BAB IV. TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN MENURUT MULYADHI KARTANEGARA KARTANEGARA
A. Akar Persoalan Transendensi dan Imanensi Tuhan
Sebagaimana yang sudah diterangkan pada bagian sebelumnya, konsep Transendensi
(Arab: Tanzih) yaitu antara pembersihan Tuhan dari segala bentuk-bentuk atribut dan juga
pengatributan Tuhan merupakan pembahasan yang kompleks (Imanensi/Tasybih). Di satu sisi kelompok tekstualis dan mutakalilm seperti Mujassimah yang dipelopori oleh Abu Ya’la dan juga dari golongan Khabithiyah yang dipelopori oleh Ahmad bin Khabith. Abu Ya’la berpandangan bahwa wujud Tuhan seperti pemuda tampan yang tak berjanggut (amrad)
sedangkan Ahmad bin Khabith berpandangan bahwa pada hari kiamat Allah akan datang
kedunia dan malaikat berjejer-jejer di belakangnya.55 Kedua pandangan kelompok ini secara
eksplisit menjelaskan bahwa wujud Tuhan seperti makhluk pada umumnya. Pandangan kedua
kelompok tersebut sangat dekat dengan pandangan orang-orang Nasrani yang menyerupakan
wujud Tuhan dengan manusia, bagi orang Nasrani, Tuhan seperti seorang ayah (bapa) yang
agung dan ia bagaikan raja yang duduk diatas tahta.56 Bahkan dalam teologi Nasrani, Tuhan
itu sendiri berhipostasia57 atau bermanifestasi dalam wujud manusia dan turun ke bumi untuk
menyelamatkan manusia. Penulis tidak berani berspekulasi apakah para ulama pendiri sekte
Khabithiyah dan Mujassimah terpengaruh oleh kelompok Kristen atau tidak, namun pada
kenyataannya, terdapat kemiripan doktrinal antara mereka, yaitu Tuhan (Allah) berwujud
manusia dan dapat turun ke alam manusia.58 Dalam sufisme walaupun pada dasarnya Tuhan
55
Asy-Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal: Aliran-Aliran Teologi Dalam Sejarah Umat Manusia,terj. Asywadie Syukur, (Surabaya: Bina Ilmu, tanpa tahun), h. 51
56 “Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke surga, lalu duduk di sebelah kanan Allah” (Markus 16:19)
57 kata "hipostasis",ὑπόστασις adalah suatu istilah teknis dalam teologi Kristen sehubungan dengan Kristologi untuk menjelaskan persatuan dari kedua kodrat (kemanusiaan dan keilahian) Yesus Kristus dalam satu hipostasis atau keberadaannya sebagai seorang individu
58
44
adalah Maha agung dan Maha mutlak, namun terdapat sisi dimana sufisme cenderung
meyakini konsep hipostasia, atau turunnya manifestasi ke dalam diri manusia, dimana kedua
kodrat menyatu dalam suatu substansi yaitu diri manusia. Abu Yazid al-Bustami menyebut
istilah ini dengan “ittihad”, Junaid al-Baghdadi menyebut “wahdat al-syuhud” dan Abu
Manshur al-Hallaj menyebutnya dengan istilah “Hulul” ketiganya walaupun memiliki
konsep teoritik yang berbeda, namun hakikatnya sama, yaitu ada derajat dimana manusia bisa
menjadi satu dengan Tuhannya, dimana diri sendiri fana, dan yang ada hanya wujud Tuhan.
Sedangkan pandangan para failasuf dan juga ahli kalam dari kelompok Mu’tazilah secara tegas meyakini bahwa Tuhan adalah entitas yang sulit dan rumit. Ia tak memiliki
wujud realistik dan juga tak bisa diserupakan atau disifatkan dengan makhluk atau wujud
apapun di alam semesta ini. Tuhan adalah realitas yang sempurna, karena kesempurnaanya
ini tidak mungkin bisa disejajarkan atau dibandingkan dengan makhluk yang tidak sempurna.
Para failasuf seperti Ibn Sina, Nashir Khusraw, dan Muayyad al-Shirazi meyakini bahwa
wujud Tuhan yang Maha tinggi tak bisa dijangkau oleh akal pemikiran manusia dan juga
tidak bisa diserupakan dengan wujud apapun. Sehingga mustahil jika Tuhan berwujud seperti
manusia hakiki atau malah menyatu dengan diri manusia itu sendiri (berhipostasis).
Polemik yang disajikan dalam bab tiga mengenai wujud Tuhan; apakah ia Tanzih
mutlak berbeda dengan makhluk dan tak bisa dicapai oleh manusia, atau ia Tasybih, alias
dekat dengan manusia, menyerupai manusia dan dapat menyatu dengan manusia. Polemik
dalam konsep teologi ini sebenarnya muncul karena kerancuan dalam memahami masalah
ontologi dan relasi sang pencipta (khaliq) dengan ciptaannya (makhluq). Masalah relasi sang
َيَف ُر ِخلآا ِلْيَّللا ُثُلُث ىَقْبَي َني ِح اَيْنُّدلا ِءاَمَّسلا ىَلِإ ٍةَلْيَل َّلُك ىَلاَعَتَو َك َراَبَت اَنُّبَر ُل ِزْنَي َبي ِجَتْسَأَف ىِنوُعْدَي ْنَم ُلوُق
ىِنُرِفْغَتْسَي ْنَمَو ُهَيِطْعُأَف ىِنُلَأْسَي ْنَمَو ُهَل
ُهَل َرِفْغَأَف ”Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman,
’Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808)
45
pencipta dan ciptaan ini yang kemudian menjadi akar dari perdebatan ini. Dalam perdebatan
teologi, masalah relasi Tuhan dengan alam semesta menjadi perbincangan yang hangat, yang
kemudian kosekuensinya akan runut kepada masalah status wujud Tuhan (Transenden atau
Imanen terhadap alam)
Sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya, dalam masalah relasi
Tuhan dan alam, terdapat dua kutub pandangan yang ekstrim, yaitu kelompok yang meyakini
bahwa Tuhan menciptakan alam semesta beserta hukum-hukumnya yang bersifat tetap.
Tuhan seperti pembuat jam, ketika jam tersebut sudah dibuat dengan rancangan mekanis,
maka secara otomatis jam itu akan bergerak sendirinya (dengan hukum-hukum mekanis).
Dengan demikian, setelah Tuhan menciptakan alam semesta, maka ia takkan campur tangan
urusan alam, sebab alam semesta ini (ciptaannya) sudah dirancang dengan hukum-hukumnya
yang bersifat pasti dan juga tetap. Dalam pandangan ilmuwan Barat dan Failasuf Muslim,
mereka meyakini sebuah konsep bahwa alam semesta yang kita tempati bersifat mekanis,
dimana dunia ini bergerak sesuai dengan hukum-hukum yang bersifat pasti dan mutlak.
Karena itu kosekuensinya adalah Tuhan dalam pandangan ini bersifat jauh, suci, dan juga tak
mampu dijangkau alias Transenden secara mutlak. Menurut Nashir Khusraw, failasuf Muslim
dari Persia, Tuhan Allah tidak bergantung dengan dan berhubungan dengan sesuatu selainnya
(idafat bar na-girad) hubungan Tuhan dengan dunia ciptaannya (yang tertuang dalam
Al-Quran, seperti Allah lebih dekat dengan urat nadi kita, tangan Allah diatas mereka) harus
difahami secara alegoris, sebab kejadian didunia serta penciptaannya disebabkan oleh sang
akal pertama, yang menurut Khusraw sebagai sebab pertama.59 Penyucian (Tanzih) secara
mutlak, membuat Tuhan dalam pandangan Nashir Khusraw tidak secara mekanis memiliki
hubungan dengan kejadian alam semesta ini. Bagi Khusraw dan para failasuf, Tuhan begitu
59
Berbeda dengan Al-Kindi yang menisbatkan Tuhan sebagai penyebab pertama (sebagaimana Aristoteles), Nashir Khusraw seorang ulama sekaligus failasuf dari kalangan Ismailiyah, meyakini bahwa Tuhan diluar masalah sebab akibat. Hal ini dikarenakan, sebab akibat adalah bagian dari hukum alam, sedangkan Tuhan diluar jangkauan hukum alam.
46
jauh dan tinggi hierarkinya dari manusia, karena itu ia tak bisa diatributkan dengan sifat-sifat
makhluk dan juga dengan produk akal manusia.60
Sedangkan kelompok lain seperti Asy’ariyah, Mujassimah, dan kelompok Sufi meyakini hubungan antara Tuhan dengan alamnya bersifat positif tanpa perlu penafsiran
alegoris, misalnya ketika dalam suatu hadits mengabarkan tentang Allah yang tersenyum, maka ia dipahami sebagaimana adanya, dengan kata lain, berita dari nabi (Qur’an dan hadits) memuat informasi yang jelas dimana Allah menegaskan relasinya dengan dunia ini. Allah
menentukan dan membuat takdir manusia sehingga manusia hanya sebagai wayang yang
digerakan oleh sang dalang, Allah menegaskan bahwa ia berbicara dengan Musa dan Ibrahim
tanpa perantara dan ini menegaskan bahwa Tuhan dengan ciptaanya bisa terbina hubungan
yang positif, ia bisa berbicara dengan siapapun sebagaimana jika ia menghendaki, bahkan ia
bisa mewujudkan rupa seperti pemuda tak berjanggut jika ia menghendaki.61 Ini yang
kemudian secara ekstrim mencapai suatu pemahaman yang panteistik seperti Syaikh Siti
Jenar dan murid-muridnya yang mengklaim dirinya adalah Allah itu sendiri dan antara Tuhan
dengan manusia memiliki hubungan poitif yang tak terpisahkan.62
Dapat disimpulkan bahwa perdebatan Transendensi dan Imanensi Tuhan dikarenakan
adanya dua konsep teologi yang berbeda mengenai relasi Tuhan sang pencipta dengan alam
ciptaanya. Mulyadhi Kartanegara sempat membahas persoalan ini dalam karya semi
6060
Nashir Khusraw, The Book of Enlightenment (Rawshan i-Namah), terj. W. Ivanov, (Bombay: The Ismaili Society, 1949)
61
Bersandar pada sebuah hadits yaitu:
ءارضخ ةلح هيلع درما ادعج يبر تيأر ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر لاق لاق سابع نب نع ةمركع نع ةداتق نع ةملس نب دامح انث Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang berkata
Rasulullah SAW bersabda “Aku melihat Rabbku dalam bentuk pemuda amrad berambut keriting dengan pakaian berwarna hijau”.
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Asmaa’ was Shifaat no 938, Ibnu Ady dalam Al Kamil 2/260-261, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 13/55 biografi Umar bin Musa bin Fairuz, Adz Dzahabi dalam As Siyaar 10/113 biografi Syadzaan, Abu Ya’la dalam Ibthaalut Ta’wiilat no 122, 123, 125, 126,127 ,129, dan 143
62
47
otobiografinya, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Mulyadhi mengakui
bahwa akar masalah ini menjadi perdebatan pokok yang menyangkut esensi wujud Tuhan,
bahkan hingga hari ini. Mulyadhi menganggap bahwa kedua pandangan tersebut (walau
berjasa bagi perkembangan intelektual Islam) namun disisi lain ini akan berbahaya karena
konsepsi ontologis Tuhan akan menjadi kabur dan membingungkan umat. Misalnya konsep
failasuf seperti Ibn Sina yang menyakini kemutlakan Tuhan sehingga tidak ada sifat-sifat
dalam dzat Tuhan, menurut Mulyadhi dapat dikritik ketika dalam Al-Qur’an secara gamblang Allah menjelaskan sendiri mengenai dirinya sebagai yang maha melihat, mendengar dan
maha berkehendak.63 Begitu juga anggapan bahwa Tuhan begitu dekat hubungannya dengan
alam (sehingga Tuhan dianggap memiliki rupa dan sifat seperti manusia) juga memiliki
kelemahan. Sebab jika sifat dan rupa Tuhan sebagaimana makhluknya, atau sifat-sifat Tuhan
sama seperti manusia, bisa mendengar, melihat, tertawa, dan sebagainya, maka ini akan menghancurkan konsep keunikan dari Tuhan, yang mana Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah ءْيَش ِهِلْثِمَك َسْيَل (laisa kamitslihi syaiun) ia berbeda dengan makhluknya.
Polarisasi pemahaman teologi ini menurut Mulyadhi terjadi karena metodologi
penafsiran kedua kelompok yang berbeda dalam menafsirkan dan memahami wujud Allah.
Walau pada umumnya kelompok sufi tidak begitu mempermasalahkan konsep identitas sifat
dan zat Allah, namun dalam diskursus akademik, hal ini menjadi problem yang cukup serius.
Sebab jika Tuhan dipahami secara ekstrim sebagai wujud impersonal, abstrak yang tidak
bertanggung jawab pada ciptaannya, maka ini akan cenderung mendekat pada konsep ateisme
dimana kaum ateis memandang alam bergerak karena adanya hukum-hukum alam yang
bersifat kekal, bukan karena digerakkan atau diatur secara langsung oleh Tuhan. Namun
jikalau Tuhan dipahami dengan penafsiran yang bersifat personal, maka ini akan menggugat
keunikan Tuhan sebagai yang maha tunggal (tak ada yang menyerupai dirinya) dan juga jika
63
48
Tuhan bisa menyerupai manusia dan bahkan bisa turun ke alam dunia dalam rupa manusia,
tentu pemahaman ini akan merusak citra Tuhan yang maha agung dan sempurna, sebab dalam
doktrin aqidah Islam, Tuhan Allah adalah sosok yang maha suci (sakral), jika Allah bisa
menyerupai sosok manusia, maka konsekuensi logisnya, Tuhan menurutnkan derajatnya
kepada sosok yang tidak sempurna (profan). Dalam menengahi dua kecenderungan
pandangan teologi ini, Mulyadhi mengambil gagasan Ibn Arabi mengenai konsep Tanzih dan
Tasybih sebagai penengah masalah teologis ini. Meskipun Ibn Arabi bisa digolongkan dalam
kelompok sufi, namun menurut Mulyadhi Kartanegara, Ibn Arabi memiliki konsep yang unik
sehingga ia menengahi pandangan para failasuf yang cenderung terlalu menganggap
transenden dzat Tuhan, dan kelompok sufi mainstream yang biasanya menggambarkan Tuhan
sebagai wujud personal (Imanen).64