• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Transendensi Dan Imanensi Tuhan

BAB III. DEFINISI TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN

A. Definisi Transendensi Dan Imanensi Tuhan

Masalah ketuhanan adalah masalah klasik yang sudah di dibahas dan dikaji oleh para

Failasuf dan juga para spritualistik di seluruh dunia. Para Cendikiawan, baik di Yunani, Cina,

India, bahkan Afrika, sudah mulai mempertanyakan dan mengkaji soal-soal mengenai alam

Ghoib dan Tuhan. Di Jepang, mereka meyakini bahwa dunia ini diciptakan oleh para dewa

Izha Nagy dan Tzanami dengan cara mengeblok lautan kosmik, sedangkan bagi penduduk

pulau Huntua di Pasifik, dunia diciptakan dari tubuh dewa Tanaroa, pandangan-pandangan

tentang Tuhan tersebut merupakan bukti bahwa sejak dahulu manusia sudah berusaha untuk

mengenal sang pencipta24.

Inilah yang menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki naluri untuk

bertuhan dan beribadah kepada Tuhan. Karl gastav jong, salah seorang Psikoanalisis yang

terkenal di dunia menjelaskan bahwa Tuhan dan gagasan mengenai agama adalah kesadaran

kolektif yang dimiliki oleh setiap manusia.25

Tak heran jika Karen Amstrong dalam buku Sejarah Tuhan mengatakan bahwa

manusia pada dasarnya memiliki naluri untuk mengetahui hal-hal yang bersifat mistik, karena

mereka takjub sekaligus takut terhadap alam raya yang begitu besar ini, sehingga manusia

mulai mencari dan menggali siapa yang menjadi aktor di balik penciptaan seluruh alam

semesta ini26. Naluri manusia untuk mencari dan menemukan Tuhan lah yang membuat

manusia tertarik pada hal yang berbau spritualitas dan mendorong kemunculan dari sebuah

agama.

24

Binda Gamlin, Jendela Iptek: Evolusi, Jakarta: Balai Pustaka, 2000, h.6-7 25

Car Gustav Jung, Psikologi Agama, Jakarta Iroisod, h. 26

24

Ketika agama-agama mulai mengambil bentuk yang stabil, yaitu memiliki ritual dan

juga tradisi untuk menyembah Tuhan yang khas, Tuhan kemudian direduksi dalam citra

agama-agama, bagi agama Hindu, Tuhan sebagaimana penggambaran mereka, dan bagi

agama Zoroastrian, Tuhan (dengan segala bentuknya sesuai dengan penggambaran mereka)

digambarkan dalam bentuk-bentuk yang realistis dan pasti, dimana satu Tuhan bentuknya

berbeda dari agama lain.

Perbedaan mengenai kesan terhadap Tuhan, baik sifat dan bentuknya membuat para

Failasuf tidak puas dengan konsep Tuhan yang diberikan oleh para agamawan, karena itulah

para Failasuf berusaha mengkaji tentang Tuhan melalui kemampuan akalnya sendiri,

sebagaimana yang terjadi di Yunani para kisaran abad ketiga sampai keempat sebelum

Masehi, dimana muncul para Failasuf yang memberontak serta tidak ingin mengandalkan

agama sebagai sumber utama tentang Tuhan. Thales contohnya yang pada 625-545 Masehi

berusaha mengikis mitos-mitos tentang dewa-dewa yang digambarkan oleh orang orang

Yunani. Usaha Thales kemudian dilanjutkan oleh Anaximandros, Heraklitos, Permenides,

dan Failasuf-Failasuf Yunani lainnya seperti Plato, Socrates, dan Aristoteles27.

Bahkan Failasuf Yunani, Xenopanes pernah berkata bahwa jikalau sapi punya tangan

dan pandai menggambar seperti manusia, pasti sapi menggambar wujud Tuhan sebagaimana

dirinya. 28Aristoteles sendiri dalam karyanya, menggambarkan Tuhan sebagai prima causa

atau nous yang wujudnya tidak bisa diperkirakan dan dibayangkan oleh manusia29.

Pemahaman para Failasuf Yunani ini berbeda dengan masyarakat Yunani pada umumnya,

dimana para Failasuf menggambarkan wujud Tuhan ke dalam Transendensi mutlak yang tak

27

Orang-orang Yunani menggambarkan wujud tuhan dengan gaya dan pola kemanusiaan juga watak-watak yang abmoral, para Failasuf menolak pola pikir dan cara beragama orang-orang Yunani yang justru membuat wujud Tuhan menjadi absurd. Lebih lanjut baca Zainal Abidin Abbas, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, Jakarta: Penerbit al-Husna

28

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press, 2006. h. 19 29

Werner Jeger, Aristotle: Fundamentalis of The History of His Development, Oxford: oxford university press, 1949, h.

25

dapat dibayangkan dan tak dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia atau masyarakat

pada umumnya. Jika agama-agama di Yunani atau di Mesopotamian menggambarkan Tuhan

Yang Maha Agung memiliki tubuh fisik yang termanifestasikan dalam wujud patung patung

Berhala di kuil-kuil (ini juga ditiru oleh bangsa Mesir, Cina dan India) maka para Failasuf

Yunani justru menolak setiap bentuk visualisasi atau gambaran Imanen Tuhan yang menurut

mereka justru berkebalikan dengan Keagungan Tuhan. Perdebatan antara para Failasuf

dengan agama-agama tradisional di Yunani mengenai wujud Tuhan kemudian melahirkan

sebuah konsep falsafi mengenai soal-soal teologi yang penting, yaitu konsep Transendensi

Tuhan dan Imenensi Tuhan. Transendensi terdiri dari dua kata: kata "trans" yang berarti

seberang, melampaui, atas, dan kata "scandere" yang berarti memanjat. Istilah ini bersama-sama dengan bentuk-bentuk lain seperti "transendental", "transendensi", dan "transendentalisme", digunakan dengan sejumlah cara, dan dengan sejumlah penafsiran tersendiri dalam sejarah filsafat. Beberapa pengertian dari transenden adalah: lebih unggul, agung, melampaui, superlatif, melampaui pengalaman manusia, berhubungan dengan apa yang selamanya melampaui pemahaman terhadap pangalaman biasa dan penjelasan ilmiah30. Imanen atau imanensi adalah paham yang menekankan berpikir dengan diri sendiri atau subjektif. Istilah imanensi berasal dari Bahasa Latin immanere yang berarti "tinggal di

dalam". Imanen adalah lawan kata dari transenden. Pertama kali, istilah ini diajukan oleh Aristoteles yang memiliki arti "batin" dari suatu objek, fenomena atau gejala. Kemudian dikembangkan oleh Kant dan berlaku sampai sekarang. Dalam istilah Filsafat Ketuhanan,

Tuhan yang imanen berarti Tuhan berada di dalam struktur alam semesta serta turut serta mengambil bagian dalam proses-proses kehidupan manusia.Berbeda dengan transenden yang sangat mengagungkan Tuhan yang begitu jauh sehingga mereka sangat hormat. Imanensi

30

26

lebih dekat dan terbatas pada pengalaman manusia, seperti dikemukakan Hume dalam

teori fenomenalisme empiris dan Kant dalam Crtitique of Pure Reason.

Konsep Imanensi dan Transendensi ini kemudian dalam filsafat menjadi perdebatan

mengenai apakah Tuhan bersifat Imanen yaitu dapat diketahui oleh akal pikiran manusia dan

dapat diperkirakan wujudnya oleh akal pikiran manusia sebagaimana orang orang Yunani dan

India yang menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat kemanusiaan yang wujud dan

bentuknya dapat diperkirakan oleh akal dan Imajinasi manusia? atau malah sebaliknya,

Tuhan pada eksistensinya bersifat Transenden, dengan kata lain ia tidak dapat dijangkau oleh

akal manusia dan tentu saja tidak dapat dibayangkan bagaimana rupa dan bentuk dari

wujudnya.31

Dalam pandangan Immanuel Kant, Transendensi adalah sesuatu yang tak bisa

dibayangkan, tidak mampu dijangkau oleh Indra atau apapun, ia absolut, tersembunyi

meskipun bukan berarti tidak ada. Dalam pandangan Kant, manusia dapat mengetahui

sesuatu hanya berdasarkan fenomena-fenomena yang ia tangkap dari panca indra dan

diperoleh oleh akal budi, namun persepsi kita tentang objek tersebut hanya sampai pada

kesan-kesan saja, kita tidak bisa secara pasti mengetahui sebagaimana objek tersebut, sebab

kita hanya mengetahui dari yang tampak oleh kita, pengamatan tentang yang tampak itu

disebut fenomena dan pengetahuan sebagaimana objeknya adalah Nomena. Contohnya, kita

hanya bisa memahami seseorang dari fenomena atau pengalaman hidup kita selama bergaul

dengan orang tersebut, namun kita tidak pernah tahu pasti nomena orang tersebut. Yang

nomena itulah menurut Immanuel Kant adalah yang transenden. Kalau kita kaitkan hal ini

dengan Tuhan, maka kita tidak bisa mengetahui Tuhan, sebagaimana hakikat yang

sebenarnya, kita juga tidak bisa mengetahui fenomena Tuhan, karena kita tidak pernah

31

27

berinteraksi secara langsung dengan Tuhan. Karena itulah Kant memasukkan Tuhan ke dalam

Transendensi mutlak, ia tidak bisa diketahui kecuali melalui keyakinan dan Iman32.

Berbeda dengan pandangan Immanuel Kant yang berpendapat bahwa Tuhan berada

dalam Transendensi absolut yang tak dapat dijangkau oleh Indra manusia, Baruch Spinoza

justru berpendapat bahwa hakikat tuhan menyatu dalam realita dan kesadaran manusia, tuhan

menurut Spinoza tidak dapat dipisahkan dengan alam semesta, bagi Spinoza, tuhan adalah

alam itu sendiri dan alam ada di dalam diri tuhan. Pandangan spinoza ini belakangan dikenal

dengan paham panteisme dimana ia hanya mengakui bahwa realitas alam dan tuhan adalah

satu.

Bagi Spinoza, tuhan bukanlah penyebab yang bersifat transitif sebagaimana

pandangan aristoteles tentang penyebab pertama, tetapi tuhan adalah penyebab Imanen dari

realitas, dengan kata lain, tuhan tidak terpisah ketika menciptakan segala sesuatu (realitas saat

ini) kecuali ia ada di dalamnya. Tuhan menciptakan realitas dengan menjadi realitas itu

sendiri. Dalam pandangan Spinoza, wajah Tuhan hakikatnya tidak terbatas dan juga abadi

selamanya, namun Tuhan juga melingkupi dan menyatu dengan realitas yang terbatas, yaitu

alam semesta ini. Manusia hidup dan alam ini bisa menjadi tetap karena kita semua hidup di

dalam Tuhan. Karena itulah Spinoza berkata “deus sive natura” Yang artinya Allah atau Tuhan adalah alam dan alam semesta adalah satu dan sama33.

Sebagaimana sebelumnya sudah di kemukakan bahwa pada dasarnya Tranendensi dan

Imanenai adalah konsep teologis yang berkaitan dengan wujud dan eksistensi Tuhan

(pembahasan ontologis). Para filailasuf Barat banyak berbeda pandangan mengenai bentuk

wujud dan eksistensi Tuhan, sebagian dari mereka mengatakan bahwa Tuhan adalah

transenden mutlak yang tak dapat dijangkau akal sebagaimana pandangan Kant, sedangkan

32

H.M Rasjidi, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, h. 33

28

sebagian lagi menganggap bahwa Tuhan itu sendiri bersifat Imanen alias realitas yang dapat

diketahui dan dipahami hakikatnya sebagaimana pandangan Spinoza.

Terlepas dari pandangan para Failasuf Barat dan juga agama-agama Yunani dan India

kuno, agama-agama samawi juga telah menjelaskan tentang masalah Transendensi dan

Imanensi Tuhan. Yang menjadi pertanyaan, apakah Transendensi itu berarti Tuhan sama

sekali jauh dari manusia sehingga Indra dan akal manusia dapat memahaminya sama sekali

atau ia tak dapat dicapai oleh penglihatan (Indra) namun dapat dicapai oleh akal budi? Dalam

agama Kristen Tuhan adalah sosok sempurna dan juga maha absolut, namun di dalam dirinya

mempunyai dua karakteristik, yaitu transenden sekaligus Imanen, Transendensi dalam

Kekristenan adalah bahwa Tuhan tidak dapat diketahui kemauan dan juga apa yang dia

kehendaki oleh manusia. Akal manusia tidak bisa secara tepat menjelaskan tentang Tuhan

yang sangat transenden, sehingga Tuhan mengabarkan dirinya sendiri dalam bentuk Imanen

yaitu Kristus Yesus. Tak ada manusia yang mengerti Tuhan kecuali satu Tuhan itu sendiri

maka Tuhan turun ke dunia untuk menegaskan tentang dirinya kepada manusia dalam bentuk

anak manusia pula.

Dalam Injil Yohannes, Yohannes menerangkan hakikat Kristus Yesus, yaitu sebagai

Firman Allah, kemudian atas dasar kasih Allah pada manusia ia mengutus anaknya yang

tunggal (firmannya) untuk mengabarkan tentang dirinya34. Dengan begitu dalam konsep

Teologi Kristen, terdapat dualitas karakteristik dalam diri Tuhan, ia transenden sekaligus

mempunyai sisi Imanen.

Transedensi dan Imanensi juga menjadi perdebatan teologis yang cukup menarik

dalam Teologi Yudaisme atau Yahudi, pasalnya dalam Alkitab, Tuhan sendiri yang

34

29

mengekspresikan dirinya dengan berbagai macam ekspresi, contohnya dalam Alkitab, pasal

sepuluh, Tuhan menjelaskan bahwa Ialah zat yang maha kuasa dan Transenden, ini tertulis

dalam kalimat “jangan menyebut nama Tuhan Allah dengan sembarangan”35

dari ayat ini,

kemudian bangsa Yahudi menafsirkan bahwa Allah adalah zat yang Maha sakral sehingga

tidak bisa ada satupun nama yang bisa dinisbatkan dengan dirinya, Pandangan Yahudi pada

Tuhan adalah bahwa Tuhan tidak dapat dinisbatkan dengan sifat-sifat apapun dan dengan

nama-nama apapun, Tuhan Allah Maha Transenden sehingga tidak boleh ada patung dibuat

untuk menyerupainya. Namun disisi lain terdapat pula kelompok Yahudi yang menganggap

bahwa Tuhan Allah memiliki tubuh dan bentuk, ini bersumber dari Alkitab pada Kitab

Kejadian pasal ayat dua enam: “Baiklah kita menjadi manusia menurut gambar dan rupa kita” Dari sinilah muncul pandangan bahwa Allah memiliki tubuh dan rupanya sama dengan

manusia.

Rabbi Yisaac Luria salah satu petinggi dan toko aliran Kabbalah Abad 15 Masehi

berpendapat bahwa hakikat Tuhan tidak dapat dipahami dan tidak dapat dimengerti oleh akal

pikiran, bagi penganut paham kabbalah Dan juga menurut Ibn gabirol, Tuhan adalah ein sof

ia tidak dapat dijangkau akal, jauh dari semesta, dan berbeda dari apapun, dalam kata lain,

Tuhan adalah Transendensi mutlak36. Pandangan serupa juga dianut oleh Failasuf Yahudi,

Maimonides, murid dari Ibn Rusyd Yang menolak konsep Tuhan yang impersonal.

Namun disisi lain juga terdapat Cendikiawan dan para Failasuf Yahudi yang

menafsirkan tuhan dengan citra yang Imanen. Tuhan dalam citra levinas adalah etika atau

sebagai Sang baik, jadi Tuhan pada hakikatnya hadir sebagai citra kebaikan tersebut. jauh

lebih lanjut, Mordecai kaplan tidak sependapat bahwa realitas Tuhan adalah zat kebaikan

yang melingkupi semesta, ia berpendapat bahwa Tuhan adalah kekuatan alam yang dialami,

35

AlKitab Deuterokanonik, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2012, h. 76 36

30

dirasakan secara nyata, kapan saja, sebab kekuatan yang menggerakkan alam dan

menghidupkan seluruh alam adalah Tuhan. Dalam artian, Tuhan Dalam pandangan Kaplan

adalah Tuhan yang abstrak dan tidak memiliki tubuh, tetapi yang melingkupi dan dekat

secara nyata dengan manusia (sebagai kekuatan yang ada di alam semesta ini)37.

Trasendensi dan Imenensi adalah konsepsi dalam kajian teologi dan metafisika yang

mana persoalan ini muncul untuk mendiskusikan hal-hal yang di luar dunia realistik (ghoib)

atau apa kaitannya dengan alam ini. Transendensi dipahami sebagai konsep mengenai suatu

Substansi yang keberadaannya niscaya ada, namun ia tidak ada dalam jangkauan hal fisik dan

tidak bisa manusia memahami hakikatnya, dalam teologi, Transendensi diarahkan pada

wujud Tuhan Yang Maha gaib keberadaannya, dalam konteks falsafah, para Failasuf

mengidentifikasikan tuhan sebagai sosok yang Maha Transenden yang tidak mampu akal

pikiran manusia mengungkap hakikatnya. Para Failasuf Yunani membedakan Tuhan Yang

Maha Transenden dengan Tuhan yang di persepsikan Yunani oleh orang Yunani klasik, di

mana para dewa dipersonifikasi dengan sifat dan bentuk seperti manusia dan mampu turun

dan berinteraksi dengan manusia.