• Tidak ada hasil yang ditemukan

FRAMING BATUBARA PADA LSM GREENPEACE ASIA TENGGARA DI INDONESIA

6.3 Aksi Langsung Damai Bal

Pada tanggal 26 Juni 2009, Greenpeace kembali melakukan aksi langsung damai terkait dengan isu batubara di depan pintu masuk Hotel Padma Legian, Bali. Seperti yang LSM ini lakukan di Cilacap, aksi yang mereka lakukan ini tergolong ke dalam direct action maupun direct communication. Hari itu merupakan hari terakhir acara pertemuan ASEAN Forum On Coal (AFOC) ke tujuh yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin negara yang berada di kawasan ASEAN. Dalam aksi damai ini aktivis Greenpeace kembali berusaha melakukan suatu komunikasi public dengan cara membentangkan dua spanduk besar bertuliskan “COAL KILLS” dan “QUIT COALS, GO RENEWABLE!!!”. Dalam aksi ini, LSM Greenpeace Asia Tenggara menyerukan negara-negara di ASEAN untuk menghentikan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara, seperti yang juru kampanye Greenpeace katakan berikut ini,

“ASEAN terus tergantung pada batubara yang membawa kawasan menuju percepatan perubahan iklim dengan dampak seperti kekeringan, banjir dan kelaparan akibat berkurangnya hasil pertanian yang mengancam kehidupan ratusan juta orang. Daripada pertemuan itu membicarakan perluasan penggunaan batubara, ASEAN seharusnya menyepakati rencana untuk keluar dari pemanfaatan batubara dan beralih pada ekonomi yang rendah karbon,” (AF, 28 tahun)

Gambar 7. Aksi Langsung Damai Bali 26 Juni 2009

Pernyataan juru kampanye tersebut diperkuat oleh data yang berasal dari laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) dan program lingkungan untuk Asia Tenggara (EEPSEA). Menurut data tersebut Asia Tenggara adalah satu di antara kawasan yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan ADB memperkirakan setidaknya kawasan Asia Tenggara akan kehilangan enam atau tujuh persen pendapatan tahunan atas dampak perubahan iklim di akhir abad ini jika tidak ada tindakan untuk mengatasi perubahan iklim. Di samping biaya ekonomi dan iklim dari batubara, Greenpeace memperlihatkan bahwa batubara juga menimbulkan biaya kemanusiaan, seperti yang terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat, Indonesia dimana 31 petambang battubara meninggal saat melakukan aktifitasnya. Juru kampanye berpendapat, untuk menghindari hal tersebut satu-satunya cara adalah menggunakan sumber-sumber energi ramah lingkungan dan terperbaharui, seperti yang ia katakana berikut ini,

“Satu-satunya solusi yang akan menjauhkan kita dari malapetaka iklim dan memberikan kita masa depan hanyalah dengan pemanfaatan yang lebih besar pada energi diperbaharui, mengurangi bertahap penggunaan batubara dan berhenti merencanakan nuklir, digabungkan dengan pelaksanaan program-program efisiensi energi dalam skala besar. Negara-negara ASEAN perlu menunjukkan bahwa kawasan ini serius menangani perubahan iklim, saatnya mengkritisi pembicaraan iklim di Copenhagen, Desember tahun ini,” (AF, 28 tahun)

mengembangkan sumberdaya tersebut. Sebagai contoh, Indonesia memiliki cadangan energi geothermal terbesar di dunia dan bisa menyediakan 9,5 gigawatt energi hingga tahun 2025. Tetapi saat ini kurang dari lima persen sumber panas bumi yang digunakan, oleh karena itu Greenpeace mendesak pemerintah Indonesia dan ASEAN untuk meningkatkan sasaran pada energi terperbaharui, terutama panas bumi, angin, tenaga surya dan micro-hydro serta mengembangkan produk hukum dan peraturan yang selama ini jadi hambatan terbesar dalam investasi di bidang energi terperbaharui, seperti yang telah Negara Filipina lakukan dengan membuat undang-undang energi terperbaharui di akhir tahun 2008. Apabila pemerintah Indonesia tidak menindaklanjuti langkah ini maka emisi CO2 yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil akan mencapai lebih dari setengah dari seluruh emisi gas rumah kaca Indonesia sekarang dan akan terus meningkat di tahun 2050.

Elemen frame yang terdapat pada aksi damai di Cilacap adalah sebagai berikut :

Isu utama, batubara merupakan isu utama yang terdapat pada aksi langsung dan damai di depan Hotel Padma Legian, Bali, hal ini dapat dilihat dari dua spanduk yang dibentangkan aktivis selama aksi tersebut berlangsung.

Diagnosis, Greenpeace melihat bahwa ketergantungan pemerintah dari negara-negara anggota ASEAN terhadap batubara akan mempercepat laju perubahan iklim dunia. Perubahan iklim ini akan membawa dampak yang besar seperti kekeringan, banjir dan kelaparan akibat berkurangnya hasil pertanian yang mengancam kehidupan ratusan juta orang.

Prognosis, untuk mencegah timbulnya dampak-dampak dari perubahan iklim, Greenpeace mendesak pemerintah dari negara-negara anggota ASEAN untuk mengedepankan sumber-sumber energi terbarukan, mengurangi bertahap penggunaan batubara dan berhenti merencanakan nuklir, serta menggabungkannya dengan pelaksanaan program-program efisiensi energi dalam skala besar. Oleh karena itu LSM ini memandang bahwa pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam membuat kebijakan sepatutnya membuat suatu peraturan yang mampu memacu pengembangan sumber-sumber energi yang terbarukan seperti yang negara Filipina telah lakukan.

Simbol-simbol yang digunakan, Pada aksi ini mereka melakukannya secara sederhana, beberapa aktivis Greenpeace membentangkan dua spanduk besar bertuliskan “COAL KILLS” dan “QUIT COALS, GO RENEWABLE!!!”, dimana kata-kata “COAL KILLS” termasuk ke dalam elemen diagnosis sedangakan “QUIT COALS, GO RENEWABLE!!!” termasuk ke dalam elemen prognosis. Melalui spanduk “COAL KILLS”, Greenpeace berusaha mempertegas kepada perwakilan maupun pemimpin pemerintah dari negara-negara anggota yang hadir di acara pertemuan ASEAN Forum On Coal (AFOC) ke tujuh bahwa batubara berbahaya bagi manusia maupun kondisi lingkungan karena menimbulkan eksternalitas karena menghasilkan dampak yang negative, maka dengan slogan “QUIT COALS, GO RENEWABLE!!!” yang terpampang pada spanduk yang mereka gunakan. Greenpeace menginkan negara-negara yang hadir dalam acara tersebut untuk mengurangi ketergantungannya akan batubara dan mengedepankan potensi sumber-sumber energi terbarukan yang terdapat di wilayah ASEAN.

Argumen pendukung, dalam aksi ini Greenpeace mengambil contoh kebijakan yang telah pemerintah Filipina tetapkan dengan undang-undang energi terperbaharui di akhir tahun 2008, yang akan membawa negara itu pada energi bersih di masa mendatang yang akan membawa keuntungan ekonomi selama negara memotong emisi karbonnya.