• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN BELAKANGAN

Dalam dokumen SEKILAS TENTANG sejarah administrasi PENGARANG (Halaman 167-171)

AGAMA TAO

PERKEMBANGAN BELAKANGAN

Selama dinasti Han agama Tao memperoleh pengaruh yang kuat dalam kerajaan, dan boleh dikatakan sebagai masa agama negara. Raja Tai yang memerintah dari tahun 156 sM, memerintahkan agar buku Lao Tzu, Tao Te Ching dipelajari di kerajaan, dan karenanya

dia mendapat penghargaan istana. Tetapi pada saat itu pula agama Tao telah banyak dirusak oleh elemen-elemen magis yang menyusup jauh dari kebenaran dan keserderhanaannya yang asli. Pencariannya sekarang tidak lagi ditekankan kepada kemuliaan akhlak sebagai suatu kesempurnaan hidup abadi, dan obat bagi ketentraman hidup. Salah satu Kaisar Han telah menyiapkan ekspedisi untuk mencari Pulau Rakhmat, di mana manusia dapat hidup selama-lamanya tanpa mengenal sakit. Percobaan untuk menjadi Jin mendorong manusia untuk mengadakan percobaan- percobaan yang aneh dengan obat-obatan, dan ke arah segudang eksprimen jasmani yang dekat dengan praktik Yoga dalam agama Hindu. Prof. Soothill, menulis pada tahun 1923, bahwa kehancuran agama Tao telah menjelma menjadi suatu sistem magis:

“Suatu kesalahan tidak dapat ditimpakan kepada Laocius (nama latin dari nama Lao Tzu), dan sungguh disayangkan bahwa ajaran akhlak yang mulia dari Laocius dan Chuang Tzu tidak dapat terjangkau oleh para pewarisnya. Bahkan di masa Chuang Tzu, kita dapati elemen-elemen keajaiban, yakni seseorang dapat menembus batu cadas dan meloncat dari jarak yang sangat tinggi tanpa luka, dan menempuh api tanpa terbakar, berjalan melalui udara beribu mil, menghilang berhari-hari, manusia tidak mati tetapi berpindah ke alam gaib, dan lain sebagainya. … Para penganut agama Tao sekarang dapat berjalan di atas pedang, berjalan menginjak api yang berkobar, menancapkan jarum panjang menembus pipi….. Mereka dapat dipanggil untuk membersihkan rumah hantu dan menolak setan, berkeliling kota untuk mencegah wabah kolera, mengutuk pencuri dengan guna-guna, dan menjadi pawang hujan.”3

Orang yang bertanggung jawab dalam mengorganisir agama Tao dan elemen-elemennya dalam Kelenteng adalah Chang Tao- Ling – diriwayatkan bahwa dia dilahirkan pada tahun 34. Ia

menjadikan dirinya semacam Paus yang pertama dari garis panjang pewaris-pewarisnya yang berlangsung terus sampai abad ini, dan hingga tegaknya Republik Rakyat China telah mempunyai pengaruh politik yang cukup diperhitungkan. Chang Tao-Ling dengan sekelompok pengikutnya menegakkan negara kecil berdasarkan prinsip-prinsip agama Tao di suatu pelosok terasing, dan karya-karyanya disebarkan ke berbagai bagian China oleh anggota-anggotanya dan keluarganya. Diyakini, dia memilki tenaga gaib dan satu dari keturunannya telah menemukan air kehidupan sehingga menjadi hidup abadi. Jabatan suci itu diturunkan dari ayah ke anak laki-lakinya. Dan dengan berlalunya waktu, Kaisar menghadiahkan suatu negara agama di Kiangsi, hingga masa kini menjadi pusat Kelenteng agama Tao.

Sejarah agama Tao yang belakangan semakin meningkat kerumitan dan peleburan dari anasir asing. Masuknya agama Buddha di China yang sudah rusak karena agama Brahma Tantri dan agama-agama purba dari Asia Tengah adalah komplikasi lanjutan, dan berakibat imitasi, adaptasi, penyerapan dari banyak gagasan yang aslinya dari India. Kuil, Biara, dan Kelenteng didirikan orang-orang suci dan dewa-dewa, dan bahkan para pahlawan nasional disembah-sembah orang. Akhirnya muncullah Trinitas agama Tao yang terdiri dari Lao Tzu, Tahta Permata ( satu tokoh mistis yang melambangkan penguasa tertinggi alam semesta), dan dewa purba yang pertama – Dewa Perusak atau Pembinasa Dunia, samar-samar ada prinsip utama yang lebih tinggi dari pada ini. Dibawah pengaruh “Guru-Guru Langit” beroperasilah Jin dan Peri yang tak terhitung banyaknya, termasuk “Delapan Yang Abadi” yang seringkali muncul dalam kesenian China. Jalan Tuhan (Tao) dan nilai-nilai akhlak agama Tao yang asli telah kabur sepenuhnya, dan bercerai berai kemana-mana di samping pengobatan gaib, dan guna guna yang bersimaharajalela di setiap kelenteng dan biara. Takhayul yang luar biasa disebarkan di

kalangan para petani yang sederhana dan buta huruf untuk menghasilkan sejumlah uang tertentu bagi para rahib yang hidup mewah dalam kemalasannya. Prinsip tidak berbuat seperti yang dianjurkan Lao Tzu dan Chuang Tzu demi pengembangan rohani telah diartikan semata-mata dengan kemalasan tanpa berbuat apa- apa. Dalam kemorosotan yang cepat, agama Tao menjadi tanah subur bagi segala takhayul dari tugas utamanya yakni menolak roh jahat.

Sebelum kita tinggalkan sejarah agama Tao, hendaknya kita catat bahwa agama Buddha, Kong Hu Chu, dan Tao tidaklah terpisah-pisah di China. Bagi negeri Kristen, pastilah tak terfikirkan bagaimana seorang dapat menjadi Katholik sekaligus seorang Methodist. Namun seorang China dapat dengan mudah mengatakan dia adalah pengikut Kong Hu Chu, dan sekaligus Buddha dan Tao, yakni sesungguhnya dia masuk dalam ketiga-tiga agama itu pada saat yang bersamaan. Pendeta Buddha suka menjalankan kewajiban dalam Kelenteng Tao. Kong Hu Chu sendiri disajikan dalam tulisan-tulisan Chuang Tzu sebagai penerus teori agama Tao, beberapa penganut agama Tao bahkan menyembah Kong Hu Chu sebagai Dewa. Kombinasi tiga agama ini secara aneh digambarkan oleh Dr. Carpenter:

“Pada awal abad ke enam, seorang pendeta Buddha yang terkenal ditanya oleh Kaisar, “Apakah Anda seorang Buddhis?”, dan dia menunjuk kopiah Tao-nya, “Apakah Anda pemeluk agama Tao?”, dan dia menunjuk sepatu Kong Hu Chunya, “Apakah Anda pengikut Kong Hu Chu?”, dan dia memakai jubah pendeta Buddha.”4

4 Dr. Carpenter, The Panaroma of Religions.

Dalam dokumen SEKILAS TENTANG sejarah administrasi PENGARANG (Halaman 167-171)