• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transendensi dan Imanensi Tuhan dalam Pandangan Sufi

BAB III. DEFINISI TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN

C. Transendensi dan Imanensi Tuhan dalam Pandangan Sufi

Sufi atau Tasawuf dari segi bahasa berasal dari kata Sufi yang artinya adalah bulu

wol, atau dari kata Shopis atau shopos yang berarti kebijaksanaan, berasal dari kata Yunani.

Namun para ulama sepakat bahwa kaum Sufi adalah kelompok yang mengedepankan sikap

hidup yang Zuhud, sederhana, dan para Sufi yang melakukan beberapa ritual yang bertujuan

agar dapat berhubungan langsung dan dekat dengan Tuhan47.

Menurut al-Taftazani, Fenomena Tasawuf/Sufisme merupakan fenomena Yang terjadi

di semua agama. Baik agama semitik (yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam) atau

agama-agama Timur klasik seperti Hindu dan Buddha. Ilmu Tasawuf sendiri adalah ilmu yang

memadukan aspek-aspek peribadatan syariat, Dan juga kebijaksanaan-kebijaksanaan yang

terdapat di luar Islam. Kaum Sufi bersikap inklusif terhadap setiap hikmah-hikmah yang

terdapat dari luar Islam, baik dari kalangan Failasuf Yunani atau agama seperti Yahudi dan

Kristen. Mereka percaya bahwa sumber kebijaksanaan dan kebenaran berasal dari yang satu

juga, yaitu Tuhan48. Tasawuf merupakan gerakan moral yang hadir ketika umat Islam

semakin melupakan hakikat agama dan mencampakan Tuhan. Kaum Tasawuf hidup dengan

keyakinan bahwa Tuhan selalu bersama mereka dan Tuhan selalu hadir untuk mereka,

sehingga, kaum Sufi adalah orang orang yang mabuk akan nilai-nilai ketuhanan. Mereka

biasanya hidup sendiri untuk menyepi, merenungkan keagungan tuhan dan selalu sibuk

memikirkan sang pencipta. Karena asiknya mereka dalam merenungkan sang pencipta juga

lidah mereka selalu basah dengan dzikrullah, maka tuhan memberikan nikmat kepada mereka

berupa ketenangan hati dan juga ilmu laduni atau ilmu ma’rifat, dimana mereka bisa mengetahui segala hal karena anugrah yang di turunkan kepada tuhan untuk mereka.

47

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2010, h. 43-44 48

Abu Wafa al-Ghanami al-Taftazani, tasawuf Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008, h. 2

37

R.M Bucke menjelaskan bahwa ciri khas dari gerakan sufi atau ilmu tasawuf ada 7;

Pertama, mereka meyakini adanya eksistensi yang batin.

Kudua, meninggitan moralitas dan etika.

Ketiga, meyakini pancaran akal.

Keempat, orang yang mengikuti tasawuf akan merasakan kondisi akan yang maha abadi dan

merasakan akan keabadian.

kelima, kehilangan rasa khawatir dan rasa takut akan kematian.

Keenam, hilangnya rasa takut pada dosa, tergantikan oleh rasa takut pada sang ilahi.

ketujuh, fokus pada sang ilahi49.

Para sufi berbeda dari para failasuf, dalam falsafah, akal manusia mampu mengetahui

segala sesuatu, sedangkan dalam tasawuf, akal manusia adalah lemah, ia tidak bisa

mengetahui kecuali dugaan semata. Semua pengetahuan para Failasuf tidak bersumber dari

kemutlakan, sehingga setiap para pailasuf bisa keliru dan memiliki perbedaan pandangan

dalam mengkaji satu masalah. Sedangkan para sufi, senantiasa selalu mendekatkan diri pada

tuhan. Mereka sentiasa asik-masyuk pada tuhan sehingga tuhan mengaruniakan ilmu

pengatahuan (ladunni) kedalam hati mereka. Pengatahuan yang berdasarkan pada hati yang

itu bersumber dari sang ilahi, memiliki kepastian dan juga kebenaran yang lebih kuat dari

pada ilmu atau kebenaran yang di galih oleh para failasuf dengan akal mereka, sebab para

sufi mendapat pengetahuan langsung dari sang Maha tahu, yaitu Tuhan.

Para sufi selalu mengklaim bahwa mereka selalu mendapatkan nikmat penyaksian

(musyahadah) sehingga hati mereka selalu dekat dengan tuhan. Tuhan bagi mereka adalah

49

38

kawan dalam bercakap-cakap dan pengembala yang baik, para sufi selalu merasakan

kedekatan dan keintimandari tuhan. Dan ini menurut mereka adalah bentuk karunia yang

didapati melalui suatu proses penyucian jiwa, yaitu dengan riyadhah (latihan) dan mujahadah

(kesungguhan). Jika kesemuanya diakukan para sufi meyakini bahwa ilmu ladunni akan

Allah berikan dan orang akan menjadi salah satu hamba yang paling dekat dengan Allah50.

Jika kita menghubungkan hal ini dengan konsep mengenai Transendensi dan Imanensi

tuhan, pandangan kaum sufi terhadap tuhan dan kedekatan rohani mereka terhadap tuhan,

nampaknya ini menunjukkan bahwa bagi kaum sufi, Allah adalah dzat yang selalu dekat

dengan makhluknya dan ia bisa begitu dekat dengan manusia sehingga sang manusia (yaitu

para sufi) merasa asik-masyuk karena merasa begitu dekat bahkan menyatu dengan tuhan.

Rabiah al-Adawiyah, misalnya yang berkata bahwa dirinya begitu cinta pada Allah dan rasa

cintanya pada Allah membuat ia lupa pada rasa cinta kepada makhluk lainnya, begitu juga

dengan Junaid al-Baghdadi yang menyatakan kesatuan pandangan (wahdat as-syuhud) antara

hamba dan Tuhan, begitu pula konsep sufistik lainnya yang menganggap Tuhan begitu dekat

dengan hambanya atau dengan makhluk ciptaannya. Syahid Murtadha Muthahhari dalam

bukunya yang berjudul Asyna’i Ba Ulum-E Islami, berkata bahwa konsep kaum Sufi yang

berpandangan bahwa Tuhan itu Imanen dan amat dekat dengan makhluknya berpedoman atas dasar tafsiran kitab suci al-Qur’an yaitu:

“Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” (QS.Qaf: 16)

“Kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Allah” (QS.al-Baqarah: 115) “Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS.an-Nur: 35)

50

Para Sufi menganggap bahwa sumber pengetahuan utama adalah intuisi yang merupakan insipirasi/kasyf yang diberikan oleh Allah kepada mereka, banyak para sufi yang mencemooh peran akal sebagai sumber pengetahuan yang pasti. Seperti, Rumi, Ibn Arrabi, Abu Yazid, mereka lebih mempercayai ketajaman intuisi.

39

Dari ayat-ayat diatas, para sufi berpendapat bahwa sesungguhnya tuhan adalah bukan

sesuatu zat yang jauh dari manusia (transenden total) sebagaimana sangkaan para Failasuf51.

Dalam pandangan kaum sufi, tuhan begitu dekat dan intim dengan makhluknya sehingga

siapapun manusia yang berusaha menyucikan dirinya, berbuat baik (menghiasi Ahlak)

ataupun beribadah dengan ketekunan, maka ia akan bisa merasakan kenikmatan untuk selalu

dekat dengan Tuhan.

Walaupun para Sufi juga sepakat dengan para Failasuf dan ahli Kalam bahwa Allah

tidak memiliki tubuh fisik dan juga bentuk, sebagaimana pandangan kaum mujassimah,

Namun bukan berarti Tuhan tidak bisa berkomunikasi dan juga dekat dengan makhluk nya,

dalam suatu Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim disebutkan bahwa, “hambaKu mendatangiku di malam hari dengan amalan sunnah dan aku mencintainya. Aku

adalah telinga nya, sehingga ia mendengarkan Ku, Aku adalah matanya sehingga dia melihat denganku, dan aku adalah lidahnya sehingga ia berbicara dengan bersamaku. Dan aku adalah tangannya sehingga ia mengambil denganku”52

. Hadis ini Secara jelas

menunjukkan bahwa manusia bisa dekat dengan Tuhan, malah para Sufi menganggap

kedekatan mereka yang saleh (Waliyullah) pada Allah melebihi kedekatan antara darah dan

daging mereka. Para Sufi menganggap bahwa keintiman dengan Tuhan adalah keniscayaan, bahkan dalam tradisi Tasawuf, dikenal pula istilah ”sufi mabuk”, yaitu kaum Sufi yang sudah dimabuk Cinta Ilahi sampai-sampai ia tak sadar akan dirinya sendiri. Para Sufi yang tak

sadarkan diri atau mabuk tersebut adalah orang orang yang telah mendapatkan kedekatan

yang murni sehingga orang tersebut merasa Fana (kebinasaan) akan dirinya sendiri.

Kondisi mabuknya para Sufi (karena kedekatan mereka dengan Allah) kemudian

melahirkan beberapa konsep:

51

Murtadha Muthahari, Pengantar Ilmu Kalam dan Irfan, Jakarta: Rausyan Fikr Institut, 2014, h. 103-110 52

40

1. Wahdatul Syuhud

2. Ittihad

3. Hulul

4. Wahdatul wujud.

Konsep konsep Sufistik ini berusaha menerangkan mengenai kondisi dimana manusia

merasakan ekstase (makrifat) tertinggi karena Kedekatan/keintiman mereka dengan Allah.

Dalam bahasa Jawa, rasa ektase tersebut dinamakan dengan mununggaling kawula gusti atau

bersatunya manusia dengan Sang Ilahi. Konsep Munuggaling ini dibawa oleh seorang Sufi

Jawa yang bernama Syeh Siti Jenar. Ia membuat kegemparan di tanah Jawa karena mengaku

bahwa dirinya adalah Allah, akibat ajarannya ini, ia dihukum mati oleh para wa li Songo.

Namun konsep Manunggaling ini tidak mati, justru kemudian menjadi konsep yang menarik

dan banyak dianut oleh masyarakat Jawa, hal ini tertuang salam kitab serat Centhini dan

serat wirid Karya Ranggawarsita53. Antara konsep Hulul, Wahdatul Wujud, dan

Manunggaling memiliki kesamaan, yaitu semuanya mengakui bahwa ketika manusia dalam

kondisi ekstase sehingga ia Fana atau lupa pada dirinya sendiri maka dalam kondisi seperti

itu rasa atau sifat kemanusiaan (nasut) lenyap dan digantikan dengan sifat-sifat Illahi (lahut)

secara sederhana, manusia Yang sudah Fana atau lebur dengan Tuhan akan menyatu dengan

Tuhan sehingga tidak ada lagi jarak antara hamba dan Tuhan. Disini tidak ada konsep atau

istilah dualitas materi dan imateri, fisik dan non fisik, semua menyatu dalam kesatuan batin.

Di Sumatera, konsep ini dibawakan oleh seorang Sufi besar yang bernama Hamzah

Fansuri. Hamzah Fansuri bahkan menulis sebuah syair54 yaitu syair yang berbunyi:

Hamzah Fansuri di dalam makah,

53

Agus Wahyudi, Bersatu: Manunggaling Kawula Gusti, Jogjakarta: Diva, 2014, h. 10 54

41

mencari Tuhan di bait Ka'bah,

di Barus ke Qudus terlalu payah,

akhirnya di jumpa di dalam rumah”

Syair ini mengisyaratkan tentang paham kesatuan antara Tuhan dengan makhluk nya,

dimana dalam syair tersebut Hamzah Fansuri mengatakan bahwa tidak perlu manusia

mencari Tuhan jauh-jauh atau berpikir bahwa Tuhan tidak di mana-mana sebab pada

hakikatnya Tuhan sangat dekat dengan hambanya, tuhan berada di dalam diri manusia itu

sendiri.

Pandangan kaum Sufi tentang Tuhan bisa dikatakan berbeda dengan pandangan para

Filosof atau Failasuf. Tuhan bagi para Failasuf adalah Tuhan Yang Maha Transenden yang

jauh dan tak mungkin manusia bisa berkomunikasi dengan mahluk secara langsung.

Sedangkan para Sufi membantah asumsi para Failasuf tersebut. Bagi Sufi, Tuhan adalah zat

yang Imanen alias amat sangat dekat dengan manusia. Benar bahwa Tuhan adalah rahasia

dibalik rahasia, namun bukan berarti Tuhan tidak bisa mengimanenkan dirinya agar bisa

dekat dengan hambanya.

Bisa disimpulkan bahwa, garis besar pandangan Sufi dan Failasuf terhadap persoalan

dan Transendensi dan Imanensi Tuhan saling bertolak belakang. Masing-masing mereka

memiliki dalil tersendiri dan juga argumen sendiri untuk mendukung pandangannya. Dalam

mendialogkan masalah yang saling bertolak belakang antara Failasuf Dan juga sufi, Muyadhi

Kartanegara seorang cendekiawan sekaligus Failasuf Muslim Indonesia beranggapan bahwa

pandangan tersebut sebenarnya bisa dikompromikan atau didamaikan. Muyadhi Kartanegara

percaya bahwa sufi dan Failasuf pada hakikatnya memiliki kesamaan, yaitu meyakini bahwa

ilmu diperoleh atas pemberian dari Yang Maha penguasa dan maha berilmu, karena itulah

42

juga sekaligus merupakan zat yang Imanen. Konsep kompromi ini disebut dengan sintesi du a

perbandungan, konsep disusun oleh beliau guna mendialogkan sekaligus menawarkan

43

BAB IV. TRANSENDENSI DAN IMANENSI TUHAN MENURUT MULYADHI