• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHIDUPAN ZARATHUSHTRA

Dalam dokumen SEKILAS TENTANG sejarah administrasi PENGARANG (Halaman 104-108)

Nama pribadi nabi bangsa Iran yang besar adalah Spitama Zarathusthra (dalam bahasa Yunani berubah menjadi Zoroaster) gelar yang diperoleh setelah dia mendakwahkan risalahnya, tepat seperti Pangeran Siddharta Gautama yang setelah penerangannya dikenal sebagai nama Buddha, dan Yesus sebagai Kristus atau

Almasih. Dr. Taraporewala menerangkan arti nama Zarathusthra sebagai “Dia yang memiliki cahaya keemasan”, yang tegasnya suatu nama yang tepat diberikan kepada salah satu pembawa Cahaya yang besar di dunia.

Ada perbedaan pandangan yang luas di antara para cendikiawan mengenai hari dan tempat kelahiran Zarathusthra. Professor Jackson dan Dr. West berpandangan bahwa Zarathustra dilahirkan antara tahun 600 dan 583 SM. Tetapi dongeng-dongeng Persia menceritakan setidak-tidaknya bahwa kelahirannya sudah ribuan tahun sebelumnya. Ini kelihatannya fantastis, namun menarik untuk dicatat bahwa orang-orang Yunani kuno percaya bahwa Zoroaster telah hidup ribuan tahun sebelumnya. Jadi, Xanthus dari Lydia, yang hidup di abad kelima sM menulis bahwa Zoroaster telah hidup 6000 tahun sebelum Xerxes. Pandangan ini diterima oleh penulis Yunani dan Romawi yang belakangan. Namun, bila yang dikatakan Max Muller itu tepat, bahwa perpecahan antara bangsa Iran dan Indo Arya terjadi karena desakan Zarathusthra untuk mengesakan Tuhan dan pengutukan politeisme Arya serta sistem pengorbanannya, maka kelahiran Zarathusthra adalah sebelum gelombang pertama perpindahan bangsa Arya ke anak benua Indo-Pakistan, yakni sekitar 1700 sM.

Seperti halnya beberapa pengajar agama lainnya, maka banyak dongeng terkumpul disekitar kelahirannya dan kehidupan Zarathusthra ini. Dikatakan bahwa ibunya waktu mengandung merasakan keagungan Tuhan. Kelahirannya diikuti oleh kegembiraan alam dan kegaduhan para setan yang terpukul ketakutan. Kehadiran anak kecil ini ke dunia ditandai dengan tawa- ria, dan bukannya tangisan seperti lazimnya bayi yang baru lahir. Pengaruh jahat ber-usaha membinasakannya ketika dia masih kanak-kanak, tetapi dia diselamatkan seperti ada campur tangan gaib. Di tengah-tengah jalinan dongeng ini, betapa pun kita dapati suatu berita yang baik dari sejarah yang sebenarnya.

Dia berasal dari suatu keluarga yang terhormat dan terkemuka. Ayahnya adalah Porushaspo yang dihormati, ibunya adalah Dugdhova yang saleh dan ningrat. Pada saat kelahirannya, dunia Arya bagian Timur sedang terbenam dalam kekacauan dan kejahatan yang berlangsung tanpa terkendali. Kebenaran seolah- olah lenyap dari bumi, keserakahan dan penindasan terhadap yang lemah adalah makanan sehari-hari. Para pendeta memerintah kehidupan dan fikiran rakyat dengan menyebarkan takhayul jahat untuk mencapai maksud-maksud mereka sendiri. Ayat-ayat

pembukaan dari Gatha pertama (Gatha Ahunavaiti)

menggambarkan meratanya kejahatan dan takhayul di dunia secara puitis. Roh Dewi Bumi muncul di hadapan Yang Maha Tinggi dan menghimbau Nya agar mengutus seorang Juru Selamat ke dunia. Demikianlah jerit tangis dari kaum tertindas menggoncangkan aras Tuhan, dan Dia dengan rahmat karunia Nya membangkitkan Zarathusthra untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang benar, dan memberikan kedamaian kembali kepada roh Dewi

??

a, dan mempersiapkan tugas beratnya. Kemana dia pergi, dan apa yang dia kerjakan tidak pernah dengan sepenuhnya dapat diungkapkan. Dalam salah satu bab Avesta (Vendidad, 19) kita

1 The Gathas of Zarathushtra. Diterjemahkan oleh I.J.S. Taraporewala (diterbitkan oleh pengarangnya dari 7, Vatchagandhi Road, Gamdewi Bombay, 1947)

menemukan bahwa dia digoda oleh Angro Mainyu (Dia Yang Jahat) – tepat seperti Buddha yang dicoba oleh Mara, dan Yesus digoda Setan. Dia Yang Jahat akan menyerahkan seluruh kekuasaan duniawi kepada Spitama untuk satu restu saja yang meluncur dari bibirnya, demi “pencipta kejahatan”. Namun, Spitama tak tergoyahkan oleh Dia Yang Jahat.

Ketika berusia tigapuluh tahun, beliau muncul sebagai utusan Tuhan dan sejak itu dan selanjutnya menurut kisah-kisah agama Majusi beliau menerima beberapa wahyu dari Ahura-Mazda, dan dimulailah missi yang besar. Setelah menerima wahyu pertama, beliau mulai mengajarkan agama yang benar. Selama sepuluh tahun yang meletihkan, beliau menabur benih dan hanya berhasil men- dapatkan seorang pengikut, yakni saudara sepupunya sendiri, Maidhyoimanha. Beliau menghadapi penganiyaan dan apa yang tampak seperti menghadapi kegagalan saja. Kedukaan hatinya tercurah seperti tampak jelas dalam kitab Gatha. Akhirnya pada tahun keduabelas kenabiannya, beliau meninggalkan tanah kelahirnya dan mengembara ke Timur, mula-mula ke Seista, dan selanjutnya ke Bactria yang diperintah oleh seorang raja bijaksana, Vishtaspa. Zarathushtra senantiasa menginginkan untuk memperoleh pengikut yang bijak dan berkuasa untuk menunjang missinya. Mengomentari hal ini, Prof. Jaeques Duchesne-Guilemin, menulis:

“Tidak seperti Buddha yang meninggalkan urusan duniawi, seorang Socrates yang menggoncangkan penguasa, seorang Yesus yang menyerahkan kepada Kaisar perkara yang menjadi haknya, dan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan. Seseorang dapat membandingkan Zarathushtra dengan Kong Hu Cu yang berkelana dari satu daerah ke daerah untuk mencari Pangeran yang akan meyakini kebenarannya yang bijaksana.”2

2 Jaeques Duchesne-Guillemin, The Hymns of Zarathushtra, Introduction, p. 5 (The Wisdom of th East series, London, 1952)

Raja Vishtaspa menerima Zarathushtra dengan ramah-tamah, dan menun-jukkan bahwa dirinya condong kepada risalahnya. Diriwayatkan bahwa Zarathushtra telah melakukan beberapa mukjizat di hadapan Sang Raja dan para Menterinya, serta melakukan diskusi yang lama dengan para cendekiawan di sana. Perlahan tetapi pasti, kebenaran yang dinyatakannya telah mendapat pijakan yang kuat di kalangan raja dan para bangsawannya. Massa rakyat mengikuti kebangkitan para pemimpinnya, dan agama Majusi segera tegak sebagai agama Iran.

Sukses yang mendadak dari agama yang baru ini memacu jalan ke arah peperangan antara Iran dan Turan. Zarathushtra tidak percaya dengan peng-gunaan senjata dalam menarik pengikut kepada agamanya. Beliau hanya mengizinkan perang untuk membela diri guna menjaga agama dan para pengikutnya dari kekejaman orang lain. Prof. Wadia menulis:

“Majusi sendiri tidak memaksa dalam perkara agama. Dia menyerahkan kepada itikad baik rakyat. Bila mereka menganutnya, dia pasti akan bahagia, namum bila mereka tidak mengikutinya, dia hanya menunjukkan akibat-akibat jalan yang akan dialaminya.”3

Setelah empatpuluh tujuh tahun dengan usaha yang tekun menegakkan kebenaran, Nabi Besar Iran ini wafat dalam usia tujuhpuluhtujuh tahun . Beliau hidup dalam kesetiaan yang tak terbagi dan kebaktian kepada Tuhan yang bijaksana dan benar. Beliau adalah seorang yang penuh kesalehan, dan agamanya tidak bernafaskan lain kecuali kasih kepada yang menderita dan cinta kepada kebenaran.

Dalam dokumen SEKILAS TENTANG sejarah administrasi PENGARANG (Halaman 104-108)