• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku “Biaya Batubara Sebernarnya”

FRAMING BATUBARA PADA LSM GREENPEACE ASIA TENGGARA DI INDONESIA

6.1 Buku “Biaya Batubara Sebernarnya”

“Biaya Batubara Sebenarnya” merupakan buku setebal 60 halaman yang diterbitkan oleh Greenpeace Asia Tenggara pada bulan Februari tahun 2009. Buku ini memiliki dua versi bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Untuk versi bahasa Inggris sudah diterbitkan terlebih dahulu oleh Greenpeace International pada bulan Desember tahun 2008. Buku ini ditulis oleh beberapa aktivis Greenpeace dari beberapa negara, mereka adalah Mareike Britten, Iris

Cheng, Jayashree Nandi, Emily Rochon, Nabiha Shahab, dan Mang Wei serta bekerja sama dengan institut penelitian Belanda CE Delft.

Konsisten dengan isu yang mereka kampanyekan, maka seluruh bagian dari buku dicetak di atas kertas hasil daur ulang dan menggunakan tinta yang berasal dari kacang kedelai. Secara garis besar isi buku ini berusaha menggambarkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dunia apabila terus menerus menggunakan batu bara sebagai sumber bahan baku pembangkit energi.

Gambar 3. Halaman Muka Buku “Biaya Batubara Sebenarnya”

Buku setebal 60 halaman ini dapat dikatakan sebagai bahan acuan atau dapat dikatakan sebagai ‘senjata’ bagi juru kampanye, anggota DDC dan anggota

Greenpeace yang lain ketika mereka berbicara dan berkampanye mengenai batu bara. Buku ini tidak untuk diperjualbelikan secara bebas, namun diberikan kepada kalangan akademisi, politisi, serta supporter yang tertarik dan antusias dengan isu batubara. Walaupun begitu masyarakat dapat mengakses maupun mengunduhnya di situs resmi Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia sejak bulan Februari dalam format PDF.

Kemudahan masyarakat ataupun pihak-pihak lainnya dalam mengakses buku ini, berguna dalam membangun sudut pandang serta wacana publik ketika mereka berdiskusi membahas batubara. Buku ini secara garis besar memuat informasi mengenai rantai produksi batubara, jenis-jenis batubara, dampak- dampak yang ditimbulkan oleh batubara, dan solusi yang Greenpeace

perjuangkan serta kisah-kisah masyarakat yang terkena dampak batubara hingga pergerakannya. Berdasarkan strategi kampanye Greenpeace, penerbitan buku ini secara tidak langsung termasuk kedalam strategi direct communication maupun

photo op. Karena melalui buku ini semua pihak dapat melihat jelas alasan

Greenpeace dalam menentang batubara, sehingga dapat dikatakan bahwa buku ini berperan dalam membangun komunikasi interpersonal, kelompok, hingga publik.

Elemen frame yang terdapat pada buku “Biaya Batubara Sebenarnya” adalah sebagai berikut :

Isu utama, isu utama yang dibicarakan dalam buku ini adalah masalah permasalahan lingkungan yang terkait dengan batubara, hal ini terlihat dari cover

buku dan isi dari buku itu sendiri.

Diagnosis, dalam buku ini mereka mencoba membentuk persepsi pembaca akan batu bara dengan menggambarkan dan mengidentifikasi permasalahan yang ditimbulkan, mulai dari proses penambangan hingga proses penggunaan batu bara atau disebut dengan rantai aliran produksi. Menurut mereka, pandangan terhadap batu bara sebagai bahan baku energi yang murah adalah salah, karena nilai ekonomik dihitung termasuk serangkaian faktor, dari penambangan dan biaya penjualan, namun tidak memperhitungkan pajak dan biaya-biaya terbesar dari penggunaan batubara : kerugian pada kemanusiaan dan kerusakan lingkungan sangat besar akibatnya. Pandangan ini diperkuat oleh 2 studi kasus yang berbeda pada 4 negara yaitu : India (memperlihatkan akibat dari proses penambangan), Indonesia, Cina, dan Thailand (memperlihatkan akibat dari proses pembakaran).

Di India tepatnya di daerah Jharia, kegiatan tambang batubara bermula ketika daerah tersebut dinasionalisasikan dan diambil alih oleh perusahaan publik

Bharat Coking Coal Limited (BCCL). Perusahaan ini membuka tambang secara besar-besaran untuk mengambil batubara yang dengan lapisan permukaan tanah, namun setelah itu mereka membiarkan lahan tersebut begitu saja, hal ini menyebabkan lapisan batubara tersebut menyala dan mengeluarkan gas beracun. Lahan terbuka ini mengundang pendatang miskin tanpa keterampilan untuk ikut mengumpulkan batubara secara ilegal, setelah menetap di daerah tersebut mereka menderita penyakit paru-paru dan kulit karena menghirup gas beracun.

Di Indonesia sejak mulai beroprasinya PLTU bertenaga 600MW di Cilacap, ‘memaksa’ masyarakat yang berdomisili dekat dengan PLTU kerap mendengarkan dengungan keras yang menggangu dan merasakan polusi udara pindah dari tempat tinggalnya. Sedangkan bagi mereka yang tetap bertahan, kesehatan menjadi permasalahan tersendiri karena anak-anak yang tinggal disekitar PLTU terus-menerus batuk, dimana menurut peneliti Greenpeace hal ini sangat mungkin disebabkan oleh pencamaran udara dari PLTU. Selain kesehatan, sejak hadirnya PLTU di cilacap berdamapak pada sumber nafkah warga. Hampir 12 hektar sawah produktif dari dua desa hancur sehingga tidak dapat dipergunakan setelah dibanjiri air asin dan air panas yang keluar dari PLTU . Selain itu warga yang berprofesi sebagai nelayan, merasakan penurunan produktifitas hasil tangkapannya. Menurut Greenpeace semua permasalahan ini bertentangan dengan tujuan dari pembangunan PLTU dan proyeksi pemerintah yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi setempat.

Di Cina batubara mengubah kondisi kota-kota yang berada di propinsi Shanxi. Datong salah satu kota yang memiliki cadangan batubara yang masif dan berkualitas tinggi, oleh karena itu pemerintah setempat melakukan ekspoitasi besar-besaran terhadapnya sehingga menimbulkan pencemaran udara. Hal ini mengancam warisan budaya setempat yang sudah UNESCO tetapkan sebagai situs warisan dunia. Sedangkan didaerah Xiaoyi sebagai salah satu penghasil batubara terbesar di propinsi Shanxi, kegiatan penambangan, pemrosesan dan pembakaran batubara berakibat buruk terhadap kesehatan dan kesejahteraan penduduknya serta lingkungannya, seperti buruknya kualitas air dan menurunnya jumlah air bersih yang tersedia. Dan yang terakhir kota Linfen, menurut Badan Perlindungan Lingkungan Negara Cina kota ini memiliki tingkat pencemaran udara terburuk di Negara tersebut. Padahal pada tahun 1980an, Linfen dikenal sebagai kota bungan dan buah. Burukny kondisi lingkungan mengakibatkan menurunnya produktifitas produk pertanian setempat dan munculnya penyakit- penyakit pernapasan.

Di Thailand tepatnya di daerah Mae Moh, sejak dioperasikannya 11 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap, SO2 mulai menyelimuti daerah tersebut dan ketika bercampur dengan udara menghasilkan suatu hujan asam yang beracun. Hal

ini mengakibatkan warga di 40 desa yang berada di radius tujuh kilometer dari PLTU jatuh sakit, diperkirakan 300 orang meninggal secara langsung dan diperkirakan lebih dari 30.000 warga kehilangan tempat tinggal . Selain itu hujan asam ini mengakibatkan rusaknya lahan pertanian penduduk beserta dengan hasil panennya.

Tingkat permintaan energi yang berlipat mengakibatkan laju penggunaan batu bara semakin meningkat hingga pada tahap yang mengkhawatirkan. Batu bara dilihat sebagai ancaman terbesar terhadap kondisi iklim bumi, karena batu bara merupakan sumber energi yang paling mencemari dan sumber dominan emisi karbon dioksida (CO2) dunia.

Terkait masalah batu bara, buku ini juga mencoba mengulas dan mengkritisi kebijakan Penangkapan dan Penyimpangan Karbon atau Carbon Capture and Storage (CSS), secara garis besar kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi dampak iklim dari pembakaran bahan bakar fosil dengan menangkap CO2 dari cerobong asap pembangkit listrik tenaga uap dan menguburnya dalam tanah. Dimana CSS telah dijadikan justifikasi pembangunan baru pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara dan ‘tindakan tanpa perubahan’. Dalam pandangan mereka CSS, tidak memenuhi tuntutan tepat waktu untuk menghindari dampak buruk perubahan iklim. Mereka memandang pihak yang mendukung kebijakan tersebut sebagai pihak-pihak yang berjualan ‘obat’ teknologi.

Selain itu buku ini mencoba menyoroti rencana pemerintah Indonesia dalam mengurangi penggunaan bahan bakar minyak menjadi batubara dan gas. Rencana tersebut juga akan mengembalikan rencana pemerintah untuk membangun PLTU bertenaga batubara berkapisatas 10.000 megawatt pada tahun 2009 atau 2010. Pemerintah juga telah menetapkan target konsumsi batu bara menjadi lebih dari 33%. Greenpeace Indonesia memandang hal ini dapat mempercepat laju perubahan iklim dunia.

Prognosis, Setelah menggambarkan permasalahan yang akan masyarakat dunia hadapi apabila tetap mempergunakan batu bara, isi dari buku ini juga menunjukan jalan keluar yang seharusnya dilaksanakan, Greenpeace menggagas suatu cetak biru ‘Energy [R]evolution’. Cetak biru tersebut menunjukan bahwa

potensial dan secara teknis tersedia seperti tenaga matahari, angin, geothermal, biogas dan ombak. Sehingga Indonesia tidak perlu bergantung pada batu bara untuk menggerakan rencana persediaan energinya untuk memenuhi permintaan energi.

Tuntutan akan pengembangan energi yang berkelanjutan telah diperlihatkan oleh warga Iloilo dan LSM lokal, Filipina. Di Negara tersebut,

Greenpeace bersama dengan LSM lokal memperlihatkan aksi massa yang menentang batubara dan menyerukan undang-undang energi terbarukan. Salah satu tokoh penggeraknya adalah Aurora Alerta Lim, mantan asisten presiden Universitas Filipina Tengan (Central Philippine University) urusan lingkungan. Menurutnya tantangan terbesar yang dihadapi adalah sikap ‘masa bodoh’ pemerintah nasional dan kota terhadap pemanasan global dan kebohongan yang disebarkan oleh pendukung batubara yang menyatakan bahwa batubara energi yang murah dan ‘teknologi energi bersih’.

Simbol-simbol yang digunakan, visualisasi batu bara pada buku ini, memposisikan pembaca sebagai saksi dari proses (bearing witness) perubahan iklim yang diakibatkan oleh batu bara mulai dari proses penambangan hingga pembakaran terlihat dari hampir setengah dari jumlah halaman yang terdapat pada buku ini berisikan gambar-gambar yang berkaitan dengan batu bara yang dapat menunjukan elemen diagnosis buku ini, hingga solusi yang ditawarkan.

Berikut ini adalah salah satu contoh visualisasi batu bara yang dapat menunjukan elemen diagnosis maupun prognosis dengan argumen pensayat pada gambarnya pada buku tersebut :

Gambar 4. Halaman Pada Buku “Biaya Batubara Sebenarnya” sebagai simbol pencemaran udara.

Halaman ini (gambar 3) memperlihatkan asap yang ditimbulkan dari proses pembakaran batu bara yang diambil dari PLTU bertenaga batubara. Gambar tersebut berusaha mempertegas isi buku ini, diperkuat dengan

cathphrases yaitu ‘Saat ini terdapat hampir 40% lebih banyak karbon dioksida di atmosfir dibandingkan sebelum Revolusi Industri. Tingkat CO2 saat ini lebih tinggi dibandingkan saat manapun dalam 650.000 tahun terakhir’. Kata- kata tersebut dikutip dari Badan Administrasi Atmosfir dan Lautan Amerika atau National Oceanic Atmospheric Administratio

Gambar 5. Gerakan Massa pada Buku “Biaya Batubara Sebenarnya” Sebagai Simbol Solusi dari Masalah Energi.

Halaman ini (gambar 4) memperlihatkan gerakan massa yang menuntut pemerintah untuk meninggalkan batubara dan menggunakan energi-energi yang terbarukan. Gambar tersebut menunjukan prognosis yang terdapat pada isi buku ini, diperkuat dengan cathphrases yaitu ‘It’s time renewable energy’.

Argumen pendukung, Argumen yang terdapat pada buku ini diperkuat dengan fakta-fakta yang mereka dapatkan langsung dari lapangan maupun hasil kutipan berbagai sumber. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah :

o Di seluruh dunia, 11 milyar ton3 CO2 berasal dari PLTU bertenaga tiap

tahunnya, (International Energy Agency, 2008. Emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar.OECD/IEA 2008),

o Halaman Apendiks 1 yang mengupas informasi dasar tentang baru, mulai dari

jenis batubara hingga jenis penambangan batubara,

o Halaman Apendiks 2 yang mengulas perhitungan biaya sesungguhnya dari

batubara,

Selain itu buku ini berusaha memperlihatkan alasan mengapa mereka menentang penggunaan batubara sebagai sumber energi dengan menunjukan dampak yang sudah terjadi pada beberapa negara, yaitu India, Indonesia, Cina, Thailand, dan Filipina.