• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alasan Tidak Dilakukannya Diversi Oleh Hakim dalam

Dalam dokumen TESIS OLEH MUJITA SEKEDANG (Halaman 156-164)

4/Pid.Sus-Anak/PN-Mdn., Nomor. 23/Pid.Sus-Anak/2015/PN/Mdn., Nomor.

42/Pid.Sus-Anak/PN-Mdn.

Jika dilihat dari putusan nomor 4/Pid.Sus-Anak/2015PN/Mdn. Anak yang melakukan pencurian dengan dakwaan jaksa penuntut umum dengan dakwaan secara subsidairitas. Dan jaksa penuntut umum mengajukan surat dakwaan dalam bentuk

Primer yaitu : didakwa melakukan pencurian dengan kekerasan yang melanggar Pasal 365 ayat (2) KUHPdan suratdakwaan Subsidairitas yaitu : melakukan pencurian dengan memberatkan yang diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP. maka dalam hal ini Hakim kurang tepat dalam memutus dalam putusannya karena hakim tidak melakukan diversidikarenakan hal tersebut telah diatur dalam Pasal 3 PERMA Nomor 04 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPPA yang mengatur mengenai kewajiban diversi yaitu hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak di dakwa dengan surat dakwaan subsidaritas, alternative, kumulatif, maupun kaombinasi (gabungan).

Selanjutnya jika dilihat dari kasus anak tersebut terdakwa I bersama dengan terdakwa II melakukan tindak pidana pencurian. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku dalam melakukan tindak pidana tersebut, dilakukan secara bersama-sama atau dengan kata lain melakukan dalam bentuk penyertaan. Jika dikaitkan hal ini sebagai syarat untuk dilakukannya diversi, maka penyertaan tidak termasuk sebagai syarat yang mewajibkan untuk dilakukannya diversi, sehingga jika ditinjau dalam aspek penyertaan pelaku dalam melakukan perbuatannya maka diversi dimungkinkan untuk dilakukan.

Selain itu juga dalam kasus perkara anakbukan merupakan residivis dimana diketahui perbuatan residivis merupakan persyaratan yang tidak dapat dilakukannya diversi dalam pasal 7 ayat (2) huruf b Undang-undang nomor 11 tahun 2012

SPPAyang menyatakan larangan mengenai dilakukannya diversi terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana.

Begitu juga jika meninjau pada hal-hal yang memberatkan keadaan terdakwa yaitu perbuatan yang dilakukan oleh para anak pada saat ini tergolong yang meresahkan masyarakat. Keadaan yang memberatkan keadaan terdakwa tersebut jika dirujuk dalam Undang-undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang SPPA dan Peraturan Pemerintah tidak menjadi syarat yang mewajibkan untuk dilakukannya diversi sehingga jika merujuk pada keadaan yang memberatkan terhadap kasus ini terdakwa dimungkinkan untuk dilakukan diversi. Sehingga berdasarkan tinjauan terhadap kasus sebagaimana yang disampaikan diatas, maka seharusnya dilakukan diversi terhadap kasus tersebut sehingga dihukumnya pelaku dalam putusan tidak tepat.

Selanjutnya pada putusan Nomor : 23/Pid.Sus-Anak/2016/PN/Mdn. Anak yang melakukan pencurian dengan kekerasan berkaitan dengan beberapa orang anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan dimana tindak pidana pencurian dengan kekerasan ini tidak termasuk kedalam perkara tindak pidana yang tidak dapat dilakukan proses diversi karena ancaman hukuman pada tindak pidana pencurian dengan kekerasan lebih dari tujuh tahun penjara oleh karena itu, berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentangSPPA dan PERMA No. 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPPA perkara yang melibatkan para anak terdakwa tersebut tidak dapat dilakukan proses diversi.Dan jika dilihat dari surat dakwaan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum perkara kasus

anak tersebut berbentuk dakwaan tunggal dimana dakwaan tunggal tersebut menyebabkan tidak adanya kewajiban untukuntuk dilakukan diversi. Dalam hal ini hakim juga berpedoman sesuai dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum yang berbentuk dakwaan tunggal dimana berdasarkan Pasal 3 PERMANo. 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPPA mengenai bentuk surat dakwaan Subsidairitas, alternative, kumulatif, maupun kombinasi.

Meskipun demikian dalam hal ini hakim anak seharusnya mengedepankan kepentingan anak dengan mempertimbangkan segala aspek yang berhubungan dengan tujuan perlindungan terhadap kepentingan anak dimana kepentingan anak itu sangat berkaitan dengan keadaan yang meringankan terdakwa seperti terdakwa menyatakan terhadap perbuatannya, berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, dan akan membantu orangtua mencari nafkah.

Selanjutnya pada Putusan Nomor : 42/Pid.Sus-Anak/2015/PN-Mdn. Dalam hal ini melibatkan anak bernama M. Kurniawan Rangkuti yang melakukan perbuatan dengan sengaja mengambil suatu barang milik orang lain selain ia anak dan temannya perbuatan mana didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasanterhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan diri lari sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri, perbuatan mana yang dilakukan oleh dua orang atau lebih oleh hakim dinyatakan terbukti melakukan

pencurian dengan kekerasan, dengan dijatuhi hukuman 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari.

Pada perkara tersebut tidak dilaksanakan proses diversi karena tidak pidana yang tuduhkan kepada anak tersebut diancam dengan hukuman maksimal 9 (sembilan) tahun penjara dimana hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA diversi tidak dapat dilakukan.

Begitu juga jika dikaitkan dengan bentuk dakwaan sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam bentuk dakwaan tunggal maka menurut Pasal 3 PERMA No. 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPPA maka tidak diharuskan adanya suatu kewajiban untuk melakukan diversi.

Meskipun demikian alasan tidak dilakukannya diversi tersebut tidak tepat karena jika dikaitkan dengan kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan maka hal ini tidak dibenarkan terlebih jika dihubungkan degan hal-hal yang meringankan pelaku anak seperti masih sekolah, dan masih anak-anak. Jika diakaitkan dengan tujuan daripada keadilan restoratif maka hal tersbut menunjukan tidak tercapaianya keadilan restoratif karena kepentingan anak sebagai pelaku tidak diperhatikan padahal perlindungan terhadap anak sangat penting untuk dilalukan.

Berdasarkan ketiga putusan tersebut dapat diketahui bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana diadili dalam suatu SPPA di mana jika ditinjau dari sudut keadilan restoratif maka dengan dimasukannya anak sebagai pelaku tindak pidana

pencurian dengan kekerasan kedalam SPPA dimana oleh Hakim anak itu dijatuhi pidana, maka pada hakikatnya tujuan daripada keadilan restoratif itu sendiri tidak tercapai. Hal ini disebabkan karena tujuan daripada adanya keadilan restoratif yaitu selain untuk melindungi korban juga untuk melindungi kepentingan pelaku dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Dengan dihukumnya anak tersebut dapat membawa dampak kerugian kepada anak itu sendiri baik langsung ataupun tidak langsung seperti kerugian pada psikologi, pendidikan anak dan sebagainya.

Selain itu jika merujuk kepada ketentuan Pasal 55 KUHP maka pada hakikatnya anak pada ketiga putusan sebagai pelaku yang disuruh melakukan di mana anak di suruh melakukan tindak pidana. Dalam bentuk penyertaan menyuruh melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan menyuruh orang lain. Penyuruh manus domina, onmiddelijke dader, intellectueele dader berada di belakang layar, sedangkan yang melakukan tindak pidana adalah seorang lain yang disuruh manus ministra, middelijke dader, materieele dader. Orang yang disuruh itu merupakan alat di tangan penyuruh. Dalam hal ini yang disuruh itu telah melakukan tindakan tersebut karena ketidaktahuan, kekeliruan dwaling atau paksaan sehingga padanya tiada unsur kesalahan. Penyuruh dipidana sebagai petindak, sedangkan yang disuruh tidak dipidana karena padanya tiada unsur kesalahan atau setidak-tidaknya unsur kesalahannya ditiadakan. Penyuruh mungkin hanya satu orang saja, walaupun digunakan istilah mereka, tetapi mungkin juga lebih dari satu orang. Dapat disimpulkan bahwa penyuruhadalah merupakan

petindak yang melakukan suatu tindak pidana dengan memperalat orang lain untuk melakukannya, yang pada orang lain tiada kesalahan, karena tidak disadarinya, ketidaktahuannya, kekeliruannya atau dipaksa.256

Dalam konsep menyuruh melakukan orang yang disuruh tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana karena pada dirinya tidak terdapat kesalahan sehingga dalam kasus ini anak seharusnya tidak dipertanggung jawabkan secara pidana sehingga kemungkinan untuk dilakukannya diversi sangat bisa dilakukan.

Selain itu jika ditinjau dari sudut pandang teori perlindungan hukum maka hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada para terdakwaanak pada ketiga putusan dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan lebih menekankan kepada aspek keadilan represif. Dimana Hakim menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk mencegah diulanginya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Begitu juga jika dilihat berdasarkan prespektif korban maka pada hakikatnya penjatuhan hukuman yang dilakukan oleh hakim terhadap terdakwa anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan dilakukan dalam rangka untuk melindungi korban seperti perlindungan pada korban terhadap pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

256E.Y.Kanter & S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapan, (Jakarta : Storia Grafika 2012), hal. 342

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.

1. Proses pelaksanaan diversi yang dilakukan di Pengadilan Negeri Medan terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan dilakukan pada saat sebelum ditetapkannya hari persidangan dimana dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari dan 7 (tujuh) hari terhitung setelah penetapan hakim oleh Ketua Pengadilan maka Hakim wajib mewarkan kepada anak dan/atau kepada orangtua/wali serta korban untuk menyelesaikan perkara melalui diversi dimana jika para pihak tidak sepakat maka hakim melanjutkan perkara ke tahap persidangan. sedangkan bila sepakat melakukan diversi maka musyawarah diversi dipimpin oleh hakim dimana bila tercapai musyawarah maka kesepakatan wajib oleh pihak-pihak terkait dan hasilnya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Dimana Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan diversi tersebut.

2. Peran Fasilitator dalam proses diversi pada kasus anak sebagai pelaku pencurian dengan kekerasan di Pengadilan Negeri Medan bersifat aktif dimana dalam perannya tersebut hakim berusaha untuk mengupayakan antara kedua belah pihak untuk berdamai dan tidak perlu melaksanakan proses persidangan, dimana hal ini dilakukan demi kepentingan si anak.

3. Tidak dilakukannya diversi pada ketiga putusan disebabkan oleh hakim dalam mengadilli ketiga perkara tersebut lebih berpegang kepada positivisme hukum

tanpa lebih jauh memperhatikan terlebih dahulu kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan, padahal dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA telah ditegaskan bahwa Hakim anak berkewajiban untuk memperhatikan kepentingan anak.

Dalam dokumen TESIS OLEH MUJITA SEKEDANG (Halaman 156-164)