• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG

Anak benua Indo – Pakistan adalah tanah asal dari berbagai agama. Dalam bab-bab terdahulu, telah kami gambarkan dua kepercayaan yang lahir dan berkembang di anak benua ini. Agama selanjutnya yang timbul di anak benua Indo-Pakistan adalah agama Sikh, tetapi antara agama tersebut ini dengan agama Buddha ada jarak yang berabad-abad. Pada saat itu, Islam telah lahir di jazirah Arab dan telah tersebar ke berbagai tempat di dunia, termasuk ke anak benua Indo – Pakistan ini. Hampir seluruh anak benua ini diperintah oleh penguasa Muslim. Namun mereka itu menunjukkan minat yang sangat kecil dalam menyiarkan agamanya. Islam disebarkan di India, seperti ditunjukkan oleh Sir Thomas Arnold dalam bukunya yang terkenal The Preaching of Islam, adalah melalui para wali Muslim dan kaum Sufi. Orang-orang suci ini berdiam jauh darι kotα-kota besar dan dι daerah-daerah yang tidak punya penduduk Muslim. Dengan ajaran, contoh, dan kehidupan para wali tersebut, mereka telah menarik perhatian dari orang-orang yang berkerumun untuk mendengarkannya. Ajaran mereka sederhana dan mudah dimengerti, serta menyatakan kepada rakyat tentang kasih sayang Tuhan, tentang kepentingan utama dalam menyayangi serta melayani makhluk Tuhan, dan tentang keindahan hati yang suci murni. Ajaran Islam mengenai Keesaan Tuhan dan persamaan serta persaudaraan dari segenap ummat manusia, telah menarik sejumlah besar rakyat yang tidak puas terhadap politeisme Hindu dan penyembahan berhala atau menjadi korban perbedaan kasta dalam agama Hindu, serta kasta Paria yang tidak boleh disentuh. Berbicara mengenai masuknya rakyat awam di Bengali oleh pengaruh kaum Sufi, Sir W.W. Hunter menulis, “Bagi ummat

miskin ini, nelayan, pemburu, pembajak tanah, dan kasta rendah yang menggarap tanah, Islam tiba bagaikan satu wahyu dari Langit. Islam merupakan pernyataan keimanan dari ras yang berkuasa, para pendakwah-nya adalah orang-orang dengan semangat membawakan kitab tentang Keesaan Tuhan dan persamaan ummat manusia dalam pandangan rakyat yang teraniaya dan terlantar. Upacara yang dilakukan menjadi lenyap, kemunduran dan yang membuat orang yang tadinya bingung menjadi generasi orang yang beriman selama-lamanya … Bukanlah dengan kekerasan Islam mendapatkan keberhasilan yang lestari di Bengali Bawah. Islam menghimbau kepada ummat dan agama itu menarik massa besar dari pemeluk-pemeluk kalangan rakyat miskin. Agama itu membawakan konsepsi yang lebih tinggi tentang Tuhan dan ide yang mulia tentang persaudaraan ummat manusia. Agama itu memberikan kepada orang banyak dari kasta yang rendah di Bengali yang selama berabad-abad duduk di bagian paling bawah masyarakat Hindu, suatu pintu masuk yang bebas ke dalam suatu organisasi masyarakat yang baru”.1

Hasil yang paling dapat dicatat dari pengaruh Islam di India adalah daya tarik mistikisme India Utara yang asing namun menarik. Sir T.W. Arnold menulis:

“Seketika kekuasaan orang Islam menjadi tersusun, dan khususnya di bawah dinasti Mughal, maka pengaruh keagamaan Islam tentunya menjadi semakin mantap dan kuat. Pengaruh ini dengan pasti masuk dalam gerakan-gerakan keagamaan Hindu yang bangkit dalam abad kelimabelas dan keenam-belas, dan Bishop Lefroy telah menduga bahwa watak positip dari ajaran Muslim telah menarik akal-fikiran yang tidak puas atas kekaburan dan subjektivitas dari sistem fikiran yang panteistis.”2

1. Dikutip oleh Sir T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam, pp. 282-283. (Dicetak oleh oleh Shaikh Muhammad Ashraf, Lahore, 1961)

Salah satu ahli mistik terbesar ini adalah Ramananda, tentang hal ini Evelyn Underhill menulis: “Hidup di suatu masa di mana penyair yang penuh semangat dan filsuf yang mendalam, seperti para mistikus besar Persia, Attar, Sadi, Jalaluddin Rumi, dan Hafiz, telah membawa pengaruh yang kuat terhadap pemikiran keagamaan di India, dia memimpikan untuk mengawinkan mistik Islam yang kuat dan mempribadi dengan teologi tradisional Brahmanisme.”3

Ahli mistik lain yang besar adalah Kabir, yang boleh dianggap sebagai pendahulu langsung dari Guru Nanak, pendiri agama Sikh. Kabir telah meng-alami kenikmatan bersatu dengan Tuhan, kalbunya penuh kasih sayang, dan dia menyanyikan kasih sayang itu keluar dengan sepenuh hatinya dalam bahasa rakyat yang awam.

“Bagaimana mungkin kasih sayang antara Engkau dan aku dapat dipisahkan ?

Bagaikan daun teratai di atas air, maka Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba Mu.

Bagaikan burung malam Chakor yang semalaman memandang ke arah rembulan, demikianlah Engkau Tuhanku dan aku adalah hamba Mu.

Dari awal hingga akhir masa adalah kasih sayang di antara Engkau dan aku, dan bagaimana kasih sayang ini akan dihilang-kan?

Kabir berkata, “Bagaikan sungai yang mengalir memasuki lautan, demikianlah hatiku menyentuh Mu.”4

3 Pendahuluan dari terjemahan Tagore tentang Poems of Kabir , p. vii. (Macmillan, London, 1915)

4 Poems of Kabir (No. XXXIV), diterjemahkan oleh Rabindranath Tagore (Macmilan, London, 1915)

Dia memberikan ekspresi dalam lagu-lagunya atas Keesaan Ilahi. Dia telah mencapai apa yang disebut oleh Evelyn Underhill dengan sebutan “synthetic vision.” Dia telah memutuskan pertentangan yang tanpa henti antara personal dan impersonal, transenden dan immanen, statis dan dinamis dari sifat Ilahi, antara filsafat absolut dan ‘Sahabat sejati’ dari pengabdiaan agama. Dia menyanyikan:

“Oh, betapa dapat aku mengemukakan rahasia itu? Oh, betapa dapat aku berkata bahwa Dia tidak seperti ini dan Dia adalah seperti itu?

Jika kukatakan bahwa Dia ada di dalam aku, alam semesta ini akan malu:

Jika kukatakan bahwa Dia di luar aku ini adalah kepalsuan.

Dia membuat dunia di dalam dan di luar adalah esa tak terbagi

Yang sadar dan tak sadar keduanya adalah telapak- telapak kaki-Nya.

Dia tidak terbabar dan tidak pula tersembunyi Dia itu tidak jelas tampak, tidak pula terlindung. Tidak ada kata-kata yang sanggup menerangkan bagaimana Dia itu.”5

Kabir percaya kepada kesatuan manusia dan dengan keras mengutuk sistem kasta Hindu. Dia juga menolak ajaran Hindu tentang pentitisan (Avatar) dan tidak mau terlibat dengan penyembahan berhala, serta upacara mandi di sungai-sungai yang dianggap suci.

5 ibid, No. IX

“Tidak ada sesuatu apa pun kecuali air di tempat pemandian suci; dan saya tahu bahwa itu tidak ada gunanya, karena itu saya tidak mandi di sana.

Patung-patung itu tidak ada kehidupannya, mereka tidak dapat berbicara: Saya tahu karena saya telah menyeru dengan berteriak-teriak kepadanya.”6

Dia menentang praktik-praktik Hindu tentang penyiksaan diri dan kependetaan. Dia sendiri menikah dan mempunyai seorang putera dan seorang puteri, dan meneruskan hidupnya pengayam yang sederhana. Katanya:

“Bukanlah susah payah dengan menyiksa daging yang menyenangkan Tuhanmu

Di saat engkau menanggalkan bajumu dan mematikan panca inderamu, engkau tidak menyenangkan Tuhanmu.

Manusia yang penyayang dan menjalani ketulusan, yang tetap pasif di tengah hingar bingar peristiwa dunia, yang tetap menganggap semua makhluk di muka bumi ini sebagai dirinya sendiri.

Dia mencapai Dzat Yang Kekal Tuhan sejati dan selalu besertanya

Kabir berkata: Dia mencapai Nama yang sejati kata- katanya adalah suci, yang bebas dari kesombongan dan tinggi hati.”7

Guru Nanak pendiri agama Sikh, adalah hasil dan semangat yang sama, mereguk pengaruh yang sama, memberikan ajaran yang sama, dan sering menggunakan kata-kata serta ekspresi yang sama. Dia seperti Kabir adalah seorang Sufi.

6 ibid, No. XLII