• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOUR D‟UN CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO

4.1 Pelukisan Tokoh „‟Je‟‟ Menurut Altenbernd dan Lewis

4.1.1 Teknik Ekspositori

4.1.2.1 Teknik Cakapan

Penokohan tokoh “Je” yang digambarkan penulis melalui teknik cakapan dapat kita lihat dalam data-data yang terdapat pada halaman berikut ini.

(9)

LDJDC/II/7

Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner

copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire.

+J‟espère, me dit-il.

- N‟est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi.

+ Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.

- Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort !

Di saat itu pembelaku tiba. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dengan lahap. Sampai ditempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum.

+ Mudah-mudahan, katanya kepadaku.

- Harus! Jawabku ringan, juga sambil tersenyum.

+ Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin

mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga jadi kerja

paksa seumur hidup.

- Bapak ini bicara apa? Tukasku marah, seratus kali lebih baik kematian!

Detik-detik sebelum persidangan dimulai tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan bahwa keputusan hakim adalah kebebasaan. Persidangan pun akhirnya dimulai setelah pengacara yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ketika sampai di tempat duduknya, pengacara mencondongkan tubuhnya ke arah tokoh „‟Je‟‟ dan mengatakan „‟ + J‟espère „‟ (+ Aku berharap). Kata „aku berharap‟ dalam kutipan tersebut mengandung makna harapan pengacara agar apa yang diharapkannya dapat terkabul. Tokoh „‟Je‟‟ yang belum mengetahui harapan pengacaranya kemudian menjawab dengan penuh rasa senang, keyakinan dan dengan tegasan mengatakan

benarkah seperti dalam kutipan „‟- N‟est-ce pas !„‟ (- Benarkah!). Kata „benarkah‟ dalam kutipan mengandung perasaan senang tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki harapan mendapatkan kebebasan. Penulis menggunakan tanda seru pada akhir kalimat berfungsi untuk menggambarkan keyakinan dan ketegasan tokoh „‟Je‟‟ terhadap apa yang diharapkannya.

Pengacara akhirnya mengatakan bahwa dirinya berharap hakim dapat memperingan hukuman tokoh „‟Je‟‟ menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Penulis menunjukkan harapan pengacara dalam kutipan „‟ + Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité „‟ (+ Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur

„‟terencana‟‟, hingga jadi kerja paksa seumur hidup). Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki karakter temperamen tiba-tiba marah. Ia terkejut mendengar pernyataan pengacara yang sangat bertolakbelakang dengan harapannya. Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi kemudian berdalih bahwa dirinya lebih memilih mendapat hukuman mati daripada harus dihukum kerja paksa seumur hidup. Keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dari pertanyaan yang ditujukannya kepada pengacara dalam kutipan „‟ - Que dites-vous là, monsieur ?„‟ (- Bapak ini bicara apa?). Penulis menggunakan tanda tanya dalam kutipan di atas untuk menggambarkan keterkejutan dan ketidakpahaman tokoh „‟Je‟‟ terhadap pernyataan pengacara yang sangat bertolakbelakang dengan harapannya. Pernyataan pengacara tersebut membuatnya sangat terkejut.

Selain membuat tokoh „‟Je‟‟ terkejut, pernyataan pengacara tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki temperamen yang tinggi tiba-tiba marah setelah mendengarnya. Harga diri yang tinggi membuat dirinya tidak dapat menerima pemikiran pengacara yang tidak sependapat dengannya. Sifat egois tokoh „‟Je‟‟ membuat dirinya memutuskan untuk lebih memilih keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah seratus kali lebih baik hukuman mati daripada harus mendapat keputusan hukuman kerja paksa seumur hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari kata-kata tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟- plutôt cent fois la mort ! „‟ (- Seratus kali lebih baik kematian!). Penulis menggunakan tanda seru pada akhir kalimat untuk menggambarkan rasa marah tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar. Karakter -karakter tokoh „‟Je‟‟ yang temperamen, teguh pendirian, dan egois tersebutlah yang nantinya menyebabkan terjadinya konflik batin padanya. Hal ini akan dibahas penulis pada sub bab berikutnya.

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ bersikap acuh tak acuh ketika mengetahui bahwa permohonan naik bandingnya telah ditolak oleh bapak Jaksa Tinggi. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan yang bercetak tebal di bawah ini.

(10)

LDJDC/XX1/43

La porte s’est rouverte une seconde fois. Le bruit des verrous nous a

arrachés, moi à ma stupeur, lui à son discours. Une espèce de monsieur

en habit noir, accompagné du directeur de la prison, s’est présenté, et m’a salué profondément. Cet homme avait sur le visage quelque chose de la tristesse officielle des employés des pompes funèbres. Il tenait un rouleau de papier à la main.

+ Monsieur, m‟a-t-il dit avec un sourire de courtoisie, je suis huissier

près la cour royale de Paris. J‟ai l‟honneur de vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général.

La première secousse était passée. Toute ma présence d’esprit m’était

- C‟est monsieur le procureur général, lui ai-je répondu, qui a demandé si instamment ma tête ? Bien de l‟honneur pour moi qu‟il m‟écrive. J‟espère que ma mort lui va faire grand plaisir ? Car il me

serait dur de penser qu‟il l‟a sollicitée avec tant d‟ardeur et qu‟elle lui

était indifférente.

J’ai dit tout cela, et j’ai repris d’une voix ferme : - Lisez, monsieur !

Il s’est mis à me lire un long texte, en chantant à la fin de chaque ligne et

en hésitant au milieu de chaque mot. C’était le rejet de mon pourvoi. + L‟arrêt sera exécuté aujourd‟hui en place de Grève, a-t-il ajouté quand il a eu terminé, sans lever les yeux de dessus son papier timbré. Nous partons à sept heures et demie précises pour la Conciergerie. Mon cher monsieur, aurez-vous l‟extrême bonté de me suivre ?

Depuis quelques instants je ne l’écoutais plus. Le directeur causait avec

le prêtre ; lui, avait l’œil fixé sur son papier ; je regardais la porte, qui

était restée entr’ouverte… - Ah ! Misérable ! Quatre fusiliers dans le corridor !

L’huissier a répété sa question, en me regardant cette fois. - Quand vous voudrez, lui ai-je répondu. A votre aise !

Il m’a salué en disant :

+ J’aurais l’honneur de venir vous chercher dans une demi-heure.

Pintu terbuka untuk kedua kalinya. Bunyi gerandel menyadarkan kami kembali, menyadarkanku dari rasa terpukau, menyadarkannya dari pidatonya. Sesosok lelaki berpakaian hitam, ditemani direktur penjara, memperkenalkan diri dan memberiku salam dalam-dalam. Orang ini wajahnya menampakkan semacam kesedihan resmi para pegawai pemakaman. Ia memegang sebuah gulungan kertas di tangannya.

+ Tuan, ia berkata kepadaku dengan sebuah senyum basa-basi, saya pelaksana keputusan pengadilan kerajaan Paris. Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada anda surat dari Jaksa Tinggi.

Guncangan pertama lewat. Semua jiwaku telah kembali mengumpul. - Itu bapak Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah meminta

kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat kepadaku. Moga-moga kematianku akan membuat dirinya senang? Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana ia, yang dulu sedemikian bernafsu menginginkanku, kini bersikap masa bodoh tentang hal itu. Kukatan semua itu, dan kulanjutkan dengan suara tegas:

- Bacalah, Tuan!

Ia kemudian mulai membacakanku sebuah naskah yang panjang, dengan memberi irama di setiap akhir baris dan dengan keraguan di setiap tengah kata. Itu penolakan permohonan naik bandingku.

+ Keputusan akan dilaksanakan hari ini di bunderan Grève, tambahnya setelah ia menyelesaikan bacaannya, tanpa mengalihkan

pandangannya dari kertas bersegel itu. kita akan berangkat jam setengah delapan tepat menuju gedung Conciergerie. Sudikah kiranya Tuan ikut denganku?

Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah tidak mendengarkannya lagi. Direktur penjara berbincang-bincang dengan bapak pendeta, pelaksana keputusan pengadilan menatap lekat-lekat kertasnya, aku melirik ke pintu yang dibiarkan sedikit terbuka…

- Ah, sial! Empat serdadu memegang bedil berdiri di lorong! Petugas itu tadi mengulang pertanyaannya, kali ini sambil melihatku.

- Kapan saja terserah Anda! Ia pamit sambil berkata:

- Saya akan merasa terhormat untuk kembali menjemput Anda setengah jam lagi.

Sehari setelah kembali dari balai pengobatan, seperti biasanya tokoh „‟Je‟‟ menghabiskan waktunya dengan menulis. Pagi di hari pertama setelah dirinya kembali ke sel, tokoh „‟Je‟‟ merasa heran dengan perlakuan penuh perhatian yang ditunjukkan oleh orang-orang yang berada disekitarnya. Seperti perilaku penjaga yang biasanya kasar, tiba-tiba perhatian dengan menanyakan dirinya ingin memakan apa, dan direktur yang tiba-tiba datang untuk menanyakan keadaan kesehatannya. Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ bertanya-tanya dan merasa khawatir. Ia baru merasa tenang setelah direktur akhirnya meninggalkan dirinya bersama dengan pendeta. Namun, beberapa saat kemudian direktur kembali datang bersama dengan pelaksana keputusan pengadilan. Pelaksana keputusan hukuman kemudian mengatakan bahwa dirinya membawa surat dari bapak Jaksa Tinggi seperti dalam kutipan „‟ - Monsieur, m‟a-t-il dit avec un sourire de courtoisie, je suis huissier

près la cour royale de Paris. J‟ai l‟honneur de vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général.„‟ yang dapat diartikan (- Tuan, ia berkata kepadaku dengan sebuah senyum basa-basi, saya pelaksana keputusan pengadilan kerajaan Paris. Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan

kepada anda surat dari Jaksa Tinggi). Tokoh „‟Je‟‟ sama sekali tidak berpikir bahwa surat tersebut adalah surat penolakan permohonan naik bandingnya dengan mengatakan kepada utusan pelaksana hukuman „‟ C‟est monsieur le procureur

général, lui ai-je répondu, qui a demandé si instamment ma tête? Bien de

l‟honneur pour moi qu‟il m‟écrive. J‟espère que ma mort lui va faire grand

plaisir ? Car il me serait dur de penser qu‟il l‟a sollicitée avec tant d‟ardeur et qu‟elle lui était indifférente.„‟ yang dapat diartikan (Itu bapak Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah meminta kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat kepadaku. Moga-moga kematianku akan membuat dirinya senang? Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana ia, yang dulu sedemikian bernafsu menginginkanku, kini bersikap masa bodoh tentang hal itu).

Kutipan di atas menggambarkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ pada awalnya berpikir bahwa surat tersebut adalah surat pribadi yang dikirimkan bapak Jaksa Tinggi kepadanya. Ia sama sekali tidak berpikir bahwa surat tersebut adalah surat penolakan permohonan naik bandingnya. Ia hanya merasa heran dengan sikap bapak Jaksa Tinggi yang tiba-tiba mengiriminya surat, padahal bapak Jaksa Tinggi adalah satu-satunya orang yang berharap dirinya mendapat hukuman mati. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya meminta utusan pelaksana hukuman untuk membacakan surat tersebut untuknya dengan berkata „‟-

Lisez, Monsieur !„‟ (- Bacalah, Tuan !).

Tokoh „‟Je‟‟ yang pada awalnya tidak menduga bahwa surat tersebut berisi tentang penolakan permohonan naik bandingnya, akhirnya mengetahui dengan jelas setelah utusan tersebut membacakan surat tersebut. Selain itu, utusan pelaksana

hukuman juga memberitahukan bahwa pelaksanaan hukuman tokoh „‟Je‟‟ akan segera dilaksanakan dan mereka akan berangkat ke gedung Conciergerie pada jam setengah delapan tepat. Hal tersebut dapat diketahui dari perkataan pembela dalam kutipan „‟-L‟arrêt sera exécuter aujourd‟hui en place de Grève, a-t-il ajouté quand il a eu terminé, sans lever les yeux de dessus son papier timbre. Nous partons à sept heures et demie précises pour la Conciergerie. Mon cher monsieur,

aurez-vous l‟extrême bonté de me suivre ?„‟ yang dapat diartikan (- Keputusan akan dilaksanakan hari ini di bunderan Grève, tambahnya setelah ia menyelesaikan bacaannya, tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas bersegel itu. kita akan berangkat jam setengah delapan tepat menuju gedung Conciergerie.

Sudikah kiranya Tuan ikut denganku ?).

Setelah mengetahui bahwa permohonan naik bandingnya ditolak, tokoh „‟Je‟‟ tidak lagi memperhatikan perkataan pelaksana hukuman. Ia tidak menjawab pertanyaan yang diajukan pelaksana hukuman karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia memperhatikan keadaan disekitarnya untuk mencari kesempatan melarikan diri dari penjara. Hal tersebut membuat pelaksana hukuman tersebut akhirnya kembali mengulang pertanyaannya. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya menjawab dengan acuh tak acuh pertanyaan pelaksana hukuman dengan berkata „‟ - Quand vous voudrez, lui ai-je répondu. A votre aise !„‟ ( - Kapan saja, terserah Anda, jawabku kepadanya. Sesuka Anda !).

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang yang percaya dengan adanya Tuhan. Hal tersebut lah yang membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa kecewa kepada pendeta karena telah mengatakan bahwa dirinya meragukan perkataan tokoh

„‟Je‟‟ yang mengatakan bahwa dirinya percaya akan adanya Tuhan. Tokoh „‟Je‟‟ mencoba membela dirinya. Kekecewaan terhadap pendeta membuat dirinya tidak lagi memperhatikan khotbahnya. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ memintanya untuk meninggalkannya dan membiarkan dirinya sendiri. Hal tersebut dapat kita lihat dalam data berikut.

(11)

LDJDC/XXX/67

Nous nous sommes assis, lui sur la chaise, mot sur le lit. Il m’a dit : + Mon fils…

Ce mot m’a ouvert le cœur. Il a continué : + Mon fils, croyez-vous en Dieu ?

- Oui, mon père, lui ai-je répondu.

+ Croyez-vous en la sainte église catholique, apostolique et romaine ? - Volontiers, lui ai-je dit.

+ Mon fils, a-t-il repris, vous avez l‟air de douter.

Alors il s’est mis à parler. Il a parlé longtemps ; il a dit beaucoup de paroles ; puis, quand il a cru avoir fini, il s’est levé et m’a regardé pour

la première fois depuis le commencement de son discours, en

m’interrogeant : + Eh bien ?

Je proteste que je l‟avais écouté avec avidité d‟abord, puis avec

attention, puis avec dévouement. Je me suis levé aussi.

- Monsieur, lui ai-je-répondu, laissez-moi seul, je vous prie.

Il m’a demandé :

+ Quand reviendrai-je ? - je vous le ferai savoir.

Alors il est sorti sans colère, mais en hochant la tête, comme se disant à lui-même :

-Un impie !

Kami berdua duduk ; ia di kursi, aku di pelbet. Ia berkata kepadaku :

+ Anakku…

Kata-kata ini membuka hatiku. Ia melanjutkan : + Anankku, kamu percaya Tuhan ?

- Ya, Bapa, Jawabku kepadanya.

+ Kamu percaya kepada gereja Katholik, para rosul dan orang-orang Roma yang suci?

- Dengan segenap hati, kataku padanya.

Dan ia kemudian mulai berbicara. Ia berbicara lama sekali, ia mengucapkan banyak kata. Kemudian setelah menurutnya selesai, ia berdiri dan memandangiku untuk pertama kali sejak awal khotbahnya, sambil bertanya kepadaku:

+ Ha! Bagaimana?

Aku protes karena mulanya aku mendengarkannya dengan bernafsu, kemudian dengan perhatian dan setelah itu dengan ketulusan.

Aku juga bangkit berdiri.

-Tuan, kataku kepadanya, tolong tinggalkan aku sendiri. Ia menanyaiku:

+ Kapan aku harus kembali? -Aku akan memberitahukannya.

Dan ia keluar tanpa marah, tapi sambil menggeleng-gelengkan kepala, seolah berkata kapada dirinya sendiri:

+ Orang yang tidak percaya Tuhan.

Beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi, tokoh „‟Je‟‟ kembali bertemu dengan pendeta yang mendampinginya sejak pagi terakhirnya ketika masih berada di

Bicêtre. Tokoh „‟Je‟‟ merasa senang dengan kedatangan kembali Sang pendeta, meskipun ketika berada di sepanjang jalan menuju Balai Kota dirinya tidak terlalu memperhatikan perkataannya. Tokoh „‟Je‟‟ sejenak merasa antusias untuk mendengarkan khotbah pendeta tersebut. Ia berharap dirinya dapat sedikit merasakan ketenangan setelah mendengarkan khotbahnya.

Tokoh „‟Je‟‟ yang merasa antusias dapat dilihat dari tanggapannya terhadap setiap pertanyaan yang diajukan oleh pendeta kepadanya. Ia menjawab pertanyaan yang diajukan pendeta dengan sungguh-sungguh. Pada awal pembicaraan, sang pendeta memanggil tokoh „‟Je‟‟ dengan sebutan nak, hal tersebut membuat hati tokoh „‟Je‟‟ sedikit tersentuh. Pendeta kemudian melanjutkan pembicaraan dengan mengajukan sebuah pertanyaan kepada tokoh „‟Je‟‟ untuk mengetahui apakah tokoh „‟Je‟‟ adalah orang yang percaya akan adanya Tuhan. Pertanyaan tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟ -Mon fils, croyez-vous en Dieu ?‟‟ (-Anakku, kamu percaya

Tuhan ?). Tokoh „‟Je‟‟ kemudian mengiyakan pertanyaan pendeta. Ia mengatakan kepada pendeta bahwa dirinya adalah orang yang percaya akan adanya tuhan seperti kata-katanya tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟ -Oui, mon père, lui ai-je répondu „‟ (-Ya, Bapa, Jawabku kepadanya).

Pendeta kemudian mengajukan kembali pertanyaan yang memiliki makna yang sama seperti yang terlihat dalam kutipan „‟ -Croyez-vous en la sainte église catholique, apostolique et romaine ?„‟ (-Kamu percaya kepada gereja Katholik, para rosul dan orang-orang Roma yang suci?). Tokoh „‟Je‟‟ kemudian kembali menjawab dengan baik dan tulus pertanyaan pendeta. Ia dengan jujur mengatakan bahwa dirinya percaya dengan segenab hatinya kepada gereja Katholik, kepada rosul, dan orang-orang Roma yang suci. Hal tersebut dapat kita lihat dari jawaban tokoh „‟Je‟‟ terhadap pertanyaan yang diajukan oleh pembela dalam kutipan „‟ Volonties, lui ai-je dit. „‟ (- Dengan segenap hati, kataku kepadanya). Namun perasaan antusias tokoh „‟Je‟‟ untuk mendengarkan khotbah pendeta sirna ketika akhirnya tokoh „‟Je‟‟ merasa kecewa setelah mendengar pernyataan pendeta yang menyatakan bahwa dirinya meragukan jawaban tokoh „‟Je‟‟ tersebut. Pernyataan pendeta tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟- Mon fils, a-t-il repris, vous avez l‟air de douter.„‟ (- Anakku, katanya lagi, kamu kelihatannya meragukan). Tokoh „‟Je‟‟ kecewa karena dirinya merasa telah berusaha mendengarkan khotbah pendeta dengan sangat antusias, dengan penuh perhatian dan dengan tulus. Selain itu, ia telah menyatakan dengan jelas bahwa dirinya mempercayai adanya Tuhan. Kekecewaan tokoh „‟Je‟‟ terlihat dari reaksi yang ditunjukkannya ketika pendeta meminta komentarnya tentang apa yang telah dibicarakannya panjang lebar, tokoh „‟Je‟‟ meminta sang

pendeta untuk meninggalkan dirinya sendiri, dan tidak lagi peduli dengan apa yang dikatakan oleh pendeta kepadanya seperti dalam kutipan berikut „‟ - Monsieur, lui ai-je-répondu, laissez-moi seul, je vous prie. „‟ (- Tuan, kataku kepadanya, tinggalkan aku sendiri, aku memohon padamu). Kutipan di atas menunjukkan sikap tokoh „‟Je‟‟ ketika meminta pendeta untuk meninggalkan dirinya sendiri. Hal tersebut dilakukan tokoh „‟Je‟‟ karena dirinya merasa kecewa terhadap ucapan pendeta.

Data berikut menggambarkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ bersikap acuh tak acuh ketika utusan pelaksana hukumannya bertanya tentang berita yang sedang diperbincangkan orang-orang pada hari di mana dirinya akan dieksekusi. Pelaksana hukuman yang menilai bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang yang melankolis dan terlalu banyak berpikir tersebut terkejut ketika tokoh „‟Je‟‟ dengan acuh tak acuh mengatakan bahwa dirinya lebih tua dari pada pelaksana hukuman yang pantas menjadi kakeknya. Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam data berikut.

(12)

LDJDC/XXII/51

+ Eh bien ! Monsieur l’abbé, disait-il avec un accent presque gai, qu’est -ce que vous savez de nouveau ?

C’est vers le prêtre qu’il se retournait en parlant ainsi.

L’aumônier, qui me parlait sans relâche, et que la voiture assourdissait,

n’a pas répondu.

+ Hé ! Hé ! a repris l’huissier en haussant la voix pour avoir le dessus

sur le bruit des roues ; infernal voiture ! Il a continué :

+ Sans doute, c‟est le cachot; on ne s‟entend pas. Qu‟est-ce que je voulais donc dire ? Faites-moi le plaisir de m‟apprendre ce que je voulais dire, monsieur l‟abbé ? + Ah ! Savez-vous la grande nouvelle de paris, aujourd‟hui ?

J’ai tressailli, comme s’il parlait de moi.

+ Non, a dit le prêtre. Qui avait enfin entendu, je n’ai pas eu le temps de

comme cela toute la journée, je recommande au portier de me garder mes journaux, et je les lis en rentrant.

+ Bah ! A repris l’huissier. Il est impossible que vous ne sachiez pas

cela. La nouvelle de Paris ! La nouvelle de ce matin !

J‟ai pris la parole : - je crois la savoir.

L’huissier m’a regardé.

+ Vous ! Vraiment ! En ce cas, qu‟en dites-vous ? - Vous êtes curieux ! Lui ai-je dit.

+ Pourquoi, monsieur ? A répliqué l‟huissier. Chacun a son opinion

politique. Je vous estime trop pour croire que vous n‟avez pas la vôtre.

Quant à moi. Je suis tout à fait d‟avis du rétablissement de la garde nationale. J‟étais sergent de ma compagnie, et, ma foi, c‟étais fort

agréable.

Je l’ai interrompu.

- Je ne croyais pas que ce fût de cela qu‟il s‟agissait.

+ Et de quoi donc ? Vous disiez savoir la nouvelle…

- Je parlais d‟une autre, dont Paris s‟occupe aussi aujourd‟hui.

L’imbécile n’a pas compris; sa curiosité s’est éveillée.

+ Une autre nouvelle ? Où diable avez-vous pu apprendre des

Dokumen terkait