• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Konflik Psikologis dan Reaksi Tokoh Menurut Atkinson, Atkinson, dan Hilgard

JOUR D‟UN CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO

4.4 Akibat Konflik Psikologis dan Reaksi Tokoh Menurut Atkinson, Atkinson, dan Hilgard

Pada sub sub bab ini penulis mendeskripsikan akibat dari konflik psikologis yang dialami tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo beserta reaksi tokoh berdasarkan data penokohan yang telah dianalisis sebelumnya. Penulis akan mendeskripsikan jenis-jenis konflik dan akibat disertai reaksi-reaksi tersebut dengan menggunakan teori Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, dan Ernest R. Hilgard tersebut satu persatu berikut ini.

4.4.1

Akibat Konflik Mendekat-Menghindar(Approach-Avoidance Conflict) Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering mengalami terjadinya konflik, jika mengalami konflik perasaaan yang muncul adalah rasa keragu-raguan juga terkadang konflik menimbulkan reaksi-reaksi tertentu terhadap seseorang yang mengalami konflik. Batin atau hati nurani dalam kehidupan sehari-hari berfungsi sebagai hakim yang adil, apabila di dalam kehidupan manusia itu sering mengalami konflik, pertentangan atau keragu-raguan, batin akan bertindak sebagai pengontrol yang kritis, sehingga manusia sering diperingatkan untuk selalu bertindak menurut batas-batas tertentu berdasarkan norma yang konvensional dalam masyarakat. Di samping sebagai pengontrol, batin juga berfungsi sebagai alat pembimbing untuk

membawa pribadi dari keadaan yang biasa ke arah pribadi yang bertanggung jawab, berdisiplin, adil, dan konsekuen.

Terlalu sering melakukan kegiatan yang bertentangan dengan suara batin hanya menyebabkan pecahnya pribadi seseorang, akibat individu selalu merasakan konflik-konflik jiwa yang tidak berkesudahan. Sebagai akibatnya pribadi yang dihinggapi konflik itu tidak mengenal atau tidak menyadari lagi apakah yang dilakukannya. Berdasarkan konflik psikologi tersebut di atas, menurut Atkinson, Rita L. dkk. (1983:203-225) akibat dan reaksi terhadap akibat tersebut adalah seperti yang akan dideskripsikan satu persatu oleh penulis berikut ini.

4.4.1.1

Frustrasi

Frustrasi terjadi bila gerak ke arah tujuan yang diinginkan terhambat atau tertunda. Berbagai hambatan, baik eksternal maupun internal, dapat mengganggu usaha seseorang untuk mencapai tujuan.

Tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné mengalami konflik yang tergolong ke dalam Konflik Mendekat-Menghindar ( Approach-Avoidance Conflict). Ia mengalami frustrasi yang disebabkan harapannya untuk mendapatkan kebebasan terhambat setelah dirinya menjadi seorang terpidana. Hal tersebut disebabkan adanya berbagai hambatan eksternal seperti keadaan di mana dirinya dipenjara di dalam sebuah sel dan keadaan di mana pembela memiliki harapan yang berbeda dengan dirinya yaitu harapan akan kemungkinan keputusan hukuman tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman kerja paksa seumur hidup. Selain itu, terdapat juga hambatan internal seperti pikiran-pikiran buruk yang selalu menghantuinya yaitu pikiran tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan Hakim ketua

kepadanya. Pikiran-pikiran yang menakutkan tersebut selalu mengisi pikiran tokoh „‟Je‟‟ dalam berbagai bentuk sehingga tokoh „‟Je‟‟ tidak lagi memiliki kebebasan berpikir. Hal tersebut dapat dilihat pada data ke-1 dan data ke-2 pada halaman 171.

Data ke-1 menunjukkan keadaan tokoh „‟Je‟‟ yang terkurung di dalam penjara (hambatan eksternal) dan keadaan ketika tokoh „‟Je‟‟ menjadi seorang tawanan yang selalu dihantui oleh rasa takut yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan hakim kepadanya (hambatan internal). Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik ekspositori dalam kutipan yang bercetak tebal di bawah ini.

(1)

LDJDC/I/2

Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction,

qu‟une certitude : condamné à mort!

Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable.

Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: dihukum mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana.

Pada awal cerita diceritakan bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seseorang seperti orang pada umumnya yang memiliki kebebasan melakukan apapun yang diinginkannya. Memiliki kebebasan untuk berpikir kapanpun dan dimanapun dirinya berada. Ia adalah orang yang sangat senang berangan-angan tentang banyak hal. Namun, semua itu berubah setelah dirinya melakukan kesalahan dan kemudian

menjadi seorang terpidana. Tokoh „‟Je‟‟ terpenjara di sebuah sel yang membuat dirinya tidak lagi memiliki kebebasan seperti sebelumnya (hambatan eksternal). Selain itu, ia selalu dihantui oleh rasa takut yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruknya akan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Hakim ketua kepadanya adalah hukuman mati. Pikiran-pikiran buruk tersebut sangat mengerikan dan tidak pernah berhenti menghantui pikiran tokoh „‟Je‟‟. Keadaan tersebutlah yang membuat tokoh „‟Je‟‟ selalu dihantui oleh rasa takut dan merasa tidak lagi memiliki kebebasan berpikir seperti sebelum dirinya menjadi seorang terpidana.

Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam kutipan yaitu „‟ Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable „‟ yang dapat diartikan (Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan satu kepastian: Dihukum kematian! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana).

Penulis menggunakan kutipan „‟ Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée „‟ (Sekarang aku

menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran) untuk menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang narapidana yang dipenjara di sebuah sel. Selain itu penulis menggunakan kalimat „‟ Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! „‟ (Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan satu kepastian: Dihukum kematian !) untuk menunjukkan bahwa dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ tidak ada pikiran lain selain pikiran buruknya akan kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan Hakim ketua kepada dirinya adalah hukuman mati. Keyakinan dan kepastian tokoh „‟Je‟‟ akan pikiran buruknya tersebut dapat dilihat dari penggunaan tanda seru oleh penulis pada kalimat „‟Condamné à mort !’’ (Di hukum kematian !).

Selain itu, penulis juga menggunakan kalimat „‟Une horrible, une sanglante, une implacable idée !‟‟ (Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan.) untuk menggambarkan betapa mengerikan pikiran-pikiran buruk tokoh „‟Je‟‟ terhadap kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati. Pikiran tersebut selalu datang dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ dan tidak dapat dialihkan sehingga dirinya tidak lagi memiliki kebebasan untuk berpikir.

Selain itu, hambatan eksternal yang mengakibatkan tidak terpenuhinya harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kebebasan yaitu pengacara yang memiliki harapan bahwa keputusan hukuman tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman kerja paksa seumur hidup. Hal tersebut ditunjukkan oleh penulis dengan menggunakan teknik cakapan yang dapat dilihat pada data ke-2 yang dideskripsikan penulis pada halaman 172.

(2)

LDJDC/II/7

Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner

copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire.

+ J‟espère, me dit-il.

- N‟est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi.

+ Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.

- Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort !

Di saat itu pengacaraku tiba. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dengan lahap. Sampai ditempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum.

+ Mudah-mudahan, katanya kepadaku.

- Benarkah! Jawabku ringan, juga sambil tersenyum.

+ Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin

mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga menjadi kerja paksa seumur hidup.

- Bapak ini bicara apa? Tukasku marah, seratus kali lebih baik kematian!

Detik-detik sebelum persidangan dimulai tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan bahwa keputusan hakim adalah kebebasaan. Persidangan pun akhirnya dimulai setelah pengacara tokoh „‟Je‟‟ yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ketika sampai di tempat duduknya, pengacara mencondongkan tubuhnya ke arah tokoh „‟Je‟‟ dan mengatakan „‟ + J‟espère „‟ (+ Saya berharap). Kata „berharap‟ dalam kutipan tersebut mengandung makna harapan pengacara agar supaya apa yang diharapkannya dapat terkabul. Tokoh „‟Je‟‟ yang belum mengetahui apa yang diharapan oleh pengacaranya kemudian menjawab dengan penuh rasa senang, keyakinan dan dengan tegasan mengatakan hal seperti dalam kutipan „‟- N‟est-ce pas ! „‟ (- Benarkah !). Kata benarkah dalam kutipan tersebut menunjukkan rasa senang tokoh „‟Je‟‟ karena mengatahui bahwa pengacara mengharapkan hal positif

terhadap kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya. Tokoh „‟Je‟‟ berharap keputusan hukumannya adalah kebebasan. Penulis menggunakan tanda seru pada kata benarkah berfungsi untuk menggambarkan keyakinan dan ketegasan tokoh „‟Je‟‟ bahwa dirinya merasa senang dan memiliki harapan bahwa pengacaranya dapat melakukan yang terbaik sehingga dirinya mendapatkan kebebasan seperti yang selalu diharapkannya.

Namun, rasa senang yang dirasakan tokoh „‟Je‟‟ tiba-tiba hilang dan berganti dengan perasaan terkejut dan marah ketika akhirnya dirinya mengetahui bahwa harapan yang dimaksud oleh pengacaranya adalah harapan agar supaya Hakim ketua mengesampingkan unsur terencana sehingga hukuman yang akan dijatuhkan kepada tokoh „‟Je‟‟ menjadi lebih ringan yaitu hukuman kerja paksa seumur hidup. Penulis menunjukkan harapan pengacara tersebut dalam kutipan „‟ + Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité „‟ (+ Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka

mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga menjadi kerja paksa seumur hidup). Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki karakter temperamen tiba-tiba marah. Ia terkejut mendengar pernyataan pengacaranya tersebut karena sangat bertolak belakang dengan harapan hatinya. Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi kemudian berdalih bahwa dirinya lebih memilih mendapat hukuman mati daripada harus dihukum kerja paksa seumur hidup. Keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dari pertanyaan yang ditujukannya kepada pengacara dalam kutipan „‟ - Que dites-vous là, Monsieur ?„‟ (- Bapak ini bicara apa?). Penulis menggunakan tanda tanya dalam

kutipan di atas untuk menggambarkan keterkejutan dan ketidakpahaman tokoh „‟Je‟‟ terhadap pernyataan pengacaranya yang sangat bertolak belakang dengan harapannya.

Selain membuat tokoh „‟Je‟‟ terkejut, pernyataan pengacara tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki temperamen yang tinggi tiba-tiba marah setelah mendengarnya. Harga diri yang tinggi membuat dirinya tidak dapat menerima pemikiran pengacara yang tidak sependapat dengannya. Sifat egois tokoh „‟Je‟‟ membuat dirinya memutuskan untuk lebih memilih keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah seratus kali lebih baik hukuman mati daripada harus mendapat keputusan hukuman kerja paksa seumur hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari kata-kata tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟- Plutôt cent fois la mort ! „‟ (- Seratus kali lebih baik kematian!). Penulis menggunakan tanda seru pada akhir kalimat untuk menggambarkan rasa marah tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar. Setelah mendengar pernyataan pengacaranya dan akhirnya berdalih lebih memilih hukuman mati, harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kebebasan akhirnya sedikit demi sedikit sirna (hambatan eksterrnal). Reaksi tokoh „‟Je‟‟ yang lebih memilih hukuman mati daripada mendapatkan hukuman kerja paksa seumur hidup tersebut di atas juga akan dibahas penulis dalam data yang akan mendeskripsikan tentang reaksi tokoh pada sub bab berikutnya.

Penulis akan mendeskripsikan satu per satu reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh tokoh „‟Je‟‟ ketika mengalami frustrasi berikut ini.

4.4.1.1.1

Agresi

Reaksi yang timbul ketika dalam situasi frustrasi, biasanya seseorang tampak gelisah dan tidak senang: mereka menggerutu, resah, dan mengeluh, dan dalam banyak hal, seseorang yang mengalami frustrasi tidak dapat mengekspresikan agresi terhadap sumber frustrasi. Kadang-kadang sumber itu tidak jelas. Orang itu tidak tahu apa yang akan diserang tetapi dirinya merasa marah dan mencari sesuatu yang diserang, kadang-kadang seseorang yang menyebabkan frustrasi itu terlalu kuat sehingga serangan terhadap orang itu akan menimbulkan bahaya.

Tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné mengalami frustrasi sehingga dirinya tampak gelisah dan tidak senang. Kegelisahan dan perasaan tidak senang tokoh „‟Je‟‟ tersebut disebabkan oleh pikiran-pikiran buruk akan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Hakim ketua kepadanya adalah hukuman mati dan suasana jalannya persidangan yang sangat mengerikan. Reaksi yang timbul ketika tokoh „‟Je‟‟ mengalami kegelisahan dan perasaan tidak senang di atas yaitu berupa keluhan karena tokoh „‟Je‟‟ tidak mungkin mengekspresikan agresi terhadap sumber frustrasi. Tokoh „‟Je‟‟ mengeluh akan keadaan yang dialaminya setelah berada di dalam penjara. Ia mengeluh karena dirinya tidak lagi memiliki kebebasan berangan-angan seperti ketika dirinya belum menjadi seorang terpidana. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ juga mengeluh terhadap keadaannya yang selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati yang selalu membuatnya gelisah. Penulis menggambarkan keluhan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dalam data ke-3 pada halaman 176 dan ke-4 pada halaman 179.

Data berikut menunjukkan tokoh „‟Je‟‟yang mengeluh terhadap keadaan yang dialaminya setelah dirinya berada di penjara. Tokoh „‟Je‟‟ merasa tidak lagi memiliki kebebasan berpikir setelah dirinya menjadi seorang terpidana. Hal tersebut digambarkan penulis dengan menggunakan teknik ekspositori dalam data ke-3 yang akan dideskripsikan penulis pada halaman 176.

(3)

LDJDC/I/1

Autrefois, car il me semble qu’il y a plutôt des années que des semaines,

j‟étais un homme comme un autre homme. Chaque jour, cheque heure,

chaque minute avait son idée. Mon esprit, jeune et riche, était plein de

fantaisies. Il s‟amusait à me les dérouler les unes après les autres, sans

ordre et son fin, brodant d‟inépuisables arabesque cette rude et mince étoffe de la vie. C‟étaient des jeunes filles, de splendides chapes d‟évêque, des batailles gagnées, des théâtres plains de bruit et de

lumière, et puis encore des jeunes filles et de sombres promenades la nuit sous les larges bras des marronniers. C‟était toujours fête dans mon imagination. Je pouvais penser à ce que je voulais, j‟étais libre. Dahulu, sebab saya kira bahwa bertahun-tahun yang lalu lebih baik daripada beberapa minggu, saya adalah manusia seperti manusia lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit mempunyai gagasan. Jiwaku yang muda dan kaya, penuh dengan angan-angan. Secara iseng, jiwaku sering menanyakan angan-angan itu kepadaku satu demi satu, tanpa urutan dan tanpa akhir, menyulam arabésk yang tidak ada habisnya di kain kehidupan kasar dan tipis ini. Angan-angan tentang gadis-gadis, jubah uskup yang sangat bagus, pertempuran-pertempuran yang dimenangkan, teater penuh suara dan cahaya, lalu gadis-gadis lagi dan di malam hari yang suram di bawah lengan-lengan raksasa pohon-pohon sarangan. Dalam bayanganku, itu selalu merupakan hari raya. Aku bisa memikirkan apa yang aku inginkan, aku bebas.

Pada awal cerita, penulis menceritakan bahwa tokoh „‟Je‟‟ telah berada di dalam penjara selama lima minggu. Pikiran-pikiran bahwa kemungkinan keputusan hakim adalah hukuman mati selalu menghantuinya. Pikiran-pikiran buruk tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ sangat terbebani. Beban yang dirasakannya begitu besar, sehingga tokoh „‟Je‟‟ merasa tidak mampu menanggungnya sendiri. Dalam keadaan

seperti ini, tokoh „‟Je‟‟ hanya dapat mengeluh kepada dirinya sendiri. Ia mengeluh dengan keadaannya setelah berada di dalam penjara. Ia yang suka berangan-angan merasa dirinya tidak lagi memiliki kebebasan berpikir. Ia tidak lagi bisa memikirkan tentang apapun seperti orang-orang pada umumnya. Hal tersebut dapat kita lihat dalam keluhan tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan yaitu „‟J‟étais un homme comme un

autre homme. Chaque jour, cheque heure, chaque minute avait son idée. Mon

esprit, jeune et riche, était plein de fantaisies. Il s‟amusait à me les dérouler les unes après les autres, sans ordre et son fin, brodant d‟inépuisables arabesque cette

rude et mince étoffe de la vie’’ yang dapat diartikan (Dahulu, sebab saya kira bahwa bertahun-tahun yang lalu lebih baik daripada beberapa minggu, saya adalah manusia seperti manusia lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit mempunyai gagasan. Jiwaku yang muda dan kaya, penuh dengan angan-angan. Secara iseng, jiwaku sering menanyakan angan-angan itu kepadaku satu demi satu, tanpa urutan dan tanpa akhir, menyulam arabésk yang tidak ada habisnya di kain kehidupan kasar dan tipis ini).

Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ adalah orang yang berjiwa muda dan kaya. Selain itu, ia adalah orang yang sangat suka berangan-angan. Sifat inilah yang membuat tokoh „‟Je‟‟ akhirnya mengeluh dengan keadaan yang dialaminya setelah berada di dalam penjara. Ia merasa bahwa keadaan beberapa tahun sebelum dirinya masuk penjara lebih baik daripada keadaan yang dialaminya selama beberapa minggu setelah menjadi seorang terpidana. Sebelum menjadi seorang terpidana, tokoh „‟Je‟‟ dapat berangan-angan tentang banyak hal setiap waktu. Angan-angan tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟ C‟étaient des jeunes filles, de splendides

chapes d‟évêque, des batailles gagnées, des théâtres plains de bruit et de lumière, et

puis encore des jeunes filles et de sombres promenades la nuit sous les larges bras des marronniers‟‟ yang dapat diartikan (Angan-angan tentang gadis-gadis, jubah uskup yang sangat bagus, pertempuran-pertempuran yang dimenangkan, teater penuh suara dan cahaya, lalu gadis-gadis lagi dan di malam hari yang suram di bawah lengan-lengan raksasa pohon-pohon sarangan).

Kutipan yang bercetak tebal tersebut menggambarkan beberapa angan-angan atau harapan-harapan tokoh „‟Je‟‟ sebelum dirinya menjadi seorang terpidana. Ia berangan-angan tentang gadis-gadis seperti yang ditunjukkan dalam kutipan C‟étaient des jeunes filles (Angan-angan tentang gadis-gadis). Kata gadis-gadis dalam kutipan di atas dipilih penulis untuk menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kenikmatan dunia. Selain itu, kutipan di atas juga didukung oleh kutipan „‟de splendides chapes d‟évêque‟‟ yang dapat diartikan (jubah uskup yang sangat bagus). Kata jubah uskup yang bagus dalam kutipan menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kemewahan dan kebesaran. Kutipan „‟ des batailles gagnées‟‟ yang dapat diartikan (pertempuran-pertempuran yang dimenangkan) menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kehormatan.

Sifat tokoh „‟Je‟‟ yang suka berangan-angan tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan yang dialaminya setelah berada di dalam penjara. Ia menjadi seorang tawanan yang selalu dihantui oleh rasa takut yang disebabkan oleh pikiran-pikiran tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan hakim padanya. Hal tersebutlah yang membuat tokoh „‟Je„‟ selalu mengeluh akan keadaan

Dokumen terkait