• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOUR D‟UN CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO

4.1 Pelukisan Tokoh „‟Je‟‟ Menurut Altenbernd dan Lewis

4.1.1 Teknik Ekspositori

4.1.2.3 Teknik Pikiran dan Perasaan

Tokoh „‟Je‟‟ selalu dihantui oleh rasa khawatir yang disebabkan oleh pikiran -pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati dan perasaan ngeri yang disebabkan oleh suasana persidangan yang menyeramkan. Namun sesaat sebelum persidangan dimulai, tidak seperti biasanya tokoh „‟Je‟‟ tidak merasa takut

menghadapi persidangan. Ia berharap keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya bukan hukuman mati. Penulis menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dalam data ke-16 dan data ke-17 pada halaman 97.

(16)

LDJDC/II/6

Les juges, au fond de la salle, avaient l‟air satisfait, probablement de la joie d‟avoir bientôt fini. Le visage du président, doucement éclairé par

le reflet d‟une vitre, avait quelque chose de calme et de bon ; et un jeune assesseur causait presque gaiement en chiffonnant son rabat avec une jolie dame en chapeau rose. Placée par faveur derrière lui.

Les jurés seuls paraissaient blêmes et abattus, c‟étais apparemment de fatigue d‟avoir veillé toute la nuit. Quelques-uns bâillaient. Rien, dans

leur contenance, n‟annonçait des hommes qui viennent de porter une

sentence de mort ; et sur les figures de ces bons bourgeois je ne

devinais qu‟une grande envie de dormir.

Di ujung ruangan, para hakim tampak puas, barangkali gembira karena sebentar lagi dapat menyelesaikan semua ini. Wajah ketuannya, yang lembut diterangi pantulan sinar sebuah jendela kaca, menunjukkan kekaleman dan kebaikan. Seorang asesor, penguji serta, berbincang hampir dengan gembira sambil mempermaikan kelepak bajunya dengan seorang wanita cantik yang mengenakan topi merah jambu yang mendapat keistimewaan duduk dibelakangnya.

Hanya para jurinya saja yang tampak pucat dan lelah, tapi kelelahan itu kelihatannya disebabkan karena mereka begadang semalam. Beberapa diantaranya menguap. Tak satu pun dalam sikapnya menunjukkan bahwa mereka baru saja telah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati. Yang dapat kutebak dari wajah orang-orang kaya itu hanyalah keinginan mereka yang sangat besar untuk segera tidur.

Di hari ke tiga persidangan yaitu hari saat di mana hakim akan membacakan keputusan hukuman, tokoh „‟Je‟‟ yang biasanya dihantui oleh rasa khawatir dan rasa ngeri tiba-tiba tidak merasa takut ketika menghadapi kenyataan bahwa dirinya harus kembali menghadiri persidangan. Ia mengamati orang-orang yang berada di dalam ruang persidangan dan mengamati suasana di sekitar ruang sidang. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mengambarkan sosok para hakim yang berada di ujung ruangan sidang.

Mereka tampak merasa puas dan merasa gembira. Kegembiraan tersebut mungkin disebabkan karena akhirnya persidangan akan berakhir. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mengamati wajah ketuaan para hakim yang diterangi oleh pantulan sinar yang berasal dari sebuah jendela kaca menunjukkan ketenangan dan kebaikan. Seorang asesor dengan wajah gembira berbincang sambil mempermainkan kelepak bajunya kepada seorang wanita cantik bertopi merah yang mendapatkan keistimewaan duduk di belakangnya. Hanya para juri saja yang diperhatikan tokoh „‟je‟‟ tampak pucat dan lelah. Menurutnya, mereka lelah dikarenakan mereka telah begadang semalaman. Setelah melakukan pengamatan terhadap para ahli hukum tersebut, tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan bahwa keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya bukan hukuman mati. Ia berharap keputusan yang akan dijatuhkan kepadanya adalah keputusan yang menggembirakan seperti halnya rawut muka gembira yang terpancar di wajah para ahli hukum tersebut.

Penulis menggunakan kata-kata „‟ Les juges, au fond de la salle, avaient

l‟air satisfait, probablement de la joie d‟avoir bientôt fini. Le visage du président,

doucement éclairé par le reflet d‟une vitre, avait quelque chose de calme et de

bon ; et un jeune assesseur causait presque gaiement en chiffonnant son rabat avec une jolie dame en chapeau rose. Placée par faveur derrière lui. Les jurés

seuls paraissaient blêmes et abattus, c‟étais apparemment de fatigue d‟avoir veillé

toute la nuit„‟ yang dapat diartikan (Di ujung ruangan, para hakim tampak puas, barangkali gembira karena sebentar lagi dapat menyelesaikan semua ini. Wajah ketuannya, yang lembut diterangi pantulan sinar sebuah jendela kaca, menunjukkan kekaleman dan kebaikan. Seorang asesor, penguji serta,

berbincang hampir dengan gembira sambil mempermaikan kelepak bajunya dengan seorang wanita cantik yang mengenakan topi merah jambu yang mendapat keistimewaan duduk dibelakangnya. Hanya para jurinya saja yang tampak pucat dan lelah, tapi kelelahan itu kelihatannya disebabkan karena mereka begadang semalam. Beberapa diantaranya menguap.) untuk menggambarkan tingkah laku para ahli hukum yang berada di dalam ruang sidang sesaat sebelum persidangan terakhir dimulai.

Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan dirinya dengan cara berpikir bahwa jika diamati dari sikap para ahli hukum tersebut, mereka tidak mungkin telah memutuskan hukuman mati untuknya. Pikiran tokoh „‟Je‟‟ tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟ Rien, dans leur contenance, n‟annonçait des hommes qui

viennent de porter une sentence de mort „‟ (Tak satu pun dalam sikapnya menunjukkan bahwa mereka baru saja telah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati) yang menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ terhadap kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya bukanlah hukuman mati.

Dari data berikut penulis juga mengetahui bahwa tokoh „‟Je‟‟ mengamati suasana di sekelilingnya dan kemudian kembali berharap keputusan hukumannya bukanlah hukuman mati. Ia menyakinkan dirinya dengan berkata pada diri sendiri bahwa tidak mungkin keputusan hukuman mati dijatuhkan di hari yang cerah dan seindah itu. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan yang bercetak tebal di bawah ini.

(17)

LDJDC/II/6

En face de moi, une fenêtre était toute grande ouverte. J‟entendais rire

sur le quai des marchandes de fleurs ; et, au bord de la croisée, une

jolie petite plante jaune, toute pénétrée d‟un rayon de soleil, jouait avec

Comment une idée sinistre aurait-elle pu poindre parmi tant de gracieuses sensations ? Inondé d‟air et de soleil, il me fut impossible de

penser à autre chosequ‟à la liberté; l‟espérance vint rayonner en moi

comme le jour autour de moi ; et confiant, j‟attendis ma sentence

comme on attend la déliverance et la vie.

Di depanku, sebuah jendela terbuka lebar. Aku mendengar tawa para penjual bunga di pinggir sungai dan, di tepi jendela kaca, sebatang tanaman kuning kecil yang indah bermandikan cahaya matahari, bercanda dengan angin di sela-sela batu.

Bagaimana mungkin suatu pikiran yang mencelakakan bisa muncul di antara kelembutan-kelembutan ini ? Dipenuhi udara dan cahaya matahari, aku tidak dapat memikirkan hal lain selain kebebasan. Harapan datang mencerahkan diriku, secerah cuaca saat itu disekelilingku. Dan dengan rasa yakin kutunggu vonisku seperti orang menunggu kelahiran bayi dan kehidupan.

Selain mengamati sikap para ahli hukum, tokoh „‟Je‟‟ juga mengamati keadaan di sekitar ruangan sidang. Setelah mengamati keadaan di sekitarnya yang begitu bersahabat, tokoh „‟Je‟‟ kembali meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak mungkin hakim dan para ahli hukum yang lainnya membuat keputusan hukuman mati. Tokoh „‟Je‟‟ secara tidak langsung berharap bahwa kemungkinan keputusan hakim yang akan dijatuhkan kepadanya bukan hukuman mati. Harapan tersebut tersirat di dalam pertanyaan yang diajukan oleh tokoh „‟Je‟‟ terhadap dirinya sendiri berikut „‟Comment une idée sinistre aurait-elle pu poindre parmi tant de gracieuses sensations ?„‟ (Bagaimana mungkin suatu pikiran yang mencelakakan bisa muncul di antara kelembutan-kelembutan ini ?). Penulis menggunakan kata-kata „‟une idée sinistre„‟ (pikiran yang mencelakakan) untuk menggambarkan keputusan hukuman mati.

Dari data ke-18 pada halaman 99, penulis dapat mengetahui bahwa selain tokoh „‟Je‟‟ berharap kemungkinan keputusan hukuman yang mungkin akan dijatuhkan hakim bukanlah hukuman mati, tokoh „‟Je‟‟ juga berharap dirinya dapat

bebas. Harapan inilah yang menyebabkan timbulnya konflik batin pada tokoh „‟Je‟‟. Konflik tersebut timbul ketika adanya harapan baru yang sangat bertolak belakang dengan harapan tokoh „‟Je‟‟. Konflik ini akan penulis bahas pada bab selanjutnya.

(18)

LDJDC/II/6

Inondé d’air et de soleil, il me fut impossible de penser à autre

chosequ‟à la liberté ; l‟espérance vint rayonner en moi comme le jour

autour de moi ; et confiant, j’attendis ma sentence comme on attend la déliverance et la vie.

Dipenuhi udara dan cahaya matahari, aku tidak dapat memikirkan hal lain selain kebebasan. Harapan datang mencerahkan diriku, secerah cuaca saat itu disekelilingku. Dan dengan rasa yakin kutunggu vonisku seperti orang menunggu kelahiran bayi dan kehidupan.

Sesaat sebelum persidangan dimulai, tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan dirinya dapat bebas. Harapan tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ memiliki semangat baru. Tokoh „‟Je‟‟ yang sebelumnya merasa khawatir akan kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati, akhirnya menunggu keputusan hakim dengan penuh harapan dan keyakinan bahwa dirinya dapat bebas. Hal tersebut dapat kita lihat dari pikiran dan perasaan tokoh „‟Je‟‟ yang terdapat dalam kutipan „‟ il me fut impossible de

penser à autre chosequ‟à la liberté ; l‟espérance vint rayonner en moi comme le

jour autour de moi ; et confiant „‟ yang dapat diartikan (aku tidak dapat memikirkan hal lain selain kebebasan. Harapan datang mencerahkan diriku, secerah cuaca saat itu disekelilingku). Penulis menggunakan kalimat„‟ il me fut

impossible de penser à autre chosequ‟à la liberté „‟ (aku tidak dapat memikirkan hal lain selain kebebasan) untuk menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk bebas, kalimat „‟ l‟espérance vint rayonner en moi „‟ (Harapan datang mencerahkan

diriku) untuk menunjukkan dampak timbulnya harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk bebas. Ia menjadi lebih bersemangat menanti hakim membacakan keputusan hukumannya.

Data ke-19 berikut menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa khawatir dan bimbang setelah mengatakan kepada pengacaranya bahwa dirinya lebih memilih hukuman mati daripada harus mendapatkan hukuman kerja paksa seumur hidup (sikap tersebut menggambarkan karakter tokoh „‟Je‟‟ yang tidak konsisten atau suka berubah-ubah pikiran). Kebimbangan ini menunjukkan adanya konflik pada tokoh „‟Je‟‟. Konflik ini terjadi disebabkan adanya pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi balasan. Hal ini akan dibahas pada bab berikutnya.

(19)

LDJDC/II/7

Oui, la mort ! –Et d‟ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure, qu‟est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé

sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une

salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ? Mais au

mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.

Ya, mati !-Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ? Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin ? tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin ! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.

Setelah mendengar pernyataan pengacaranya yang mengatakan bahwa dirinya berharap dapat membuat hukuman tokoh „‟Je‟‟ menjadi lebih ringan yaitu hukuman kerja paksa seumur hidup, tokoh „‟je‟‟ yang tidak dapat menerima hal tersebut tiba -tiba marah. Kerena tidak setuju akan pendapat pengacaranya, tokoh „‟Je‟‟ akhirnya

berdalih dengan mengatakan bahwa dirinya lebih memilih mendapatkan keputusan hukuman mati daripada harus mendapat hukuman kerja paksa seumur hidup. Namun setelah mengatakan hal itu, tokoh „‟Je‟‟ merasa bimbang. Kebimbangan tokoh „‟Je‟‟ dapat kita lihat dari kutipan „‟Oui, la mort ! –Et d‟ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure‟‟ yang dapat diartikan (Ya, kematian ! -Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri).

Penulis menggunakan kata „‟Oui, la mort ! „‟ (Ya, kematian !) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba meyakinkan kembali dirinya bahwa hukuman mati adalah pilihannya. Tokoh „‟Je‟‟ merasa khawatir terhadap kata-kata yang telah diucapkannya yaitu bahwa dirinya lebih memilih hukuman mati. Penulis menggambarkan kekhawatiran tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟ qu‟est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ?

Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est

impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil „‟ yang dapat diartikan (Apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ? Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin ? tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin ! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu).

Kutipan di atas menggambarkan perasaan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa khawatir setelah mengatakan bahwa dirinya lebih memilih hukuman mati daripada harus

mendapatkan hukuman kerja paksa seumur hidup. Tokoh „‟Je‟‟ yang mulai sadar akan rasa khawatir yang dirasakannya, mencoba membuat hatinya tenang dengan mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak merasa khawatir. Ia mencoba menenangkan perasaan takutnya terhadap kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah benar-benar hukuman mati seperti yang telah dikatakannya. Ia mencoba berdalih dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa biasanya hukuman mati hanya dijatuhkan pada tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin. Namun, keputusan hukumannya akan dibacakan di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik. Tokoh „‟Je‟‟ mengatakan pada dirinya sendiri bahwa keputusan hukuman mati tidak mungkin dijatuhkan di hari seindah dan secerah pagi hari tersebut (sikap tokoh „‟Je‟‟ tersebut menggambarkan karakter yang memiliki pikiran atau keputusan yang tidak konsisten „‟suka berubah-ubah‟‟).

Penulis menggunakan kalimat „‟ Qu‟est-ce que je risque à dire cela ? „‟ (Apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan dirinya yang mulai merasa khawatir terhadap kata-kata yang telah diucapkannya. Selain itu penulis juga menggunakan kata-kata „‟ A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ?

Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est

impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil „‟ (Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah

penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin ? tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin ! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang diam-diam masih memiliki harapan bahwa keputusan hakim bukanlah hukuman mati. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa hukuman mati selalu dijatuhkan pada musim dingin, di tengah malam, di ruang yang gelap dan suram, dan tentunya di malam hari. Keadaan tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan ketika persidangan tokoh „‟Je‟‟ sedang berlangsung. Karena itulah, tokoh „‟Je‟‟ berharap keputusan hakim bukan hukuman mati.

Data ke-20 di bawah ini menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan dirinya yang merasa takut dan bimbang setelah mendengar keputusan akhir hukumannya. Ia mencoba menyakinkan dirinya untuk menerima keputusan yang telah dijatuhkan hakim kepadanya, walaupun pada kenyataannya untuk memikirkan hal tersebut saja telah membuat dirinya merasa ngeri. Tokoh „‟Je‟‟ lebih mementingkan egonya daripada mengikuti kata hatinya yang takut akan keputusan hukuman mati (menunjukkan karakter tokoh „‟Je‟‟ yang egois).

(20)

LDJDC/III/9

Condamné à mort!

Eh bien, pourquoi non ? Les hommes, je me rappelle l‟avoir lu dans je

ne sais quel livre où il n‟y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec de sursis indéfinis. Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ?

Depuis à l‟heure où mon arrêt m‟a été prononcé, combien sont mort qui s‟arrangeaient pour une longue vie ! Combien m‟ont devancé qui.

Jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève ! Combien d‟ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré, et qui me devanceront encore !

Et puis, qu‟est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné

par l‟éducation, être brutalisé de guichetiers et des gardes-chiourme, ne

pas voir un être humain qui me croie digne d‟un parole et à qui je le rende, sans casse tressaillir et de ce que j‟ai fait et de ce qu‟on me fera :

voilà à peu près les seuls biens que puisse m‟enlever le bourreau. Ah, n‟importe, c‟est horrible !

Dihukum mati !

Eh, kenapa tidak ?semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di dalam sebuah buku yang judulnya aku lupa dan yang hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ? Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati ! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bundaran Grève telah mendahuluiku ! Dan sampai hal itu terlaksana, berapa lagi barangkali akan mendahuluiku diantara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka.

Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini ? Hari-hari yang suram dan roti hitam di ruang tahanan, jatah kuah encer yang dijatah dari tahang orang-orang yang dirantai, perelakuan dan ucapan kasar yang ditujukan padaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapaku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku.

Ah, masa bodoh, sangat mengerikan !

Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan dan menghibur dirinya yang merasa ketakutan setelah mendengarkan keputusan akhir hukumannya adalah hukuman mati. Ia mencoba meyakinkan dirinya untuk pasrah menerima hukuman yang telah dijatuhkan hakim kepadanya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan mengatakan apapun usaha yang akan ditempuhnya untuk memperingan hukumannya,

pada akhirnya dirinya akan tetap dihukum mati juga. Upaya tokoh „‟Je‟‟ tersebut digambarkan oleh penulis dalam kutipan „‟Condamné à mort! Eh bien, pourquoi non ? Les hommes, je me rappelle l‟avoir lu dans je ne sais quel livre où il n‟y

avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec de sursis

indéfinis. Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ?„‟ (Dihukum kematian ! Eh, kenapa tidak ?semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di dalam sebuah buku yang judulnya aku lupa dan yang hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ?).

Kutipan diatas menggambarkan usaha tokoh „‟Je‟‟ untuk menenangkan hatinya yang terkejut karena ternyata hukuman yang dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati. Ia mencoba menenangkan hati nya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa tidak perlu merasa terkejut jika dirinya dijatuhi hukuman mati. Karena semua terpidana yang melakukan penanguhan saja tetap dijatuhi hukuman mati seperti yang telah dikatakan di dalam buku yang telah dibacanya.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Condamné à mort! „‟ (Dihukum mati !) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang sedang memikirkan hukuman yang dijatuhkan padanya. Kalimat tanya „‟ Eh bien, pourquoi non ? „‟ (Eh, kenapa tidak ?) dan „‟ Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ? „‟ (Jadi apa

Dokumen terkait