• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN DALAM PANDANGAN MULYADHI KARTANEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN DALAM PANDANGAN MULYADHI KARTANEGARA"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN DALAM

PANDANGAN MULYADHI KARTANEGARA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh:

Asyiq Nur Muhammad D.S

NIM: 11140331000013

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2021 M

(2)

i

Dosen Pembimbing

Kusen, Ph. D.

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

“KONSEP TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN DALAM PANDANGAN

MULYADHI KARTANEGARA”

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh:

Asyiq Nur Muhammad D.S NIM: 11140331000013

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2021

(3)

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Asyiq Nur Muhammad D.S

Tempat, Tanggal Lahir : Sungai Guntung, 15 Desember 1995

NIM : 11140331000013

Program Studi/ Univ. : Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Judul Skripsi : Konsep Transendensi dan Imanensi Tuhan dalam pandangan Mulyadhi Kartanegara

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciganjur, 15 Maret 2021 Pengaji

(4)

iii Dosen Pembimbing

Kusen, Ph. D.

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “KONSEP TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN DALAM

PANDANGAN MULYADHI KARTANEGARA” telah diajukan dalam sidang

Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, 22 Maret 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada program Aqidah dan Filsafat Islam.

Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Tien Rohmatin, M.A Dra. Banun Binaningrum, M.Pd

NIP. 196808031994032002 NIP. 196806181999032001

Anggota

Penguji I Penguji II

Dr. Edwin Syarif, M.Ag Dr. Kholid Al Walid, M.Ag

(5)

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

ا a a ط Th ṭ ب b b ظ Zh ẓ ت t t ع „ „ ث ts th غ Gh gh ج j j ف F f ح ḥ ḥ ق Q q خ kh kh ك K k د d d ل L l ذ dz dh م M m ر r r ن N n ز z z و W w س s s ه H h ش sy sh ء ص sh ṣ ي Y y ض dl ḍ ة H h Vokal Panjang Arab أ Indonesia ā Inggris ā إي ī ī و ū ū

(6)

v ABSTRAK

Asyiq Nur Muhamad D.S

Konsep Transendensi dan Imanensi Tuhan menurut Mulyadhi Kartanegara

Di dalam konsep-konsep filsafat terminologi Transenden dan Imanen bukanlah sebuah terminologi baru lagi, konsep-konsep ini sudah lama diperbincangkan oleh para Filosof, baik Filosof barat ataupun Filosof muslim. Perbincangan kedua konsep ini selalu dikaitkan dengan pembahasan tentang hubungan antara Tuhan dengan alam. Bagaimanakah kita mempersepsikan hubungan antara Tuhan dengan alam ini tergantung konsep apa yang kita anut.

Di dalam banyak karya-karya filsafat, Terminologi Transenden dan Imanen begitu banyak dibahasa dan selalu menjadi perdebatan. Bagaimanakah sebenarnya hubungan Tuhan dengan alam semesta ini? Apakah Tuhan itu jauh dari alam semesta ini sehingga alam ini merupakan satu entitas yang terlahir alamiah begitu saja? Begitupun kita (manusia) merupakan satu entitas yang tak berkaitan sama sekali dengan Tuhan? Ataukah Tuhan itu menyatu dengan alam ini sehingga alam ini selalu berjalan menurut kehendak-Nya? Dan kita pun bagian dari Diri-Nya? Perdebataan kedua pertanyaan ini dari dulu menghasilkan pendapat yang beragam sekali di kalangan para Filosof.

Mulyadhi Kartanegara seorang cendekiawan muslim membahas persoalan ini di dalam Karyanya Lentera Kehidupan dengan sangat komprehensif, sehingga penelitian ini berfokus pada konsep Transendensi dan Imanensi yang diajukan Mulyadhi Kartanegara dalam menanggapi pendapat-pendapat Filosof yang beranekaragam dalam membahas Transendensi dan Imanensi Tuhan.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang amat sangat mendalam kepada Allah Swt, atas segala limpahan rahmat dan kuasa-Nya yang diberikna kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta kepada keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya yang telah menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Alhamdulillah, penulisan skripsi yang berjudul “Konsep Transendensi dan Imanensi Tuhan dalam pandangan Mulyadhi Kartanegara”, telah dapat penulis selesaikan. Penulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata Satu (1) guna memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag.) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk itu saya merasa perlu menghanturkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, terutama penulis sampaikan kepada:

1. Kusen, Ph. D, sebagai pembimbing skripsi, terimakasih telah meluangkan waktunya dan mengerahkan segala tenaga dan pikirannya, terimakasih telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

2. Dr. Edwin Syarif. MA Terimakasih yang telah membimbing dalam proses penyusunan proposal skripsi hingga akhirnya proposal disetujui.

(8)

vii

3. Dra. Tien Rohmatin, MA. (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam) terimakasih telah menyetujui proposal skripsi, juga atas nasihat dan bantuannya. Dan Dra Banun Binaningrum, M. Pd, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam.

4. Prof. Dr. Yusuf Rahman, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin) dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.

5. Teruntuk kedua orang tua tercinta, yang tak henti-hentinya memberikan doa, serta bantuan baik moril maupun materil kepada penulis demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Juga kepada kakak-kakak dan adik-adik yang selalu mendukung dan menyemangati penulis.

6. Para dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan dan ilmu yang luas kepada penulis. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, terimakasih atas sumber daya dan fasilitasnya.

7. Terimakasih untuk Kyai Said Aqil Siroj, Bu Nyai Hj. Nisrin Said Aqil, Keluarga Besar Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Istriku tercinta Tri Dwi Sukma Bahari, Sahabat sekaligus guruku Ustadz Dzulfahmi, Kang Nawawi, Teman-teman seperjeuangan AFI angkatan 2014, Reynaldi Adi Surya, S.Ag, Saddad Mahmud, dan lain lain. Serta semua teman-teman tercinta yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

(9)

viii

Akhimya, pengaji berharap agar apa yang telah ditulis dapat bermanfaat bagi semua kalangan pada umumnya dan dapat memperluas khazanah keilmuan dan filsafat Islam. Pengaji menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempumaan sebagaimana judul pada pengajian ini. Kritik dan saran yang sifatnya membangun dan mengembangkan skripsi ini sangat diharapkan.

(10)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERNYATAAN... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN...iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv

ABSTRAK ... .v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 7

C. Manfaat dan Tujuan Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

BAB II. LATAR BELAKANG MULYADHI KARTANEGARA A. Biografi Mulyadhi Kartanegara ... 12

B. Silsilah Mulyadhi Kartanegara ... .13

C. Latar Belakang Intelektual Mulyadhi Kartanegara ... .15

D. Pokok-pokok Pikiran...17

(11)

x

BAB III. DEFINISI TRANSENDENSI DAN IMANENSI

A. Definisi Transendensi dan Imanensi...23

B. Transendensi dan Imanensi dalam pandangan Filosof...30

C. Transendensi dan Imanensi dalam pandangan Sufi...36

BAB IV. TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN MENURUT MULYADHI KARTANEGARA A. Akar Persoalan Transendensi dan Imanensi Tuhan...43

B. Transendensi menurut Mulyadhi Kartanegara...48

C. Imanensi menurut Mulyadhi Kartanegara...52

D. Analisa terhadap pandangan Mulyadhi Kartanegara...57

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan...62

B. Kritik dan Saran...63

DAFTAR PUSTAKA...64

(12)

1 BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan Ketuhanan merupakan sebuah pembahasan pelik yang takkan pernah ada habisnya untuk dibahas. Begitu banyak misteri yang masih sangat gelap pada persoalan ketuhanan. Sejak dahulu para Failasuf, baik Failasuf timur maupun barat terus berdebat dan mengeluarkan tesis-tesisnya dalam menjawab persoalan-persoalan ketuhanan. Tapi selalu saja tak ada kata sepakat, bahkan sekian banyak pendapat tentang ketuhanan yang mereka ajukan tampak saling bertolak belakang.

Permasalahan bagaimana dzat Tuhan, bagaimana sifat Tuhan, bagaimana hubungan Tuhan dengan alam misalnya, ketika pertanyaan ini disodorkan kepada para Failasuf Barat maka mereka tentu menjawab dengan tesisnya sendiri, yang jawaban itu berbeda dengan jawaban Failasuf timur/Islam misalnya jika disodorkan padanya pertanyaan yang sama. Sekali lagi, persoalan ketuhanan memang persolan pelik yang kita dituntut untuk cermat-cermat dalam memahaminya. Mereka semua memiliki epistemologi masing-masing dalam mencermati segala hal tentang Tuhan, sehingga hal inilah yang membuat sekian ragam pendapat tentang persoalan-persoalan Ketuhanan.

Tidak benar jika dikatakan bahwa para Failasuf sangat berpegang pada konsep transendensi Tuhan dari alam saja, pada faktanya tidak sedikit Failasuf yang juga sangat berpegang pada konsep Imanensi Tuhan (kebersatuan antara Tuhan dengan alam). Meskipun kebanyakan Failasuf ada yang beranggapan bahwa Tuhan itu transenden atau sangat jauh bahkan diluar alam bahkan mengatasi alam, tapi tak bisa kita pungkiri ada juga Failasuf yang memandang sebaliknya, dalam pandangan Failasuf yang lain, Tuhan justru amat sangat dekat dengan alam bahkan bisa dikatakan bahwa alam adalah nama lain dari Tuhan itu sendiri.

(13)

2

Meskipun keduanya memiliki metode berfikir yang tidak jauh berbeda –sama-sama menggunakan metode rasional empirik- tapi tetap saja, kesamaan metode tidak mewajibkan kesamaan hasil berfikir. Walhasil, pandangan yang mengatakan bahwa para Failasuf sangat berpegang pada konsep transendensi Tuhan jelas merupakan pandangan lemah yang tidak berdasar.

Mari kita beranjak kepada salah satu tokoh Failasuf Muslim yang juga Sufi, Maulana Jalaludin Rumi Misalnya, setelah melakukan pencarian yang intens tentang Tuhan, Rumi merasa terperanjat ketika menemukan Tuhan yang dia cari-cari selama ini justru berada di dalam hatinya sendiri yang paling dalam. Di dalam kitab Matsnawi diungkapkan:

Salib dan agama Kristen

Dari ujung ke ujung telah aku telusuri

Dia tidak ada pada salib

Kukunjungi pagoda tua tempat memuja

Tak kulihat sedikit pun tanda kehadiran-Nya

Kupergi ke Bukit Herat; dan kulihat Lembah Kendahar;

Dia tidak ada di lembah dan bukit jua.

Sengaja aku daki puncak Gunung Qaf;

Tak ada apa pun di sana kecuali burung Anqa’ Aku kelok tali kekang, kuburu Ka’bah

Tempat orang-orang tua dan muda bertirah

(14)

3

Kutanya Ibn Sina tentang-Nya,

Dia berada di luar jangkauannya.

Aku bermi’raj ke tempat “kurang dari dua busur”

Dia tidak ada di tempat yang mulia itu,

Lalu ku lihat ke dalam hatiku sendiri,

Aku terperanjat, aku melihat-Nya disana,

Bukan di tempat lainnya.1

Puisi ini jelas menunjukan gagasan Imanensi Tuhan, yakni Tuhan itu amat sangat dekat dengannya bahkan boleh dikatan Tuhan itu menyatu dengan alam/manusia. Ia tidaklah jauh seperti yang digambarkan oleh sebagian Failasuf. Hal ini kalau ditelisik secara mendalam ternyata memiliki pondasi kuat dari firman Tuhan, dalam al-Qur’an dijelaskan “Apabila hamba-Ku bertanya tentang aku maka katakan bahwasanya Aku ini dekat”2.

Bahkan dalam ayat lain dijelaskan bahwa Allah itu “lebih dekat kepada manusia daripada

urat nadi lehernya”3.

Bukan hanya Rumi sang Failasuf muslim sekaligus sufi yang sangat berpegang kuat dengan teori imanensi Tuhan, tetapi ada juga Failasuf muslim yang juga sufi lain yang juga memiliki kesamaan pandangan dengan Rumi. Katakan saja Syaikhul Akbar Muhy al-Din Ibn ‘Arabi. Syaikhul Akbar Muhy al-Din Ibn ‘Arabi terkenal dengan kosep Wahdat al-Wujud-nya, dimana ia mengatakan bahwa Allah lah satu-satunya wujud yang nyata atau yang benar-benar ada, sedangkan alam dan seisinya hanyalah bayang-bayang saja yang wujudnya

1

Mulyadhi Kartanegara, Jalal al-Din Rumi, Jakarta: Teraju, 2004. h. 33.

2

QS. al-Baqarah 2: 186

3

(15)

4

hanyalah semu dan relatif. Dari sini sangat jelaslah bahwa Ibn ‘Arabi meyakini bahwa kita semua (alam ini) bukan hanya dipersatukan dengan Tuhan bahkan lebih dari itu, kita ini satu dengan-Nya, karena hanya dia sajalah yang benar-benar ada, selebihnya hanya semu. Ibn ‘Arabi pernah mengatakan “Tidak ada yang ada kecuali Allah”.4

Dari sini jelas kita melihat betapa Rumi dan Ibn Arabi sangat berpegang pada konsep Imanensi Tuhan.

Kalau kita beranjak kepada pemikiran lain, seperti Robert Flint (Seorang Failasuf Barat), Flint di dalam karya-karya menjelaskan bahwa Tuhan adalah semua yang ada; dan tidak ada sesuatu pun yang tidak tercakup –secara esensial- dari Tuhan.5 Darisinilah kita mengenal konsep panteisme, yaitu sebuah aliran/golongan yang menganggap bahwa Tuhan dan alam adalah satu, bahkan bisa dikatakan bahwa alam ini adalah nama lain dari Tuhan itu sendiri. Flint sangat kekeh dengan pandangannya yang mengatakan bahwa segala substansial yang ada ini hanyalah satu, dan tidak ada yang lain. Lebih jauh lagi flint bahkan mengkontraskan panteisme dengan deisme. Ia mengatakan bahwa deisme (sebuah aliran yang mengatakan bahwa Tuhan merupakan wujud personal yang mengatasi alam) merupakan lawan ekstrim dari panteisme. Dalam karya-karyanya, FIint menolak keras pandangan deisme yang beranggapan bahwa Tuhan dan alam bekerja dan bisa ada secara terpisah, menurutnya Tuhan tanpa alam adalah sebagai sebab tanpa akibat, dan melihat alam tanpa Tuhan merupaka sebagai akibat tanpa sebab. Flint menganggap bahwa Tuhan dan alam sebagai yang ada bersama secara kekal dan mesti, sebagai bentuk-bentuk yang tak dapat dipisahkan dari sautu kesatuan absolut. Sisi dalam dan luar dari keseluruhan yang sama. Satu wujud di bawah satu aspek rangkap.6

Melihat ungkapan-ungkapan diatas jelaslah bahwa Tuhan dalam pandangan sebagian Failasuf sangatlah dekat, bahkan amat sangat dekat. Lebih dari itu bahkan mereka bahkan

4

Ibid. h. 77

5

Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi; wahadtul wujud dalam perdebatan, Jakarta: PT. Temprint, 1995. h. 160

6

(16)

5

menganggap bahwa Tuhan adalah alam ini sendiri. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa teori Imanensi sangat melekat dan menjadi pijakan utama dalam pandangan mereka sehingga kita melihat bahwa tida ada sama sekali porsi teori transendensi dalam pikiran mereka. Dan dapat disimpulkam pula Teori transendensi sangat hilang disini. Seolah-olah dikatakan bahwa hubungan antara Tuhan dan alam adalah imanensi mutlak. Tidak sama sekali transenden.

Tapi, mari kita tidak terlalu cepat untuk ‘tenggelam’ dengan satu buah pemikiran dahulu, mari kita chroschek terlebih dahulu pemikiran para Pemikir lain tentang keberadaan Tuhan, agar pemikiran kita menjadi lebih berimbang. Ada sebuah analogi yang saya kira penting untuk diutarakan terkait dengan pemikiran para Failasuf tentang keberadaan Tuhan. Semisal keterkaitan antara Matahari dan Bumi. Hubungan antar keduanya (Matahari dan Bumi) tak bisa dipungkiri amat sangat berkaitan erat. Takkan pernah ada kehidupan di muka bumi ini jika tak ada matahari, bahkan (bisa jadi) bumi ini sendiri takkan pernah ada. Saking erat kaitan antara Matahari dengan bumi, sehingga kehadiran matahari (terutama pada saat siang hari) sangat dirasakan oleh penghuni bumi, hewan, tumbuhan, terutama manu sia. Ini sangat menggambarkan sebuah konsep para Failasuf yang disebut dengan imanensi (kebersatuan). Betapa matahari menjadi sangat imanen dengan bumi, sehingga kehadirannya sangat terasa terutama ketika siang hari. Namun, tak hanya Imanensi, kehadiran matahari di muka Bumi juga sekaligus menggambarkan satu konsep lagi, yaitu transendensi. Betapa tidak? Karena meskipun kehadirannya sangat kita rasakan tapi dia tetaplah tak menyatu, keberadaannya tetaplah amat sangat jauh dari bumi. Inilah sebuah paparan analogi yang cukup menarik untuk mengarahkan pikiran kita agar bisa memahami konsep keberadaan Tuhan ini dengan berimbang.

Jadi, bagaimanakah kita menilai keberadaan Tuhan? Apakah Dia Imanensi, menyatu dengan alam ini seperti tesisnya sebagian para Failsuf? Ataukah hanya ‘Bayangannya’ saja

(17)

6

yang ada di muka bumi ini, tapi dirinya jauh di luar alam ini? Jika kita merujuk pada pemikiran para Failasuf lain maka dapat disimpulkan bahwa mereka beranggapan bahwa Tuhan sangat jauh dari alam, keberadaan Tuhan itu jauh di luar alam (Transenden), sama sekali tidak menyatu. Ini terlihat jelas pada posisi Tuhan dalam teori emanasi al-Farabi dan Ibn Sina.7Dalam teori emanasi, ketika kita ingin berhubungan dengan Tuhan, maka kita, manusia, harus melewati 10 akal yang mengantarai kita dengan-Nya, dan karena 10 akal ini telah menghasilkan langit yang paling tinggi (Firmamen), bintang-bintang tetap dan planet-planet, maka ini juga berarti bahwa untuk sampai kepada Tuhan, kita harus melintasi jarak yang sangatlah jauh, melalui langit dan sekian bintang-bintang yang banyak jumlahnya. Inilah bukti jelas bahwa Para Failasuf begitu kuat mempertahakan konsep transendensi Tuhan dengan alam. Sekali lagi terlihat jelas bahwa Para Failasuf menganggap bahwa yang Ilahi atau metafisik itu terpisah dari dunia fisik. Bahkan tak seperti analogi matahari dengan bumi yang berkaitan erat, yang kehadirannya amat terasa hanya dzatnya saja yang jauh di luar bumi, Para Failasuf beranggapan bahwa keberadaan Tuhan itu jauh di luar alam ini, terpisah mutlak dengan alam ini.

Disinilah penulis menilai pentingnya diambil jalur alternatif dalam memahami konsep keterkaitan Tuhan dengan alam. Apakah Dia benar-benar Imanen dengan alam ini? Ataukah Ia itu benar-benar Transenden dengan alam ini? Mulyadhi Kartenegara seorang Failasuf kontemporer abad ini menjawabnya dengan sangat fleksibel dan penuh argumen. Sehingga ini bisa menjawab kebuntuan-kebuntuan pikiran kita dan menjawab perselisihan-perselihan antara para pemikir. Oleh Karena itu penulis merasa perlu untuk mengangkat sebuah judul “Konsep Transendensi dan Imanensi Tuhan dalam pandangan Mulyadhi Kartanegara”.

7

(18)

7 B. Rumusan dan Batasan Masalah

Di dalam skripsi ini penulis hanya akan berfokus pada konsep Transendensi dan Imamanensi dalam pandangan Mulyadhi Kartenegara saja. Oleh karenanya sekian banyak pembahasan konsep Transendensi dan Imamanensi dalam pandangan pemikir-pemikir lainya mungkin tidak banyak disinggung.

Pembahasan yang akan diangkat dalam skripsi adalah bagaimana Mulyadhi Kartanegara menanggapi tentang konsep-konsep yang membahas tentang konsep keberadaan Tuhan dan keterkaitan Tuhan dengan alam ini. Apakah Mulyadhi beranggapan Tuhan itu jauh di luar alam? Atau Mulyadhi lebih setuju kepada para Failasuf yang beranggapan bahwa Tuhan adalah diri alam itu sendiri? Oleh karenanya, rumusan masalah yang akan dipaparkan adalah: Bagaimanakah konsep Transendensi dan Imanensi Tuhan menurut Mulyadhi Kartanegara?

C. Manfaat dan Tujuan Penelitian

Adapun manfaat dan tujuan penelitian skripsi ini adalah:

1. Tujuan Ilmiah, yaitu untuk memberikan sebuah paradigma yag baru kepada para mahsiswa dan masyarakat pada umumnya, tentang Konsep Transendensi dan Imanensi yang ditawarkan oleh Mulyadhi Kartanegara.

2. Tujuan Akademik, yaitu untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat sarjana program strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidan dan Falsafat Islam dengan gelar Sarjana Agama (S.Ag)

(19)

8 D. Metode Penelitian

Berdasarkan tujuan penulis membuat membuat skripsi ini, langkah-langkah penting yang penulis lakukan adalah dengan melakukan pengumpulan data yang dilakukan dengan metode library research, yaitu sebuah metode penelitian untuk mendapatkan data, baik dari buku primer seperti buku Lentera Kehidupan yang ditulis langsung oleh Mulyadhi Kartanegara dan beberapa sumber sekunder seperti buku Mengislamkan Nalar yang juga ditulis oleh Mulyadhi Kartanegara, juga data-data yang tidak kalah pentingnya dari situs-situs internet yang tentu saja dapat diambil dan sangat erat relevansinya dengan tema yang akan penulis bahas.

Sedangkan metode pembahasan yang digunakan adalah metode deskriptif-analisis. Deskriptif-analisis yaitu mendeskripsikan data-data yang telah ada baik primer maupun sekunder, lalu menganalisanya sehingga menghasilkan kesimpulan. Dalam penelitian deskriptif kita meneliti lebih luas dan terperinci dibandingkan dengan penelitian eksploratif, sebab dalam penelitian deskriptif tidak hanya meneliti variabel masalahnya saha melainkan variabelvariabel lain yang berhubungan dengan masalah itu dan menguraikan faktor -faktornya. Penggunaan metode ini dketengahkan untuk memaparkan bagaimana konsep Transendensi dan Imanensi Tuhan dalam pandangan Mulyadhi Kartanegara.

Adapaun Tehnik penulisan dalam proposal ini menggunakan buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center

for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun transliterasi mengikuti pedoman transliterasi yang termuat dalam Jurnal Ilmu

(20)

9 E. Tinjauan Kepustakaan

Berdasarkan data katalog (skripsi) Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ushuluddin, penulis menemukan beberapa judul yang membahas tentang konsep keterkaitan hubungan antara Tuhan dan Alam sebagai berikut:

1. “Pemikiran metode Al-Ta’wil Al-Tafsili Ibn Jamaah Terhadap Sifat-Sifat Allah” oleh Misbahuddin (2013) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. “Pemikiran kalam Abu Hanifah”, oleh Muhammad Bindaniji (2014) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. “Konsep Penciptaan Alam menurut Hamzah Fansuri”, oleh Abdillah (2016) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Perbedaan mendasar skripsi-skripsi sebelumnya dari skripsi penulis adalah pada pokok pembahasan. Misbahuddin menulis di dalam skripsinya yang berjudul “Pemikiran Metode Al-Ta’wil Al-Tafsili Ibn Jamaah Terhadap Sifat-Sifat Allah” mengatakan bahwa tasybih (imanensi) terbagi dua, yaitu menyamakan antara dzat Allah dengan dzat selain Allah dan menyamakan sifat Allah dengan sifat selain Allah. Sekte-sekte yang meyakini ini ialah beberapa sekte di dalam syiah yaitu al-Saba’iyyah, Mansuriyyah, Khattabiyah. Sekte al-Sabaiyah ialah kelompok yang menganggap Ali adalah Seorang Tuhan. Sekte Muktazilah menyamakan iradah tuhan dengan iradah manusia.8Namun, di dalam skripsinya Misbahuddin

8

Misbahuddin, “Pemikiran Metode Al-Ta’wil Al-Tafsili Ibn Jamaah Terhadap Sifat-Sifat Allah, Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2011, h. 49-51

(21)

10

hanya mengkritik konsep tasybih tanpa menjelaskan kelebihannya, juga sangat sedikit menyinggung konsep tanzih (transendensi).

Muhammad Bindanji di dalam skripsinya yang berjudul “Pemikiran kalam Abu Hanifah” menyebutkan bahwa Abu hanifah berpegang pada konsep tasybih (imanensi). Ia sangat berpegang pada dalil tektual (nas) tanpa mau menakwilkannya sama sekali. Seperti saat menjelaskan ayat ‘tangan Allah’, Abu Hanifah melarang keras orang-orang untuk mentakwil ayat ini. Dari sini jelaslah bahwa konsep tanzih (transendensi) sama sekali tidak disinggung. Bahkan Abu hanifah mengkiritik keras kelompok penganut tanzih seperti Qadariyah dan Mu’tazilah.9

Selanjutnya Abdillah dalam skripsinya yang berjudul “Konsep Penciptaan Alam menurut Hamzah Fansuri” menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri sangat berpegang pada tasybih. Bahkan tasybih dzat. Fansuri menganggap bahwa alam dan Tuhan merupakan wujud yang satu yang identik, artinya tidak ada perbedaan. Wujud alam ini hanyalah bayang-bayang dari realitas yang sesungguhnya. Skripsi ini hanya menjelasakan konsep tasybih dan segala polemik perbedabatan di dalamnya, tapi juga sangat sedikit menyinggung konsep tanzih (transendensi). Kata Fansuri, wujud Allah degan wujud alam itu esa hanya namanya saja yang berbeda tetapi hakikatnya sama yaitu satu.10

Maka, perbedaan utama tulisan ini dengan tulisan-tulisan yang berkaitan sebelumnya adalah pada pokok pembahasannya. Jika pada tulisan-tulisannya hanya dibahas tentang salah satu konsep saja (transenden dan imanen), maka di dalam tulisan ini, penulis ingin

9

Bindanji Muhammad, Pemikiran kalam Abu Hanifah, Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2012, h. 80-82

10

(22)

11

memaparkan perbedaan dan perdebatan antara kedua konsep ini (transeden dan imanen), juga sintesa terbaru dari kedua konsep ini dengan merujuk pada pemikiran seorang tokoh yaitu Mulyadhi kartanegara.

(23)

12 BAB II

A. Biografi Mulyadhi Kartanegara

Memang tak bisa dipungkiri kemajuan pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan, falsafah dan hikmah ilahiah (Irfan) yang menopang terbinanya cikal-bakal sebuah peradaban yang maju, tak lepas dari peran para guru dan dosen serta para mualim (penyebar ilmu) di masyarakat. Salah satu tokoh yang menurut penulis tak pernah pelit berbagi ilmu pengetahuan, wawasan dan hikmah ilahiah ialah Mulyadhi Kartanegara, gairahnya yang begitu besar terhadap ilmu pengetahuan, khususnya falsafah Islam, menjadi energi yang inspiratif dan memotivasi, sebesar cintanya terhadap ilmu ilmu keislaman dan pengetahuan umum yang luas.11

Mulyadhi Kartanegara dilahirkan pada 11 juni 1959 di Legok, Tangerang.12 Ayahandanya adalah keturunan raja Sumedang yakni Raden Aria Wangsakara, merupakan salah satu pendiri kota Tanggerang yang merupakan uyut beliau, Ayahandanya bernama Raden H. Supriadi dan ibundanya bernama Elly Suhaeti.13 Mengetahui bahwa Mulyadhi Kartanegara merupakan cucu salah satu orang yang berpengaruh pada masanya, penulis akan sedikit mengulas mengenai sejarah kejayaan Raden Aria Wangsakara, Raden Aria Wangsakara merupakan keturunan dari Raja Sumedang Larang, yaitu Sultan Syarif Abdurrahman.14 Beliau juga pernah menjadi penasehat di kerajaan Mataram pada masa itu, dahulu Arya Wangsakara selain dikenal sebagai ulama, dia juga memang berperan aktif

11 Artikel diakses pada tanggal, 21 Juli 2018 dari, Prof. Mulyadhi dimata Murid-Muridnya,

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2017/07/18/prof-mulyadhi-di-mata-murid-muridnya-seri- ke-16-pak-mul-you-are-a-great-inspirator-for-me/. Ditulis oleh Ahmad Yanua Samatho

12

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006) 13

Wawancara dengan Mulyadhi Kartanegara, pada hari sabtu12 Mei 2020 pukul : 09:30 14

(24)

13

dalam melawan VOC15. Semangat yang dimiliki Aryawangsa Chara inilah yang kemudian diteruskan turun Temurun oleh warga Lengkong. Pertempuran NICA dan rakyat Tangerang, tak pernah lepas dari konflik banten dan kompeni Belanda. Tarik menarik batas kekuasaan antara Banten dan kaum Beni menjadikan pengarang sebagai pertahanan pertama bagi Banten, lewat kegigihan dan jiwa kepahlawanan kolektif, warga Lengkong akhirnya berhasil mempertahankan wilayahnya ini melalui pertempuran yang berkobar selama tujuh bulan berturut-turut, kemudian peristiwa ini kelak disebut sebagai titik awal tumbuhnya juga patriotik rakyat Tangerang di bawah kepemimpinan Arya Wangsakara.16

B. Silsilah Mulyadhi Kartanegara

1. Prabugajah Agung (Prabu Pagulingan 1) 1363 sampai 1392 Masehi. 2. Susuhunan Gulingan (Rabu Pagulingan 2) 1392 sampai 1450 Masehi. 3. Susuhunan Tuwakan (Sunan Patuakan1) 1450 sampai 1490 Masehi. 4. Ratu nyi mas patuakan (Sunan patuakan 1)1490-1530.

5. Ratu Dewi intan Dewata (pangeran Santri) 1530 -1579m.

6. Pangeran Geusan ulun (Raden Angkawijaya) kerajaan Sumedang larang 1579 sampai 1608 Masehi. Akhir kerajaan 1610 Masehi.

7. Pangeran Rangga Gempol (Kusumahdinata) 1600 sampai 1625 Masehi. 8. Pangeran Rangga Gede (Kusumahdinata 2)1625-1633.

9. Pangeran Rangga Gempol 2(R. Gempol 2) 1633 sampai 1656 Masehi. 10. Pangeran Rangga Gempol 3(Panembahan) 1656 sampai1706 Masehi.

15

Artikel diakses pada tanggal, 10 Agustus 2018 dari, Aria Wangsakara, Penyebar Agama dan Pelopor Bela Negara http://bantenhits.com/2013/06/02/aria-wangsakara-penyebar-agama-dan- pelopor-bela-negara/, diitulis oleh Ahmad Ramdzy

16

Artikel diakses pada tanggal, 10 Agustus 2018 dari, Aria Wangsakara, Penyebar Agama dan Pelopor Bela Negara http://bantenhits.com/2013/06/02/aria-wangsakara-penyebar-agama-dan- pelopor-bela-negara/, diitulis oleh Ahmad Ramdzy.

(25)

14

11. Dalam Temanggung Tanu Maja

12. Pangeran Adipati Kusumahdinata (Wirajaya 1) 1076 sampai 1744 Masehi. 13. Raden AriaWirajaya atau pangeran Wirajaya 2.

14. Raden Aria wagsadikara (Wangsakara) (Lengkong Ulama Kab. Tanggerang) 15. Raden Tumenggung Tuna Winata

16. Dalam Sutadi Wangsa.

17. Raden Tanuwisanta (Kapten Edon) kapten Lengkong Tangerang

18. Raden Aria Sutadiwangsa (Wedana Parung), Bogor dari 1815 sampai 1839 M. 19. Raden Kadri Wangsadirja (Polisi Kahuripan Kelapa duku Legok)

20. Raden Ki mas Hasyim Wangsa deraja.

21. Nyi Raden Soraya + Abdul Karim (di Kampung Dukuh Legok) 22. R. H. Marjuk + Hj. Jaibah.

23. R. H. Supriadi + Hj. Eli Suhaety 24. Prof. D.R. Mulyadhi Kartanegara 25. R. M. Teofani Kartanegara 26. R. Ahmad Fauzan hakim. 27. Nyi. R. Selma Karami

Melihat bagaimana sesepuh Mulyadhi Kartanegara, tak heran melihat Mulyadhi Kartanegara menjadi sosok yang sangat menginspirasi jika saat ini, lewat pemikirannya serta gagasan dan kiprah nya sejauh ini.17

17

(26)

15

C. Latar belakang intelektual Mulyadhi Kartanegara

Ia mengenyam Bangku pendidikan dasar di SD Legok Tanggerang dan kemudian melanjutkan pendidikannya di PGAN selama empat tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikan formal nya dan mendapatkan gelar B pada tahun 1984 di sekolah persiapan (SP) IAIN Ciputat.18 Saat berkuliah di IAIN Syarif hidayatullah Jakarta beliau sempat aktif dalam organisasi eksternal yakni Himpunan mahasiswa Islam (HMI) dan sempat menjabat sebagai sekertaris umum komisariat Fakultas Usuluddin (kaum-kaum MI) dan sempat menjabat sebagai sekertaris umum Komisariat Fakultas Usuluddin (Komfuf) pada masanya, dan dalam bidang internal beliau juga sangat giat dan aktif di dalam kelas, beliaupun bercerita bahwa ia sempat menjadi ketua kelas dan selalu memancing kawan-kawan nya agar aktif dalam ber diskusi.19

Kemudian, pada tahun 1989 program master berhasil diraihnya dengan tesisnya yang berjudul “The mystical reflection of Rumi”. Pada tahun 1986 ia mendapatkan tugas dari departemen agama RI untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri, hal itu terjadi atas dasar mendapatkan biasiswa dari Ford Foundation untuk Inggris Internasional Course di Davis California dan Full Bright Foundation atau Scholarship untuk program master di universitas of chichago, USA.20

Begitu juga dengan program doktornya, beliau berhasil meraih gelar Ph.D (philosopy doctor) Dari Departemen of Near Eastern Language and Civilization (NELC) di Universitas yang sama (University of Chicago). Dengan judul disertasi “The mukhtasar siwan al hikmah

18Lihat di dalam pengantar buku Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h.10 19

Wawancara dengan Mulyadhi Kartanegara, pada hari sabtu 12 Mei 2020 pukul : 09:30 20

Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, Cet. I, 2000), hal. 205.

(27)

16

of’ Umar been salon Al-Sahlawi Arabic thanks AN introduction” ia meraih yang berisi

sekitar 1000 kata-kata mutiara dari 60 Failusuf Yunani dan 13 dari Failusuf Muslim.21

Sekarang ia menjadi Guru besar filsafat Islam lulusan Cichago. Pernah menjabat sebagai staf ahli pada Yayasan Madania, serta sebagai dosen di berbagai universitas dan perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pascasarjana Universitas Muhamadiyah Jakarta dan Universitas Indonesia. Serta program pascasarjana Islamic College for Advanced Studies (ICAS) cabang London yang ada di Jakarta. Beliau pernah menjadi direktur pelaksana program Pascasarjana pusat kajian agama dan lintas budaya Universitas Gadjah Mada. dan juga pernah aktif sebagai direktur di Center of Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) Jakarta.22

Beberapa posisi akademik yang pernah dijabat oleh Mulyadhi Kartanegara diantaranya:

1. Wakil direktur Pascasarjana di Uin Syarif Hidayatullah Jakarta (2000 sampai 2001).

2. Eksekutif direktur di Center for Religious and Crush Sure to the Studies Universitas Gajah Mada Yogyakarta (2001 sampai 2003).

3. Direktur of Center for Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI)

4. Direktur di pusat kajian Epistimologi Islam, Fakultas Usuluddin, UIN syarif Hidayatullah Jakarta.

21 Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan: Memahami Tuhan, Alam, Manusia, (Bandung: Mizan, 2017), hal. 296.

(28)

17

5. Profesor filsafat Islam di Mistisisme di Fakultas dan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Dosen filsafat ilmu di Universitas Paramadina, Jakarta. 7. Dosen filsafat di Swiss-Jerman University BSD, Tanggerang 8. Senior Visiting Professor di ISTAC, Kuala Lumpur.23

D. Pokok pokok pikiran

Dilihat dari berbagai karya karya Mulyadi Kartanegara, di sana terlihat bahwa ia ingin menyampaikan pokok pokok pikirannya kepada khalayak pembaca guna di Aktualisasi kan ke dalam kehidupan sehari hari, menunjukkan bagaimana bersikap terhadap diri sendiri, masyarakat, alam semesta dan pencipta alam yaitu Tuhan. Diantaranya:

1. Etika

Dalam beberapa tulisannya Mulyadi Kartanegara menuliskan tentang apa itu etika. Menurutnya etika adalah termasuk ke dalam salah satu cabang ilmu ilmu praktis yang mana sasaran ilmu ilmu praktis adalah tindakan manusia, bukan sesuatu, yang memiliki tujuan bagaimana mengarahkan tindakan manusia Ke arah yang benar, Sehingga ia menjadi orang yang baik. Di sini ketika mengajarkan kepada kita untuk menjadi sebaik-baiknya individu atau manusia sebagai anggota masyarakat. Dikatakan, apabila sebuah masyarakat manusia sudah baik individu nya, keluarganya dan masyarakatnya, maka ia akan menjadi masyarakat yang adil dan makmur. Iya juga mengutarakan bahwa Sanya etika berkaitan dengan psikologi yang membahas tentang tingkah laku yang tidak bisa dilepaskan dari kejiwaan seseorang, karena tingkah laku itu adalah ekspresi apa yang manusia rasakan dalam jiwanya.

23

Diakses pada tanggal 1 Mei 2018 dari, http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/, Skripsi tentang Pemikiran

Mulyadhi Kartanegara tentang Islamisasi Ilmu dan Relevansinya dengan Pengembangan Ilmu Pengetahuan di Indonesia. Ditulis oleh Hajar Mutahir

(29)

18

Ajaran tentang etika memiliki tujuan untuk memperoleh kebahagiaan. Dalam bukunya yang mengutip pendapat dari nashir al-Din thusi mengatakan, bahwa kebahagiaan akan tercapai apabila sesuatu atau seseorang telah mencapai kesempurnaan nya, yakni mencapai tujuan penciptanya. Dan karena kebaikkan adalah tujuan akhir dari sesuatu, maka kebaikan merupakan kesempurnaan nya. Di sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwaSanya Kebaikkan pada akhirnya akan sama dengan kebahagiaan. Jika seseorang dapat membuat baik kepada siapa pun di muka bumi ini dan menyadari dirinya akan kehadiran Tuhan, Maka disitulah ia akan mencapai kebahagiaan yang hakiki.

2. Tasawuf

Mulyadi Kartanegara menyatakan dalam bukunya bahwa Tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT(Taqarrud ila allah). Lalu dengan cara apa? Yaitu dengan cara ibadah melakukan kontak dengan sumber dan terus berupaya untuk mendekatkan diri kepadanya, maka manusia boleh berharap mendapat ketenangan dan kebahagiaan hidup. Tuhan lah tempat kembali dan ia adalah asal dan kampung halaman manusia yang sesungguhnya hal ini sudah tertera di dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh: 156

نوعجار هيلإ انأو لله انا Artinya: “ sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada Nyalah kami kembali”.

Selain itu Mulyadi Kartanegara juga mengajarkan manusia untuk mencintaii makhluk ciptaan Tuhan.Perlu diketahui, alam bukanlah obyek bukan Hanya obyek mati yang bisa di Eksploitasi Se maunya atau sebebas-bebasnya tanpa respek, karena sesungguhnya alam adalah makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk mencipta dan dicintai. Di sini Tasawuf dijadikan sarana bagi Penyadaran atau Penceraha akan hakikat alam semesta, sehingga dapat memperlakukan secara Santun dan penuh cinta.

(30)

19

Dikatakan bahwa munculnya upaya Islamisasi Sains yaitu disebabkan adanya sekularisasi terhadap ilmu seperti yang terjadi di barat. Akibat dari Sekularisasi tersebut yaitu dapat menimbulkan ancaman ancaman bahkan serangan serangan yang begitu meruntuhkan terhadap pilar pilar. Kepercayaan kepada Tuhan dan alam gaib yang dilakukan oleh ilmuwan ilmuwan besar dunia. Maka dari itu Mulyadi Kartanegara merasa perlu untuk meminimalkan dampak negatif Sains SEKULER terhadap sistem kepercayaan agama dan perlu melindungi nya yakni dengan cara Islamisasi yaitu dengan mengambil bentuk naturalisasi.Islamisasi Sains merupakan sebuah proses di mana ilmu yang diperoleh dari barat diadapsi dan diasimilasi kembali ke dalam nilai nilai budaya dan Relijius Islam. Islamisasi Sains bukanlah sebuah upaya pelabelan Sains dengan ayat ayat Alqur'an atau Hadis, melainkan ia berkerja pada tingkat epistemologis Yang meliputi pembahasan tentang status ontologis object object ilmu, sistem klasifikasi ilmu yang meliputi ilmu ilmu fisika, matematika dan metafisika, serta metode ilmiah yang meliputi metode eksperimen (tajribi), Demonstratife(burhani) dan intuitif(‘irjani).

Dari pemaparan diatas, penulis menyimpulkan agar tidak ada pemisah antara ilmu dan agama. Jika demikian maka dapat mengurangi kadar ke imanan seseorang. Apabila terdapat ilmu yang mempunyai prinsip yang bertentangan dengan prinsip prinsip agama maka harus disikapi secara kritis. Sebaliknya, jika ada ilmu yang bersifat positif maka harus dihargai. Karena sudah sepatutnya bagi mereka yang telah mengerti ilmu ia dapat lebih mengenal dan dekat kepada Tuhan nya, semakin tinggi ilmunya maka rasa cinta terhadap tuhannya juga semakin meningkat. Karena sesungguhnya agama ini adalah bagian dari ilmu. Barangsiapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya

(31)

20 E. Karya karya Muliadi Kartanegara

Dari segi intelektual, Mulyadhi Kartanegara merupakan salah satu seorang pemikir Muslim Indonesia yang dikagumi oleh banyak orang. Pastinya kita semua penasaran bagaimana awal mulanya Mulyadi Kartanegara mengawali proses terciptanya karya-karya beliau. “Jadi tulisan ilmiah saya yang pertama adalah ketika saya sekolah di SP (Sekolah persiapan) IAIN (SMA), yang mewajibkan kami semua menulis sebuah karya tulis. Yang biasanya kebanyakan orang pada saat itu hanya menulis dari sebuah referensi, sedangkan Prof. Mulyadhi pada itu masih berumur 18 tahun sudah menulis tentang “Menuju jalur kehidupan”. “Saat itu saya membayangkan kehidupan seperti hutan, di mana dalam utan belantara bagaimana kita mencari jalan lurus dan menemukan jalan keluar”, tulisan tersebut ia tujukan kepada orang yang telah sadar bahwa dirinya tersesat namun ia ingin kembali dan ia tidak tahu jalan. Sehingga Mulyadhi mengambil judul “Menuju jalur Kehidupan”.

Tidak diherankan mengapa saat ini keberadaan beliau begitu berpengaruh dan karya karyanya begitu sangat dikenal, kemudian Profesor Mulyadhi Kartanegara mulai intens menulis 1981 dalam bentuk catatan harian “Dua sisi Kehidupan”, yaitu kegelisahan antara mempelajari filsafat dan bahasa Arab atau ingin menjadi Filosof”.

Karya-karyanya sebagian besar mengulas tentang keluhan Islam beserta permasalahannya. Kedalaman ilmu dan keluasan wawasan yang terlihat secara jelas di buku-buku yang telah ia tulis berikut beberapa hari yang telah diterbit kan diantaranya sebagai berikut:

A. Dalam bidang Filsafat

1. Renungan Mistik Jalaluddin Rumi, Pustaka Jaya 1986, 40 Sejarah filsafat Islam (Translation of Majid Fakhry History of Islamic Philosophy), Pustaka Jaya 1986.

(32)

21

3. Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam, Mizan 2002. 4. Mengibas Tirai Kejahilan: Pengantar Epistimologi Islam, Mizan, 2003 5. Rumi, Guru Sufi Penyair Agung, Teraju, 2004

6. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Arasy, 2005. 7. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, BI, 2006.

8. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, Lentera Hati, 2006.

B. Dalam bidang Tasawuf

1. Nalar Religius: Mengenal Hakikat Tuhan, Alam Dan Manusia, Erlangga, 2007 2. Islam bagi yang Pengen Tau, Erlangga, 2007.

3. Filsafat Islam, Tasawuf Dan Etika, Ushul Press, 2009. 4. Sains dan Matematika dalam Islam, Ushul Press, 2009. 5. Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga, 2007

C. Dalam bidang Teologi

1. Mengislamkan Nalar, Erlangga 2007. 2. Pengantar Studi Islam, UIN Press, 2010.

3. The Essentials of Islamic Epistemology, UBD press (2014). 4. Terjemahan the Venture of Islam 1, Paramadina, 2002. 5. Mozaik Khazanah Islam, Paramadina, 2000

6. Terjemahan The venture of Islam 2, Paramadina 2002 7. Muslim Schuyler N heroes, Chicago

8. The Mukhtasar sSwan al-Hkmah of Umar b. Sahlan al-Sawi, disertasinya dalam bahasa Arab pengantar Inggris, tentang kata-kata hikmah.

(33)

22

9. Para Pemikir Dalam Tradisi Ilmiah Islam, Buku 3. 10. Rasa’il ikhwan al-Shafa, buku 4

11. Rasail ikhwan al-Shafa’ buku 5. 12. Rasail ikhwan al-Shafa’ buku 6.

13. The Best Chicken Soup of the Philosophers: Hikmah 2005. 14. Seni mengukir kata; MLC.

15. Menembus Batas Waktu. 16. Lentera Kehidupan.

Dan banyak lagi buku buku beliau yang belum diterbitkan berbentuk buku harian.

Mulyadhi Kartanegara menyadari bahwa kehidupan manusia di bumi tidaklah lama, “waktu yang diberikan kepada kita sedikit,” sebagai bukti bahwa kita hidup di dunia ini adalah karya”. Jika kita tidak memiliki karya, tentu saja tidak ada yang bisa kita tinggalkan, dan kita akan mudah dilupakan begitu saja, dan tentu saja saya termotivasi atas kecintaan saya kepada Islam, menggambarkan bahwa Islam itu hebat, Indah dan tak perlu tertarik kepada agama lain, saya menuangkannya ide ide mengenai Islam agar memberi pencerahan dan manfaat kepada banyak orang”.

(34)

23

BAB III. DEFINISI TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN

A. Definisi Transendensi Dan Imanensi Tuhan

Masalah ketuhanan adalah masalah klasik yang sudah di dibahas dan dikaji oleh para Failasuf dan juga para spritualistik di seluruh dunia. Para Cendikiawan, baik di Yunani, Cina, India, bahkan Afrika, sudah mulai mempertanyakan dan mengkaji soal-soal mengenai alam Ghoib dan Tuhan. Di Jepang, mereka meyakini bahwa dunia ini diciptakan oleh para dewa Izha Nagy dan Tzanami dengan cara mengeblok lautan kosmik, sedangkan bagi penduduk pulau Huntua di Pasifik, dunia diciptakan dari tubuh dewa Tanaroa, pandangan-pandangan tentang Tuhan tersebut merupakan bukti bahwa sejak dahulu manusia sudah berusaha untuk mengenal sang pencipta24.

Inilah yang menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki naluri untuk bertuhan dan beribadah kepada Tuhan. Karl gastav jong, salah seorang Psikoanalisis yang terkenal di dunia menjelaskan bahwa Tuhan dan gagasan mengenai agama adalah kesadaran kolektif yang dimiliki oleh setiap manusia.25

Tak heran jika Karen Amstrong dalam buku Sejarah Tuhan mengatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki naluri untuk mengetahui hal-hal yang bersifat mistik, karena mereka takjub sekaligus takut terhadap alam raya yang begitu besar ini, sehingga manusia mulai mencari dan menggali siapa yang menjadi aktor di balik penciptaan seluruh alam semesta ini26. Naluri manusia untuk mencari dan menemukan Tuhan lah yang membuat manusia tertarik pada hal yang berbau spritualitas dan mendorong kemunculan dari sebuah agama.

24

Binda Gamlin, Jendela Iptek: Evolusi, Jakarta: Balai Pustaka, 2000, h.6-7 25

Car Gustav Jung, Psikologi Agama, Jakarta Iroisod, h. 26

(35)

24

Ketika agama-agama mulai mengambil bentuk yang stabil, yaitu memiliki ritual dan juga tradisi untuk menyembah Tuhan yang khas, Tuhan kemudian direduksi dalam citra agama-agama, bagi agama Hindu, Tuhan sebagaimana penggambaran mereka, dan bagi agama Zoroastrian, Tuhan (dengan segala bentuknya sesuai dengan penggambaran mereka) digambarkan dalam bentuk-bentuk yang realistis dan pasti, dimana satu Tuhan bentuknya berbeda dari agama lain.

Perbedaan mengenai kesan terhadap Tuhan, baik sifat dan bentuknya membuat para Failasuf tidak puas dengan konsep Tuhan yang diberikan oleh para agamawan, karena itulah para Failasuf berusaha mengkaji tentang Tuhan melalui kemampuan akalnya sendiri, sebagaimana yang terjadi di Yunani para kisaran abad ketiga sampai keempat sebelum Masehi, dimana muncul para Failasuf yang memberontak serta tidak ingin mengandalkan agama sebagai sumber utama tentang Tuhan. Thales contohnya yang pada 625-545 Masehi berusaha mengikis mitos-mitos tentang dewa-dewa yang digambarkan oleh orang orang Yunani. Usaha Thales kemudian dilanjutkan oleh Anaximandros, Heraklitos, Permenides, dan Failasuf-Failasuf Yunani lainnya seperti Plato, Socrates, dan Aristoteles27.

Bahkan Failasuf Yunani, Xenopanes pernah berkata bahwa jikalau sapi punya tangan dan pandai menggambar seperti manusia, pasti sapi menggambar wujud Tuhan sebagaimana dirinya. 28Aristoteles sendiri dalam karyanya, menggambarkan Tuhan sebagai prima causa atau nous yang wujudnya tidak bisa diperkirakan dan dibayangkan oleh manusia29. Pemahaman para Failasuf Yunani ini berbeda dengan masyarakat Yunani pada umumnya, dimana para Failasuf menggambarkan wujud Tuhan ke dalam Transendensi mutlak yang tak

27

Orang-orang Yunani menggambarkan wujud tuhan dengan gaya dan pola kemanusiaan juga watak-watak yang abmoral, para Failasuf menolak pola pikir dan cara beragama orang-orang Yunani yang justru membuat wujud Tuhan menjadi absurd. Lebih lanjut baca Zainal Abidin Abbas, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, Jakarta: Penerbit al-Husna

28

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press, 2006. h. 19 29

Werner Jeger, Aristotle: Fundamentalis of The History of His Development, Oxford: oxford university press, 1949, h.

(36)

25

dapat dibayangkan dan tak dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia atau masyarakat pada umumnya. Jika agama-agama di Yunani atau di Mesopotamian menggambarkan Tuhan Yang Maha Agung memiliki tubuh fisik yang termanifestasikan dalam wujud patung patung Berhala di kuil-kuil (ini juga ditiru oleh bangsa Mesir, Cina dan India) maka para Failasuf Yunani justru menolak setiap bentuk visualisasi atau gambaran Imanen Tuhan yang menurut mereka justru berkebalikan dengan Keagungan Tuhan. Perdebatan antara para Failasuf dengan agama-agama tradisional di Yunani mengenai wujud Tuhan kemudian melahirkan sebuah konsep falsafi mengenai soal-soal teologi yang penting, yaitu konsep Transendensi Tuhan dan Imenensi Tuhan. Transendensi terdiri dari dua kata: kata "trans" yang berarti seberang, melampaui, atas, dan kata "scandere" yang berarti memanjat. Istilah ini bersama-sama dengan bentuk-bentuk lain seperti "transendental", "transendensi", dan "transendentalisme", digunakan dengan sejumlah cara, dan dengan sejumlah penafsiran tersendiri dalam sejarah filsafat. Beberapa pengertian dari transenden adalah: lebih unggul, agung, melampaui, superlatif, melampaui pengalaman manusia, berhubungan dengan apa yang selamanya melampaui pemahaman terhadap pangalaman biasa dan penjelasan ilmiah30. Imanen atau imanensi adalah paham yang menekankan berpikir dengan diri sendiri atau subjektif. Istilah imanensi berasal dari Bahasa Latin immanere yang berarti "tinggal di dalam". Imanen adalah lawan kata dari transenden. Pertama kali, istilah ini diajukan oleh Aristoteles yang memiliki arti "batin" dari suatu objek, fenomena atau gejala. Kemudian dikembangkan oleh Kant dan berlaku sampai sekarang. Dalam istilah Filsafat Ketuhanan, Tuhan yang imanen berarti Tuhan berada di dalam struktur alam semesta serta turut serta mengambil bagian dalam proses-proses kehidupan manusia.Berbeda dengan transenden yang sangat mengagungkan Tuhan yang begitu jauh sehingga mereka sangat hormat. Imanensi

30

(37)

26

lebih dekat dan terbatas pada pengalaman manusia, seperti dikemukakan Hume dalam teori fenomenalisme empiris dan Kant dalam Crtitique of Pure Reason.

Konsep Imanensi dan Transendensi ini kemudian dalam filsafat menjadi perdebatan mengenai apakah Tuhan bersifat Imanen yaitu dapat diketahui oleh akal pikiran manusia dan dapat diperkirakan wujudnya oleh akal pikiran manusia sebagaimana orang orang Yunani dan India yang menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat kemanusiaan yang wujud dan bentuknya dapat diperkirakan oleh akal dan Imajinasi manusia? atau malah sebaliknya, Tuhan pada eksistensinya bersifat Transenden, dengan kata lain ia tidak dapat dijangkau oleh akal manusia dan tentu saja tidak dapat dibayangkan bagaimana rupa dan bentuk dari wujudnya.31

Dalam pandangan Immanuel Kant, Transendensi adalah sesuatu yang tak bisa dibayangkan, tidak mampu dijangkau oleh Indra atau apapun, ia absolut, tersembunyi meskipun bukan berarti tidak ada. Dalam pandangan Kant, manusia dapat mengetahui sesuatu hanya berdasarkan fenomena-fenomena yang ia tangkap dari panca indra dan diperoleh oleh akal budi, namun persepsi kita tentang objek tersebut hanya sampai pada kesan-kesan saja, kita tidak bisa secara pasti mengetahui sebagaimana objek tersebut, sebab kita hanya mengetahui dari yang tampak oleh kita, pengamatan tentang yang tampak itu disebut fenomena dan pengetahuan sebagaimana objeknya adalah Nomena. Contohnya, kita hanya bisa memahami seseorang dari fenomena atau pengalaman hidup kita selama bergaul dengan orang tersebut, namun kita tidak pernah tahu pasti nomena orang tersebut. Yang nomena itulah menurut Immanuel Kant adalah yang transenden. Kalau kita kaitkan hal ini dengan Tuhan, maka kita tidak bisa mengetahui Tuhan, sebagaimana hakikat yang sebenarnya, kita juga tidak bisa mengetahui fenomena Tuhan, karena kita tidak pernah

31

(38)

27

berinteraksi secara langsung dengan Tuhan. Karena itulah Kant memasukkan Tuhan ke dalam Transendensi mutlak, ia tidak bisa diketahui kecuali melalui keyakinan dan Iman32.

Berbeda dengan pandangan Immanuel Kant yang berpendapat bahwa Tuhan berada dalam Transendensi absolut yang tak dapat dijangkau oleh Indra manusia, Baruch Spinoza justru berpendapat bahwa hakikat tuhan menyatu dalam realita dan kesadaran manusia, tuhan menurut Spinoza tidak dapat dipisahkan dengan alam semesta, bagi Spinoza, tuhan adalah alam itu sendiri dan alam ada di dalam diri tuhan. Pandangan spinoza ini belakangan dikenal dengan paham panteisme dimana ia hanya mengakui bahwa realitas alam dan tuhan adalah satu.

Bagi Spinoza, tuhan bukanlah penyebab yang bersifat transitif sebagaimana pandangan aristoteles tentang penyebab pertama, tetapi tuhan adalah penyebab Imanen dari realitas, dengan kata lain, tuhan tidak terpisah ketika menciptakan segala sesuatu (realitas saat ini) kecuali ia ada di dalamnya. Tuhan menciptakan realitas dengan menjadi realitas itu sendiri. Dalam pandangan Spinoza, wajah Tuhan hakikatnya tidak terbatas dan juga abadi selamanya, namun Tuhan juga melingkupi dan menyatu dengan realitas yang terbatas, yaitu alam semesta ini. Manusia hidup dan alam ini bisa menjadi tetap karena kita semua hidup di dalam Tuhan. Karena itulah Spinoza berkata “deus sive natura” Yang artinya Allah atau Tuhan adalah alam dan alam semesta adalah satu dan sama33.

Sebagaimana sebelumnya sudah di kemukakan bahwa pada dasarnya Tranendensi dan Imanenai adalah konsep teologis yang berkaitan dengan wujud dan eksistensi Tuhan (pembahasan ontologis). Para filailasuf Barat banyak berbeda pandangan mengenai bentuk wujud dan eksistensi Tuhan, sebagian dari mereka mengatakan bahwa Tuhan adalah transenden mutlak yang tak dapat dijangkau akal sebagaimana pandangan Kant, sedangkan

32

H.M Rasjidi, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, h. 33

(39)

28

sebagian lagi menganggap bahwa Tuhan itu sendiri bersifat Imanen alias realitas yang dapat diketahui dan dipahami hakikatnya sebagaimana pandangan Spinoza.

Terlepas dari pandangan para Failasuf Barat dan juga agama-agama Yunani dan India kuno, agama-agama samawi juga telah menjelaskan tentang masalah Transendensi dan Imanensi Tuhan. Yang menjadi pertanyaan, apakah Transendensi itu berarti Tuhan sama sekali jauh dari manusia sehingga Indra dan akal manusia dapat memahaminya sama sekali atau ia tak dapat dicapai oleh penglihatan (Indra) namun dapat dicapai oleh akal budi? Dalam agama Kristen Tuhan adalah sosok sempurna dan juga maha absolut, namun di dalam dirinya mempunyai dua karakteristik, yaitu transenden sekaligus Imanen, Transendensi dalam Kekristenan adalah bahwa Tuhan tidak dapat diketahui kemauan dan juga apa yang dia kehendaki oleh manusia. Akal manusia tidak bisa secara tepat menjelaskan tentang Tuhan yang sangat transenden, sehingga Tuhan mengabarkan dirinya sendiri dalam bentuk Imanen yaitu Kristus Yesus. Tak ada manusia yang mengerti Tuhan kecuali satu Tuhan itu sendiri maka Tuhan turun ke dunia untuk menegaskan tentang dirinya kepada manusia dalam bentuk anak manusia pula.

Dalam Injil Yohannes, Yohannes menerangkan hakikat Kristus Yesus, yaitu sebagai Firman Allah, kemudian atas dasar kasih Allah pada manusia ia mengutus anaknya yang tunggal (firmannya) untuk mengabarkan tentang dirinya34. Dengan begitu dalam konsep Teologi Kristen, terdapat dualitas karakteristik dalam diri Tuhan, ia transenden sekaligus mempunyai sisi Imanen.

Transedensi dan Imanensi juga menjadi perdebatan teologis yang cukup menarik dalam Teologi Yudaisme atau Yahudi, pasalnya dalam Alkitab, Tuhan sendiri yang

34

(40)

29

mengekspresikan dirinya dengan berbagai macam ekspresi, contohnya dalam Alkitab, pasal sepuluh, Tuhan menjelaskan bahwa Ialah zat yang maha kuasa dan Transenden, ini tertulis dalam kalimat “jangan menyebut nama Tuhan Allah dengan sembarangan”35 dari ayat ini, kemudian bangsa Yahudi menafsirkan bahwa Allah adalah zat yang Maha sakral sehingga tidak bisa ada satupun nama yang bisa dinisbatkan dengan dirinya, Pandangan Yahudi pada Tuhan adalah bahwa Tuhan tidak dapat dinisbatkan dengan sifat-sifat apapun dan dengan nama-nama apapun, Tuhan Allah Maha Transenden sehingga tidak boleh ada patung dibuat untuk menyerupainya. Namun disisi lain terdapat pula kelompok Yahudi yang menganggap bahwa Tuhan Allah memiliki tubuh dan bentuk, ini bersumber dari Alkitab pada Kitab

Kejadian pasal ayat dua enam: “Baiklah kita menjadi manusia menurut gambar dan rupa

kita” Dari sinilah muncul pandangan bahwa Allah memiliki tubuh dan rupanya sama dengan

manusia.

Rabbi Yisaac Luria salah satu petinggi dan toko aliran Kabbalah Abad 15 Masehi berpendapat bahwa hakikat Tuhan tidak dapat dipahami dan tidak dapat dimengerti oleh akal pikiran, bagi penganut paham kabbalah Dan juga menurut Ibn gabirol, Tuhan adalah ein sof ia tidak dapat dijangkau akal, jauh dari semesta, dan berbeda dari apapun, dalam kata lain, Tuhan adalah Transendensi mutlak36. Pandangan serupa juga dianut oleh Failasuf Yahudi, Maimonides, murid dari Ibn Rusyd Yang menolak konsep Tuhan yang impersonal.

Namun disisi lain juga terdapat Cendikiawan dan para Failasuf Yahudi yang menafsirkan tuhan dengan citra yang Imanen. Tuhan dalam citra levinas adalah etika atau sebagai Sang baik, jadi Tuhan pada hakikatnya hadir sebagai citra kebaikan tersebut. jauh lebih lanjut, Mordecai kaplan tidak sependapat bahwa realitas Tuhan adalah zat kebaikan yang melingkupi semesta, ia berpendapat bahwa Tuhan adalah kekuatan alam yang dialami,

35

AlKitab Deuterokanonik, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2012, h. 76 36

(41)

30

dirasakan secara nyata, kapan saja, sebab kekuatan yang menggerakkan alam dan menghidupkan seluruh alam adalah Tuhan. Dalam artian, Tuhan Dalam pandangan Kaplan adalah Tuhan yang abstrak dan tidak memiliki tubuh, tetapi yang melingkupi dan dekat secara nyata dengan manusia (sebagai kekuatan yang ada di alam semesta ini)37.

Trasendensi dan Imenensi adalah konsepsi dalam kajian teologi dan metafisika yang mana persoalan ini muncul untuk mendiskusikan hal-hal yang di luar dunia realistik (ghoib) atau apa kaitannya dengan alam ini. Transendensi dipahami sebagai konsep mengenai suatu Substansi yang keberadaannya niscaya ada, namun ia tidak ada dalam jangkauan hal fisik dan tidak bisa manusia memahami hakikatnya, dalam teologi, Transendensi diarahkan pada wujud Tuhan Yang Maha gaib keberadaannya, dalam konteks falsafah, para Failasuf mengidentifikasikan tuhan sebagai sosok yang Maha Transenden yang tidak mampu akal pikiran manusia mengungkap hakikatnya. Para Failasuf Yunani membedakan Tuhan Yang Maha Transenden dengan Tuhan yang di persepsikan Yunani oleh orang Yunani klasik, di mana para dewa dipersonifikasi dengan sifat dan bentuk seperti manusia dan mampu turun dan berinteraksi dengan manusia.

B. Transendensi dan Imanensi Tuhan dalam Pandangan Filosof

Perdebatan mengenai Transendensi dan Imanensi Tuhan tidak saja terjadi di Yunani ataupun daerah lainnya seperti India atau Israel sampai Palestina. Dalam Islam, Transendensi dan Imanensi turut menjadi pembahasan yang menarik. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang menyamainya (Allah)”38

Para ulama, khususnya ulama ahli Kalam, berpendapat bawah maksud ayat ini adalah Tuhan tidak dapat diserupakan dengan apapun di muka bumi ini, Ia tidak bisa disamakan

37

Modecal Kaplan, The Meaning of God in Modern Jews Religion, Detroit Wayne state university press 38 Al-Qur’an Surat Asy-Syura: 11, Jakarta: departemen Agama RI, 2002, h. 784

(42)

31

dengan ciptaannya. Para ahli Kalam dari golongan Mu'tazilah berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan bukti bahwa Tuhan Transenden secara mutlak, Ia bersifat absolut dan tidak bisa sesuatu apapun menyerupai atau mengetahui hakikatnya. Pendapat Mu'tazilah ini terpengaruh oleh pendapat para Failasuf Yunani. Bagi Mu'tazilah, Tuhan tidak bisa disifati dengan apapun juga karena Dia Maha Transenden39. Pandangan kaum Mu'tazilah yang merupakan pengikut pandangan Muhammad Bin Hanifah Bin Ali, secara tegas mengatakan bahwa kafirlah orang yang tidak percaya bahwa Allah bersifat transenden. Dalam hal ini mereka mengkafirkan pandangan kaum mujassimah seperti Abu Ya’la, Al-darimi dan juga kaum tajsim lainnya. Kaum tajsim sendiri berpendapat bahwa Allah memiliki tubuh, bentuk, dan ia bisa turun ke langit dunia. Pandangan ini hampir dikafirkan atau diingkari oleh semua tokoh-tokoh aliran teologi (mutakallimun) seperti Abu Hasan al Asy'ari Al-Maturidi, Syaikh Nazam dan Sayyid Murtadha dari golongan Syiah40.

Kaum Mu'tazilah tak henti-hentinya menegaskan penyucian dzat Tuhan, mereka berkata bahwa Allah bukan substansi dan bukan pula aksiden, ia tidak memiliki panjang, lebar, bentuk dan juga ukuran lainnya. Kaum Mu'tazilah percaya bahwa Tuhan tidak dapat dilihat oleh Panca Indra sehingga Mu'tazilah menolak klaim bahwa Tuhan bisa dilihat di hari Kiamat atau hari akhir nanti. Sebab jika ada yang berkata bahwa tuhan akan menampakan dirinya di akhirat, berarti orang tersebut telah berkata bahwa tuhan memiliki tempat dan bentuk, yang berarti hal itu merusak citra trasenden tuhan41. Para ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah banyak yang terpengaruh oleh para Failasuf Yunani, Kaum Mu’tazilahlah juga yang kelak mempengaruhi para Failasuf Muslim lainnya tentang Transendensi Tuhan, salah satunya al-Kindi.

39

Abdul Aziz Dahlan, teologi Islam, ciputat: Ushul press, 2012, h. 60

40 Kaum Mujassimah adalah kaum yang percaya bahwa Tuhan mempunyai wujud sebagaimana manusia. Ja’far Subhani dalam bukunya, buhuts fil milal wa an-nihal, menyebut kaum mujassimah sebagai kaum al-hasyawiyah yang merupakan orang-orang yang keluar dari ajaran guru al-Hasan Basri

41

(43)

32

Al-Kindi berpendapat bahwa tuhan adalah dzat pengawal atau paling awal sebelum segalanya ada, dalam Rasail-nya, al-Kindi berkata bahwa tuhan adalah esa, tunggal, dia tidak menyerupai alam ciptaan, dan segala apa yang ada pada makhluk, tidak ada dalam diri tuhan. Orang yang berpendapat bahwa gambaran tuhan sebagaimana yang digambarkan atau dibayangkan oleh manusia, maka orang yang berpendapat demikian adalah orang sesat dan menyeleweng akalnya42. Al-Kindi meyakini bahwa tuhan sangat berbeda dengan yang digambarkan dan dibayangkan oleh para penyembah berhala atau orang-orang yang berpandangan tajsim atau menyerupakan Allah dengan makhluknya. Jika dikaitkan dengan pemahaman transendensi, al-Kindi meyakini bahwa dzat tuhan adalah dzat yang jauh dari pikiran manusia. Ia tidak ada di alam ini atau ia terhijab dari alam dunia sehingga tidak mungkin manusia tidak bisa melihat, membayangkan, apalagi menyatu dengan tuhan .

Pandangan al-Kindi ini hampir serupa dengan pandangan Aristoteles yang menganggap bahwa tuhan adalah nous alias penggerak yang Maha Transenden namun, al-Kindi tampaknya mengikuti paham Mu’tazilah, yang menganggap walaupun tuhan adalah Transenden, namun kita bisa memikirkan tentang tuhan melalui apa yang tuhan informasikan dalam al-Qur’an. Jadi sekalipun tuhan tidak mampu diketahui dan dijangkau oleh siapapun, namun tuhan memberi wahyu atau petunjuk kepada manusia. Sehingga dengan pedoman wahyu ini kita bisa memikirkan Tuhan. Dalam hal ini al-Kindi meyakini adanya wahyu yang turun kepada para nabi yang juga berarti al-Kindi mengakui bahwa manusia bisa berkomunikasi dengan Tuhan.

Berbeda dengan al-Kindi, al-Razi yang merupakan seorang Failasuf tidak meyakini bahwa Tuhan dapat berkomunikasi dengan manusia. Al-Razi melihat bahwa Tuhan adalah sosok yang transenden dan Qadim dalam artian, Ia esa, terahulu, dan juga tidak memiliki bentuk dan juga menyerupai siapa pun. Tuhan dalam pandangan al-Razi adalah Tuhan Yang

42

(44)

33

Maha transenden dan terasing dari dunia material ini. Al-Razi memiliki pandangan yang unik soal Teologi, ia melihat ini bahwa walaupun Tuhan adalah wujud yang transenden dan kekal, namun ia meyakini bahwa sebelum alam ini terbentuk, ada entitas lain yang juga kekal dan qadim selain Tuhan, yaitu jiwa universal, materi pertama, ruang, zaman, ke empatnya menurut al-Razi memiliki kekekalan yang sama dengan Tuhan hanya bedanya, Tuhan lebih dahulu dan lebih unggul Kekal nya daripada keempat unsur tersebut. Keempat Kekal tersebut merupakan bahan-bahan material penciptaan alam semesta, Tuhan kemudian berperan dalam mengolah dan menjadikan alam raya yang teratur ini melalui empat unsur Kekal tersebut. Ke empat unsur tersebut terdapat di alam ini, kecuali Tuhan. Hanya Tuhan yang berada di luar alam semesta. Untuk mengetahui dan merasakan kehadiran Tuhan yang jauh tersebut, maka Tuhan mengaruniakan akal kepada manusia. Jadi akal inilah alat untuk mencapai segala macam pengetahuan dan juga akal inilah kita mengetahui keberadaan Tuhan, tanpa memerlukan Wahyu untuk berkomunikasi43.

Pandangan al-Razi dan al-Kindi mengenai Transendensi Tuhan, juga disepakati dan diyakini oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Al-Farabi meyakini bahwa pada dasarnya Tuhan itu sesuatu yang sakral dan tidak memiliki keterkaitan dengan apa yang ada di dunia ini, al Farabi meyakini bahwa Tuhan tidak langsung menciptakan alam ini melainkan melalui Pancaran Yang disebut dengan emanasi. Artinya al-Farabi meyakini bahwa Tuhan adalah sosok yang Maha gaib, rahasia, tak mampu dilampaui oleh siapa pun dan ia tidak menciptakan dunia seperti yang kita lihat sekarang ini dengan proses yang langsung, tetapi melalui (proses) Pancaran (emanasi). Tuhan dalam teori emanasi al-Farabi berpikir tentang dirinya, maka lahirlah akal pertama, yaitu ciptaan teragung Tuhan. Dari akal pertama ini muncullah langit pertama, dari langit pertama yang berasal dari akal pertama, lalu muncullah

43

Harun Nasution, falsafat dan mistisisme dalam islam, Jakarta: bulan bintang, 2010, h. 12

Dengan demikian al-Razi memiliki pandangan yang dialektik, yaitu meyakini bahwa Tuhan tidak campur tangan mengurus alam semesta setelah ia membentuknya, tuhan hanya menetapkan hukum-hukumnya saja tidak mengatur secara langsung sebagaimana yang diyakini oleh para teolog dan ulum fiqh.

Referensi

Dokumen terkait

Konsep diri dapat diartikan sebagai pandangan, penilaian, dan perasaan seseorang terhadap dirinya, baik menyangkut aspek jasmani, rohani, maupun sosial.Konsep diri

Melihat kenyataan di atas, maka pengajuan penelitian skripsi ini akan membahas tentang konsep belajar dalam pandangan Islam Ibnu Khaldun serta membahas konsep belajar dalam

5) Ajaran tentang perbuatan manusia ( af‘âl al - ‘ibâd ). Dalam berbagai pupuh, nampak jelas bahwa pandangan Siti Jenar mengenai perbuatan manusia sebagai kehendak

Bab IV terdiri dari, konsep negara dalam pandangan kaum TNKB, konstruksi negara dalam konsepsi TNKB, konsepsi dasar negara bagi TNKB, syarat pemimpin dalam perspektif TNKB,

Sementara bagi al-Ghazali dan mayoritas kaum Muslim, konsep Tuhan dalam al-Qur’an adalah Maha Kuasa. Dia juga Maha Berkehendak. Dia tidak berbuat dengan keharusan. Tidak ada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara pandangan ABH (Anak yang Berhadapan Hukum) mengenai pemenjaraan terhadap konsep diri, pengungkapan diri, dan

Dalam pandangan Smith, ada seseorang menghubungkan konsep kehendak Tuhan dalam Kristiani sebanding dengan syariah (hukum Islam). Perbandingan tersebut menu- rut Smith

Makalah ini berisi konsep Tuhan Yang Maha Esa dan