• Tidak ada hasil yang ditemukan

AJARAN GURU NANAK

Guru Nanak adalah seorang yang ketat dalam bertauhid. Dia percaya kepada Tuhan Yang Esa dan Satu Satunya Yang Abadi adalah dengan sendirinya tak berbentuk. Tuhan yang dipercayai Nanak bukanlah suatu ide abstrak ataupun suatu kekuatan moral yang tak berkepribadian. Dia Dzat Pribadi yang disayangi dan dihormati. Dia menolak adanya Tuhan-Tuhan lain, dan berkata bahwa Tuhan itu Esa dan suci yang harus kita sembah. Konsepsi Guru Nanak tentang Tuhan dipaparkan dengan bagusnya dalam

Mul-Mantra baris-baris pembukaan dari Adi Granth:

“Tiada lain kecuali Satu Tuhan, yang namanya adalah Benar, Pencipta, terjauh dari rasa takut dan kebencian, dia tidak dilahir, Dia tidak pernah mati, ada dengan sendirinya, Yang Besar dan Pemurah: Yang Esa sejak dari permulaan; Satu-Satunya Kebenaran dari zaman awal, Yang Esa dan Sejati di masa kini, O Nanak; Yang Esa dan Sejati juga di masa datang”10

Nanak menolak setiap kompromi terhadap konsepsi Keesaan Tuhan. Dia menolak ajaran Trinitas dan menyatakan bahwa pembagian ketuhanan dalam tiga pribadi adalah bertentangan dengan kesatuan Ilahi:

9 Raja Sir Daljit Singh, Guru Nanak, pp. 155-156 (Lion Publication Lahore, 1943) 10 Japji diterjemahkan oleh Teja Sing (The Sikh Tract Society, Amritsar, 1924). Terjemahan lain dari Japji yang diambil dan dipetik pada bab ini berasal dari Puran Singh (Taran Taran, Third edition, 1938)

“Adalah sudah umum dianggap bahwa Ibu Tuhan itu dengan rencana gaib mengandung lalu melahirkan tiga dewa:

Pertama dewa yang mencipta, kedua dewa yang memelihara, dan ketiga dewa yang membinasakan. Tetapi sesungguhnya, Dialah Tuhan Yang membimbing dunia sesuai dengan kehendak-Nya dan tiada tuhan lainnya.

Perkara yang paling mengherankan orang-orang, Dia dapat melihat kita, tetapi kita tidak dapat melihat Dia. Segala puji kepunyaan Nya! Segala Puji!

Dzat yang Utama, Yang Maha Suci, Yang tidak berawal dan tidak berakhir, di segala zaman Dia tetap sama”

(Japji, XXX) Dia tidak mau mengakui ajaran penitisan. Karena Tuhan itu tidak terhingga, kata Nanak, Dia tidak dapat dilahirkan dari rahim seorang wanita dan mati, atau pun juga dapat dianggap berbentuk manusia yang tidak lepas dari ketidak-sempurnaan serta mati:

“Dia tidak berbapak atau beribu. Dia tidak dilahirkan dari suatu apa pun. Dia tidak berbentuk atau tergambarkan, dan Dia tidak termasuk satu kasta pun. Dia tidak merasakan lapar atau haus. Dia selalu puas.” (Var Malar, p. 22)

“Nanak! Dia bermeditasi terhadap kenyataan yang abadi dan menjadi kekal, tetapi dia yang menyembah yang dapat mati setelah pernah dilahirkan, berarti mengejar jalan yang palsu.” (Var Asa 5. 1.p.2)

Guru Nanak menolak monisme Hindu (Advaita Vedantisme), yang menyatakan bahwa dunia ini suatu khayalan, seperti halnya dualisme Hindu (Sankhya-Yoga) yang mengajarkan baik dunia maupun Tuhan kedua-duanya tidak tercipta dan abadi. Seperti halnya penganut Islam, maka dia percaya bahwa meskipun dunia

itu nyata, dia itu diciptakan dan tidak abadi. Dunia ini nyata karena pengejawantahan dari kehendak dan perintah Tuhan serta kehadiran Nya ada di dalamnya:

“Dengan kehendak dan perintah Nya (hukum) segala bentuk menjadi ada --kehendak Nya itu tidak dapat digambarkan – adalah kehendak Nya bahwa bentuk- bentuk itu mengembangkan kehidupan di dalamnya dan kemudian mereka berkembang meningkat”.

(Japjit Hymn No. II) Guru Nanak menyeru ke orang-orang yang mengikuti jalannya ke arah kepatuhan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Keselamatan, katanya, adalah bagi mereka yang telah menyelaraskan kehendaknya kepada Kehendak Utama Tuhan, yang berfikir dan bertindak tepat seperti yang diinginkan darinya oleh kehendak Nya. Dengan mengutip kata-kata Guru sendiri:

“Jalan untuk taat membawanya pada akhir pintu keselamatan.

Pertama dia menjadi pembantu rohani dan keluarga; Kemudian menjadi seorang guru, yang telah menyelamatkan dirinya, dia juga menyelamatkan para pengikutnya.

Nanak, manusia yang mematuhi firman Nya, tidak akan berkelana meminta-minta dari satu pintu ke pintu lainnya.

Begitulah Firman itu tidak ternoda !

O, jika seseorang mengetahui bagaimana mentaatinya dengan sepenuh hati dan jiwanya.”

(Japji, XV) Seperti Kabir, pendahulunya, Guru Nanak tidak menyetujui praktik-praktik Hindu dalam penyembahan berhala dan mandi di sungai-sungai suci. Di sani dua kutipan dari Japji, pertama tentang

penolakkannya terhadap penyembahan berhala, dan kedua kritiknya terhadap mandi suci:

(1)“Dia tak dapat dibentuk dan didirikan sebagai patung berhala. Karena Dia adalah segala dalam segalanya. Dirinya sendiri terhindar dari syarat-syarat material. Barangsiapa yang mengabdiNya adalah terhormat. Nanak, karenanya, bernyanyilah demi Dia, karena Dia penuh dengan kemuliaan.” (Japji, V)

(2)“Saya akan mandi di tempat-tempat suci, jika dengan berbuat demikian saya mendapat ridhoNya, kalau tidak apa gunanya mandi suci? Bagaimana saya mendapat ridho Nya dengan hanya mandi suci saja di saat seluruh dunia yang luar ini saya tidak melihat sesuatu pun yang bisa diperoleh tanpa perbuatan.” (Japji Hymn VI)

Guru Nanak menyatakan bahwa seluruh ummat manusia adalah satu. Dia berkata bahwa seseorang itu dihormati tidak karena dia termasuk dalam kasta atau golongan ini atau itu melainkan karena dia adalah seorang manusia. Dia meletakkan landasan pengangkatan derajat manusia tidak semacam jalan pintas, seperti mantera, mukjizat, atau kegaiban, melainkan dengan watak dan tingkah laku manusia:

“Oh, tidak ada gunanya kasta dan keturunan: pergi dan tanya-kanlah kepada mereka yang mengetahui kebenaran. Kasta atau keturunan manusia ditentukan oleh karya yang diperbuatnya.”

(Parbhoti 4,10) Cara untuk berbakti kepada Tuhan, menurut Guru Nanak adalah mengalun-kan puji kepada Nya dan bermeditasi atas nama Nya:

“Kami telah mendengar bahwa Tuhan adalah benar dan dinyatakan dalam Kebenaran, bahwa tak terhingga cara-cara di mana Dia digambarkan: Dia di saat para makhluk berdoa kepada Nya untuk memohon anugerah Dia sebagai Pemberi memberi- nya. Jadi, kemudian apakah yang akan kami persembahkan kepada Nya sebagai balasan, sehingga kita dapat melihat balairung Nya. Apa yang akan kita ucapkan dengan lidah kita yang dapat menggerakkan Nya untuk memberikan pada kami cinta Nya? Dalam makanan dewa-dewa di saat kedukaan bermeditasilah atas keberkahan dan Nama yang sejati.”

(Japji, IV) “Dia yang menyalakan Nama Nya di hatinya dan mempunyai sari dan Nama itu dilidahnya baginya Nama Tuhan itu membuatnya tak berkeinginan seperti Tuhan sendiri demikian”

(Gauri 1,6)