaan ummat manusia selama duapuluhenam abad dan telah memenangkan penghormatan dan kekaguman tidak hanya bagi para penganut agama Buddha, melainkan juga manusia yang tidak melihat bagaimana caranya untuk bergabung dalam kepercayaan itu