• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG ESA DAN YANG BANYAK

Dalam ajaran Hindu sebagaimana telah dinyatakan dari awal, ada kebebasan yang mutlak dalam meyakini ketuhanan. Banyak sekali penafsiran dari kitab sucinya, dan akhirnya sampai bahwa semuanya kolot. Seorang Hindu dapat saja percaya terhadap setiap konsepsi ketuhanan, yakni dalam upayanya meyakini atau menerimanya. Sebagian besar filsafat Hindu berkeyakinan bahwa Realitas Akhir atau Tuhan ada Esa – “Hanya satu tanpa kedua”- Dia tidak terhingga, abadi, tidak berubah, dan multak.13. Dia berada di semua, oleh sebab itu tidak suatu hal pun yang dapat dikatakan padaNya. Di sekolah Hindu tidak diajarkan untuk mendefinisikan keesaan Realitas Mutlak atau Jiwa Dunia dalam terminologi pribadi tuhan. Dia impersonal dan tanpa atribut (nir-gunna). Namun tidak

12

Annie Besant, Hinduism, p.5 (Theosophical Publishing House, Adyar, Madras, 1935)

13 Ajaran Hindu menggunakan kata depan IT atau THAT, dan bukan He untuk

semua orang Hindu yakin tentang konsep Tuhan seperti itu (nir- gunna Brahman). Berbagai sekolah atau sekte ajaran Hindu tetap meyakini Tuhan sebagai Pribadi yang Maha Kuasa, mempunyai atribut (sa-gunna) sehingga seseorang dapat masuk kedalam untuk menemukan hubungan yang bermakna. Satu-satunya kebenaran Pribadi Tuhan disebut Ishwara atau Bhagawan. Dia dinyatakan sebagai Sat (Zat yang tidak terhingga), Chit (Kesadaran yang tidak terhingga), dan Anand (Kebahagian yang tak terhingga). Ishwara dimanifestasikan dalam dirinya sebagai Trimurti : Brahma, Wishnu, dan Siwa. Tiga bentuk ini walaupun terpisah oleh fungsinya, tetapi esa dalam esensinya. Dalam kenyataannya, mereka melakukan personifikasi atau representasi mitologi bahwa ada tiga utama aspek atau atribut Tuhan.

Brahma adalah Sang Pencipta. Dalam mitologi Hindu, Brahma dikatakan lahir dari telur emas yang muncul pada awal alam semesta ini. Setelah ter-geletak selama setahun, kemudian terbelah menjadi dua, sebagaian dari bulatan itu menjadi sorga dan sebagian lainnya menjadi bumi. Di antara keduanya adalah langit. Sepanjang hidupnya Dewa Brahma tidur dan terjaga secara periodik. Ketika dia bangun, dunia ini berkembang dan ketika dia tidur semua makhluk musnah. Istrinya adalah Saraswati, dewi kebijakan. Semua ciptaan datang dari persatuan keduanya. Ia mengendarai seekor angsa Hansa, tinggal di sorga Brahmaloka, yakni berada di puncak Gunung Meru yang dikelilingi air suci sungai Gangga.

Wishnu adalah Pemelihara. Dia adalah dewa yang berkulit gelap, bertangan empat, tangan pertama memegang tongkat, tangan kedua memegang keranjang atau karangan bunga, tangan ketiga dan keempat memegang teratai. Istrinya adalah Laksmi, dewi kebahagian dan kemakmuran. Dia mengendarai burung Garuda. Ada sepuluh titisan Wishnu (avtars) dan dua yang sangat penting adalah Rama pahlawan dari epos Ramayana dan Krishna manusia Tuhan dalam epos besar lainnya, Mahabharata. Dalam mitologi

Hindu, Krishna nabi dari agama Bhagawat telah dicampur dengan dewa yang berupa anak laki-laki suku bangsa pengembara yang menggembala yang namanya mungkin juga Krishna. Banyak cerita tentang tingkah laku kebebasannya diceritakan dalam buku-buku suci agama Hindu. Dia mempunyai beberapa ribu istri dan gundik sehingga yang paling disayangi di masa mudanya adalah Radha. Dia dikatakan mempunyai sebanyak 16.108 istri.

Siwa dewa ketiga dari Trinitas agama Hindu adalah Perusak. Ia digambar-kan sebagai seorang pertapa yang mengendarai lembu suci dan tempat tinggalnya di Kailasa. Ia mempunyai tangan empat, dan selalu berpakaian kulit macan dan berambut loreng dan seekor naga melingkar di lehernya. Lambang-nya adalah Lingga atau Phallus. Istrinya Parawati; Durga, dan dewi yang dahsyat Kali yang keduanya penjelmaan Parwati. Ganesha dewa keberuntungan yang berkepala gajah adalah yang paling terkenal dari antara anak-anak Siwa yang banyak itu.

Terlepas dari Trinitas yang terdiri dari Brahma, Wishnu, dan Siwa, kaum Hindu juga percaya dan menyembah banyak dewa atau dewa-dewa alam. Mereka dimaksudkan untuk membimbing segenap kegiatan. Keberuntungan dari para dewa itu dapat diperoleh dengan apa yang dinamakan tukar menukar secara harfiah: manusia melengkapi mereka dengan cara memberi sajian atau barang-barang yang mereka sukai, dan mereka sebagai balasannya memberikan kepada manusia apa yang mereka inginkan. Demikianlah apa yang kita baca dalam Bhagawad Gita:

“Dengan ini (yakni memberi sajian) engkau menyenangkan para dewa dan mudah-mudahan para dewa memelihara kamu. Karena dengan menyenangkan-nya, maka para dewa akan menganugerahkan kamu kesenangan yang kau inginkan”. (3: 11- 12)

Kaum Hindu yang terdidik pun tetap mempertahankan sejumlah besar dewa dan dewi – trinitas Brahma, Wishnu, dan Siwa

beserta istri dan anak-anaknya (dimana sejumlah berhala dipuja dalam rumah-rumah orang Hindu dan kuilnya), inkarnasi dari Wishnu dan serba dewa lainnya – tidak mengacaukan keesaan tuhan mereka. Mereka hanya berbeda dalam memanifestasikan atau dalam bentuk-bentuk simbolik sama dan hanya kepada Tuhan mereka menyembah. Demikian Swami Vivekananda menulis:

“Pada mulanya saya dapat katakan kepada Anda bahwa tidak ada politeisme di India. Di setiap kuil, jika seseorang berdiri dan mendengarkan akan mendapati para penyembah itu menyebutkan segenap nama-nama Tuhan mereka, termasuk yang gaib untuk dibayangkan. Itu bukan politeisme dan istilah henotisme mungkin dapat mendudukkan permasalahannya”.14

Louis Renou, mempunyai pandangan yang berbeda. Menurutnya:

“Hinduisme pada dasarnya politeisme, tidak hanya pada tingkat lahiriahnya melainkan juga dalam tata susunan spekulatif di mana para dewa yang kongkrit dan figuratif tidak pernah dihilangkan. Tidak disangkal lagi ada variasi dalam perasaan kemajemukan dewa-dewa. Kaum filosof menggabungkannya (pada sisi yang lain) dengan kepercayaan satu prinsip yang maha kuasa, seringkali dipersonifikasikan sebagai Pangeran (Ishvara), seringkali diterima sebagai dewa atau suatu impersonal yang mutlak (Brahman). Prinsip kemutlakan ini akan dikomposisikan sendiri dari suatu ‘bentuk kualifikasi’ (saguna) yang sewaktu-waktu dianggap sebagai yang paling penting, sedangkan di fihak lain direndahkan pada tingkatan “berilmu rendah’. Pemeluk agama pada umumnya tidak perduli dengan keesaan tuhan, yang terakhir ini agaknya hanya dibicarakan pada tingkat filosof dan tidak pernah dilakukan dalam upacara keagamaan secara langsung. Bagi kaum yang bukan filosof, perbedaan yang muncul adalah normal. Dari kemajemukan

14

ini, para pemeluk memilih dewa-dewa kesenangannya (istadevata); pilihannya menun-jukkan bahwa dia mengenal pentingnya bentuk sesembahan lainnya sebagai pasangan dewa atau paredres. Pilihan semacam ini diikuti dengan tingkat kepangkatan sebagaimana dapat diamati dalam dharma di masyarakat, akhlak, atau bidang ritual lainnya “.15