• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transendensi Menurut Mulyadhi Kartanegara

BAB IV. TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN MENURUT MULYADHI KARTANEGARA KARTANEGARA

B. Transendensi Menurut Mulyadhi Kartanegara

Pembicaraan mengenai Tuhan selalu melibatkan argumentasi-argumentasi serius.

Mengetahui hakikat maupun esensi (mahiyyah) Tuhan dikenal dalam sejarah pemikiran

sebagai sesuatu yang sangat berat, di lain sisi juga ada yang menyebut pengetahuan tersebut

berada di luar jangkauan manusia.

Dalam perkara ini, banyak filsuf yang mendefinisikan bahwa Tuhan sebagai the great

unknown (yang besar tapi tak dikenal). Terkait the great unknown, menurut Mulyadhi

Kartenagara yang dimaksud dengan tak bisa dikenal adalah pengenalan apa itu Tuhan secara

positif, tetapi bisa didekati secara negatif, atau dalam istilah filsafat dikenal dengan

via-negativa. Via negativa berarti mengetahui Tuhan dengan cara membedakan-Nya dengan yang

lain.65

64

Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 41 65

Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia, (Bandung: Mizan, 2017) h. 3

49

Mengutip pandangan Ibn ‘Arabi yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai dua segi kemisterian penampakan diri, yakni tanzih dan tasybih. Penekanan pemahaman bahwa Tuhan

berbeda secara mutlak dengan alam dengan demikian membuat Tuhan tidak dapat diketahui

melahirkan konsep tanzih (Transendensi), sedang penekanan pemahaman bahwa Tuhan,

meskipun hanya pada tingkat tertentu, mempunyai kemiripan atau keserupaan dengan

manusia dan alam melahirkan konsep tasybih (Imanensi). Secara definitif, kata tanzih berasal

dari kata kerja nazzaha, yang secara harfiah berarti menjauhkan atau membersihkan sesuatu

dari sesuatu yang mengotori, sesuatu yang tidak murni.66

Bagi Mulyadhi Kartanegara, istilah tanzih dalam filsafat dan mistik (sufisme) Islam

misalnya yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi, mempunyai arti dan maksud yang sama dengan istilah via-negativa tersebut sebagai pendekatan kepada Tuhan. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa sejauh menyangkut zat atau esensi Tuhan, maka ia adalah “tanzih” atau “transeden”. Istilah tanzih sendiri mengisyaratkan perbedaan mutlak antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Sebagai yang transenden, Tuhan berbeda atau mentransenden alam lahir, Dia

adalah sumber, prinsip atau sebab, sedangkan alam adalah turunan, derivatif dan akibat

dari-Nya. Tuhan adalah mutlak, sedangkan alam adalah nisbi.67 Menurut Mulyadhi, kata tanzih

tersebut biasanya dikontraskan dengan kata tasybih atau keserupaan, yakni keserupaan antara

Tuhan dengan makhluk-Nya dari aspek sifat-sifatnya.68

Dalam hal ini, Ibn ‘Arabi sendiri menjelaskan bahwa tanzih menunjukan aspek “keterbatasan” pada-Nya, maksudnya adalah jika dillihat dari segi zat-Nya, Tuhan adalah

munazzah bersih dari dan tidak dapat diserupakan dengan alam dan ketidaksempurnaannya,

jauh dari dan tinggi di atas segala sifat keterbatasan dan keterikatan. Dalam pengertian ini,

berarti Tuhan tidak dapat diketahui, tidak dapat ditangkap, tidak dapat dipikirkan dan

66

Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, cet Ke-1,

1995), h. 86 67

Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006) h. 8 68

50

dilukiskan, karena Dia transenden. Satu-satunya yang berlaku bagi-Nya adalah

kemutlakkan.69

Bagi Mulyadhi, ide tentang tanzih ini bukanlah sesuatu yang lepas dari al-Qur’an, tetapi juga bersumber dari teks-teks al-Qur'ân, yang dalam beberapa ayat-nya menunjukkan

dengan jelas sifat tanzih ini. Misalnya pada ayat (QS. 42: 11). Serta teks al-Qur’an lainnya yang berbunyi "Dan tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya" (QS. 112: 4). Dari teks-teks

tersebut, menjelaskan bahwa dikarenakan tidak ada sesuatu apa pun yang serupa dengan

Tuhan, sedangkan pengetahuan apa pun yang dimiliki oleh manusia tentang-Nya mestilah

berupa sesuatu. Maka pengetahuan kita tentang Tuhan pastilah tidak sama dengan-Nya.

Begitu juga, ketika kita menyetarakan Tuhan dengan apa pun, penyetaraan kita juga tidak

sama, karena Dia tidak setara dengan apa pun. Dia adalah unik, dalam arti tidak ada duanya,

tidak ada taranya. Deskripsi atau pemerian apa pun yang manusia buat tentang Tuhan,

pastilah tidak akan sama dengan-Nya. Penjelasan demikianlah menurut Mulyadhi yang

dimaksud dengan ayat: "Mahasuci Allah dari apa pun yang mereka deskripsikan" (QS. 23:

91).70

Pembahasan serius mengenai ke-tanzih-an zat Tuhan ini bagi Mulyadhi menjadi

penting, karena pembicaraan tentang Tanzih bukan hanya pada agama Islam tetapi juga pada

agama-agama lain. Misalnya dalam Taoisme, dimana dikatakan bahwa "apa saja yang

seseorang katakan tentang Tao, maka pastilah seseorang ia bukan Tao." Sedangkan dalam

Buddha, pertanyaan tentang apa itu Tuhan dalam percakapan oleh Buddha tidak perlu

didiskusikan karena dalam Budhisme, konsep ketuhanan begitu abstrak dan ia tidak dapat

dipikirkan dan diperkirakan. Hal ini terkadang membuat Sebagian orang mengatakan bahwa

Buddhisme "tidak bertuhan", karena tidak memiliki konsep "positif" dan personal tentang

Tuhan. Para pemeluk Buddhisme tidak mau bicara tentang Tuhan, bukan karena tidak

69

Raha Bistara, Wahdah Al-Wujud Ibn Arabi Dalam Imajinasi Kreatif Henry Corbin, h. 9 70

51

percaya kepada adanya Tuhan, tetapi karena, bagi mereka, pendeskripsian esensi Tuhan tidak

akan membawa kita pada-Nya, karena sebenarnya Dia memang tidak bisa dideskripsikan.

Bagi agama ini, pertanyaan "jalan mana yang harus dicapai untuk sampai kepada-Nya" itu

jauh lebih penting dan berinteraksi pertanyaan tentang esensi atau hakikat Tuhan itu sendiri.

Pendirian ini perlu dilihat dari konteks tanzih agar bisa dipahami dan dihargai makna dan

tujuannya.71

Menurut Mulyadhi dalam Islam, masalah ini telah mendapat berbagai tanggapan baik

dari para failasuf maupun sufi. Abu Sulaiman al-Sijistani, misalnya, menyatakan, Tuhan

bahkan tidak bisa dikatakan sebagai "ada" dalam arti "maujúd". Dia pencipta yang ada, tetapi

Dia sendiri tidak sama dan melebihi segala maujúdāt. Ibn Sinā juga menyatakan bahwa

Tuhan adalah Esa atau Tunggal, karena ia tidak memiliki jenis dan spesies, sementara hakikat

sesuatu dapat diketahui hanya melalui jenis dan spesiesnya. Karena esensi (dzāt) Tuhan pada kenyataan tidak bisa dari eksistensi wujūd-Nya, maka ia tidak bisa dibedakan dari wujud., dalam diri Tuhan, esensi dan eksistensi adalah sama dan satu, sementara pada yang selain

Tuhan, esensi dan eksistensi bisa dibedakan, karena mereka memiliki jenis, spesies, dan

rensia yang berbeda.72 Hal ini tampak sejalan dengan konsep tanzih dan tasybih Ibn ‘Arabi bahwa di antara keduanya harus dipadukan, sebab keduanya adalah satu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan.73

Secara lebih lanjut, Mulyadhi memberi gambaran terkait Shadr al-Din al-Qunawi,

yang merupakan murid, anak tiri, dan pensistematisasi konsep wahdat al-wujud Ibn 'Arabi

memandang Tuhan tidak bisa dikenal pada tingkat esensi, karena di sini ia belum lagi

menjadi sesuatu atau, dalam istilahnya, ghair muta'ayyan, yang artinya "belum lagi menjadi

sebuah sesuatu ('ain)". Karena seseorang hanya mampu melihat sebuah objek dari ia sudah

71

Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan, h. 5 72

Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan, h. 6 73

52

menjadi sesuatu, padahal Tuhan pada tahap ghair muta'ayyan belum lagi menjadi sesuatu

(entitas), maka tidak ada jalan bagi orang tersebut untuk bisa mengetahui esensi Tuhan. serta

diperlukan beberapa tahap ta'ayyun, yakni "proses menjadi sesuatu" untuk seorang manusia

yang mampu mengenali-Nya. Menurut Mulyadhi, ke-tanzih-an Tuhan dalam literatur tasawuf

juga bisa dilihat dari konsep Tuhan sebagai "pusaka yang tersembunyi" (Kanz Makhfiyy),

tidak ada yang kita dapat peroleh dari sebuah hadis Qudsi: “Kuntu kanzan makhfiyyan", artinya: "Sesungguhnya Aku adalah Pusaka yang Tersembunyi", yang mengisyaratkan bahwa

seorang pun akan mengenal-Nya.74