• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

1.1 Latar belakang

Pengembangan pemanfaatan sumberdaya energi non minyak saat ini sangat diperlukan, mengingat semakin tipisnya cadangan minyak bumi kita. Salah satu langkah yang ditempuh pemerintah adalah mengembangkan sumberdaya batubara sebagai salah satu sumber energi alternatif untuk industri dan kebutuhan pasar dalam dan luar negeri. Selain harganya relatif murah, cadangan sumberdaya energi batubara tersedia dalam jumlah cukup banyak di sebagian besar wilayah Indonesia.

Batubara di masa yang akan datang, sebagai bagian dari usaha diversifikasi energi, diharapkan dapat menggantikan minyak bumi sebagai sumber energi bagi industri dalam dan luar negeri dan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Industri-industri yang saat ini telah memanfaatkan batubara sebagai sumber energi antara lain industri semen dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Selain itu, pemerintah juga telah menganjurkan penggunaan briket batubara sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar minyak tanah untuk keperluan rumah tangga. Hal ini mendorong perusahaan swasta nasional maupun asing untuk melakukan eksploitasi batubara (Busyairi, 2008).

Eksploitasi sumberdaya alam, termasuk diantaranya kegiatan penambangan batubara, sangat potensial menimbulkan dampak lingkungan. Dampak terhadap lingkungan ini dapat bersifat negatif. Dampak negatif yang diperkirakan akan muncul dari kegiatan penambangan batubara ini antara lain perubahan bentang lahan, penurunan kualitas udara, tanah dan air, serta perubahan-perubahan tatanan sosial budaya.

Dampak negatif tersebut menimbulkan keresahan di kalangan aktivis lingkungan, terutama yang bergabung dalam LSM yang bergerak di bidang lingkungan. Mereka giat menentang kegiatan penambangan batubara di Indonesia melalui aksi-aksi yang mereka lakukan maupun diskusi langsung dengan pihak- pihak yang terkait. Terkadang kegiatan yang mereka lakukan ditanggapi dengan aksi kekerasan, seperti yang terjadi di daerah Kabupaten Tanah Bumbu,

Kalimantan Selatan. Usai melakukan kegiatan dengar pendapat dengan anggota DPRD, lima orang aktivis LSM dikejar oleh 600 orang yang mengaku massa pendukung kegiatan tambang masuk menyerbu Gedung DPRD Tanah Bumbu karena mengkritisi Perusda batubara1.

Kehadiran aktivis LSM ataupun LSM itu sendiri diperlukan sebagai bagian dari masyarakat, karena pandangan atau aspirasinya, dan program yang dilaksanakannya membuat lembaga masyarakat ini tampil sebagai salah satu organisasi yang menyuarakan hati nurani masyarakat. Selain itu, LSM sebagai salah satu wadah bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, merupakan bagian dari gerakan sosial masyarakat di suatu negara, termasuk di dalamnya gerakan- gerakan sosial baru yang mengkampanyekan isu-isu lingkungan hidup, salah satu contohnya adalah LSM Greenpeace.

Menurut Tindall (2002), LSM sebagai bagian dari gerakan sosial memerlukan partisipasi dari anggotanya untuk berbagai alasan. Pertama, LSM memerlukan sumberdaya yang banyak dalam menjalankan aktifitas maupun menjaga eksistensinya. Kedua, agar aspirasi LSM dapat didengarkan dan diperhitungkan dalam sistem politik yang demokratis, maka pemerintah maupun aktor lain yang dituju harus diyakinkan bahwa aspirasi tersebut didukung dan disetujui oleh sebagian besar masyarakat.

Menurut Shobirin dikutip Dharmawan (2004), keleluasaan LSM dalam menyuarakan hati nurani masyarakat dan menjalankan aktivitasnya tidak sendirinya meringankan tantangan yang dihadapi oleh LSM. Tantangan tersebut berasal dari keterbatasan dirinya serta rendahnya kesadaran dan kemampuan fund raising dari sumber-sumber dalam negeri atau usaha sendiri, kelemahan faktor internal tersebut menyebabkan banyak LSM yang sulit mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Tantangan tersebut diperkuat oleh pendapat Maria

dikutip Dharmawan (2004) yang mengatakan bahwa salah satu isu serius yang akan dihadapi LSM di Indonesia ke depannya yaitu kemampuan LSM dalam

1

Berdasarkan artikel yang dimuat di koran Kompas yang terbit pada tanggal 9 Mei 2005. Artikel ini dapat diakses di

membangun kekuatan internal, termasuk di dalamnya adalah kemampuan LSM dalam menggalang dana dan membangun komitmen anggotanya.

Dalam mengatasi keterbatasan maupun membangun kekuatan internal, LSM membutuhkan budaya organisasi yang kuat untuk meningkatkan komitmen anggotanya demi mencapai visi dan misi dari LSM tersebut. Maksud budaya organisasi disini adalah pola berbagai asumsi dasar dan nilai yang dipegang diyakini valid sebagai acuan dan cara yang “benar” untuk mempersepsikan, merasakan, memikirkan dan memecahkan berbagai masalah. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat Robbins (2002), yang menyatakan bahwa salah satu fungsi budaya organisasi adalah membantu menciptakan rasa memiliki jati diri bagi anggota serta membantu stabilisasi organisasi sebagai suatu sistem sosial.

Menjaga komitmen dalam diri anggota sangat penting, karena dengan komitmen yang tinggi anggota dapat memberikan kontribusinya yang maksimal bagi tercapainya tujuan organisasi. Anggota sebagai salah satu masukan (input) dalam organisasi terkadang tidak memberikan kontribusinya secara maksimal yang dapat menyebabkan menurunnya partisipasi anggota dalam program- program yang terdapat dalam organisasi.

Partisipasi sendiri merupakan hasil pemikiran rasional yang dibangun oleh individu-individu yang berbagi identitas kolektif antara satu dengan yang lain (Polletta dan James, 2001). Identitas kolektif mampu memberikan kepuasan tersendiri dan menunjukan kewajiban yang mampu mendorong individu untuk bergerak sesuai dengan keinginan organisasi. Dalam organisasi gerakan sosial baru, identitas kolektif merupakan pemaknaan bersama yang terdapat di dalam suatu kelompok sebagai hasil dari konstruksi atau framing suatu budaya organisasi. Sehingga dalam mengkontruksi (framing) identitas kolektif, suatu budaya memerlukan media komunikasi dalam menyebarluaskan frame- frame

tersebut guna membangkitkan kesepahaman anggotanya dalam menghadapi suatu permasalahan.

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai LSM dan kaitannya dengan gerakan sosial sudah dilakukan. Sari (2004) menggambarkan pencapaian IPGI (The Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives) sebagai LSM yang bergerak dalam penelitian pastisipatif, pelatihan dan konsultan, advokasi dan

pelancaran pengaruh dalam mewujudkan situasi yang kondusif bagi terciptanya

civil society pada dua komunitas yang berbeda. Assa’di (2004) menganalisa kedalaman jangkauan (outreach) LSM LKTS (Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial) pada komunitas pedesaan. Kedalaman jangkauan LSM tersebut dianalisa melalui kedalaman jangkauan LSM tersebut, strategi penetrasi LKTS pada pengembangan komunitas, dan pengaruhnya pada pengembangan komunitas pedesaan.

Pada penelitian lainnya yaitu Assa’di (2009) meneliti pengaruh donor dalam aspek finnsial, aksi dan orientasi ideologi terhadap independensi LSM pada dua lembaga yaitu LKTS (Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial) dan LPS DD ( Lembaga Pertanian Dompet Dhuafa), hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa perbedaan independensi LSM pada aspek finansial dan aksi muncul dari karakteristik donor serta pergeseran ideologi LSM tidak disebabkan langsung oleh donor, tetapi karena meningkatnya kebutuhan finansial yang semakin besar. Selain itu, faktor independensi LSM dipengaruhi oleh faktor internal, dimana militansi ideologi LSM, kemapanan kinerja LSM menjadi variabel kekuatan dalam negosiasi.

Hampir semua penelitan terdahulu mengenai LSM dan gerakan sosial lebih fokus kepada aktifitas maupun keberhasilan LSM dalam menjalankan salah satu fungsinya sebagai organisasi gerakan sosial, namun belum ada yang mengungkapkan bagaimana LSM sebagai organisasi gerakan sosial membangun identitas kolektif pada anggotanya. Dalam organsisasi gerakan sosial, identitas kolektif berguna dalam menjawab tantangan yang akan dihadapi organisasi tersebut kedepannya, seperti tantangan dalam membangun kekuatan internal organisasi dan komitmen anggotanya.