• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transendensi dan Imanensi Tuhan dalam Pandangan Filosof

BAB III. DEFINISI TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN

B. Transendensi dan Imanensi Tuhan dalam Pandangan Filosof

Perdebatan mengenai Transendensi dan Imanensi Tuhan tidak saja terjadi di Yunani

ataupun daerah lainnya seperti India atau Israel sampai Palestina. Dalam Islam, Transendensi

dan Imanensi turut menjadi pembahasan yang menarik. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang menyamainya (Allah)”38

Para ulama, khususnya ulama ahli Kalam, berpendapat bawah maksud ayat ini adalah

Tuhan tidak dapat diserupakan dengan apapun di muka bumi ini, Ia tidak bisa disamakan

37

Modecal Kaplan, The Meaning of God in Modern Jews Religion, Detroit Wayne state university press 38 Al-Qur’an Surat Asy-Syura: 11, Jakarta: departemen Agama RI, 2002, h. 784

31

dengan ciptaannya. Para ahli Kalam dari golongan Mu'tazilah berpendapat bahwa ayat

tersebut merupakan bukti bahwa Tuhan Transenden secara mutlak, Ia bersifat absolut dan

tidak bisa sesuatu apapun menyerupai atau mengetahui hakikatnya. Pendapat Mu'tazilah ini

terpengaruh oleh pendapat para Failasuf Yunani. Bagi Mu'tazilah, Tuhan tidak bisa disifati

dengan apapun juga karena Dia Maha Transenden39. Pandangan kaum Mu'tazilah yang

merupakan pengikut pandangan Muhammad Bin Hanifah Bin Ali, secara tegas mengatakan

bahwa kafirlah orang yang tidak percaya bahwa Allah bersifat transenden. Dalam hal ini

mereka mengkafirkan pandangan kaum mujassimah seperti Abu Ya’la, Al-darimi dan juga kaum tajsim lainnya. Kaum tajsim sendiri berpendapat bahwa Allah memiliki tubuh, bentuk,

dan ia bisa turun ke langit dunia. Pandangan ini hampir dikafirkan atau diingkari oleh semua

tokoh-tokoh aliran teologi (mutakallimun) seperti Abu Hasan al Asy'ari Al-Maturidi, Syaikh

Nazam dan Sayyid Murtadha dari golongan Syiah40.

Kaum Mu'tazilah tak henti-hentinya menegaskan penyucian dzat Tuhan, mereka

berkata bahwa Allah bukan substansi dan bukan pula aksiden, ia tidak memiliki panjang,

lebar, bentuk dan juga ukuran lainnya. Kaum Mu'tazilah percaya bahwa Tuhan tidak dapat

dilihat oleh Panca Indra sehingga Mu'tazilah menolak klaim bahwa Tuhan bisa dilihat di hari

Kiamat atau hari akhir nanti. Sebab jika ada yang berkata bahwa tuhan akan menampakan

dirinya di akhirat, berarti orang tersebut telah berkata bahwa tuhan memiliki tempat dan

bentuk, yang berarti hal itu merusak citra trasenden tuhan41. Para ahli kalam dari kalangan

Mu’tazilah banyak yang terpengaruh oleh para Failasuf Yunani, Kaum Mu’tazilahlah juga yang kelak mempengaruhi para Failasuf Muslim lainnya tentang Transendensi Tuhan, salah

satunya al-Kindi.

39

Abdul Aziz Dahlan, teologi Islam, ciputat: Ushul press, 2012, h. 60

40 Kaum Mujassimah adalah kaum yang percaya bahwa Tuhan mempunyai wujud sebagaimana manusia. Ja’far Subhani dalam bukunya, buhuts fil milal wa an-nihal, menyebut kaum mujassimah sebagai kaum al-hasyawiyah yang merupakan orang-orang yang keluar dari ajaran guru al-Hasan Basri

41

32

Al-Kindi berpendapat bahwa tuhan adalah dzat pengawal atau paling awal sebelum

segalanya ada, dalam Rasail-nya, al-Kindi berkata bahwa tuhan adalah esa, tunggal, dia tidak

menyerupai alam ciptaan, dan segala apa yang ada pada makhluk, tidak ada dalam diri tuhan.

Orang yang berpendapat bahwa gambaran tuhan sebagaimana yang digambarkan atau

dibayangkan oleh manusia, maka orang yang berpendapat demikian adalah orang sesat dan

menyeleweng akalnya42. Al-Kindi meyakini bahwa tuhan sangat berbeda dengan yang

digambarkan dan dibayangkan oleh para penyembah berhala atau orang-orang yang

berpandangan tajsim atau menyerupakan Allah dengan makhluknya. Jika dikaitkan dengan

pemahaman transendensi, al-Kindi meyakini bahwa dzat tuhan adalah dzat yang jauh dari

pikiran manusia. Ia tidak ada di alam ini atau ia terhijab dari alam dunia sehingga tidak

mungkin manusia tidak bisa melihat, membayangkan, apalagi menyatu dengan tuhan .

Pandangan al-Kindi ini hampir serupa dengan pandangan Aristoteles yang

menganggap bahwa tuhan adalah nous alias penggerak yang Maha Transenden namun,

al-Kindi tampaknya mengikuti paham Mu’tazilah, yang menganggap walaupun tuhan adalah Transenden, namun kita bisa memikirkan tentang tuhan melalui apa yang tuhan informasikan dalam al-Qur’an. Jadi sekalipun tuhan tidak mampu diketahui dan dijangkau oleh siapapun, namun tuhan memberi wahyu atau petunjuk kepada manusia. Sehingga dengan pedoman

wahyu ini kita bisa memikirkan Tuhan. Dalam hal ini al-Kindi meyakini adanya wahyu yang

turun kepada para nabi yang juga berarti al-Kindi mengakui bahwa manusia bisa

berkomunikasi dengan Tuhan.

Berbeda dengan al-Kindi, al-Razi yang merupakan seorang Failasuf tidak meyakini

bahwa Tuhan dapat berkomunikasi dengan manusia. Al-Razi melihat bahwa Tuhan adalah

sosok yang transenden dan Qadim dalam artian, Ia esa, terahulu, dan juga tidak memiliki

bentuk dan juga menyerupai siapa pun. Tuhan dalam pandangan al-Razi adalah Tuhan Yang

42

33

Maha transenden dan terasing dari dunia material ini. Al-Razi memiliki pandangan yang unik

soal Teologi, ia melihat ini bahwa walaupun Tuhan adalah wujud yang transenden dan kekal,

namun ia meyakini bahwa sebelum alam ini terbentuk, ada entitas lain yang juga kekal dan

qadim selain Tuhan, yaitu jiwa universal, materi pertama, ruang, zaman, ke empatnya

menurut al-Razi memiliki kekekalan yang sama dengan Tuhan hanya bedanya, Tuhan lebih

dahulu dan lebih unggul Kekal nya daripada keempat unsur tersebut. Keempat Kekal tersebut

merupakan bahan-bahan material penciptaan alam semesta, Tuhan kemudian berperan dalam

mengolah dan menjadikan alam raya yang teratur ini melalui empat unsur Kekal tersebut. Ke

empat unsur tersebut terdapat di alam ini, kecuali Tuhan. Hanya Tuhan yang berada di luar

alam semesta. Untuk mengetahui dan merasakan kehadiran Tuhan yang jauh tersebut, maka

Tuhan mengaruniakan akal kepada manusia. Jadi akal inilah alat untuk mencapai segala

macam pengetahuan dan juga akal inilah kita mengetahui keberadaan Tuhan, tanpa

memerlukan Wahyu untuk berkomunikasi43.

Pandangan al-Razi dan al-Kindi mengenai Transendensi Tuhan, juga disepakati dan

diyakini oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Al-Farabi meyakini bahwa pada dasarnya Tuhan itu

sesuatu yang sakral dan tidak memiliki keterkaitan dengan apa yang ada di dunia ini, al

Farabi meyakini bahwa Tuhan tidak langsung menciptakan alam ini melainkan melalui

Pancaran Yang disebut dengan emanasi. Artinya al-Farabi meyakini bahwa Tuhan adalah

sosok yang Maha gaib, rahasia, tak mampu dilampaui oleh siapa pun dan ia tidak

menciptakan dunia seperti yang kita lihat sekarang ini dengan proses yang langsung, tetapi

melalui (proses) Pancaran (emanasi). Tuhan dalam teori emanasi al-Farabi berpikir tentang

dirinya, maka lahirlah akal pertama, yaitu ciptaan teragung Tuhan. Dari akal pertama ini

muncullah langit pertama, dari langit pertama yang berasal dari akal pertama, lalu muncullah

43

Harun Nasution, falsafat dan mistisisme dalam islam, Jakarta: bulan bintang, 2010, h. 12

Dengan demikian al-Razi memiliki pandangan yang dialektik, yaitu meyakini bahwa Tuhan tidak campur tangan mengurus alam semesta setelah ia membentuknya, tuhan hanya menetapkan hukum-hukumnya saja tidak mengatur secara langsung sebagaimana yang diyakini oleh para teolog dan ulum fiqh.

34

akal kedua yang menciptakan bintang-bintang, dari akal kedua dan bintang-bintang,

muncullah akal ketiga, yang kemudian muncul planet Saturnus. Dari akal ketiga, lalu muncul

akal ke empat yang kemudian dari akal ke empat ini muncul planet Jupiter, Kemudian

muncul akal kelima yang kemudian muncul planet Mars. Lalu muncul atau keenam yang

Darinya muncul matahari, lalu muncul atau ketuju yang Darinya muncul planet Venus. Akal

ketujuh juga Memancarkan akal ke delapan yang kemudian muncul Merkurius dan wujud

emanasi terakhir adalah akal ke sembilan yang kemudian muncul bulan, dari akal kesembilan

ini yaitu bulan, lalu muncullah bumi dan juga alam raya seperti yang sekarang kita rasakan

ini. Proses penciptaan melalui emanasi atau Pancaran berhenti pada akal ke sembilan yang

diwakili oleh bulan. Akal ke sembilan inilah person yang menciptakan alam ini namun

dengan kekuatan dan juga Pancaran emanasi dari akal sebelumnya yang pada ujungnya

adalah Tuhan. Jadi dalam pandangan al-Farabi, Tuhan tidak menciptakan dunia ini secara

langsung, namun melalui suatu proses yang dinamakan emanasi. Dengan demikian, al-Farabi

juga menyetujui pandangan al-Rozi bahwa Tuhan berada di luar alam dan tidak terlibat

secara langsung kejadian dan perubahan yang terjadi di alam ini (Transenden)44. Namun

dalam masalah sifat sifat Tuhan, al-Farabi memiliki pendapat bahwa Tuhan memiliki sifat

yaitu wujud yaitu Sang Maha ada, sifat-sifat yang ada pada Tuhan adalah segala bentuk

kebaikan dan kebajikan, dalam hal ini al-Farabi mengakui pandangan Plato bahwa Tuhan

adalah Sang Baik. Hampir semua Failasuf berpendapat bahwa Tuhan adalah wujud yang

maha Transenden, ia tak mampu dinalar atau diketahui seluruh hakikatnya, akal hanya

sampai pada pengetahuan tentang dia bukan hakikat wujud dan juga apa yang dikehendaki

olehnya. Para Failasuf Ismailiyah seperti Nasir Khusraw dan Muayyad as-Shirazi,

berpandangan bahwa mengetahui tentang Tuhan yang sebenarnya malah sangat mustahil,

sebab ia adalah zat yang maha mutlak dan Maha rahasia. Kaum Ismailiyah beranggapan

44

35

bahwa apa yang disangka oleh manusia tentang Tuhan pasti bukan Tuhan. Setiap akal

berpikir tentang Tuhan maka itu bukan Tuhan, sebab Tuhan sangat absolut dan tidak

mungkin bisa di gapai oleh akal manusia45. Kaum ismailiyah membatah pandangan

Asy’ariyah yang mengatakan Allah dapat dilihat oleh mata di akhirat, dan kaum Ismailiyah juga membatah pandangan kaum Mu’tazilah yang menganggap bahwa tuhan tidak bisa dilihat oleh mata di akhirat. Pandangan ini disebut sebagai Teologi negatif atau menegasikan

seluruh pandangan manusia atau hasil pemikiran manusia tentang Tuhan.

Pandangan kaum Ismailiyah ini sependapat dengan Immanuel Kant yang hidup

setelahnya, Kant juga berpandangan bahwa Tuhan adalah wujud yang transenden, dan

transenden menurut Immanuel Kant adalah tidak mungkin dijangkau dan dinalar oleh akal

pikiran manusia. Namun bedanya dengan Immanuel kant, kaum Ismailiyah percaya bahwa

Tuhan memutus para Imam yang merupakan perwujudan dari Akal pertama dalam teori

Emanasi yang memiliki tugas untuk mengenalkan manusia dan memimpin hidup manusia

agar sesuai dengan bimbingan Tuhan. Walaupun akal manusia mustahil bisa mengenal

Tuhan, tapi para Imam yang merupakan perwujudan dari akal pertama yang dekat dengan

Tuhan nya dapat mengetahui dan juga mengenal Tuhan46.

Secara umum, para Failasuf meyakini transendensi wujud tuhan, para Failasuf muslim

bersepakat dengan para Failasuf Yunani bahwa tuhan adalah wujud transenden dan tidak

mampu dicerap oleh indra. Para Failasuf muslim juga mengutuk dan mencemooh pandangan

kaum Tajsim yang berpandangan bahwa tuhan memiliki tubuh. Para Failasuf muslim

menganggap bahwa memberikan segala bentuk atribut mahluk kepada Tuhan, itu sama saja

menganggap bahwa Tuhan tidak Ghaib atau transenden.

45

Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedia tematik Filsafat Islam, Jakarta: Mizan, 2012, h. 46

36