• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKTE AGAMA BUDDHA

Agama Buddha dibagi atas dua sekte besar, yakni Hinayana (atau Theravada) dan Mahayana. Perkataan Hinayana (kendaraan kecil) dan Mahayana (kendaraan besar) diucapkan oleh pengikut Mahayana yang menyatakan bahwa “kendaraannya cukup besar untuk mengangkut seluruh pengabdian kemanusiaan”. Jadi sementara Hinayana menganggap Mahayana sebagai koruptor dari ajaran asli Buddha atau tepatnya ajaran palsu dan cabang yang melenceng. Sebaliknya, Mahayana menganggap Hinayana tidak hanya palsu atau melenceng dari ajaran Buddha sebenarnya, tetapi juga sederhana dan tidak lengkap atau mengada-ada ajaran Buddha.

Keyakinan dan praktik agama Buddha dipusatkan dan dipandu oleh ajaran tiga bagian, yakni Tri-ratna (tiga manikam). Mereka itu adalah (1) Buddha, (2) Dharma (bahasa Pali, Dhamma), dan (3) Sangha.

Jika aliran Theravada membicarakan Buddha, maka mereka mengartikan bahwa Siddharta Gautama adalah manusia, dialah yang mencapai pencerahan dan telah menunjukkan jalan ke nirwana. Agak awal dari sejarah agama Buddha, pemujaan Buddha telah tumbuh, dan Buddha dijadikan symbol dan benda yang dipuja secara keagamaan, tetapi Theravada tidak pernah menjadikan Buddha sebagai Tuhan. Bagi mereka Buddha adalah Sattha (Guru), Bhagwa (yang diberkati), Tathagata (yang mengalami dan meningkatkan diri dari ketidak-sempurnaan hidup), dan Buddha (mendapat penerangan sempurna). Pendeknya, ia adalah manusia besar (Mahapurusa) dan tidak lebih dari itu.

Dengan Dharma yang kedua dari “tiga manikam”, kaum Theravada mengartikan dengan ajaran pokok tentang penderitaan, sebab musabab, dan pengobatannya. Kaum Buddhis Theravada percaya bahwa alam semesta pada umumnya dan segala kehidupan pada khususnya tiga ciri bersama (“Tiga tanda makhluk”): tidak menetap (anicca), penderitaan (dukkha), dan ketidakhadiran jiwa yang memisahkan dari raganya ke kehidupan lainnya (anatta).

Mereka sependapat dalam menyatakan bahwa tidak ada prinsip permanen atau kesatuan di dalam atau di balik alam semesta. Segalanya mengalir. Tidak ada sesuatu kejadian yang tanpa henti dan perubahan yang tak terputus. Tidak dzat. Kaum Theravadin menyangkal adanya Tuhan, dan juga diri pribadi yang permanen atau jiwa dalam diri manusia. Manusia itu tersusun dalam kualitas yang tidak tetap serta selalu berubah , bersifat maya, dan dilahirkan karena hawa nafsu. Selama manusia mempunyai nafsu mementingkan diri sendiri, maka khayalan ini, selalu berubah kualitasnya, di mana dia diciptakan, akan menetap, dan selama hal itu masih menetap maka manusia akan lahir kembali terus menerus di dunia kesedihan. (samsara). Manusia dapat membebaskan dirinya dari roda kelahiran dan kematian dengan cara menghancurkan hawa nafsu. Nirwana yang merupakan tujuan agama Buddha, berarti “padamnya nafsu, padamnya kebencian, dan padamnya khayalan.” Ini dapat dicapai, bahkan setelah kehidupan sekarang. Orang yang telah melakukan ini disebut Arahant. Jika ia meninggal, maka ia tidak akan dilahirkan kembali.

Moral kehidupan yang dicita-citakan kaum Theravadin adalah menjadi seorang pendeta Buddha, dan itulah pentingnya Sangha, atau tata kependetaan, hal yang ketiga dari tiga manikam. Kehidupan dari seorang tuan rumah, hampir-hampir tidak dapat dibandingkan dengan kehidupan yang lebih tinggi dari kehidupan kerohanian. Hanya seorang pendeta sajalah yang dapat mencapai ketinggian tingkat Arhant dan mencapai Nirwana.

Kaum Buddha Mahayana berbeda dengan aliran Theravadin dalam menyatakan bahwa Menjadi Ada itu khayali dan Dzat itu nyata. Puncak Realitas adalah esa dan tidak berubah. Ini semua diatas konsep akal fikiran manusia. Kalau menginginkan istilah yang lain disebut pula Tathata. Agama Buddha Mahayana adalah bentuk idealisme mutlak. Kaum Mahayana menganggap Buddha

sebagai penjelmaan dari Realitas Mutlak Yang Esa, yang dapat juga disebut prinsip Buddha yang abadi atau Tuhan Yang Maha Esa.

Ajaran Buddha tentang keesaan segala makhluk mengandung arti bahwa nasib tiap pribadi dihubungkan dengan nasib dari segalanya. Setiap orang dapat menyucikan diri mereka, karena menghindari kesusahan dan keadaan yang penuh dosa, tetapi penyelamatan diri manusia tidaklah sempurna selama masih ada seseorang yang belum diselamatkan. Dalam kata-kata Masaharu Anesaki, “Menyelamatkan diri sendiri dengan menyelamatkan orang lain adalah ajaran keselamatan semesta yang diajarkan oleh Buddha (Mahayana)”.13

Cita-cita kaum Theravada sebagai Arhant digantikan dalam Buddha Mahayana sebagai Boddisattva. Seorang Boddisattva adalah seorang yang telah mencapai keadaan suci dan terbebaskan, yang menolak memasuki Nirwana dan melanjutkan pengorbanan diri sendiri, demi bakti cintanya bagi mereka yang masih tertinggal dibelakang dan menjadi segel untuk menolong mereka. Dia menunda diri masuk ke dalam kebahagiaan yang sempurna, karena rasa kemanunggalan rohani dengan orang lain menyebabkan dia lebih suka menunggu dan dengan kasih sayang melayani mereka hingga semuanya siap untuk masuk ke Nirwana bersama-sama. Dalam kata-kata Anesaki, dia merasa bahwa kesela-matan sendiri akan tidak sempurna dan bahkan tidak mungkin selama ada satu makhluk yang belum terselamatkan.

Nirwana menurut agama Buddha Mahayana adalah keadaan sejati dan kesempurnaan rohani. Ini adalah keadaan di mana kasih sayang kemanunggalan dengan orang lain telah merasuki seluruh fikiran dari pribadi orang itu bagaikan zat yang tak bisa dipisahkan dan dibedakan. Diambil secara paradoks ini berarti bahwa dengan mengemukakan Nirwana bagi diri pribadi, demi cinta terhadap

13

Masaharu Anesaki, History of Japanese Religion, p. 54 (Kegan Paul, Trench, Trubner and Co. London: reprinted 1963)

sesamanya, seseorang telah berada di Nirwana sebagaimana kita pahami sungguh-sungguh. Sebab Nirwana dan Samsara bukan dua realitas yang berbeda. Tidak ada sesuatu diluar Nirwana.

Ada satu lagi sekte agama Buddha yang perlu secara singkat dibicarakan di sini. Ini adalah Zen Buddhisme. Zen memandang aspek-aspek tradisional agama Buddha dengan kebencian. Ia menolak renungan dan kitab suci serta mengabai-kan konvensi. Juga mereka membenci spekulasi metafisik, tidak suka teori-teori, dan cenderung untuk menghapuskan akal fikiran. Pandangan yang langsung lebih dihargai dari pada menganyam benang fikiran yang rumit-rumit. Kebenaran itu tidak dinyatakan dalam istilah yang abstrak dan umum, tetapi sekongkrit mungkin. Mereka percaya bahwa penerangan dan keadaan kemanunggalan dengan Yang Esa tidak dapat dicapai hingga fikiran tentang logika dihancurkan. Mereka mengembangkan teknik meditasi yang aneh (zazen), untuk menghancur-kan kebiasaan berfikir dan berasio norma serta mencapai penerangan yang tiba-tiba (satori).