• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH AGAMA SIKH

Guru Nanak, seperti yang telah kita saksikan, mengajarkan agama yang berbeda dengan agama Hindu. Ide keagamaannya hampir-hampir sama dengan ajaran Islam. Dia adalah seorang Sufi. Namun sebagai ironi sejarah, dengan berlalunya waktu, maka kaum Sikh yang menyatakan diri sebagai pengikut Guru Nanak, makin lama makin dekat ke agama Hindu dan menjadi semakin terasing dengan Islam. Tiga faktor yang muncul dan bertanggung jawab atas kejadian ini, adalah:

Pertama, meskipun Guru Nanak tidak datang dengan suatu agama baru, dan tidak mempunyai niat membentuk suatu masyarakat agamis yang terpisah, tetapi setelah kematiannya, mereka yang menyatakan diri sebagai pengikutnya kemudian mengorganisir dalam suatu sekte yang berbeda.

Kedua, sebagian besar dari penganut sekte agama Sikh ini datang dari agama Hindu, dan tetap saja melanjutkan ide-ide dan praktik keagamaan mereka yang lama. Dengan berlalunya waktu, maka mereka menjadi bagian dari agama Sikh. Para pengikut ini juga lebih bersahabat dengan bekas teman seagama mereka dibandingkan dengan kaum Muslim.

Ketiga, konfilik politik dari kaum Sikh (pada saat Guru kelima meng-organisir kelompoknya menjadi golongan politik) dengan penguasa Mughal, membuat mereka memusuhi Islam dan kaum Muslimin pada umumnya. Dalam kebencian mereka terhadap kaum Muslimin, maka mereka datang begitu erat dengan kaum Hindu sehingga demi maksud-maksud praktis, mereka pun menjadi satu sekte dari agama Hindu.

Pewaris pertama dari Guru Nanak dan Guru yang kedua adalah Bhai Lehna, belakangan disebut sebagai Guru Angad (1539–1552). Dia adalah pengikut yang berbakti dari Guru Nanak, dan menjalani hidup sederhana seperti guru besarnya. Dengan taktiknya, dia dapat mencegah perpecahan di antara pengikutnya dengan pengikut putra Guru Nanak, Sri Chand, bahwa dia lah yang menuntut lebih utama sebagai gaddi ayahnya. Sumbangan Guru Angad yang terbesar kepada sejarah Sikh dan agamanya adalah pembagian naskah Punjabi. Gurmukhi, catatan yang di dalamnya terdapat hymne dan kata-kata dari Guru Nanak. Ini membentuk inti dari kitab suci Sikh yang belakangan hari berkembang menjadi Adi Granth.

Guru ketiga adalah Amar Das (1552–1574). Dia mengorganisir kaum Sikh dalam 22 Manjis atau rayon, dan mendirikan lembaga dapur umum yang bebas bea, disebut Guru-ka-Langar, di mana orang-orang dari segala kasta makan bersama-sama. Dinyatakan bahwa Guru Amar Das sebagai pembaharu sosial yang besar, dan dia melarang praktik agama Hindu, Sati, yakni pembakaran hidup- hidup para janda pada upacara pemakaman suaminya yang meninggal dunia.

Guru keempat adalah Ram Das (1574–1581). Dia memulai pembangunan sebuah danau besar, disebut Amritsar (danau Nectar) dan merencanakan juga pembangunan Kuil Emas di tengah-tengah danau itu. Tanah dan danau tersebut disumbangkan oleh Maharaja Akbar, dan peletakkan batu pertama kuil itu dilakukan oleh seorang wali sufi muslim Hazrat Mian Meer dari Lahore. Ram Das mulai mengumpulkan sumbangan tetap atau tithes untuk manajemen masyarakat Sikh dan kegiatan khusus resmi lainnya, disebut

Masands, untuk organisasi peribadatan dan pengumpulan tithes. Ram Das adalah Guru yang pertama kali menunjuk puteranya sendiri sebagai penggantinya, jadi dialah yang secara resmi menjadikan Guru sebagai keturunan.

Guru yang kelima, Arjun (1581 – 1606) yang memainkan peranan menentu-kan dari sejarah kaum Sikh. Awal mulanya, dia meneruskan pembangunan Kuil Emas dan menyediakan bagi kaum Sikh suatu markas dan tempat berlatih. Kedua, dia mengumpulkan Kitab Suci Sikh, Adi Granth, di mana dia memasuk-kan karangannya sendiri bersama-sama keempat pendahulunya. Ketiga, dia mengorganisir kaum Sikh dalam suatu masyarakat terpisah dengan kitab suci tersendiri, dan menjadikan danau suci beserta kuil suci mereka. Ini permulaan dari Negeri Sikh, dan Guru Arjun disebut oleh para pengikutnya Sanchcha Padshah (Maharaja Sejati). Arjun adalah Guru pertama yang mengambil bagian aktif dalam politik, dan mulai terlibat konflik dengan penguasa tanah itu, Maharaja Jehangir. Sebab dari pertengkaran itu adalah pengusian dan bantuan yang diberikan Guru Arjun kepada putera Maharaja Jehangar yang memberontak, yakni Kushru. Setelah pemberontakan Khusru gagal, Arjun dibebani pajak berat oleh Jehangar, dan ketika dia menolak membayarnya, maka dia ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan sebagai penghianat besar. Para ahli sejarah menulis bahwa Guru Arjun menjadi korban pembunuhan pribadi sebagai pembalasan dendam Menteri Keuangan Jehangir yang beragama Hindu, Seth Candu Shah, dengan memainkan peran jahat mengadu- domba antara Maharaja melawan Guru Arjun. Suatu hari, ketika Arjun diperbolehkan sipir penjara keluar berenang di sungai Ravi yang mengalir sepanjang penjara, dia dengan mendadak tenggelam. Kematiannya ketika menjadi tahanan, menimbulkan kemarahan besar di kalangan Sikh dan kebencian terhadap Moghul yang dalam waktu bertahun-tahun ber-kembang menjadi kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin pada umumnya.

Guru yang keenam, Har Gobind (1606 – 1645), dikelilingi tukang pukul dan memerintahkan para pengikutnya untuk mempersenjatai diri. Dalam kuil-kuil Sikh, mengutip Kushwant Sing, “sebagai ganti menyanyikan puji-pujian perdamaian, maka

para jamaah memperdengarkan balada untuk menggugah semangat kepahlawanan, sebagai ganti ceramah-ceramah agama, mereka mendis-kusikan rencana-rencana penaklukkan militer.” Mereka menjadi besar, mem-punyai angkatan bersenjata yang terlatih baik, terdiri dari infantri, kaveleri, dan unit-unit arteleri. Di bawah kepemimpinan Har Gobind, mereka terlibat konflik bersenjata dengan pasukan-pasukan kerajaan kaisar Shah Jehan dalam beberapa kali pertempuran.

Guru ketujuh, Har Rai (1645 – 1661) adalah cucu Har Gobind. Dia tetap menjaga semangat militer kaum Sikh. Dia bersahabat dengan putera Maharaja Shah Jehan yang bersikap liberal, Dara Shikoh, dan membantunya dalam perang perebutan tahta melawan Aurangzeb.

Har Rai mengabaikan putera sulungnya Ram Rai, karena yang belakangan ini mempunyai hubungan persahabatan dengan Maharaja Moghul Aurangzeb, dan kemudian menunjuk putera keduanya, yakni Hari Krishen (1661–1664) sebagai penggantinya. Hari Krishen masih kanak-kanak ketika ditunjuk sebagai Guru. Kakaknya yang lebih tua, Ram Rai memisahkan diri dan membentuk sekte yang terpisah. Hari Krishen meninggal disaat dia berumur baru sembilan tahun.

Di saat kematian Guru Hari Krishen, maka beberapa orang menyatakan bahwa mereka berhak menjadi gaddi dari Guru. Orang yang akhirnya menjadi Guru ke sembilan adalah Tegh Bahadur (1664–1675). Ram Rai sebagai saingan terdekat menjadi musuh bebuyutannya. Rakyat India merasa tidak puas dengan kebijakan agama dari maharaja Aurangzeb. Guru Tegh Bahadur berada di antara lawan maharaja yang melakukan diskriminasi agama dan kurang toleran. Cunningham menulis bahwa Tegh Bahadur telah mengorganisir rombongan perampok, dan menindas, serta memaksa penduduk pedesaan.13 Ram Rai menarik perhatian Qadi yang marah

terhadap Guru. Qadi mengambil keuntungan di saat ketidakhadiran maharaja di Delhi dengan memberlakukan hukum mati kepada Guru dengan alasan memberontak

Putera Guru Tegh Bahadur, Gobind Sind menjadi Guru berikutnya. Selama dua puluh tahun tinggal dalam pengasingan, dan mengobarkan perasaan balas dendam terhadap mereka yang dianggap bertanggungjawab atas kematian ayahnya. Dia mulai membangun dirinya sebagai kampiun Hindu melawan penguasa Moghul, dan menulis beberapa kisah tentang dewa-dewi agama Hindu. Pengajian diisi epos Hindu Mahabrata dan Ramayana bersama-sama dengan Granth mulai dijalankan di kuil-kuil Sikh.14 Dalam otobiografinya, Bichitra Natak, dia menulis: “Tuhan memerintahkan saya untuk pergi ke dunia. Fikiranku pada saat itu terpusat pada bunga anggrek di kaki Tuhan. Saya tidak ingin pergi, tetapi Tuhan mengirimku ke dunia dengan suatu mandat, firman Nya: ‘Aku pelihara engkau sebagai Putera Ku, dan mengirimkan engkau untuk menegakkan kemuliaan dan menyelamatkan rakyat.”

Guru Gobind Singh melakukan suatu upacara yang disebut

Khanda di-Pahul (Baptis Pedang), di mana dia memandikan lima murid yang terpilih disebut Piyaras. Dia mengirimkan satu cawan besi dan menaruhkan beberapa gula dan air di dalamnya. Kemudian dia mengaduknya dengan belati bersisi dua, dan menyebut adukannya sebagai Amrita, dan kelima Piyara meminumnya kemudian memakan sejenis bubur yang disebut Karah Parshad. Guru Gobind Singh menyatakan kepada mereka,bahwa mereka telah menjadi anggota suatu Ordo baru, dan harus menganggap dia sebagai ayahnya dan yang termuda dari istri-istrinya, Sahib Devan, sebagai ibunya. Mereka diminta untuk memakai nama ‘Singh’ (singa)15 dan memakai senjata pribadi serta memakai baju perang

14 Bhagat Lakshman Singh, The Life and Work of Guru Gobind Singh, p. 23 (The Tribune Press, Lahore, 1909)

supaya cocok dengan kehidupan seorang prajurit. Mereka memakai lima perhiasan yang diberi nama semuanya dengan diawali huruf ‘K’. Ini adalah Kesh (rambut dan jenggot yang tidak dipotong),

Kangha (sisir), Kirpan (pedang), Kach (celana sependek lutut), dan

Kara (kalung baja). Guru Gobind Singh mengatakan kepada mereka, bahwa di mana dan kapan pun mereka berkumpul di masa depan, maka rohnya akan beserta mereka. “Jika kita membaca sejarah Sikh dengan benar-benar”, tulis Teja Singh, “masyarakat Sikh akan tampak sebagai unit yang terorganisir di bawah pengarahan disiplin di tangan sepuluh Guru, sampai akhirnya karakter mereka berkembang sepenuhnya dan Guru menggabungkan kepribadiannya ke dalam badan bangsa tersebut, jadi dia ada dibelakangnya.”16

Mengikuti kelima Piyaras, maka banyak murid Guru Gobind Singh dibaptis dengan cara yang sama . Ordo baru itu disebut “Khalsa Panth” (Jalan Suci), dan orang yang dibaptis disebut “Khalsas” (orang-orang yang suci). Tujuan Guru Gobind Singkh dengan mengintroduksi cara pembaptisan ini jelas untuk memberi identitas tersendiri dari orang Sikh, dan membuat mereka menjadi suatu bangsa dan serdadu. Dia mengubah sepenuhnya karakter dan komunitas orang Sikh. Namun, beberapa orang Sikh menolak cara pembaptisan ini, dan mereka dikenal sebagai “Sahajdharis” atau orang yang hidup santai. Mereka membentuk sekte terpisah.

Secara bertahap Khalsa Sikhs menjadi suatu kekuatan militer yang berpengaruh. Orang-orang yang bergabung dengan mereka, khususnya kaum Jats, dihembus-hembus dengan semangat kebencian yang mendalam kepada kaum Muslimin. Bhagat Lakshman Singh, seorang pemuja Guru Gobind Singh, menulis: “Bagi mereka yang menjadi kaum Sikh harus dengan terang- terangan kebencian kepada penganut agama Brahma dan kaum Muslimin. Manusia-manusia yang bersenjata lengkap harus siap

membabat kaum Muslim, dan mereka yang sanggup menderita kesukaran hebat adalah sangat diperlukan. Bilamana orang-orang ini berhasil merobohkan kekuatan orang-orang Muslimin, maka mereka diminta untuk tunduk kepada lambang-lambang yang nampak dari agama Sikh.”17

Guru mula-mula menyerang Raja Hindu yang setengah merdeka dari bukit Shivalik (sekarang Himachal Pradesh), yang sedang bermusuhan dengan kerajaan Moghul. Belakangan berdasarkan saran dari raja bukit itu, dia bekerjasama dengan mereka untuk menentang pungutan cukai dari Moghul. Namun raja Hindu itu mengkhianatinya. Di satu pihak mereka berperang melawan panglima Moghul dibawah kepemimpinan Guru, tetapi sebaliknya mereka membuat perjanjian dengan perwira-perwira dibalik punggung Guru. Guru Gobind Singh dan sekutu-sekutunya dikalahkan dengan hebat, namun Maharaja Aurangzeb menunjukkan kelapangan hatinya, dan memberikan pengampunan tak bersyarat kepada Guru dan kaum Sikh. Ini memberikan Guru Gobind Singh waktu untuk menjalankan rencana mengorganisir kembali kaum Sikh, dan menghembuskan perasaan kebangsaan serta kekuatan militer mereka. Ketika Maharaja sedang pergi bertugas untuk jangka waktu lama ke Decca, Raja bukit menyerang kaum Sikh di Anandpur dan sekaligus meminta bantuan sebagai mandataris kepada tentara kemaharajaan. Dalam pertempuran inilah Guru menderita kekalahan yang dasyat dan kehilangan segalanya. Kedua putranya tewas dalam pertempuran, sementara yang termuda dari keduanya ditangkap kemudian dieksekusi secara brutal atas perintah Gubernur Sirhind. Dia sendiri berusaha lari, dan minta suaka di antara kaum Malwa Jats. Dari sana dia menulis surat kepada Maharaja Aurangzeb dan menggambarkan kerugian yang diderita beserta pengikutnya ditangan tentara kemaharajaan karena

17 Bhagat Lakshman Singh, The Life and Work of Gobind Singh, p. 163 (Tribune Press Lahor, 1909)

fitnah “orang-orang bukit penyembah berhala”, dan menghimbau sang Maharaja sebagai “orang yang bertaqwa” agar campur tangan membela dirinya. (Zafar Nama, termasuk dalam Dasam Granth, adalah versi Gumukhi yang sudah dirubah dan surat aslinya dalam bahasa Persia) Aurangzeb segera mengirimkan perintah kepada Gubernur Punjab agar berhenti mengganggu Guru dan mengundang dia untuk berbicara secara pribadi. Segera Guru melakukan perjalanan untuk mengunjungi Maharaja, tetapi sebelum sempat bertemu, Maharaja Aungrangzeb wafat. Guru diterima dengan penuh kebaikan hati oleh Maharaja yang baru, Bahadur Shah. Tetapi ini tidak mencegah Guru Gobind Singh untuk mengambil keuntungan dari kelemahan Moghul, dan memerintahkan salah satu muridnya yang paling fanatik , Banda, untuk mengangkat senjata dan membantai kaum Muslimin di Punjab, sebagai balas dendam atas kekalahan kaum Sikh di Anandpur. Keberangan dan kebiadaban yang dilakukan Banda tiada taranya dalam sejarah. Namun akhir riwayat Guru Gobind Singh juga semakin mendekat. Dia dibunuh oleh seorang Pathan, yang ayahnya terbunuh sebelumnya, karena pertengkaran perniagaan, hanya karena soal yang remeh saja.18

Seluruh putera Guru Gobind Singh telah tewas dalam peperangan, dan dia mengumumkan bahwa tidak akan ada pewarisnya, tetapi Khalsa dan Granth diantara mereka yang akan meneruskan tugas-tugasnya.

Setelah kematian Guru Gobind Singh, kaum Sikh menarik diri ke pedalaman Punjab di mana mereka hidup dalam badan-badan terpisah yang dipimpin oleh kepala suku setempat. Tetapi pada permulaan abad kesembilanbelas, setelah merosotnya kekuasaan Moghul, Maharaja Ranjit Singh, sekali lagi mempersatu-kan kaum Sikh dalam suatu bangsa yang besar, dan menegakkan kewenangannya sendiri di daerah Punjab. Dia memutuskan untuk

memperluas kerajaannya ke selatan di Sutlej, di mana sekelompok negeri Sikh telah timbul. Kerajaan ini meminta bantuan Inggris, dan Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris, mengirim Lord Metcalfe ke istana Maharaja Ranjit Singh, dan membujuk agar membatalkan rencananya. Ranjit Singh setuju dan menanda tangani perjanjian persahabatan dengan Inggris. Selama Ranjit Singh memerintah kaum Sikh, mereka merupakan bangsa yang kuat dan berkuasa. Setelah kematiannya pada tahun 1839, bangsa Sikh bentrok dengan Inggris, dan ada dua kali pertempuran yang menentukan. Akhirnya kaum Sikh ditaklukkan dan daerahnya menjadi bagian dari Kerajaan British India.