• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis framing (pembingkaian) dalam gerakan lingkungan hidup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis framing (pembingkaian) dalam gerakan lingkungan hidup"

Copied!
277
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FRAMING (PEMBINGKAIAN) DALAM GERAKAN

LINGKUNGAN HIDUP

(Studi Kasus Gerakan Anti Batubara oleh LSM Greenpeace Asia

Tenggara Indonesia, Jakarta)

IKHSAN PRATAMA WICAKSONO

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

This research shows that social movement frame in GPSEA Indonesia consist of : (1)aggregate frame, through this frame GPSEA want to make the people of Southeast Asia realize that climate change is a big problem, especially in Indonesia, this problem caused by two sector, forest and energy (coal);(2)consensus frame, through this frame GPSEA want to make people of Southeast Asia realize that, the climate change can make people suffers, and carry on external costs of coal as a burden;(3)collective action frame, through this frame we can see the injustice condition that caused by the chain of custody (coal’s journey from the ground to the waste heap) on injustice frame, agency frame in GPSEA define that the supporter and the anti-coal coalition as the source of organization power and the government as a party who has no commitment and good will to solve all problem especially energy on ageny frame, and last, the identity frame, GPSEA see them self as independent global campaigning organization that acts to change attitudes, to protect and conserve the environment and to promote peace that use creative confrontation.

The collective identity attached to the members of the Greenpeace campaigners, DDC members, volunteers, student members of the GPU and new media division is a result of the interaction as well as their interpretation of the frames of social movements in the form of a book of communication media, actions, and attributes of clothes contains values of the organization's culture NGO Greenpeace Southeast Asia. Interpretation and interaction of the communication media that contains the frames of social movements of anti-coal allows them to put an event in the minds of each member, felt the same anxiety, identifying the background with the emergence of agitation against the use of coal to the appropriate solution, and label the related parties in it, so that formed a collective identity among its members. The difference between a collective identity with others also due to the activist history of each member and the intensity of interaction with members of the organization's communications media. Although there are differences between a collective identity with other members, coal framing in this organization can be said to succeed, because there is a change some or all members of the collective identity of the respondents of this research. In addition, Greenpeace as a NGOs has succeed to framing their members, it is based on the ideas or arguments they put on the environmental conditions of Indonesia, especially in the context of coal issues, despite the arguments that they express are not always be the same that these NGOs want to build.

(3)

RINGKASAN

IKHSAN PRATAMA WICAKSONO.

ANALISIS

FRAMING

(PEMBINGKAIAN)

DALAM

GERAKAN

LINGKUNGAN

HIDUP.

(Di bawah bimbingan Sarwititi Sarwoprasodjo)

Dimasa yang akan datang batubara akan dijadikan bagian dari usaha diversifikasi energi oleh Pemerintah, sehingga mendorong perusahaan nasional maupun asing untuk melakukan eksploitasi batubara. Kegiatan eksploitasi batubara tersebut, sangat potensial menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi lingkungan. Kalangan aktivis dari berbagai LSM yang bergerak di bidang lingkungan giat menentang kegiatan penambangan batubara di Indonesia melalui aksi-aksi yang mereka lakukan, maupun diskusi langsung dengan pihak-pihak yang terkait. Salah satu LSM yang giat menentang batubara adalah LSM

Greenpeace Asia Tenggara Indonesia. Namun dalam perjalanannya LSM sebagai bagian dari gerakan sosial memiliki tantangan yaitu kemampuan LSM tersebut dalam membangun kekuatan internal, termasuk dalam hal menggalang dana dan membangun komitmen anggotanya. Dalam mengatasi keterbatasan maupun membangun kekuatan internal, LSM perlu membangun identitas kolektif anggotanya yang berguna dalam meningkatkan komitmen anggotanya demi mencapai visi dan misi dari LSM tersebut. Pembentukan identitas kolektif ini merupakan hasil dari framing anggota pada LSM tersebut. Framing berguna dalam menkonstruksi gagasan seorang individu, sehingga mereka dapat menempatkan, merasakan, mengidentifikasi, dan melabeli sesuatu sesuai dengan pandangan yang organisasi tersebut pegang Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat framing pada anggota organisasi LSM Greenpeace dalam membentuk identitas kolektif guna mempertahankan partisipasi ataupun komitmen anggotanya sebagai aktivis lingkungan hidup.

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai LSM dan kaitannya dengan gerakan sosial sudah dilakukan yaitu Sari (2004), Assa’di (2004), dan Assa’di (2009). Ketiga penelitian tersebut lebih fokus kepada aktifitas maupun keberhasilan LSM dalam menjalankan salah satu fungsinya sebagai organisasi gerakan sosial, namun belum ada yang mengungkapkan bagaimana LSM sebagai organisasi gerakan sosial membangun identitas kolektif pada anggotanya.

Untuk menjawab rumusan masalah penelitian, penulis menggunakan metode kualitatif. Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi frame gerakan sosial berupa content yang terdapat pada media komunikasi LSM Greenpeace

Asia Tenggara Indonesia berupa aksi, buku, booklet dan movement document

yang terdapat pada situs resmi LSM tesebut dan identitas kolektif yang melekat pada anggota LSM tersebut.

(4)

dan booklet yang diberikan oleh LSM in sebagai souvenir kepada supporter serta profil LSM ini yang terdapat pada situs resmi Greenpeace Asia Tenggara Indonesia.

Pertama, Aggregate frame pada LSM ini, memandang perubahan iklim sebagai tantangan terbesar masyarakat dunia karena dampak-dampaknya bersifat

irreversible dan di Indonesia penyebab dari perubahan iklim berasal dari dua sektor yaitu sektor hutan dan sektor energi khusunya batubara. Kedua, Consensus frame yang terlihat adalah seruan bagi masyarakat untuk bersama-sama mendesak pemerintah maupun perusahaan untuk mengembangkan energi terbarukan dan menghentikan penggunaan batubara karena apabila terus menerus digunakan laju perubahan iklim global akan semakin cepat dan masyarakat yang bermukim dekat dengan PLTU akan terus menanggung beban ekonomi, kesehatan dan semakin rusaknya kondisi lingkungan. Terakhir, collective action frame, frame ini dikonstruksi oleh injustice frame, agency frame, dan identity frame. injustice frame pada gerakan anti-batubara Greenpeace berasal dari dampak-dampak yang ditimbulkan sepanjang rantai aliran produksi batubara. Dalam agency frame

gerakan anti-batubara, masyarakat dipandang Greenpeace sebagai sumber kekuatan sedangkan pemerintah dianggap sebagai ’lawan’, serta melabeli pejabat pemerintah yang berusaha di bidang batubara sebagai mafia batubara.

Identitas kolektif anti-batubara yang melekat pada anggota Greenpeace

Asia Tenggara Indonesia merupakan hasil interaksi anggota dengan media komunikasi dan pemaknaan mereka terhadap frame gerakan sosial pada media komunikasi LSM Greenpeace Asia Tenggara diIndonesia.

Identitas kolektif pada subjek penelitian dapat dilihat melalui tiga jenis identitas yang melekat yaitu identitas aktivis, identitas organisasi, dan identitas taktik. Identitas aktivis yang melekat pada kelima subjek penelitian adalah aktivis lingkungan. Sebagai aktivis lingkungan, mereka memiliki aggregate frame

maupun consensus frame yang sama dengan Greenpeace. Perbedaan terdapat pada identitas organisasi maupun taktik. Hal ini tidak terlepas dari sejarah keaktivisan mereka sebelum bergabung dan berinteraksi secara langsung dengan LSM Greenpeace sehingga mempengaruhi dan membentuk collective action frame mereka, dan interaksi mereka dengan media komunikasi juga turut mempengaruhi pembentukan collective action frame mereka.

Berdasarkan hal tersebut terdapat lima tipe identitas kolektif, yaitu (1) identitas kolektif juru kampanye terdiri dari identitas aktivis lingkungan, identitas

Greenpeace dan identitas aksi langsung, dimana identitas ini adalah hasil interaksi juru kampanye dengan buku, aksi-aksi Greenpeace, maupun situs resmi

Greenpeace dan dipengaruhi oleh sejarah keaktivisan juru kampanye sebagai seorang peneliti pada Yayasan Pelangi Indonesia; (2) identitas kolektif anggota divisi new media terdiri dari identitas aktivis lingkungan, identitas Greenpeace

dan identitas independen, dimana identitas ini adalah hasil interaksi anggota divisi tersebut dengan buku maupun aksi-aksi Greenpeace; (3) identitas kolektif siswi GPU terdiri dari identitas aktivis lingkungan, identitas Education Care Unit

dan identitas aksi langsung maupun independen, dimana identitas ini adalah hasil interaksi siswi GPU dengan aksi-aksi Greenpeace maupun situs resmi

(5)

langsung dan independen, dimana identitas ini adalah hasil interaksi anggota DDC tersebut dengan buku, aksi-aksi Greenpeace, maupun situs resmi Greenpeace dan dipengaruhi juga oleh interaksi dia dengan pegawai Taman Nasional dan guide

Taman Nasional; (5) identitas kolektif volunter terdiri dari identitas aktivis lingkungan, identitas MAPALA Titas Karya Bakti dan identitas aksi langsung, dimana identitas ini adalah hasil interaksi juru kampanye dengan aksi-aksi

Greenpeace dan dipengaruhi oleh sejarah keaktivisan volunter sebagai seorang anggota MAPALA Titas Karya Bakti.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Greenpeace Asia Tenggara sebagai organisasi gerakan sosial menyebarkan maupun mengkontruksi gagasan anggotanya dengan cara menyebarkanluaskan frame gerakan sosial melalui media komunikasi organisasi, hal ini mempengaruhi ataupun membentuk identitas kolektif anggotanya. identitas kolektif yang melekat pada anggota Greenpeace

yaitu juru kampanye, anggota DDC, volunteer, siswi GPU dan anggota divisi new media merupakan hasil dari interaksi maupun pemaknaan mereka terhadap frame

gerakan sosial pada media komunikasi berupa buku, aksi-aksi, dan atribut berupa baju yang memuat nilai-nilai dari budaya organisasi LSM Greenpeace Asia Tenggara. Pemaknaan maupun interaksi anggota terhadap media komunikasi yang mengandung frame gerakan sosial anti-batubara membuat mereka dapat menempelkan suatu peristiwa dalam benak masing-masing anggota, merasakan keresahan yang sama, mengidentifikasi latar belakang munculnya keresahan bersama terhadap digunakannya batubara hingga solusi yang sesuai, dan melabeli pihak-pihak yang terkait di dalamnya, sehingga terbentuk suatu identitas kolektif di antara anggotanya. Perbedaan identitas kolektif antara satu dengan yang lain juga diakibatkan oleh sejarah keaktivisan masing-masing anggota dan intensitas interaksi anggota dengan media komunikasi organisasi. Walaupun terdapat perbedaan identitas kolektif antara satu anggota dengan yang lain, framing

(6)

ANALISIS FRAMING (PEMBINGKAIAN) DALAM GERAKAN

LINGKUNGAN HIDUP

(Studi Kasus Gerakan Anti Batubara oleh LSM Greenpeace Asia

Tenggara Indonesia, Jakarta)

Oleh:

Ikhsan Pratama Wicaksono I34052619

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(7)

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh : Nama : Ikhsan Pratama Wicaksono

NRP : I34052619

Judul Skripsi : Analisis Framing (Pembingkaian) dalam Gerakan Lingkungan Hidup

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS NIP. 19630904 199002 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(8)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

ANALISIS

FRAMING

(PEMBINGKAIAN)

DALAM

GERAKAN LINGKUNGAN HIDUP

” BENAR-BENAR MERUPAKAN

HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI. TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH SAYA. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, Januari 2010

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, 30 Juli 1987. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, yang merupakan anak dari pasangan suami istri Dedi Bambang Isdarmawan dan Sri Yuliani Ekawasti. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SD Polisi 1 Bogor, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 4 Bogor dan SMU Negeri 5 Bogor.

Penulis memiliki hobi berolah raga, terutama berenang dan bermain musik. Pada saat Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas, penulis aktif dalam Organisasi Intra Sekolah (OSIS) dan ekstrakulikuler PRAMUKA.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Analisis Framing (Pembingkaian) dalam Gerakan Lingkungan Hidup” ini berhasil diselesaikan.

Selesainya penyusunan skripsi ini atas masukan, arahan dan bimbingan dari Ibu Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS. sebagai dosen pembimbing, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih. Juga kepada seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, teman-teman atas dukungannya, dan pihak-pihak lain yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

Penulis sadar bahwa penyusunan skripsi ini belum dapat disusun secara sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca senantiasa mahasiswa harapkan, semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Januari 2010

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pengembangan pemanfaatan sumberdaya energi non minyak saat ini sangat diperlukan, mengingat semakin tipisnya cadangan minyak bumi kita. Salah satu langkah yang ditempuh pemerintah adalah mengembangkan sumberdaya batubara sebagai salah satu sumber energi alternatif untuk industri dan kebutuhan pasar dalam dan luar negeri. Selain harganya relatif murah, cadangan sumberdaya energi batubara tersedia dalam jumlah cukup banyak di sebagian besar wilayah Indonesia.

Batubara di masa yang akan datang, sebagai bagian dari usaha diversifikasi energi, diharapkan dapat menggantikan minyak bumi sebagai sumber energi bagi industri dalam dan luar negeri dan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Industri-industri yang saat ini telah memanfaatkan batubara sebagai sumber energi antara lain industri semen dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Selain itu, pemerintah juga telah menganjurkan penggunaan briket batubara sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar minyak tanah untuk keperluan rumah tangga. Hal ini mendorong perusahaan swasta nasional maupun asing untuk melakukan eksploitasi batubara (Busyairi, 2008).

Eksploitasi sumberdaya alam, termasuk diantaranya kegiatan penambangan batubara, sangat potensial menimbulkan dampak lingkungan. Dampak terhadap lingkungan ini dapat bersifat negatif. Dampak negatif yang diperkirakan akan muncul dari kegiatan penambangan batubara ini antara lain perubahan bentang lahan, penurunan kualitas udara, tanah dan air, serta perubahan-perubahan tatanan sosial budaya.

(12)

Kalimantan Selatan. Usai melakukan kegiatan dengar pendapat dengan anggota DPRD, lima orang aktivis LSM dikejar oleh 600 orang yang mengaku massa pendukung kegiatan tambang masuk menyerbu Gedung DPRD Tanah Bumbu karena mengkritisi Perusda batubara1.

Kehadiran aktivis LSM ataupun LSM itu sendiri diperlukan sebagai bagian dari masyarakat, karena pandangan atau aspirasinya, dan program yang dilaksanakannya membuat lembaga masyarakat ini tampil sebagai salah satu organisasi yang menyuarakan hati nurani masyarakat. Selain itu, LSM sebagai salah satu wadah bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, merupakan bagian dari gerakan sosial masyarakat di suatu negara, termasuk di dalamnya gerakan-gerakan sosial baru yang mengkampanyekan isu-isu lingkungan hidup, salah satu contohnya adalah LSM Greenpeace.

Menurut Tindall (2002), LSM sebagai bagian dari gerakan sosial memerlukan partisipasi dari anggotanya untuk berbagai alasan. Pertama, LSM memerlukan sumberdaya yang banyak dalam menjalankan aktifitas maupun menjaga eksistensinya. Kedua, agar aspirasi LSM dapat didengarkan dan diperhitungkan dalam sistem politik yang demokratis, maka pemerintah maupun aktor lain yang dituju harus diyakinkan bahwa aspirasi tersebut didukung dan disetujui oleh sebagian besar masyarakat.

Menurut Shobirin dikutip Dharmawan (2004), keleluasaan LSM dalam menyuarakan hati nurani masyarakat dan menjalankan aktivitasnya tidak sendirinya meringankan tantangan yang dihadapi oleh LSM. Tantangan tersebut berasal dari keterbatasan dirinya serta rendahnya kesadaran dan kemampuan fund raising dari sumber-sumber dalam negeri atau usaha sendiri, kelemahan faktor internal tersebut menyebabkan banyak LSM yang sulit mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Tantangan tersebut diperkuat oleh pendapat Maria

dikutip Dharmawan (2004) yang mengatakan bahwa salah satu isu serius yang akan dihadapi LSM di Indonesia ke depannya yaitu kemampuan LSM dalam

1

(13)

membangun kekuatan internal, termasuk di dalamnya adalah kemampuan LSM dalam menggalang dana dan membangun komitmen anggotanya.

Dalam mengatasi keterbatasan maupun membangun kekuatan internal, LSM membutuhkan budaya organisasi yang kuat untuk meningkatkan komitmen anggotanya demi mencapai visi dan misi dari LSM tersebut. Maksud budaya organisasi disini adalah pola berbagai asumsi dasar dan nilai yang dipegang diyakini valid sebagai acuan dan cara yang “benar” untuk mempersepsikan, merasakan, memikirkan dan memecahkan berbagai masalah. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat Robbins (2002), yang menyatakan bahwa salah satu fungsi budaya organisasi adalah membantu menciptakan rasa memiliki jati diri bagi anggota serta membantu stabilisasi organisasi sebagai suatu sistem sosial.

Menjaga komitmen dalam diri anggota sangat penting, karena dengan komitmen yang tinggi anggota dapat memberikan kontribusinya yang maksimal bagi tercapainya tujuan organisasi. Anggota sebagai salah satu masukan (input) dalam organisasi terkadang tidak memberikan kontribusinya secara maksimal yang dapat menyebabkan menurunnya partisipasi anggota dalam program-program yang terdapat dalam organisasi.

Partisipasi sendiri merupakan hasil pemikiran rasional yang dibangun oleh individu-individu yang berbagi identitas kolektif antara satu dengan yang lain (Polletta dan James, 2001). Identitas kolektif mampu memberikan kepuasan tersendiri dan menunjukan kewajiban yang mampu mendorong individu untuk bergerak sesuai dengan keinginan organisasi. Dalam organisasi gerakan sosial baru, identitas kolektif merupakan pemaknaan bersama yang terdapat di dalam suatu kelompok sebagai hasil dari konstruksi atau framing suatu budaya organisasi. Sehingga dalam mengkontruksi (framing) identitas kolektif, suatu budaya memerlukan media komunikasi dalam menyebarluaskan frame- frame

tersebut guna membangkitkan kesepahaman anggotanya dalam menghadapi suatu permasalahan.

(14)

pelancaran pengaruh dalam mewujudkan situasi yang kondusif bagi terciptanya

civil society pada dua komunitas yang berbeda. Assa’di (2004) menganalisa kedalaman jangkauan (outreach) LSM LKTS (Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial) pada komunitas pedesaan. Kedalaman jangkauan LSM tersebut dianalisa melalui kedalaman jangkauan LSM tersebut, strategi penetrasi LKTS pada pengembangan komunitas, dan pengaruhnya pada pengembangan komunitas pedesaan.

Pada penelitian lainnya yaitu Assa’di (2009) meneliti pengaruh donor dalam aspek finnsial, aksi dan orientasi ideologi terhadap independensi LSM pada dua lembaga yaitu LKTS (Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial) dan LPS DD ( Lembaga Pertanian Dompet Dhuafa), hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa perbedaan independensi LSM pada aspek finansial dan aksi muncul dari karakteristik donor serta pergeseran ideologi LSM tidak disebabkan langsung oleh donor, tetapi karena meningkatnya kebutuhan finansial yang semakin besar. Selain itu, faktor independensi LSM dipengaruhi oleh faktor internal, dimana militansi ideologi LSM, kemapanan kinerja LSM menjadi variabel kekuatan dalam negosiasi.

Hampir semua penelitan terdahulu mengenai LSM dan gerakan sosial lebih fokus kepada aktifitas maupun keberhasilan LSM dalam menjalankan salah satu fungsinya sebagai organisasi gerakan sosial, namun belum ada yang mengungkapkan bagaimana LSM sebagai organisasi gerakan sosial membangun identitas kolektif pada anggotanya. Dalam organsisasi gerakan sosial, identitas kolektif berguna dalam menjawab tantangan yang akan dihadapi organisasi tersebut kedepannya, seperti tantangan dalam membangun kekuatan internal organisasi dan komitmen anggotanya.

1.2 Perumusan permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan suatu permasalahan yang akan diteliti, yaitu :

(15)

1.3 Tujuan penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian disusun sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi frame gerakan sosial yang terdapat pada cerita, ritual, bahasa, dan lambang materi yang terdapat pada budaya organisasi gerakan sosial,

2. Mengidentifikasi elemen dari frame yang terdapat pada cerita, ritual, bahasa, dan lambang materi yang terdapat pada budaya organisasi gerakan sosial,

3. Menganalisa identitas kolektif yang melekat pada anggota organisasi gerakan sosial.

1.4 Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain :

1. Bagi LSM Greenpeace sebagai masukan sebagai bahan evaluasi dan analisis identitas kolektif yang melekat pada diri anggota organisasi yang bersayana untuk perkembangan LSM tersebut dalam rangka membangun dan memperkokoh kekuatan internal organisasi.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gerakan Sosial Baru dan Lembaga Swadaya Masyarakat

Gerakan sosial baru merupakan sebuah struktur jejaring banyak pemikiran yang merupakan produk transformasi mendalam gerakan sosial di era post— industry atau dapat dikatakan gerakan transasional. Gerakan ini menyuarakan, mengarah dan berjuang bagi isu-isu kemanusiaan dan isu-isu yang berhubungan dengan kondisi mendasar keberadaan manusia serta keberadaan yang layak di masa depan (Melucci dalam Singh, 2002). Gerakan sosial baru berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang terkait dengan perdamaian, perlucutan senjata, polusi nuklir, perang nuklir; yang berhubungan dengan ketahanan planet, ekologi, lingkungan; dan hak-hak manusia. Karenanya sejumlah tujuan dan targetnya berlokasi di wilayah lintas masyarakat kemanusiaan global.

Kebanyakan gerakan sosial baru memberi perhatian konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh dimana ruang sosialnya mengalami penciutan dan yang ’sosial’ dari masyarakat sipil tengah digerogoti oleh kemampuan kontrol negara. Ekspansi negara dalam panggung kontemporer ini, bersesuain dengan ekspansi pasar. Negara dan pasar dilihat sebagai dua institusi yang sedang menerobos masuk ke dalam nyaris seluruh aspek kehidupan warga. Sehingga gerakan sosial ini berusaha menyerukan sebuah kondisi yang adil dan bermartabat bagi konsepsi kelahiran, kedewasaan, dan reproduksi makhluk manusia yang kreatif dan berseiring dengan alam (Singh, 2002).

Gerakan sosial baru secara radikal mengubah paradigma Marxis yang menjelaskan konflik kontradiksi dalam istilah ’kelas’ dan konflik kelas. Pikiran akademisi kiri menyajikan gugatan pada sistem paparan marxis materialis tentang gerakan dan perubahan dalam masyarakat (Martin, 2001). Gugatan ini muncul akibat dari disingkirkannya isu-isu gender, ekologi, ras, kesukuan, dsb.

(17)

gerakan sosial baru lebih didasarkan kepada identitas yang melekat bukan sistem kelas. gerakan sosial baru pada umumnya mengabaikan model organisasi serikat buruh dan model politik kepartaian.

Berdasarkan hal tersebut, menurut Taurine dikutip Sztompka (2004) ciri-ciri gerakan sosial baru adalah :

1. Terfokus pada isu, kepentingan, dan bidang-bidang pertentangan sosial baru, sebagai reaksi invasi politik, ekonomi, ekologi, teknologi, dan birokrasi dalam seluruh sektor kehidupan manusia. Konsentrasi gerakan ini terfokus pada kualitas, identitas kelompok, dll.

2. Keanggotaanya tidak dikaitkan dengan kelas khusus tertentu tetapi lebih saling berpotongan dengan pembagian kelas tradisional, mengungkap masalah penting yang dihadapi anggota berbagai kelas yang berlainan.

3. Organisasi gerakannya terdesentralisir dengan jaringan kerja yang meluas dan longgar, tidak kaku, dan hierarkis.

Pada tahap tertentu gerakan sosial baru, dimana gerakan tersebut memiliki rentang yang luas dalam jumlah anggota hingga jutaan (yang tentunya memiliki derajat pengorganisasian yang relatif tinggi membentuk suatu institusi yang mampu mengakomodir proses gerakan sosial itu sendiri. Menurut Tindall (2002), organisasi gerakan sosial baru (new social movement organization) adalah organisasi yang didirikan dalam rangka membangun gerakan sosial dan berbeda-beda derajat formalitasnya dan bentuk institusinya. Organisasi ini merupakan aktor utama dalam gerakan sosial kontemporer (”organization which are dedicated to fostering social change, and which may vary in the degree to which

they are formalized and institutionalized-are key actors in contemporary social

movement”).

(18)

memiliki kesepahaman atas cita-cita yang ingin mereka capai. LSM difahami sebagai organisasi gerakan sosial yang menjadi pelopor terciptanya gerakan sosial baru untuk perubahan sosial.

Pada tahun 1978 Dr. Sarino Mangunpranoto pada pertemuan antar organisasi non-pemerintahan yang bergerak di bidang pembangunan pedesaan di Ungaran mengusulkan untuk mengganti istilah NGO (Non Goverment Organization) atau ORNOP (Organisasi Non-Pemerintah) menjadi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Istilah LSM kemudian berubah menjadi Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Widjanarko,2002). Namun pada tingkat internasional, istilah NGO masih dipakai dan lebih dipahami ( Saragih dikutip Sari, 2004).

Morris dikutip oleh Jallal (2001) mengungkapkan lima karakteristik LSM sebagai berikut :

1. Terorganisasi, sampai derajat tertentu memiliki bentuk organisasional, 2. Privat, secara kelembagaan terpisah dari pemerintah,

3. Nonprofit, keuntungan yang diperoleh dikembalikan untuk mencapai misi yang telah ditentukan,

4. Memerintah diri sendiri, memiliki aparat internal sendiri, dan 5. Voluntari, melibatkan diri dalam partisipasi sukarela yang berarti.

(19)

2.2 Budaya Organisasi

2.2.1 Konsep Budaya Organisasi

Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama. Budaya adalah suatu pola semua susunan, baik material maupun perilaku yang sudah diadopsi masyarakat sebagai suatu cara yang telah terorganisasi, mengandung unsur kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit, yang berguna dalam memecahkan masalah-masalah para anggotanya serta ketentuan-ketentuan yang mendasar dan mengandung suatu perintah (Koentjaraningrat, 2002).

Organisasi sebagai struktur koordinasi formal yang melibatkan dua orang atau lebih dalam rangka mencapai tujuan bersama memiliki suatu budaya yaitu budaya organisasi. Karena dalam mencapai tujuan bersama, setiap organisasi memiliki suatu sistem yang mengandung unsur norma dan nilai yang berguna dalam mengatur setiap kegiatan yang dilakukan anggotanya agar berjalan sesuai dengan visi maupun misi organisasi. Sistem tersebut dipelajari, dimiliki bersama, diikuti oleh setiap sub-organisasi dan para anggota organisasi itu sendiri, dan mereka yang berada dalam hirarkhi organisasi serta diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, budaya organisasi dapat dikatakan sebagai suatu budaya.

Dalam beberapa literatur (Moeljono dan Robbins) pemakaian istilah

corporate culture biasa diganti dengan istilah organization culture. Kedua istilah ini memiliki pengertian yang sama. Karena itu dalam penelitian ini kedua istilah tersebut digunakan secara bersama-sama, dan keduanya memiliki satu pengertian yang sama.

(20)

Robbins(2002) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture)

sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa sistem pemaknaan bersama ini merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi ("a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organization. This system

of shared meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the

organization values"). Sedangkan menurut Ardana dkk (2008), budaya organisasi adalah sistem makna dan keyakinan bersama yang dianut oleh para anggota organisasi yang menentukan cara mereka bertindak.

Menurut Robbins dan Coulter (dikutip Ardana dkk, 2008) yang paling efektif dalam meneruskan budaya organisasi adalah melalui :

1. Cerita, cerita-cerita ini khususnya berisi dongeng suatu peristiwa mengenai pendiri organisasi, pelanggaran peraturan dan mengatasi masalah organisasi 2. Ritual, merupakan deretan berulang kegiatan yang mengekspresikan dan

memperkuat nilai-nilai utama organisasi itu serta menunjukan tujuan organisasi.

3. Lambang materi, merupakan atribut fisik pada suatu budaya organisasi yang dapat diamati, seperti pakaian seragam.

4. Bahasa, merupakan cara untuk mengadakan identifikasi anggota suatu budaya atau anak budaya dengan munculnya istilah-istilah khas untuk menggambarkan sesuatu. Dengan mempelajari bahasa ini, anggota membuktikan penerimaan mereka akan budaya itu.

2.2.2 Fungsi dan Manfaat Budaya Organisasi

(21)

organisasi lain karena sifat budaya itu unik. Kedua, menumbuhkan komitmen terhadap organisasi pada diri setiap individu yang tergabung dalam organisasi. Ketiga, membantu individu dalam membentuk identitas diri. Keempat, budaya organisasi berfungsi sebagai perekat sosial dalam mempersatukan unsur-unsur yang terdapat didalamnya sekaligus berfungsi pula sebagai kontrol atas perilaku para anggota.

Menurut Susanto (1997) manfaat dan fungsi budaya organisasi adalah menekan tingkat “turn over” anggotanya. Ini dapat dicapai karena budaya organisasi mendorong anggotanya memutuskan untuk tetap berkembang bersama organisasi dan sebagai cara bagi untuk menunjukan ciri khas yang dimiliki oleh organisasi kepada pihak eksternal, tentang keberadaan organisasi ditengah-tengah organisasi yang ada di masyarakat. Selain itu, menurut Robbins (2002), terdapat sejumlah peranan penting yang dimainkan oleh budaya organisasi, yaitu :

a) Membantu menciptakan rasa memiliki jati diri bagi anggota; b) Mengembangkan keikatan pribadi dengan organisasi;

c) Membantu stabilisasi organisasi sebagai suatu sistem sosial;

d) Menyajikan pedoman perilaku, sebagai hasil dari norma-norma perilaku yang sudah terbentuk.

2.3 Framing

2.3.1 Konsep Framing

Frame adalah sebuah skema interpretasi, dimana gambaran dunia yang dimasuki seseorang diorganisasikan sehingga pengalaman tersebut menjadi punya arti dan bermakna (Goffman dikutip Yanto,2002). Menurut Pan dan Kosicki (dikutip Yanto,2002), terdapat dua konsepsi dari framing yang sailng berkaitan. Pertama, dalam konsepsi psikologi. Framing dalam konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya.

(22)

teori yang berasal dari bidang keilmuan psikologi yang menjelaskan mengenai bagaimana seseorang menggunakan struktur kognitifnya dalam memandang dunia : seseorang, lingkungan dan peristiwa dalam pandangan atau perspektif tertentu. Skema dapat menimbulkan efek yang kuat pada tiga proses dasar: perhatian atau atensi (attention), pengodean (encoding), dan mengingat kembali (retrival) (Baron dan Donn,2003). Frame menawarkan penafsiran atas berbagai realitas sosial yang berlangsung setiap hari.

Kedua dalam perspektif sosiologis, frame berfungsi membuat realitas menjadi teridentifikasi, dipahami dan dimengerti dengan label tertentu. Menurut Goffman dikutip Yanto (2002), frame secara aktif mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalaman hidup seseorang agar orang tersebut dapat memahaminya.

Menurut Snow dikutip Klandermans dan Suzanne (2002), frame

merupakan interpretative schemata yang membuat partsipan dalam menempatkan, menerima dan melabeli suatu hal. Oleh karena itu Klandermans dan Suzanne (2002) berpendapat bahwa frame memiliki elemen-elemen yang terdiri dari : a. Frame memiliki content.

b. Frame merupakan struktur kognitif atau skema.

c. Frame terdapat pada diri individu maupun lingkungan sosialnya. Frame

merupakan skema kognitif seorang individu, skema ini berguna dalam membangun aksi kolektif apabila individu tersebut berbagi skema yang ia miliki kepada individu lain yang memiliki skema yang sama dalam suatu aksi yang memiliki suatu pola.

d. Frame merupakan struktur kognitif seseorang dan hasil pengembangan proses kognitif. Berdasarkan hal ini, penelitian mengenai framing dapat dibagai menjadi dua tipe yaitu : (1) memandang framing sebagai suatu kegiatan penting dalam mengembang pergerakan dengan menyebarkannya melalui

(23)

e. Frame are based on text, frame dalam konteks ini dapat ditemukan dalam dokumen tertulis, komunikasi verbal yang terdiri dari percakapan, pidato, slogan, lagu, representasi secara visual yang terdiri dari gambar, ilustrasi kartun dan gabungan dari ketiganya. Sehingga frame biasanya dapat ditemukan melalui wawancara partisipan, analisa dokumen, pidato, slogan, dan lagu.

Menurut Charlotte dikutip oleh Klandermans dan Suzanne (2002) elemen-elemen frame di dalam suatu media komuniasi terdiri dari :

a. Isu utama,

b. Solusi yang ditawarkan dalam frame atau diagnosis dan prognosis,

c. Simbol-simbol yang digunakan seperti gambar-gambar, metamorfosa, contoh sejarah, steriotip, dan catch phrase,

d. Argumen pendukung,

(24)

2.3.2 Frame Gerakan sosial

Menurut Gamson dikutip Yanto (2002), gerakan sosial membutuhkan tiga

frame atau bingkai yaitu :

1. Agregate frame adalah proses pendefinisian isu sebagai masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar frame atas peristiwa tersebut sadar bahwa isu tersebut adalah masalah bersama yang berpengaruh bagi setiap individu.

2. Consensus frame adalah proses pendefinisian yang berkaitan dengan masalah sosial hanya dapat diselesaikan oleh tindakan kolektif. Frame konsensus ini mengkonstruksi perasaan dan identifikasi dari individu untuk bertindak secara kolektif.

3. Collective action frame adalah proses pendefinisian yang berkaitan dengan kenapa dibutuhkan tindakan kolektif, dan tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan. Frame ini dikonstruksi oleh tiga elemen. (1) injustice frame, frame ini menyediakan alasan mengapa kelompok tersebut harus bertindak sesegera mungkin, sedangkan menurut Taylor (2000) the injustice element refers to the moral outrage activists expound through their political

consciousness. This moral indignation is more than a straightforward

cognitive or intellectual judgment about equity or justice, it is emotionally

charged, (2) agency frame, frame ini berhubungan dengan pembentukan konstruksi siapa kawan siapa lawan, siapa pihak kita dan siapa pihak mereka, dan menurut Taylor (2002) Agency refers to individual and group efficacy, that is, the sense of empowerment activist feel. Empowered activist or those

exercising agency feel they can alter condition and policies, dan (3) Identity frame, frame ini tidak hanya memperjelas siapa kita dan siapa mereka, melainkan juga mengidentifikasi bahwa kita berbeda dengan mereka.

2.4 Identitas Kolektif

(25)

mengatakan bahwa identitas merupakan produk biologi, psikologi dan struktur sosial, (2) pendekatan perubahan sosial, perubahan sosial dapat berpengaruh terhadap pembentukan identitas seseorang, dan (3) pendekatan interaksional, dalam pendekatan ini melihat bahwa identitas merupakan hasil proses interaksi.

Dalam gerakan sosial terdapat perkembangan pemaknaan bersama mengenai nilai-nilai yang dipahami maupun disepakati oleh setiap individu yang berpastisipasi dalam gerakan sosial tersebut. Alberto Melucci (dalam Larana dkk, 1994) memperkenalkan konsep identitas kolektif (collective identity) merujuk kepada konsep pemaknaan bersama. Menurutnya identitas kolektif merupakan hasil proses interaksi dan pemaknaan bersama antara beberapa individu atau dalam suatu kelompok mengenai peluang maupun hambatan yang dihadapi dalam menuju aksi kolektif (“ an interactive and shared definition produced by several individuals (or groups at a more complex level) and concerned with the

orientations of action and the field of opportunities and constrain offered to

collective action”) . Pemaknaan bersama ini berkembang melaui proses interaksi antara individu. Menurut Melucci, identitas kolektif memberikan aktor yang turut serta dalam gerakan sosial suatu cognitive frameworks yang membantu aktor tersebut dalam menilai kondisi lingkungannya dan memperhitungkan keuntungan maupun kerugian dari setiap tindakan yang mereka akan lakukan. Blumer dalam Larana (1994) mengaitkan esprit de corps, moral, solidaritas, dan ideologi dalam hal konstruksi identitas.

Verta Taylor dan Nancy Whittier (dalam Larana dkk, 1994) memberikan pandangan yang berbeda mengenai identitas kolektif, menurut mereka identitas kolektif merupakan pemaknaan bersama yang terdapat di dalam suatu kelompok (group) yang berasal dari ketertarikan yang sama akan suatu hal dan solidaritas yang dibangun bersama. Mereka berpendapat bahwa terdapat tiga faktor yang berpengaruh dalam proses pembentukan identitas kolektif yaitu :

1. the creation of socially constructed boundries that insulate and differentiate a

category of persons from the dominant society,

2. the development of consciousness that presumes the existence of socially

(26)

3. The valorization of a group’s essential differences through the politicization of everyday.

Menurut Jasper dikutip oleh Polletta dan James (2002) identitas kolektif yang melekat pada seseorang yang turut serta dalam suatu gerakan sosial dapat dilihat melalui tiga jenis identitas yang melekat pada dirinya. Pertama identitas aktivis, indentitas ini dapat dilihat dari sejarah aktifitas politiknya atau sejarah orang tersebut sebelum ia bergabung dengan suatu organisasi gerakan sosial yang lebih luas dari suatu gerakan itu sendiri, misalnya ketika orang tersebut menyebut dirinya sebagai aktivis lingkungan.

Kedua identitas organisasi, identitas yang melekat pada seseorang ketika ia bergabung dengan suatu organisasi. Dan yang terakhir identitas taktis, identitas ini menunjukan gaya aksi tertentu yang ia percaya dan anut. Ketiga jenis identitas ini dapat terbentuk sebelum maupun sesudah ia bergabung dengan suatu gerakan sosial.

2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual

(27)

Dalam penelitian gerakan sosial baru, budaya organisasi diasumsikan sebagai budaya yang mampu mengkonstruksi identitas kolektif pada individu yang bergabung dengan organisasi gerakan sosial baru. Melalui budaya ini, individu mampu mengkonstruksi kemudian memaknai suatu fakta atau peristiwa yang berlaku sesuai konteks tertentu. Identitas kolektif merupakan suatu daya nalar individu, moral, hubungan emosional antara individu dengan organisasi, kategori, komunitas atau practice. Identitas ini terbentuk akibat interaksi individu dengan budaya suatu pergerakan sosial. Identitas kolektif yang melekat pada anggota dari organisasi gerakan sosial baru dapat dilihat dari tiga identitas yang melekat pada anggota tersebut, yang terdiri dari identitas aktivis, identitas organisasi dan identitas taktik.

Budaya organisasi sebagai suatu hasil penyatuan pandangan, dapat dikatakan sebagai konsensus yang dibentuk oleh anggotanya. Menurut Stuart Hall (dikutip Yanto, 2002), konsensus merupakan hasil share pengetahuan individu-individu yang berada dalam suatu komunitas sehingga menghasilkan suatu peta pemaknaan (maps of meaning) yang dimaknai bersama oleh anggota komunitas tersebut, peta maknaan ini dapat berupa misi dari organisasi itu sendiri. Proses penyebarluasan peta pemaknaan (maps of meaning) dapat dilakukan melalui suatu media komunikasi berupa cerita, ritual, lambang materi dan bahasa yang terdapat pada suatu organisasi. Media komunikasi tersebut memuat nilai-nilai maupun skema-skema yang memperlihatkan pandangan organisasi akan suatu fakta maupun peristiwa.

Skema tersebut digunakan oleh organisasi dalam membingkai suatu realitas dan menyajikannya dalam proses pemikiran individu. Sebuah realitas dapat dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh setiap individu. Dalam gerakan sosial, skema tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah frame, karena dalam perspektif frame ini berperan dalam mengorganisasikan pengalaman dan petunjuk tindakan, baik secara individu maupun kolektif (Goffman dikutip Yanto,2002). Dalam pemahaman ini, frame tentu saja berperan dan menjadi faktor yang menentukan dalam partisipasi gerakan sosial.

(28)

tersebut dapat berperilaku sejalan dan tidak melenceng dari tema ’gerakan’. Dalam konteks gerakan sosial, pembentukan karakter atau identitas merupakan bagian dari collective action frame (Gamson dikutip Yanto, 2002) menghasilkan suatu identitas kolektif yang tidak hanya memperjelas siapa kita dan siapa mereka, melainkan juga mengidentifikasi bahwa kita berbeda dengan mereka serta memberikan energi positif pada anggota lain (Polletta dan James, 2001). Menurut mereka identitas kolektif dapat ditunjukan oleh cultural materials, seperti nama, narasi, simbol, gaya bahasa, ritual, baju,dll. Pada tingkat individu identitas kolektif dapat dilihat tiga jenis identitas yang melekat pada dirinya, yang terdiri dari identitas aktivis, identitas organisasional dan identitas taktis

Framing menyediakan alat bagaimana suatu peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori tertentu, sehingga dapat dikatakan framing menolong individu dalam memproses informasi ke dalam kategori yang dikenal dan citra tertentu (Hanson dikutip Yanto,2002). Pada dasarnya dalam suatu media komunikasi, frame dapat dilihat sebagai sebuah content terdiri dari elemen-elemen

frame, elemen-elemen tersebut terdiri dari frame yaitu isu utama, diagnosis, prognosis, dan argumen pendukung. Menurut Gamson (dikutip Yanto,2002), gerakan sosial membutuhkan tiga frame atau bingkai yaitu agregate frame,

consensus frame, dan collective action frame.

Sehingga dapat dikatakan bahwa media komunikasi dalam organisasi sebagai suatu framing seperti aksi-aksi yang mereka lakukan, buku yang diterbitkan, maupun aktifitas lainnya, karena media komunikasi tersebut memuat

frame gerakan sosial yang mempengaruhi cara pandang seorang individu dalam mengkontruksi suatu fakta atau peristiwa, dan membentuk suatu identitas kolektif.

(29)

.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pembentukan Identitas Kolektif pada LSM Greenpeace Asia

Tenggara Indonesia.

2.6 Definisi Konseptual

Definisi konseptual yang digunakan dalam peneltian ini adalah sebagai berikut :

1. Budaya organisasi LSM Greenpeace merupakan suatu nilai maupun norma yang menjadi pedoman anggota organisasi dalam mencapai tujuan organisasi maupun menghadapi permasalahan serta cara bagaimana anggota baru memahami organisasi yang terdapat pada LSM Greenpeace, seperti misi dari organisasi maupun prinsip utama yang di pegang teguh oleh LSM ini .

2. Media komunikasi organisasi merupakan media yang digunakan oleh organisasi dalam menyampaikan gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang terdiri dari cerita, ritual, lambang materi, dan bahasa.

3. Cerita merupakan pemaparan secara tertulis ataupun tidak tertulis tentang suatu peristiwa mengenai organisasi, dan pemaparan tentang suatu peristiwa

Budaya organisasi gerakan sosial baru

Media Komunikasi o Cerita o Ritual

o Lambang materi o Bahasa

Identitas Kolektif

§ Identitas aktivis

§ Identitas organisasional

§ Identitas taktis

Frame Gerakan Soial

o Agregate frame o Consensus frame o Collective Action

frame

Elemen frame o Isu utama o Diagnosis o Prognosis

(30)

ataupun fakta yang berfungsi dalam menyampaikan informasi, moral, nilai-nilai yang mampu memberi semangat anggota dan bersifat meyakinkan. 4. Ritual adalah deretan berulang kegiatan yang mengungkapkan dan

memperkuat nilai-nilai utama organisasi itu, tujuan apakah yang paling penting, serta berguna dalam menciptakan aturan, kejelasan, memprediksi, terutama mengenai masalah-masalah penting, serta ritual dapat dikatakan sebagai suatu aktifitas yang bermafaat dalam proses sosialisasi, stabilisasi, mengurangi kecemasan dan kerasayan, dan menyampaikan pesan-pesan kepada anggotanya.

5. Lambang materi adalah simbol-simbol bermakna yang terdapat dalam organisasi, seperti pakaian Greenpeace dan pakaian Greenpeace yang bertema anti-batubara.

6. Bahasa adalah cara untuk mengadakan identifikasi anggota suatu budaya atau anak budaya. Dengan mempelajari bahasa ini, anggota membuktikan penerimaan mereka akan budaya itu. Dalam organisasi bahasa dapat dilihat melalui bahasa ataupun istilah-istilah yang digunakan oleh anggota organisasi dalam aktifitas keorganisasiannya. Istilah-istilah tersebut dapat dikatakan sebagai suatu metafora yang mampu menekan isu yang kompleks menjadi gambaran yang memudahkan anggotanya dalam memahami dan mempengaruhi tingkah laku, penilaian dan tindakan.

7. Frame adalah sebuah skema interpretasi yang membuat realitas menjadi teridentifikasi, dipahami dan dimengerti dengan label tertentu, yang dapat dipandang sebagai suatu content dan struktur.

8. Isu utama adalah hal utama yang menjadi fokus pembahasan pada suatu frame

ataupun media komunikasi yang terdapat pada budaya organisasi LSM Greenpeace.

(31)

timbulnya permasalahan tersebut. (Snow dan Benford dalam Larana dkk, 1994)

10.Prognosis frame menunjukan rencana yang ditawarkan untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat pada diagnostic frame, kemudian menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang mereka anggap terkait, serta target atau capaian, strategi, dan taktik yang digunakan. (Snow dan Benford dalam Larana dkk, 1994)

11.Argumen pendukung adalah pendapat-pendapat yang dapat mendukung suatu pernyataan, terutama latar belakang munculnya permasalahan, akibat yang akan timbul apabila hal-hal yang terdapat pada frame berjalan serta agumen ini memiliki daya tarik dan hubungan dengan nilai-nilai budaya yang lebih luas. (Ryan dalam Klandermans dan Suzanne, 2002)

12.frame gerakan sosial merupakan frame yang berperan dalam memobilisasi individu agar aktif dan masuk kedalam kelompok. Frame tersebut terdiri dari aggregate frame, consensus frame, dan collective action frame.

13.Agregate frame adalah proses pendefinisian isu sebagai masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar frame atas peristiwa tersebut sadar bahwa isu tersebut adalah masalah bersama yang berpengaruh bagi setiap individu.

14.Consensus frame adalah proses pendefinisian yang berkaitan dengan masalah sosial hanya dapat diselesaikan oleh tindakan kolektif. Frame konsensus ini mengkonstruksi perasaan dan identifikasi dari individu untuk bertindak secara kolektif.

15.Collective action frame adalah proses pendefinisian yang berkaitan dengan kenapa dibutuhkan tindakan kolektif, dan tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan. Frame ini dikonstruksi oleh tiga elemen. (1) injustice frame, frame ini menyediakan alasan mengapa kolompok tersebut harus bertindak sesegera mungkin karena frame ini menyentuh sisi moral aktivis sehingga memacu mereka untuk segera bertindak , (2) agency frame, frame

(32)

siapa pihak kita dan siapa pihak mereka, dan (3) Identity frame, frame ini tidak hanya memperjelas siapa kita dan siapa mereka, melainkan juga mengidentifikasi bahwa kita berbeda dengan mereka.

16.Identitas kolektif adalah merupakan pemaknaan bersama yang terdapat di dalam suatu kelompok (group) yang berasal dari ketertarikan yang sama akan suatu hal dan solidaritas yang dibangun bersama. Identitas ini dapat ditunjukan melalui cultural materials, seperti narasi, simbol, ritual, baju.

17.Identitas aktivis adalah identitas yang terbentuk dari sejarah aktivitas politiknya atau sejarah orang tersebut sebelum ia bergabung dengan suatu organisasi gerakan sosial yang lebih luas dari suatu gerakan itu sendiri, misalnya ketika orang tersebut menyebut dirinya sebagai aktivis lingkungan. 18.Identitas organisasional adalah identitas yang melekat pada seseorang ketika ia

bergabung dengan suatu organisasi

(33)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan pendekatan kualitatif. Bagi peneliti kualitatif, realitas sosial adalah wujud bentukan (konstruksi) para subyek penelitian yaitu tineliti (orang dalam) dan peneliti (Sitorus, 1998). Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan data deskriptif yang berupa kata kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan dikutip Sitorus, 1998). Data yang dihasilkan merupakan hasil pengamatan penulis terhadap frame

gerakan sosial yang terdapat pada LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia serta proses pembentukan identitas kolektif pada LSM tersebut.

Strategi penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu penelitian multi-metode pada aras mikro, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen (Sitorus,1998). Kasus yang diangkat pada penelitian ini adalah gerakan anti-batubara pada LSM Greenpeace

Asia Tenggara di Indonesia dalam membentuk identitas koletif sebagai aktifis lingkungan. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode triangulasi, yang menggunakan sejumlah metode dalam suatu penelitian.

3.2 Penentuan Subyek Penelitian dan Sumber Data

Penelitian dilaksanakan di LSM Greenpeace Asia Tenggara. LSM ini berlokasi di Jalan Cimandiri No. 24, Cikini, Jakarta Pusat. LSM ini dipilih secara

purposive (sengaja). LSM ini dipilih sebagai objek penelitian karena Greenpeace merupakan salah satu LSM di Indonesia yang menentang digunakannya batubara sebagai bahan baku penghasil energi alternatif dan murah. Menurut LSM ini anggapan batubara sebagai bahan baku energi yang murah adalah salah, karena tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkannya.

(34)

publik dalam menentang batubara, dan kemandirian mereka dalam menggalang dana untuk modal mereka dalam menyalurkan aspirasi sehingga diasumsikan bahwa LSM ini tidak mendapat pengaruh dari pihak-pihak luar serta memiliki tantangan tersendiri dalam memenuhi dana operasional mereka. Selain itu di Indonesia LSM ini memiliki voulenteer yang cukup besar, hingga tahun 2008 terhitung sekitar 17000 orang yang bergabung menjadi voulenteer Greenpeace

yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa LSM Greenpeace memiliki tantangan organisasi yang cukup besar dalam membangun kekuatan internal organisasi, memperkuat identitas kolektif anggotanya dan menjaga keberlangsungan organisasinya di Indonesia.

Waktu penelitian ini dimulai dari akhir bulan Juli 2009 sampai dengan pertengahan bulan september 2009. Selama itu pula peneliti melakukan magang di kantor LSM Greenpeace Indonesia sebagai asisten Juru Kampanye Iklim dan Energi yang fokus pada isu batubara, untuk mempermudah peneliti dalam membina hubungan yang baik dengan subjek penelitian. Kurun waktu penelitian yang dimaksud adalah waktu yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data di lapangan.

Subjek dalam penelitian ini adalah frame anti-batubara berupa content

(cerita, ritual, bahasa, dan lambang materi) yang terdapat pada media komunikasi LSM Greenpeace Asia Tenggara, dan informan.

Untuk mendukung data-data penelitian, peneliti juga mengumpulkan data dari informan. Informan adalah pihak yang memberikan informasi mengenai pihak lain dan lingkungannya (Sitorus, 1998). Penentuan informan dilakukan secara purposive berdasarkan hasil pengamatan langsung, wawancara dengan pihak LSM tersebut dan kemudahan akses. Informan penelitian ini adalah divisi

Organization Support dan Arie, divisi new media. Sedangkan responden dalam penelitian ini terdiri dari lima orang yang berasal dari divisi yang berbeda yaitu Juru Kampanye, divisi New Media, divisi DDC (Direct Dialogue Campaigner), volunter, dan siswa GPU (Greenpeace University), yang diambil secara

(35)

identitas kolektif yang melekat anggota Greenpaace pada empat anggota divisi yang berbeda dan seorang siswa dari program Greenpeace University.

Framing yang diamati dalam penelitian ini difokuskan pada satu isu tertentu saja yaitu isu batubara karena isu tersebut baru satu tahun dikampanyekan

Greenpeace Indonesia sehingga peneliti dapat melihat perbedaan dalam identitas kolektif yang melekat pada diri responden dan kemudahan akses untuk mendapatkan data-data terkait dengan isu batubara.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Metode yang dalam penelitian ini adalah metode triangulasi metodologi, yang menggunakan sejumlah metode dalam suatu penelitian. Metode yang digunakan adalah pengamatan berperanserta-terbatas, wawancara semi-terstruktur, dan analisis dokumen. Sehingga menghasilkan data kualitatif yang terdiri dari (Patton dikutip Sitorus, 1998) :

1. Hasil pengamatan : uraian (deskripsi) rinci mengenai situasi, kejadian/peristiwa, orang-orang, dan perilaku yang diamati secara langsung di lapangan. Hasil pengamatan akan disajikan dalam bentuk catatan lapang penulis selama penelitian, dengan menggunakan digital recorder dan digital camera. Kegiatan yang diamati adalah kegiatan divisi DDC yang dilaksanakan di pusat perbelanjaan Pondok Indah pada tanggal 15 September 2009, karena kegiatan ini termasuk salah satu ritual LSM Greenpeace dalam mensosialisasikan isu-isu yang mereka kampanyekan. Pada kegiatan ini, peneliti berusaha mengakrabkan diri dengan subjek penelitian untuk membina hubungan yang baik. Situasi ini membantu peneliti untuk mendapatkan kepercayaan dan keterbukaan subjek penelitian dalam memperoleh data yang diperlukan untuk menjawab perumusan masalah penelitian.

(36)

3. Bahan tertulis : petikan keseluruhan bagian dari dokumen berupa buku “Biaya Sebenarnya Batubara”, booklet yang dibagikan pada supporter Greenpeace

dan movement document yang terdapat pada website resmi Greenpeace Asia Tenggara Indonesia, dan transkrip rekaman.

Seluruh data yang dikumpulkan dari penelitian, akan dituangkan ke dalam catatan harian yang berisi data kualitatif hasil pengamatan dan wawancara di lapangan dalam bentuk uraian rinci maupun kutipan langsung (Sitorus, 1998). Sedangkan dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan arsip-arsip mengenai LSM Greenpeace maupun kegiatannya (movement document, slogan, dan booklet) yang terdapat pada di kantor. Wawancara semi terstruktur dilakukan baik kepada informan maupun responden yang mengacu pada panduan pertanyaan yang akan menjawab perumusan masalah penelitian.

Penelitian ini memfokuskan diri untuk mengidentifikasi frame gerakan sosial anti-batubara yang terdiri dari aggregate frame, consensus frame, dan collective action yang terdapat pada LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia. Kemudian melihat framing yang terdapat pada ritual dan lambang materi dalam organisasi berupa buku “Biaya Sebenarnya Batubara”, Aksi langsung dan damai Cilacap maupun Bali, kegiatan DDC, booklet, dan atribut pakaian anti-batubara, kemudian mengidentifikasi elemen frame berupa isu utama, diagnosis, prognosis, argumen pendukung dan simbol-simbol yang terdapat didalamnya. Terakhir, menganalisa identitas koletif yang melekat pada diri subjek penelitian.

3.4 Teknik Analisis Data

Selama mengumpulkan data di lapangan, peneliti juga melakukan analisis data. Semua data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah melalui tiga jalur analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman dikutip Sitorus, 1998). Teori yang digunakan untuk menganalisis data yang terkumpul selama penelitian ini difokuskan kepada

(37)

anggota LSM Greenpeace. Peneliti telah menentukan sikap terhadap cara menganalisis hasil temuan di lapangan untuk membatasi agar tidak terjadi kerancuan analisis.

Secara rinci, tahapan analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data ”kasar” yang muncul dari beberapa catatan tertulis di lapangan. Reduksi dalam proses pengumpulan data mencakup kegiatan meringkas data yang ada di dalam catatan lapangan kemudian dikaitkan dengan pertanyaan penelitian, membuat gugus-gugus pembahasan dalam matriks kasar untuk mempermudah analisis. Reduksi ditujukan untuk menajamkan, menggolongkan, mengeliminasi yang tidak diperlukan serta mengorganisir data untuk memperoleh kesimpulan akhir. b) Penyajian data, data yang telah direduksi kemudian disajikan dengan

penyusunan sekumpulan informasi berupa kategori sehingga memungkinkan untuk penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk: gambar, serta berbagai kutipan penjelasan dari subjek penelitian.

c) Penarikan kesimpulan, dalam hal ini juga meliputi verifikasi atas kesimpulan tersebut. Artinya, selama penelitian berlangsung dan sebelum merumuskan kesimpulan akhir, peneliti melakukan proses lain yang berupaya meninjau kembali berbagai data yang telah diperoleh, baik berupa tinjauan pada catatan lapang berupa hasil wawancara maupun konfirmasi beragam temuan yang telah disusun oleh peneliti. Setelah tahap ini selesai dilakukan, peneliti mulai menyusun data akhir ke dalam bentuk skripsi.

(38)

BAB IV

PROFIL LSM GREENPEACE ASIA TENGGARA DI

INDONESIA

4.1 Sejarah LSM Greenpeace

Greenpeace merupakan LSM Internasional yang resmi berdiri 4 Mei 1972, namun pergerakannya sudah dimulai sejak awal tahun 1970. LSM ini termasuk kedalam gerakan sosial baru, karena isu-isu lingkungan yang mereka kampanyekan dan jaringan kerja yang luas dan tersebar di seluruh dunia merupakan ciri-ciri dari gerakan sosial baru.

Pergerakan LSM Greenpeace bermula dari sekelompok orang yang memutuskan untuk bersama-sama memprotes pengujian nuklir di Amchitka, dimana Amchitka adalah tempat berlindungnya sekitar 3000 berang-berang dan rumah elang kepala botak serta hewan liar lainnya yang berada di lepas pantai bagian Barat Alaska. Gerakan ini dimulai dengan pembentukan formasi Don't Make A Wave Comitte oleh sekelompok aktivis Kanada dan Amerika di Vancouver pada 1970. Nama komite ini diambil dari sebuah slogan yang digunakan selama protes terhadap uji coba nuklir Amerika Serikat, sasaran dari komite tersebut adalah menghentikan ujicoba pemboman nuklir bawah tanah tahap ke-dua dengan kode Canikkin, oleh militer AS di bawah pulau Amchitika, Alaska. Komite tersebut terdiri dari Paul Cote (Mahasiswa hukum Universitas British Columbia), Jim Bohlem (mantan nakoda kapal selam dan operator radar di Angkatan Laut AS), Irving Stowe (seorang Quaker dan Yale-educated Lawyer), Patrick Moore (Mahasiswa Ekologi di Universitas British Columbia), Bill Darnell (seorang Pekerja Sosial).

Komite tersebut melanjutkan gerakannya dengan membentuk LSM baru bernama Greenpeace dan menyebut diri mereka Rainbow Warrior, dengan Metcalfe sebagai pemimpinnya. Pada awalnya nama Greenpeace merupakan nama kapal yang mereka pergunakan dalam melakukan aksi protes uji coba nuklir di daerah Amchitka. Kata Greenpeace sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu

(39)

memperlihatkan komitmen Greenpeace dalam melindungi lingkungan dan menjaga kedamaian bagi seluruh spesies makhluk hidup di muka bumi.

Tahun 1978, nama organisasi Greenpeace mulai dikenal di beberapa negara karena aksi yang mereka lakukan. Memasuki tahun 1979, Greenpeace

sudah memiliki perwakilan di beberapa negara yaitu Kanada, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Denmark, Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Belanda. Demi terjaganya koordinasi antara satu dengan yang lainnya maka mereka memutuskan untuk mendirikan Greenpeace International. Kekhawatiran sempat dirasakan karena belum menemukan sosok yang tepat untuk memimpin Greenpeace International, namun rasa khawatir tersebut mulai hilang ketika seorang anggota komite mengusulkan nama McTaggart, ia merupakan pelaut yang memiliki kemampuan berpolitik yang baik, integritas dalam berkampanye, dan bisnis yang mapan. Akhirnya pada 14 oktober 1979, Greenpeace International secara legal berdiri dan McTaggart terpilih sebagai Executive Director dari Greenpeace International yang pertama. Selain itu perwakilan dari masing-masing negara menyetujui bahwa kantor pusat Greenpeace International berada di Amsterdam Belanda, karena saat itu perwakilan Greenpeace yang berada di Eropa sudah terkoordinir dengan baik, dan organisasinya pun sudah tersusun dengan rapih.

4.2 Greenpeace Asia Tenggara (GPSEA)

(40)

GPSEA sendiri terdiri dari tiga bagian yaitu GPSEA Indonesia, GPSEA Thailand, dan GPSEA Filipina.

Sejak hadirnya Greenpeace di Asia Tenggara, LSM Internasional ini telah menampakkan hasilnya dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan di kawasan ini. Menyangkut perjuangan mereka dalam mengkampanyekan sumber-sumber energi yang terbarukan, pada tahun 2002 atas desakan Greenpeace

bersama-sama dengan komunitas lokal berhasil menunda rencana Pemerintahan Filipina untuk membangun pembangkit listrik batu bara berdaya 50 megawatt di Pulupandan, Propinsi Negro. Empat tahun kemudian tepatnya tanggal 12 Juli tahun 2006 Greenpeace bersama dengan komunitas lokal Isabela yang berada di Filipina, kembali berhasil menghentikan rencana Perusahaan Minyak Nasional Filipina (PNOC) untuk membuka tambang batu bara dan pembangkit listriknya.

Pada tahun 2004 tepatnya tanggal 20 Februari dalam Convention on Biological Diversity (CBD) yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia, 180 pemerintahan setuju untuk membangun kerjasama dalam melindungi kondisi lingkungan, laut maupun darat. Pada tahun yang sama di Filipina, atas masukan

Greenpeace bersama dengan komunitas lokal berhasil meyakinkan Control Pollution Department untuk mencabut izin dari 1300 lahan Rai yang diperuntukan program Klong Dan Waste Water Treatment Project karena mengambil hak masyarakat untuk mempergunakan sumberdaya air yang berada di lokasi tersebut.

Menyangkut isu limbah beracun, pada tahun 2005 tepatnya 20 April Setelah tekanan bertubi-tubi yang datang secara online dari pendukung

Greenpeace kepada perusahaan Sony Ericsson, membuat perusahaan tersebut menyatakan bahwa mereka tidak akan mempergunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam setiap produknya. Langkah ini pun diikuti oleh perusahaan Samsung dan Nokia. Satu tahun kemudian tepatnya tanggal 26 Juni 2006,

(41)

4.3 Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia (GPSEA Indonesia)

GPSEA di Indonesia secara resmi berdiri pada bulan Maret tahun 2008. Misi Greenpeace hadir di Indonesia adalah untuk melindungi hak-hak lingkungan, mengekspos dan menghentikan kejahatan lingkungan, serta mengedepankan pembangunan bersih. Dalam menjalankan aktifitasnya, LSM ini menolak donasi dari pemerintah, organisasi atau partai-partai politik dan lembaga lainnya sehingga LSM ini bebas menyuarakan dan mengekspos kejahatan-kejahatan lingkungan.

Awalnya Greenpeace mulai menjajaki wilayah Indonesia sekitar tahun 1990, dengan mengusung toxic waste sebagai isu utama hingga pada akhirnya mereka bersama dengan LSM lokal, berhasil menghentikan masuknya limbah sampah berbahaya di pelabuhan Tanjung Priok dan mengembalikannya ke nagara asal yaitu Jerman. Pada tahun 2004 Greenpeace datang kembali ke Indonesia, tepatnya ke Kalimantan untuk meneliti keadaan hutannya dan mengkontrak salah satu apartemen di daerah Kuningan yang dijadikan kantor atau tempat mengurus masalah administrasi, namun saat itu Greenpeace hadir di Indonesia hanya saat ada program-program tertentu saja.

Greenpeace memulai program dengan memiliki kantor operasional di daerah Sempur Bogor. Greenpeace mulai aktif kembali berkampanye di wilayah Indonesia dengan isu deforestasi hutan alam Indonesia sebagai masalah utama di daerah Kalimantan dan Papua dengan nama kampanye Paradise Forest. Saat itu

Greenpeace diIndonesia belum memiliki struktur yang lengkap dan belum secara legal berdiri di Indonesia, hanya terdiri dari administrator, koordinator aksi, juru kampanye media, dan bantuan beberapa staff dari Greenpeace internasional dan

Greenpeace Asia Pasifik. Hal ini mendapatkan respon positif dari masyarakat Indonesia, terlihat dari cukup besarnya jumlah volunter yang sudah bergabung dengan Greenpeace yaitu sekitar 100 orang. Pada pertengahan tahun 2006, kantor GPSEA Indonesia pindah ke Jakarta di daerah Cikini dan melegalkan kehadirannya di Indonesia pada tanggal 1 maret 2006 maka struktur kepengurusan pun mulai lengkap tersusun.

Hadirnya Greenpeace di Indonesia bukan tanpa hasil, saat bencana

(42)

mendistribusikan energi listrik yang bersih bagi korban Aceh yang berhasil selamat dengan memasang sistem energi solar PV pada suatu desa agar kebutuhan energinya terpenuhi

Pada tahun 2006 di bawah tekanan Greenpeace, Asian Development Bank

(ADB) meningkatkan bantuan dana untuk energi terbarukan serta memberikan dana energi bersih senilali 1 milyar dollar AS. Selain itu, Gre

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pembentukan Identitas Kolektif pada LSM Greenpeace Asia
Gambar 2. Struktur Organisasi LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia
Gambar 3.  Halaman Muka Buku “Biaya Batubara Sebenarnya”
Gambar 4.  Halaman Pada Buku “Biaya Batubara  Sebenarnya” sebagai simbol pencemaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tiga aspek Restorasi yaitu: (1) aspek kooperatif, artinya seringkali pengarang mempengaruhi pembaca, mengajak pembaca berkompromi, dengan menciptakan kembali realitas

The objective of this research are: to find out the forms of failure of reading in English texts in English learning, to find out the factors influencing

Lingkungan Hidup, AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan pentinga. suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup

[r]

Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang.. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi

[r]

Program script 5 untuk mengatur kunci tidak akan hilang jika aktor tidak berhasil memakan semua angka atau aksara, akibatnya aktor tidak akan dapat melanjutkan/masuk

Layout , table settings , dan service staff merupakan variabel yang berpengaruh secara positif, namun tidak signifikan terhadap customer satisfaction di Domi Deli