• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOUR D‟UN CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO

4.1 Pelukisan Tokoh „‟Je‟‟ Menurut Altenbernd dan Lewis

4.1.1 Teknik Ekspositori

4.1.2.2 Teknik Tingkah Laku

Terdapat beberapa data yang menunjukkan penokohan tokoh “Je” jika dianalisis dengan menggunakan teknik tingkah laku. Penulis menggambarkan

tingkahlaku tokoh „‟Je‟‟ tersebut dalam data ke-13, ke-14, dan data ke-15 pada halaman 89.

(13)

LDJDC/II/4

Je me levai ; mes dents claquaient, mes mains tremblaient et savaient où trouver mes vêtements, mes jambes étaient faibles. Au premier pas que je fis, je trébuchai comme un portefaix trop chargé. Cependant je suivis le geôlier.

Aku bangkit, gigiku bergemelatuk, tanganku gemetar dan tidak dapat menemukan pakaianku, kakiku terasa lemas. Begitu melangkah, aku langsung terhuyung-huyung seperti kuli angkut memanggul beban terlalu berat. Namun demikian, tetap kuikuti sipir penjara itu.

Setelah beberapa hari menghadiri persidangan, tokoh „‟Je‟‟ merasa bosan dan letih. Ia tertidur pulas di malam ketiga sejak persidangan pertama dimulai. Tokoh „‟Je‟‟ terbangun ketika seorang penjaga membangunkannya dengan kasar. Setelah terbangun, ia terlena memandang pantulan sinar matahari yang masuk melewati jendela kecil yang terletak sangat tinggi dan di langit-langit lorong yang terdapat di sebelah selnya. Tokoh „‟Je‟‟ sangat menikmati pemandangan tersebut. Ia sejenak dapat melupakan apa yang sedang dialaminya. Namun hal itu tiba-tiba sirna ketika penjaga mengingatkan bahwa dirinya harus kembali menghadiri persidangan dengan mengatakan kepada tokoh „‟Je‟‟ bahwa orang-orang telah menunggu kehadirannya di ruang persidangan.

Setelah mendengar perkataan penjaga, tokoh „‟Je„‟ akhirnya tersadar dan kembali dihantui oleh pikiran-pikiran buruk mengenai suasana persidangan yang begitu mengerikan. Rasa takut tokoh „‟Je‟‟ kembali muncul setelah sejenak hilang. Hal tersebut dapat kita lihat dari tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ setelah penjaga mengatakan bahwa dirinya harus kembali menghadiri persidangan yang digambarkan

penulis dalam kutipan berikut „„Je me levai ; mes dents claquaient, mes mains tremblaient et savaient où trouver mes vêtements, mes jambes étaient faibles. Au premier pas que je fis, je trébuchai comme un portefaix trop chargé „‟ (Aku bangkit, gigiku bergemelatuk, tanganku gemetar dan tidak dapat menemukan pakaianku, kakiku terasa lemas. Begitu melangkah, aku langsung terhuyung-huyung seperti kuli angkut memanggul beban terlalu berat. Namun demikian, tetap kuikuti sipir penjara itu).

Penulis menggunakan klausa-klausa „‟ mes dents claquaient, mes mains tremblaient „‟ (gigiku bergemelatuk, tanganku gemetar) untuk menggambarkan tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ yang sedang merasa takut, dan klausa-klausa „‟ne savaient où trouver mes vêtements, mes jambes étaient faibles. „‟ (tidak dapat menemukan pakaianku, kakiku terasa lemas) untuk menggambarkan dampak dari rasa takut yang dialami tokoh „‟Je‟‟. Ia menjadi linglung dan kakinya menjadi lemas. Selain itu, penulis menggunakan klausa „‟ Au premier pas que je fis, je trébuchai comme un portefaix trop chargé „‟ (Begitu melangkah, aku langsung terhuyung-huyung seperti kuli angkut memanggul beban terlalu berat) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang sangat merasa terbebani setelah menyadari bahwa dirinya akan kembali menghadiri persidangan yang selalu membuatnya merasa ngeri.

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seseorang memiliki ego dan temperamen yang tinggi. Karakter tokoh „‟je‟‟ tersebut membuat dirinya bersikap kekanak-kanakan ketika dirinya dihadapkan dengan situasi yang tidak sesuai dengan harapannya. Hal ini dapat dilihat dalam data ke-14 yang bercetak tebal pada halaman 87.

(14)

LDJDC/II/8

Tout à coup le président, qui n’attendait que l’avocat, m’invita à me

lever. La troupe porta les armes ; comme par un mouvement électrique,

toute l’assemblée fut debout au même instant. Une figure insignifiante et nulle, placée à placée à une table au-dessous du tribunal, c’était, je

pense, le greffier, prit la parole, et lut le verdict que le jurés avaient prononcé en mon absence. Une sueur froide sortit de tous mes membres ;

je m’appuyai au mur pour ne pas tomber.

-Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l‟application de la peine ? demanda le président.

J‟aurai eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta

collée à mon palais. Le défenseur se leva.

Je compris qu‟il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre

dessous, au lieu de peine qu‟elle provoquait, l‟autre peine, celle que j‟avais été si blessé de lui voir espérer.

Il fallut que l‟indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les

mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais

l‟helaine me manqua, et je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras,

en criant avec une force convulsive : Non !

Le procureur général combattit l‟avocat, et je l‟écoutai avec une

satisfaction stupide. Puis les juges sortirent, puis ils rentrèrent, et le prèsident me lut mon arrêt.

Mendadak ketua hakim, yang tadi hanya menunggu datangnya pembelaku, memintaku berdiri. Pasukan melakukan sikap senjata dengan gerakan terputus-putus, seluruh hadirin berdiri pada saat yang sama. Sesosok pria yang tidak menarik perhatian sama sekali dan tampak tidak berharga, yang mejanya berada dibawah meja pengadilan, angkat bicara dan membacakan keputusan yang telah ditetapkan oleh para juri selama aku tidak berada di sana. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Aku bersandar di dinding agar tidak jatuh.

-Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim.

Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satupun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit.

Pembela berdiri.

Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan, menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuat saya sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu.

Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku

ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati !

Namun napasku habis, dan aku hanya bias menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali: Tidak!

Jaksa tinggi menyerang balik pembela, dan aku mendengarkanya dengan rasa puas yang tolol. Kemudian para hakim keluar, masuk kembali, dan ketua hakim membacakan putusan hukumanku.

Ketika persidangan akan berakhir, setelah panitera pengadilan membacakan keputusan sementara hukuman yang telah dijatuhkan kepada tokoh „‟Je‟‟ yaitu hukuman mati, hakim memberikan kesempatan bagi tokoh „‟Je‟‟ dan pengacaranya untuk melakukan pembelaan agar supaya hukuman tokoh „‟Je‟‟ dapat diperingan. Namun, tokoh „‟Je‟‟ yang masih memendam rasa marah terhadap pengacara hanya terdiam, walaupun pada kenyataannya banyak yang ingin dikatakannya. Tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ tersebut dapat penulis ketahui dari kutipan yaitu „‟J‟aurai eu, moi,

tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais.„‟ yang dapat diartikan (Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satupun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit).

Penulis menggunakan kalimat „‟ Ma langue resta collée à mon palais „‟ (Lidahku seolah-olah melekat pada langit-langit) untuk menggambarkan keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ mendengar keputusan sementara hakim adalah hukuman mati sehingga ketika Sang hakim memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan pembelaan tokoh „‟Je‟‟ hanya terdiam. Sebaliknya, Sang pengacara mencoba melakukan pembelaan dengan harapan hukuman tokoh „‟Je‟‟ dapat diperingan sesuai dengan apa yang diharapkannya, namun tokoh „‟Je‟‟ yang masih dikuasai oleh rasa dendam dan sakit hati memiliki keinginan untuk menghentikan usaha pembelaan yang dilakukan oleh pengacara. Ia mengatakan bahwa dirinya lebih

memilih seratus kali lebih baik mati daripada harus mendapat hukuman kerja paksa seumur hidup. Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menghentikan usaha pembelaan pengacaranya dengan cara menarik lengannya dan berteriak mengatakan tidak. Tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ ini dapat penulis lihat dari kutipan yaitu ‟‟ Je ne pus que l‟arrêter rudement

par le bras, en criant avec une force convulsive : Non ! „‟ yang dapat diartikan (Aku tidak bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali: Tidak!). Selain itu, penulis menggambarkan emosi tokoh „‟Je‟‟ yang tidak terkendali melalui tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ yang tersirat dalam kutipan yaitu „‟ en criant avec une force convulsive : Non !„‟ (sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali: Tidak!).

Pengacara tetap berusaha melakukan pembalaan meski Jaksa tinggi menyerang balik dirinya. Tokoh „‟Je‟‟ yang melihat hal tersebut hanya terdiam dengan rasa puas yang tolol. Hal ini terlihat dalam kutipan „‟ Le procureur général

combattit l‟avocat, et je l‟écoutai avec une satisfaction stupide „‟ yang dapat diartikan (Jaksa tinggi menyerang balik pengacara, dan aku mendengarkannya dengan rasa puas yang tolol). Penulis menggunakan kata-kata „‟je l‟écoutai avec

une satisfaction stupide„‟ (aku mendengarkanya dengan rasa puas yang tolol). Kutipan di atas digunakan penulis untuk menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ menyadari bahwa keputusan untuk menghentikan usaha pembelaan yang dilakukan pengacaranya adalah sebuah keputusan yang bodoh walaupun hatinya telah merasa puas karena telah melakukan apa yang diinginkannya. Karakter tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi, dan temperamen yang tinggi tersebutlah yang membuat

dirinya bersikap kekanak-kanakan ketika dirinya dihadapkan pada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya.

Data ke-15 menggambarkan keterkejutan, ketakutan, dan daya tahan tubuh tokoh „‟Je‟‟ yang lemah sehingga tidak berdaya ketika menyadari bahwa para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup ternyata menyadari keberadaannya. Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ terkejut dan dirundung rasa takut. Rasa takut tokoh „‟Je‟‟ semakin bertambah besar ketika melihat para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup tersebut mencoba mendekatinya. Rasa takut yang begitu besar membuat tokoh „‟Je‟‟ mengalami tekanan yang begitu berat dan akhirnya jatuh pingsan. Penulis menggambarkan keterkejutan, rasa takut, dan ketidakberdayaan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dalam kutipan yang bercetak tebal di bawah ini.

(15)

LDJDC/XIII/30

Tout à coup, à travers la rêverie profonde où j‟étais tombé, je vis la ronde hurlante s‟arrêter et sa taire.

Puis tous les yeux se tournèrent vers la fenêtre que j‟occupais. – Le condamné ! Le condamné ! Crièrent-ils tous en me montrant du doigt ; et les explosions de joie redoublèrent.

Je restai pétrifié.

J‟ignore d‟où ils me connaissaient et comment ils m‟avaient reconnu.

-Bonjour ! Bonsoir ! me crièrent-ils avec leur ricanement atroce. Un des plus jeunes, condamné aux galères perpétuelles, face luisante et

plombée, me regarda d‟un air d‟envie en disant : -Il est heureux ! Il sera rogné ! Adieu, camarade !

Je ne puis dire ce qui se passait en moi. J‟étais leur camarade en effet. La Grève et sœur de Toulon. J‟étais même placé plus bas qu‟eux : ils me faisaient honneur, je frissonnai.

Oui, leur camarade ! Et quelques jours plus tard, j’aurais pu aussi, moi,

être un spectacle pour eux.

J‟étais demeuré à la fenêtre, immobile, perclus, paralysé. Mais quand je

vis les cinq cordons s’avancer, se ruer vers moi avec des paroles d’une

infernal cordialité ; quand j’entendais le tumultueux fracas de leurs

chaines, de leurs pas, au pied du mur, il me sembla que cette nuée de démons escaladait ma misérable cellule ; je poussai un cri, je me jetai

verrous étaient tirés en dehors. Je heurtai. J‟appelai avec rage. Puis il me sembla entendre de plus près encore les effrayantes voix des forçats. Je crus voir leur tête hideuse paraître déjà au bord de ma fenêtre, je

poussai un second cri d‟angoisse, et je tombai évanoui.

Tiba-tiba, di sela lamunan yang jauh menyeretku, kulihat lingkaran orang yang menari sambil berteriak-teriak itu berhenti dan bungkam. Kemudian semua orang memandang ke arah jendela yang kutempati. –Orang yang dihukum mati ! Orang yang dihukum mati ! Mereka semua berteriak sambil menudingku, dan ledakan gembira menjadi berlipat-lipat ganda lagi.

Aku diam terpaku.

Aku tidak tahu dari mana mereka mengenaliku dan bagaimana mereka tadi bisa mengenaliku.

- Selamat siang ! Selamat sore ! teriak mereka kapadaku dengan tawa konyol yang menyeramkan. Di antara mereka terdapat pemuda yang dijatuhi hukuman kerja paksa seumur hidup. Wajahnya berkeringat dan kulitnya hitam legam. Ia memandangiku dengan rasa iri sambil berkata: -Ia bahagia! Ia akan dipangkas! Selamat berpisah kamarad!

Aku tidak dapat mengatakan apa yang terjadi pada diriku. Dan memang, aku kamarad mereka. Bunderan Grève merupakan saudara kembar Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah dari mereka: mereka memberi hormat padaku. Aku gemetar.

Ya, kamarad mereka! Dan beberapa hari lagi, aku, aku juga bisa menjadi tontonan mereka. Aku diam dijendela, tidak bergerak, terpana, tanpa daya. Tapi, saat kelima renteng orang perantaian itu bergerak maju, menyerbu kearahku dengan kata-kata ramah tamah yang sangat menyiksaku, saat aku mendengar kegaduhan yang kacau balau rantai-rantai mereka, sorak sorai mereka, langkah-langkah mereka dibawah tembok, rasanya rombongan setan ini seperti memanjat menuju selku yang mengenaskan. Aku menjerit keras, kuhempaskan diriku keras-keras ke pintu untuk menjebolnya, tapi tidak ada jalan untuk melarikan diri. Gerandelnya di kancing dari luar. Aku berusaha mendobraknya sambil berteriak marah. Kemudian sepertinya aku mendengar suara-suara pekerja paksa yang menakutkan itu semakin mendekat lagi. Aku rasanya melihat muka-muka mereka yang seram menakutkan muncul di tepi jendelaku, untuk kedua kalinya aku kembali meneriakkan jeritan ketakutan dan aku pingsan.

Tokoh „‟Je‟‟ yang sedang menyaksikan pertunjukan pemasangan rantai para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup sedang melamun ketika menyadari bahwa para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup ternyata mengenali dirinya

dan sadar akan keberadaannya. Penulis menggambarkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Tout à coup, à travers la rêverie profonde où j‟étais tombé, je vis la ronde hurlante s‟arrêter et sa taire. Puis tous les yeux se tournèrent vers la fenêtre que

j‟occupais. – Le condamné ! Le condamné ! Crièrent-ils tous en me montrant du

doigt ; et les explosions de joie redoublèrent.„‟ (Tiba-tiba, di sela lamunan yang jauh menyeretku, kulihat lingkaran orang yang menari sambil berteriak-teriak itu berhenti dan bungkam. Kemudian semua orang memandang ka arah jendela yang kutempati. –Orang yang dihukum mati ! Orang yang dihukum mati ! Mereka semua berteriak sambil menudingku, dan ledakan gembira menjadi berlipat-lipat ganda lagi).

Dari kutipan di atas, penulis mencoba menggambarkan kejadian ketika para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup menyadari keberadaan tokoh „‟Je‟‟. Para terpidana tersebut merasa sangat senang ketika melihat tokoh „‟Je‟‟ dari kejauhan. Tokoh „‟Je‟‟ yang tidak menyangka hal itu dapat terjadi hanya dapat diam terpaku. Tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ tersebut menunjukkan keterkejutan yang dialaminya disebabkan kejadian tersebut terjadi tiba-tiba dan tidak pernah didugannya sebelumnya. Keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ terlihat dari keheranan yang dialaminya seperti yang tergambar dalam kutipan „‟J‟ignore d‟où ils me connaissaient et comment ils m‟avaient reconnu.„‟ (Aku tidak tahu dari mana mereka mengenaliku dan bagaimana mereka tadi bisa mengenaliku). Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa heran dan bingung ketika para terpidana ternyata mengenalinya. Orang-orang itu menyapa tokoh „‟Je‟‟ dengan

wajah gembira. Mereka berkomentar tentang tokoh „‟Je‟‟. Melihat perilaku para terpidana hukuman kerja paksa itu membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa takut.

Tokoh „‟Je‟‟ yang melihat tingkah laku dan mendengar komentar para terpidana terhadap dirinya hanya dapat menerima dengan rendah diri. Sifat merendah tokoh „‟Je‟‟ tersirat dalam kutipan „‟Je ne puis dire ce qui se passait en moi. J‟étais leur camarade en effet. La Grève et sœur de Toulon. J‟étais même placé plus bas qu‟eux„‟ (Aku tidak dapat mengatakan apa yang terjadi pada diriku. Dan memang, aku kamarad mereka. Bunderan Grève merupakan saudara kembar Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah dari mereka). Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang hanya terdiam dan tidak melakukan pembelaan ketika mendengar perkataan para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup. Ia merasa rendah diri dengan mengatakan bahwa dirinya lebih rendah daripada mereka.

Penulis menggunakan kalimat-kalimat „‟La Grève et sœur de Toulon. J‟étais

même placé plus bas qu‟eux. „‟ (Bunderan Grève merupakan saudara kembar

Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah dari mereka) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa rendah diri. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ merasa takut. Ketakutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dalam klausa „‟ je frissonnai „‟ (Aku gemetar). Beberepa saat setelah mengatahui keberadaan tokoh „‟Je‟‟, para terpidana hukuman kerja paksa tersebut kemudian melontarkan kata-kata yang membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa rendah diri. Selain itu, mereka mencoba mendekati tempat di mana tokoh „‟Je‟‟ berada. Tokoh „‟Je‟‟ yang sedang melamun sangat terkejut melihat hal tersebut.

Tokoh „‟Je‟‟ merasakan ketakutan yang luar biasa setelah melihat tingkah laku para terpidana kerja paksa setelah mengetahui keberadaannya. Ketakutan tokoh

„‟Je‟‟ dapat kita lihat dari tingkah laku yang yang ditunjukkannya ketika mengetahui bahwa para terpidana mencoba mendekati tempat di mana dirinya berada. Penulis menunjukkan hal tersebut dengan menggunakan kalimat-kalimat „‟ je poussai un cri,

je me jetai sur la porte d‟une violence à la briser ; mais pas moyen de fuir. Les

verrous étaient tirés en dehors. Je heurtai. J‟appelai avec rage „‟ (Aku menjerit keras, kuhempaskan diriku keras-keras ke pintu untuk menjebolnya, tapi tidak ada jalan untuk melarikan diri. Gerandelnya di kancing dari luar. Aku berusaha mendobraknya sambil berteriak marah). Kutipan tersebut menggambarkan tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ yang merasa ketakutan ketika dirinya sadar bahwa para terpidana kerja paksa seumur hidup mencoba mendekati tempat dirinya berada. Tokoh „‟Je‟‟ yang ketakutan mencoba menjerit keras, dan mencoba melarikan diri dengan berusah mendobrak pintu yang dikunci dari luar. Rasa takut tokoh „‟Je‟‟ bertambah besar ketika dirinya merasa para terpidana telah berada sangat dekat dari tempat di mana dirinya berada. Rasa takut tokoh „‟Je‟‟ yang sangat besar tersebut membuat dirinya akhirnya jatuh pingsan. Penulis menunjukkan hal tersebut dalam kutipan „‟je poussai un second cri d‟angoisse, et je tombai évanoui„‟ (untuk kedua kalinya aku kembali meneriakkan jeritan ketakutan dan aku pingsan).

Dokumen terkait