• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS OLEH MUJITA SEKEDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS OLEH MUJITA SEKEDANG"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN HAKIM SELAKUFASILITATOR DALAM PROSES

DIVERSI PADA KASUS ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN

KEKERASAN DI KOTA MEDAN TESIS

OLEH

MUJITA SEKEDANG 157005095

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

PERAN HAKIM SELAKU FASILITATOR DALAM PROSES DIVERSI PADA KASUS ANAK SEBAGAI PELAKU

TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajuakan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

MUJITA SEKEDANG 157005095

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)
(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 22 Agustus 2017

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

Anggota : 1. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.

2. Dr. Marlina, S.H., M.Hum.

3. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.

4. Dr. Edi Yunara, S.H., M.H.

(5)
(6)

Abstrak

Dewasa ini pencurian dengan kekerasan sangat berkembang, dimana pencurian dengan kekersan dalam masyarakat sangat meresahkan dikarenakan oleh kerugian yang ditimbulkan olehpencurian dengan kekerasan. Pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa namun dalam perkembangannya tidak jarang perbuatan begal ini dilakukan oleh anak-anak dibawah umur dimana dari perbuatannya menimbulkan korban, ada yang terluka bahkan ada yang meninggal dunia. Dalam menanggulangi perbuatan anak yang melakukan pencurian dengan kekerasan ini adalah dengan Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana tujuan dari Sistem Peradilan Pidana Anak tidak semata-mata bertujuan untuk menjatukan sanksi pidana bagi anak yang telah melakukan pencurian dengan kekerasan. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan istilah diversi, dimana diversi ialah suatu proses pengalihan dariperadilan keluar dari proses peradilan,Diversi tersebut wajib dilaksanakanterhadap anak yang melakukan tindak pidana, adapun Diversi dilakukan melalui dari tahap Pra Penyidikan, Penyidikan, Penuntutan, dansampai ke tahap Peradilan di Pengadilan Negeri

Jenis penelitian ini merupakan penelitian yuridis normativedanyuridisempiris yang bersifat deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data diperoleh dengan cara telaah pustaka terhadap bahan-bahan hukum. Analisis data dilakukan secara kualitatif dimana bahan-bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif sehingga dapat ditarik kesimpulan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Hakim wajib mewarkan kepada anak dan/atau kepada orangtua/wali serta korban untuk menyelesaikan perkara melalui diversi dimana jika para pihak tidak sepakat maka hakim melanjutkan perkara ke tahap persidangan. sedangkan bila sepakat melakukan diversi maka musyawarah diversi dipimpin oleh hakim dimana bila tercapai musyawarah maka kesepakatan wajib oleh pihak-pihak terkait dan hasilnya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Dimana Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan diversi tersebut.Peran Fasilitator dalam proses diversi pada kasus anak sebagai pelaku pencurian dengan kekerasan di Pengadilan Negeri Medan bersifat aktif dimana dalam perannya tersebut hakim berusaha untuk mengupayakan antara kedua belah pihak untuk berdamai dan tidak perlu melaksanakan proses persidangan, dimana hal ini dilakukan demi kepentingan si anak.Tidak dilakukannya diversi pada ketiga putusan disebabkan oleh hakim dalam mengadilli ketiga perkara tersebut lebih berpegang kepada positivisme hukum tanpa lebih jauh memperhatikan terlebih dahulu kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan, padahal dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA telah ditegaskan bahwa Hakim anak berkewajiban untuk memperhatikan kepentingan anak.

Kata Kunci : Pencurian dengan Kekerasan, Diversi, Fasilitator

(7)

ABSTRACT

Nowadays, theft with violence is rapidly increasing, and it highly alarms people. Generally it is commited by adults, but lately it has turned to be committed by children or even minors. Some of their victims are wounded or even killed. Child Criminal Judicial Administration is ussually used to handle theft with violence committed by children. It is not merely intended to impose criminal sanctions on children who have committed theft by violence. It is known as the term, ‘diversion’

which is a process of diverting from the process of Judicial Administration. Diversion has to be performed toward children who have committed criminal acts, and it is done through the stage of pre-investigation, investigation, prosecuting, and the stage of Judicial Administration in the District Court.

The research used juridical normative and juridical empirical with descriptive analytic methods. The data were gathered by conducting library research and legal documentary study and analyzed qualitatively in which the legal materials were analyzed qualitatively, using deductive and inductive methods so that the conclusion would be accurate and scientifically accounted for.

A judge is required to offer to a child perpetrator, and/or his parent/guardian, and the victim to settle the casethrough diversion. When they do not come to a consensus, the judge will bring the case to the Court (litigation). When they agree to do diversion, diversion negotiation will be led by the judge, and when the consensus of opinion occurs, the result has to be presented to the Head of District Court who control the implementation of the diversion. The role of a facilitator in the process of diversion in the case of a child who commits theft with violence in the Medan District Court is active. In his role, the judge attempts to ask both parties for negotiation, without litigation, for the sake of the child. Why diversion is not done in the three cases because the judge who pronounces judgment on the three cases tends to use legal positivism without paying more attention to the interest of the child as the perpetrator theft criminal act with violence, whereas Law No. 11/2012 on SPPA confirms that a judge who pronounces judgment on children is required to emphasize on the interest of children.

Keywords : Theft with Violence, Diversion, Fasilitator

(8)

KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirohim

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur di panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunianya Penulis dapat menyelesaikan Tesis ini tepat padawaktunya. Selanjutnya shalawat serta salam dihadiahkan pahalanya kepada junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah bersusah payah membawa umat manusia dari alam yang gelap gulita terhadap pengetahuan menuju ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini.

Penulisan Tesis ini disusun dan diajukan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul tesis ini adalah “Peran Hakim Selaku Fasilitator Diversi Pada Kasus Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Di Kota Medan”.

Penulis telah berusaha mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki dalam penulisan tesis ini. Akan tetapi penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari segala kekurangan dan mungkin jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis memohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini.

(9)

Pada kesempatan yang baik, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Rahimin Sekedang dan Ibunda Nursani Desky yang dengan susah payah membesarkan dan mendidik dengan penuh kesabaran serta memberikan dorongan dalam bentuk moral, materi dan do’a restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan Pendidikan Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., M.S., selaku Ketua KomisiPembimbing/Dosen Pembimbing I penulis, yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini, bahkan nasehat, motivasi dan petuah hidup dalam menyelesaikan persoalan perkuliahan dan kehidupan.

(10)

7. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH. Selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah membimbing dan memberikan masukan bagi penulis dalam pendalaman materi tesis.

8. Ibu Dr. Marlina, SH., MH., selaku Dosen pembimbing III Penulis yang telah banyak memberikan bimbingan dan juga masukan bagi penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

9. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S., selaku Dosen Penguji I Tesis Penulis yang telah memberikan masukan secara teliti baik dalam seminar maupun dalam sidang meja hijau agar tesis penulis menjadi lebih baik.

10. Bapak Dr. Edi Yunara, SH., MH.selaku Dosen Penguji II Tesis Penulis yang telah memberikan masukan secara teliti baik dalam seminar maupun dalam sidang meja hijau agar tesis penulis menjadi lebih baik.

11. Bapak dan Ibu Guru Besar/Dosen/Staf pengajar dan staf administrasi Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mentranfer ilmunya dan membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

12. Teman-teman stambuk 2015 kelas Reguler A pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13. KepadaFahmi Tanjung, SH., MH., adalah teman penulis yang telah penulis anggap sebagai saudaradan telah banyak memberikan motivasi serta telah setia menemani penulis baik keadaan suka maupun duka dalam menyelesaikan tesis ini, semoga pertemanan dan persaudaraan kita selalu diridhoi oleh Allah SWT.

(11)

14. Kepada DonganRahman Thahir Harahap,SH., Mkn. Adalah teman penulis Yang telah penulis anggap sebagai saudara serta setia menemani penulis begadang semalaman dalam menyelesaikan tesis ini, semoga pertemanan dan persaudaraan kita selalu diridhoi oleh Allah SWT.

15. Teman-teman Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara yang selalu bersedia meluangkan waktunya hadir dalam semiar Proposal maupun seminar hasil dan telah penulis anggap sepertisaudaraadalah Fadhil Yazid, SH., Mkn., Riyanda Kiransyah, SH., Mkn., Hari Julio, SH., Mkn., atas segala suka dan duka yang kita alami bersama, semoga perteman dan persaudaraan kita selalu diridhoi oleh Allah SWT.

16. Ngah Laki Ir. Muhammad Sragafa, MM., Mpd., yang telah memberikan dorongan, motivasi kepada penulis agar secepatnya menyelesaikan perkuliahan.

17. Kepada Khairani Putri Skep. Adalah adik kandung penulis Yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

18. Kepada teman spesial penulisLeni Fitri, Skep. Ners. yang telah bersedia menunggu penulis mulai dari awal pendaftaran Pendidikan Magister Hukum sampai kepada selesainya pendidikan dan selalu memberikan motivasi kepada penulis agar penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

19. Kepada Keluarga Besar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang telah memberikan motivasi dan pembelajaran kepada Penulis.

Semoga semua bantuan materiil dan immateriil, motivasi dan do’a yang telah diberikan, dibalas oleh allah SWT sebagai amal shaleh.

(12)

Besar harapan penulis, tesis ini dapat bermafaat bagi pengembangan pengetahuan ilmu hukum pidana khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. Wassalam.

Medan, 11 Agustus 2017

Mujita Sekedang

(13)

Daftar Riwayat Hidup

Data Pribadi

Nama : Mujita Sekedang

NIM : 157005095

Tempat/Tanggal Lahir : Kutacane, 20 Desember 1991

ProgramStudi : Magister Ilmu Hukum / Hukum Pidana Nama Ayah : Rahimin Sekedang

Nama Ibu : Nursani Desky

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Lawe Rutung Kec. Lawe Bulan Kab. Aceh Tenggara

Latar Belakang Pendidikan Formal

1996 – 1997 : TK Pertiwi Kutacane 1997 – 2003 : SD Negeri Lawe Bulan 2003 –2006 : SMP Negeri 1 Kutacane 2006 – 2009 : SMA Negeri 1 Kutacane

2010 – 2014 : Stara I Ilmu Hukum Universitas Islam Sumatera Utara 2015 – 2017 : Stara II Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sumatera Utara

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... xii

I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian... 13

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Kerangka Konsep ... 22

G. Metode Penelitian ... 25

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 26

2. Sumber Bahan Hukum ... 27

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 28

4. Analisis Bahan Hukum ... 29

II PROSES PELAKSANAAN DIVERSI PADA KASUS ANAK SEBAGAI PELAKU PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI PENGADILAN NEGERI MEDAN A. Gambaran Umum Mengenai Diversi ... 30

B. Proses Pelaksanaan Diversi Melalui Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak... 39

1. Tahap Pra Penyidikan ... 39

2. Tahap Penyidikan ... 40

3. Tahap Penuntutan ... 43

4. Tahap Pemeriksaan di Pengadilan ... 44

5. Tahap Pasca Putusan Pengadilan ... 45

C. Analisis Hukum Proses Pelaksanaan Diversi Dalam Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan di Pengadilan Negeri ... 46

1. Tindak Pidana Pencurian Secara Umum ... 46

2. Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan ... 57

3. Pelaksanaan Diversi Dalam Tindak Pidana Pencurian di Pengadilan Negeri Medan ... 63

(15)

III HAKIM SELAKUFASILITATOR DALAM PROSES DIVERSI PADA KASUS ANAK SEBAGAI PELAKU PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

A. Gambaran Umum Mengenai Pengadilan Negeri Medan ... 72

B. Kedudukan Hakim Selaku Fasilitator Dalam Proses Diversi ... 75

C. Peran Hakim Selaku Fasilitator Dalam Proses Diversi di Pengadilan Negeri Medan ... 103

IV ALASAN TIDAK DILAKUKANNYA DIVERSI TERHADAP KASUS ANAK SEBAGAI PELAKU PENCURIAN DENGAN KEKERASAN BERDASARKAN PUTUSAN HAKIM A. Putusan Nomor. 4/Pid.Sus-Anak/2015/PN-Mdn. 1. Kasus Posisi ... 109

2. Dakwaan ... 110

3. Tuntutan ... 111

4. Pertimbangan Hakim ... 112

5. Putusan Hakim ... 120

B. Putusan Nomor. 23/Pid.Sus-Anak/2016/PN-Mdn. 1. Kasus Posisi ... 121

2. Dakwaan ... 124

3. Tuntutan ... 124

4. Pertimbangan Hakim ... 125

5. Putusan Hakim ... 133

C. Putusan Nomor. 42/Pid.Sus-Anak/2015/PN-Mdn. 1. Kasus Posisi ... 134

2. Dakwaan ... 136

3. Tuntutan ... 136

4. Pertimbangan Hakim ... 137

5. Putusan Hakim ... 141

D. Alasan Tidak Dilakukannya Diversi Oleh Hakim dalam Putusan Nomor. 4/Pid.Sus-Anak/2015/PN-Mdn., Putusan Nomor. 23/Pid.Sus-Anak/2016/PN-Mdn., Putusan Nomor. 42/Pid.Sus-Anak/2015/PN-Mdn. ... 141

V PENUTUP A. Kesimpulan ... 148

B. Saran ... 149 DAFTAR PUSTAKA

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini perkembangan tindak pidana pencurian dengan kekerasansemakin berkembang, dimana tindak pidana pencurian dengan kekerasaan ini dalam masyarakat sangat meresahkan dikarenakan oleh kerugian yang ditimbulkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan tersebut.

Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan adalah pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan (terpergok) supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap ada ditangannya.1Tindak Pidana ini diatur dalam Pasal 365 Kitab Undang-undang Hukum Pidana selanjutnya disebut (KUHP).

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dewasa ini meluas dan berkembang yang dewasa ini dalammasyarakat dikenal dengan sebutan begal.

Perbuatan begal akhir-akhir ini sangat meresahkan masyarakat, karena banyak menimbulkan korban luka fisik bahkan ada terdapat korban yang meninggal dunia.

1R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia Bogor, 1995,hlm. 235

(17)

Begal adalah istilah yang digunakan masyarakat tradisional yang kemudian berkembang menjadi istilah terhadap pelaku kejahatan yang mencegat korban dan melakukan perampasan harta si korban.

Pada umumnya, begal yang dilakukan oleh orang dewasa namun dalam perkembangannya tidak jarang perbuatan begal ini dilakukan oleh anak dibawah umur dimana akibat perbuatan mereka tersebut menimbulkan korban, ada yang terluka bahkan meninggal dunia.

Pertengahan bulan Juni 2016 tiga orang pelaku begal yang masih dibawah umur ditangkap oleh Polresta Medan dimana para komplotan begal anak tersebut menerangkan kepada Penyidik telah melakukan aksinya sebanyak 15 kali dengan modus merampas kendaraan sepeda motor orang lain di jalan dengan menggunakan senjata tajam.2

Begitu juga pada bulan Agustus tahun 2016 komplotan begal yang masih dibawah umur melakukan pembunuhan kepada seorang pria Tionghoa di Medan dimana komplotan begal anak dibawah umur dalam melakukan aksinya tidak segan- segan merampas nyawa korbannya.3

Berdasarkan perbuatan-perbuatan tersebut diatas menggambarkan tentang persoalan kenakalan yang dilakukan oleh anak yaitu dengan melakukan pencurian

2 http://metro-online.co/tiga-anak-bau-kencur-ini-ternyata-komplotan-begal-medan/, diakses tanggal 5 Januari 2017 Pukul 22.15 Wib.

3 http://medansatu.com/berita/tag/tionghoa-medan/url/wanita-cantik-ini-komplotan-begal- pembunuh-pria-tionghoa-warga-jalan-brigjen-katamso-medan, diakses tanggal 5 Januari 2017

(18)

dengan kekerasan. Masalah kenakalan anak dewasa ini tetap merupakan persoalan yang aktual hampir disemua Negara di Dunia termasuk juga Indonesia.4

Istilah kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada badan Peradilan di Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu Undang-undang Peradilan bagi anak di Negara tersebut. Pembahasannya ada kelompok yang menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada pula kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar hukum. namun semua sepakat bahwa dasar pengertian kenakalan Anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.5

Paul Moedikno6memberikan perumusan, megenai pengertian Juvenile Delinquency, yaitu sebagai berikut :

a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan Delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya.

b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see dan sebagainya.

c. Semua perbuatan yang menunjukan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.

Menurut Kartini Kartono7yang dikatakan Juvenile Delinquencyadalah Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.

4 Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak,(Medan : USU Press, 1998), hal. 9

5 Wagiati Soetedjo, Hukum Pidana Anak,(Bandung : Refika Media, 2013), hal. 8-9

6 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, (Bandung : Armico, 1983), hal. 22, dalam Wagiati Soetedjo, ibid, hal. 9

7 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 1992), hal. 6

(19)

Menurut Fuad Hassan8yang dikatakan Juvenile Delinquency adalah Perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.

Perlu disampaikan bahwa kenakalan anak berbeda dengan kejahatan anak.

Dimana yang dikatakan dengan kenakalan anak adalah anak yang belum memenuhi kriteriaatau unsur Pasal delik pidana seperti mabuk karena minum terlalu banyak minum-minuman keras yang mengandung alkohol, tidak tidur semalaman dan berkeliaran dimalam hari yang lazim disebut dengan istilah begadang, memasang tato pada bagian-bagian tubuh tertentu seperti pada lengan, betis, dada, punggung yang dapat kelihatan orang lain. Dengan bertato sehingga kesan orang lain dan mencapnya sebagai orang yang tidak baik dan ingin dikatatakan sebagai jagoan.9 Sedangkan kejahatan anak menurut Riana Pohan adalah perbuatan anak yang telah memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP seperti seorang anak yang telah melakukan pencurian, perkelahian dll.10

Berikut ini Romli Atmasasmita11 mengemukakan pendapatnya mengenai motivasi intinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak :

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dan ektrensik dari pada kenakalan anak- anak adalah :

a. Faktor Intelegentia;

b. Faktor Usia;

8 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, (Bandung : Armico, 1983), hal. 22, Dalam Wagiati Soetedjo, Ibid, hal. 9

9 Marwan Setiawan, Karakteristik Kriminalitas Anak & Remaja Dalam Perspektif Pendidikan, Juvenile Deliquency, Narkotika, Hukum, Hak Anak, Agama, dan Moral, ( Bogor : Ghalia Indonesia, 2015), hal. 9

10 Wawancara kepada Hakim Anak Riana Pohan di Pengadilan Negeri Medan Pada Tanggal 10 Mei 2017.

11 Romli Atmasasmita., Op. Cit., hal. 16

(20)

c. Faktor Kelamin;

d. Faktor Kedudukan anak dalam keluarga.

2. Yang termasuk Motivasi ekstrinsik adalah : a. Faktor Rumah Tangga;

b. Faktor Pendidikan dan Sekolah;

c. Faktor Pergaulan Anak;

d. Faktor Mass Media.

Salah satu upaya pencegahan dan pergaulan kenakalan anak saat ini adalah melalui penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Anak selanjutya disebut dengan (SPPA).Tujuan penyelenggaraan SPPAtidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana pendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana.12

Istilah SPPA merupakan terjemahan dari istilah The Juvenile Justice System yaitu istilah yang digunakan sedefenisi dengan sejumlah institusi yang tergabung didalam pengadilan, yaitu meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak dan fasilitas-fasilitas penahanan anak.13

Secara Internasional, maksud penyelenggaraan SPPA adalah mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Perserikatan Bangsa-bangsa dalam United Nation Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules,

12 Angger Sigit Pramukti & Fuady Primaharsya, sistem Peradilan Pidana Anak, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2015), hal. 2

13 https://jurnal.usu.ac.id/index.php/jmpk/article/view/16729/7066 dalam

https://scholar.google.co.id/scholar?q=dr.marlina+SH.+MH.++tesis+diversi&hl=id&as_sdt=0%2C5&

oq=, diakses pada tanggal 13 Agustus 2017 pukul 20.10 Wib.

(21)

bahwa tujuan peradilan anak Aims of Juvenile Justice, sebagai berikut :“The Juvenile Justice System shall Emphasize wel-being of the juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offender and offence.”(Sistem Peradilan Pidana bagi anak/remaja akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan akan memastikan bahwa reaksi apa pun atas pelanggar-pelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya.14

Menurut Mardjono Reksodiputro15 sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan, bertujuan untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dan menyelesaikan sebagian besar laporan ataupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatandengan mengajukan pelaku kejahatan kesidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana.Kemudian mencegah pelaku mengulangi kejahatannya.

Adanya SPPAkhususnya jika dikaitkan dengan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak maka jika dilihat dari segi kepentingan Anak yang hendak dilindungi oleh Negara melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPAakan berdampak tidak baik bagi kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan, oleh karenanya dalam rangka untuk melindungi kepentingan Anak tersebut maka diupaya semaksimal mungkin agar anak pelaku tindak pidana perkaranya diselesaikan diluar sistem peradilan pidana tersebut.

14Ibid.

15Marjono Resktodiputro. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,(Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hal. 5, dalam Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice,(Bandung : Refika Media, 2012), hal. 5

(22)

Adanya SPPA yang termuat dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA semata-mata ditujukan untuk melindungi kepentingan Anak sebagaimana yang termuat dalam salah satu asas16 yang terkadung dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA tersebut dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan terbaik bagi anak.

Salah satu bentuk mengutamakan kepentingan terbaik bagi Anak dalam Undang-undangSPPA adalah adanya proses Diversi berupa pengalihan penyelesaian perkara Anak dari suatu Peradilan Pidana ke proses diluar peradilan pidana.

Berdasarkan pada Undang-undangNomor 11 Tahun tentang SPPA, Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses Peradilan Pidana ke proses di luar Peradilan Pidana. Kasus yang sering muncul di dalam masyarakat yang melibatkan Anak sebagai pelakunya maka dalam penyelesaiannya dengan mekanisme atau tindakan Diversi dapat memungkinkan Anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial lainnya.

Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak

16 Menurut Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2016 Tentang SPPA dilaksanakan berdasarkan asas : a. Perlindungan;

b. Keadilan;

c. Nondiskriminasi;

d. Kepentingan terbaik bagi anak;

e. Penghargaan terhadap pendapat anak;

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak g. Pembinaan dan pembimbingan anak;

h. Prosporsional;

i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan Penghindaran pembalasan.

(23)

menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.

Menurut Wayan Dinar Purba Prasetyo17 pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak olehketerlibatannya dengan sistem peradilan pidana.18 Adapun tujuan diversi tersebut adalah :

a. Menghindari penahanan anak

b. Menghindari cap/label sebagai penjahat c. Meningkatkan keterampilan hidup anak d. Meningkatkan rasa tanggung jawab anak e. Mencegah penanggulangan tindak pidana

f. Meningkatkan intervensi bagi kepentingan korban tanpa proses formal g. Menghindarkan anak mengikuti proses sistem peradilan pidana anak

(SPPA)

h. Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif proses peradilan Berdasarkan hal diatas maka pada hakikatnya proses diversi tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan anak. Namun dalam kenyataanya proses Diversi ini terkadang sulit untuk diterapkan disebabkan baik karena tidak adanya persetujuan antara kedua belah pihak untuk berdamai atau kerugian yang diterima korban atas tindak pidana yang dilakukan oleh anak terlalu besar sehingga menurut korban proses diversi tidak cukup untuk memberi pelajaran kepada pelaku.

Selain itu dalam pelaksanaannya meskipun proses diversi ini diadakan dengan tujuan yang baik yaitu untuk melindungi kepentingan anak pelaku pidana namun pelaksanaan proses diversi ini batasi penggunaannya. Hal ini dapat dilihat dalam

17Ibid

18 http://wayandinar.blogspot.co.id/2012/06/diversi-sebagai-upaya-penyelesaian.html, diakses tanggal 5 Januari 2017

(24)

Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA bahwa proses diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Berkaitan dengan pembatasan proses diversi tersebut maka jika dikaitkan dengan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak maka berdasarkan pembatasan tersebut diatas proses diversi dalam tindak pidana pencurian dengan kekerasan tidak dapat dilakukan karena pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP yaitu dengan ancaman hukuman 9 (Sembilan) tahun penjara dan pada ayat (2) diancam dengan hukuman penjara 12 (dua belas) tahun penjara.

Kenyataandemikian semakin diperjelas dengan berbagai putusan pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan dimana proses diversi dalam bentuk perdamaian yang dilakukan selalu mengalami kegagalan bahkan ada yang telah mencapai perdamaian diantara kedua belah pihak, namun perkaranya tetap dilanjutkan melalui proses peradilan pidana anak dengan mendapatkan hukuman. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa Putusan berikut yaitu Putusan Nomor :4/Pid.Sus-Anak/2015/PN-Mdn., Putusan Nomor:

23/Pid.SusAnak/2016/PN.Mdn.,Nomor:42/Pid.Sus-Anak/2015/PN-Mdn.

Pengabaian dilakukannya proses diversi tersebut tentu sangat merugikan kepentingan anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan karena dengan

(25)

masuknya anak tersebut kedalam sistem peradilan pidanaakan berdampak pada jasmani dan psiskis anak tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Meskipun pelaksanaan diversi tersebut dibatasi oleh Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun, tetapi yang harus dikedepandakan adalah kepentingan anak sebagaimana yang diatur dalam Undang- undang Nomor 11 tahun 2012 tentangSPPA.Oleh karenanya meskipun proses diversi dibatasi oleh tindak pidana yang diancam dengan pidana dibawah 7(tujuh) atau; dan bukan pengulangan tindak pidana, tetapi dalam rangka untuk melindungi kepentingan anak proses diversi haruslah dikedepankan.

Dalam proses diversi tersebut keberhasilannya sangatlah ditentukan oleh Peran seorang Hakim yang telah ditunjuk sebagaiFasilitator, Peran Fasilitator ini sangatlah penting khususnya untuk mencapai Win Win Solutionantara kedua belah pihak sehingga tercapainya keadilan restoratif.

Keadilan Restoratif merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut.19

19http://www.kompasiana.com/amelindanurrahmah/restorativejustice_55101738813311ae33b c6294, diakses tanggal 5 Januari 2017

(26)

Berdasarkan hal diatas dalam penelitian ini hendak mengkaji mengenai persoalan yang berkaitan dengan peran Fasilitator yaitu Hakim sebagai Fasilitator di Pengadilan Negeri Medandalam menyelesaikan proses diversi dalam bentuk mediasi antara kedua belah pihak dalam kasus tindak pidana pencurian dengan kekerasandalam rangka untuk melindungi kepentingan anak, yang secara normatifnya telah dibatasai oleh Pasal 7 ayat (2) Undang-undangNomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA yang mana hingga kini belum ditemukan adanya proses diversi yang berhasil dilakukan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakan penelitian yang digambarkan diatas, maka dalam penelitian ini dirumuskan tiga permasalahan, yaitu :

1. Bagaimana proses pelaksanaan Diversi yang dilakukan oleh Fasilitator dalam kasus pencurian dengan kekerasan di Pengadilan Negeri Medan?

2. Bagaimana kedudukanFasilitator dalam proses diversi pada kasus anak Sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Pengadilan Negeri Medan ? 3. Mengapa pada kasus tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan

oleh anak dalamPutusan Nomor : 4/Pid.Sus-Anak/PN/Mdn., Putusan Nomor :23/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn., dan Putusan Nomor : 42/Pid.Sus-Anak/PN- Mdn.,Hakim tidak melakukan diversi ?

(27)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan proses pelaksanaan diversi dalam kasus pencurian dengan kekerasan di Pengadilan Negeri Medan.

2. Untuk mengetahui Peran Fasilitatordalam proses diversi pada kasus anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Pengadilan Negeri Medan.

3. Untuk mengetahui mengapaHakimtidak melakukan diversi dalam beberapa Putusan Nomor : 4/Pid.Sus-Anak/PN/Mdn., Putusan Nomor :23/Pid.Sus- Anak/2016/PN.Mdn., Nomor : 42/Pid.Sus-Anak/PN-Mdn., Yang dilakukan oleh Anak.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian sebagaimana disampaikan di atas, maka penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian umumnya, khususnya pengetahuan dalam hal mengetahui dan mempelajari tentang peran fasilitatordalam proses diversi pada kasus anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan di kota Medan.

(28)

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penegak hukum dan Masyarakat dalam hal mengetahui secara jelas mengenai peran fasilitatordalam proses diversi dan mengapa Hakim tidak melakukan diversi dalam Putusan Nomor : 4/Pid.Sus-Anak/2015/PN/Mdn., Nomor :23/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn., Nomor : 42/Pid.Sus-Anak/2015/PN-Mdn.,pada kasus anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan di kota Medan.

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian dengan judul dan rumusan masalah yang sama, maka sebelumnya, telah dilakukan peneusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU. Berdasarkan dari peneluran yang dilakukan tidak ditemukan judul yang sama dengan judul dan perumusan masalah dalam penelitian ini. Dari hasil penelusuran diperoleh judul tesis atas nama :

1. Doni Irawan Harahap NIM : 077005101 dengan judul “Penerapan Konsep Diversi dan Restoratif Justice Terhadap Anak pelaku Tindak Pidana Di Polresta Medan”

2. Bob Sadiwijaya NIM : 097005043 dengan judul “Penerapan konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Anak (Studi Kota Medan)”

(29)

3. Vipfhy Amalya NIM : 147005056 “Penyelesaian Perkara Anak melalui Konsep Diversi dengan Pendekatan Restorative Justice ditinjau dari Undang-undang No.

11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”

Bila dilihat dari judul tesis diatas, tidak ada yang sama dengan dengan judul Peran Hakim Selaku Fasilitator dalam proses Diversi pada Kasus Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasandi Kota Medan. Maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain, serta dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori

Kata teori berasal dari kata theori yang artinya pandangan atau wawasan.20Theori juga bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian yang terbaik.21Secara umum teori itu diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu.22Kerangka secara etimologis bermakna garis besar atau rancangan.Teori adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan.

Teori berarti penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistemasikan masalah yang dibicarakan dan teori juga bisa mengandung subjektivitas apabila

20 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2012), hal. 4

21 Bernard, Yoan N. Simajuntak dan Markus Y.Hege, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta : Genta Publising, 2010), hal. 41

22 Sudikno, Op. Cit., hal. 7

(30)

berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks seperti hukum ini.23 Jan Gijssels dan Mark Van Hock sebagaimana dikutip oleh Salim H.S. dan Erlies Septiana Nurbani mengatakan bahwa teori hukum adalah cabang dari ilmu hukum yang dalam suatu perspektif interdisipliner secara kritikal menganalisis berbagai aspek dari segala hukum masing-masing secara tersendiri dan dalam kaitan keseluruhan mereka, baik dalam konsepsi teoritikal mereka maupun dalam penjabaran pratikal mereka, dengan mengarah pada pemahaman yang lebih baik dalam dan suatu penjelasan yang jernih atas bahan-bahan yuridikal terberi.24

Sedangkan M. Solly Lubis mengatakan bahwa teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.25

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.26Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak–tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita dapat merenkontruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.Kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa.27 Menurut Kaelan M.S, Landasan teori

23 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra aditya Bakti, 2005), hal. 235

24 Salim H.S dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014), hal. 6

25 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Medan : PT. Sofmedia, 2012), hal. 30

26 Sadjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), 1999, hal. 254

27Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta : balai Pustaka, 1995), hal. 520

(31)

terhadap suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar opersional penelitian.

Landasan Teori dalam suatu penelitian bersifat strategi artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.28

Kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:29

1. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

2. Teori sangat berguna untuk mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi yang ada.

3. Teori merupakan suatu iktiar dari pada hal-hal yang diteliti.

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin factor-faktor tersebut akan timbul lagi dimasa yang akan datang.

Kerangka teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori keadilan restoratif dan teori perlindungan hukum.

Konsep pendekatan Restoratif merupakan suatu perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi peradilan dari peradaban bangsa-bangsa Arab Purba, bangsa Yunani, dan bangsa romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaian masalah tindak pidana.30

Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan Restoratif, suatu konflik atau kerusakan yang timbul akibat tindak pidana adalah dipandang sebagai suatu konflik yang terjadi dalam hubungan antara anggota masyarakat yang harus diselesaikan dan dipulihkan oleh seluruh pihak secara bersama-sama. Lingkaran penyelesaian berpusat

28 Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta : Pradigma, 2005), hal. 239

29 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 121

30Rufinus Hotmaulana Hutahuruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hal. 103

(32)

pada keseimbangan melalui pemberian kesempatan terhadap korban untuk berperan dalam proses penyelesaian tindak pidana.31

Paradigma restoratif berarti tujuan penjatuhan sanksi dalam SPPA juga melibatkan korban dan/atau keluarga korban, pelaku, masyarakat, dan penegak hukum.keberhasilan tujuan penjatuhan sanksi tercapai apabila korban telah direstirasi, korban puas akan penjatuhan sanksi kepada pelaku, pelaku sadar akan perbuatannya, ganti kerugian yang besarnya sesuai dengan persepsi korban, dan lain sebagainya.32

Konsep Restorative Justice, proses penyelesaian tindak pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama- sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut Fasilitatormemberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya.33

Bagir Manan34 mengemukakan bahwa secara konseptual Restoratif Justice berisi gagasan dan prinsip antara lain berikut ini :

a. Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, serta kelompok masyrakat untuk menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana.

Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai stakeholder yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak Win-Win Solution.

b. Mendorong pelaku bertanggung jawab terhadap korban atau peristiwa atau tindak pidana yang telah menimbulkan cedera atau kerugian terhadap korban. Selanjutnya membangun tanggung jawab untuk tidak mengulang lagi perbuatan pidana yang pernah dilakukan.

31 Ibid. hal 106

32 Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesi, ( Bandung : PT. Alumni Bandung, 2014), hal. 93

33Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice,(Bandung : Refika Media, 2012), 180

34 R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016), hal.

41 - 42

(33)

c. Menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai bentuk pelanggaran hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh seseorang (sekelompok orang) terhadap seseorang (sekelompok orang). Dengan demikian, sudah semestinya pelaku diarahkan pada pertanggungjawaban terhadap korban bukan mengutamakan pertanggungjwaban hukum.

d. Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal personal daripada penyelesaian dengan cara-cara yang formal (kaku) dan impersonal.

Prinsip utama penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif merupakan suatu penyelesaian yang bukan hanya sekedar alat untuk mendorong seseorang untuk melakukan kompromi terhadap terciptanya kesepakatan, tetapi pendekatan dimaksud harus mampu menembus ruang hati dan pikiran para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian dalam memahami makna dan tujuan dilakukannya suatu pemulihan dan sanksi yang diterapkan adalah sanksi yang memulihkan dan bersifat mencegah.35

Dalam berkaitan dengan itu, Mark Umbreit36 mengatakan bahwa keadilanrestoratif memberikan kerangka kerja yang berada dalam memahami dan menanggapi tindak pidana. tindak pidana dipahami sebagai perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap individu-individu dan masyarakat, serta bukannya sekedar pelanggaran undang-undang abstrak melawan Negara, sehingga adalah sangat beralasan bila korban atau anggota masyarakat dan pelaku sendiri, dituntut untuk memainkan peran penting dalam proses penyelesaiannya. Pemulihan hubungan emosional dan kerugian material adalah jauh lebih penting ketimbang penekanan pada hukuman tehadap pelaku tindak pidana sebagaimana berlaku sekarang ini.37

Berhubungan dengan pendapat Mark Umbreit tersebut, Van Ness38 mengatakan bahwa sesungguhnya tindak pidana adalah sesuatu pelanggaran oleh seseorang kepada orang lainnya dan bukan terhadap Negara, sehingga dengan demikian dapat dipahami dengan jelas, bahwa konsekuensi logis pertanggungjawaban pidana adalah bukan terhadap Negara, tetapi lebih difokuskan kepada korban yang dirugikan. Secara teoritis, pelaku tidak

35 Rufinus Hotmaulana Hutahuruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hal. 107

36 Mark Umbreit, Avoiding the Marginalization and ‘McDonaldixation’ of Victim-Offender Mediatio: A Case Study In Moving Toward the mainstream, dalam Restorative Juvenile Justice:

Repairing the Harm of Youth Crime, disunting oleh Gordon Bazemore dan lode Walgrave, Monsey, NY; Criminal Justice Press, 1999, hlm. 213, diakses dari website http://www.restorativejustice.Org pada tanggal 6 Mei 2005. Dalam Rufinus Hotmaulana Hutahuruk, ibid. hal. 111

37Ibid.

38 Van Ness, 1997, hal. 22, diakses dari website http://restorativejustice.org pada tanggal 6 Mei 2009, dalam Rufinus Hotmaulana Hutahuruk, ibid. hal. 111-112

(34)

mempunyai kewajiban kepada Negara dan bentuk hukuman yang dikenakan Negara tidak diperlukan, tetapi dapat diselesaikan melalui proses kesepakatan yang mungkin akan dilakukan melalui pengembalian atas seluruh kerugian dan kerusakan yang ditimbulkannya.

Pemahaman tentang makna dan pengertian tindak pidana yang tidak selalu disikapi sebagai beban dari Negara untuk menyelesaiakan tindak pidana menjadi sangat mendasar dalam pendekatan restoratif.39

Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.40

Didalam Undang-undangNo. 11 tahun 2012 tentang SPPA tidak ada ketentuan yang dapat menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “keadilan restoratif”, kecuali dalam penjelasan umum Undang-undang No. 11 Tahun 2012 disebut

“keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi. Artinya semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untukmemperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.”41

39Ibid, hal. 113

40Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA

41R. Wiyono, Op. Cit., hal. 40

(35)

Selanjutnya, teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang sangat penting untuk dikaji, karena focus kajian teori ini pada perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat.Masyarakat yang didasarkan pada teori ini, yaitu masyarakat yang berada dalam posisi yang lemah, baik secara ekonomis, maupun lemah dari aspek yuridis.

Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA tentu mempunyai latarbelakang. Dalam Konsideran diuraikan bahwa latarbelakang lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA adalah :

a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang;

b. Bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan yang baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan anak perlu dilakukan secara khusus.

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa.Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum.oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksaan kegiatan perlindungan anak untuk itu, kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama, berkaitan dengan kebijakan dan peraturan

(36)

perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak.Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan- peraturan tersebut.42

Menurut Satjipto Raharjo43 perlidungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.44

Setiap Perundang-undangan yang menjadi wujud atau bentuk tujuan perlindungan yang diberikan kepada subyek dan obyek perlindungannya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam undang-undang perlindungan anak, yang menjadi tujuan dari perlindungan terhadap anak, yaitu untuk menjamin terpenuhinya :

a. Hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

b. Mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Subjek perlindungan anak dalam undang-undang perlindungan anak adalah anak.Obyek perlindungannya, hak-hak setiap anak. Kalau hak-hak anak dilanggar, maka anak tersebut berhak mendapatkan perlindungan. Subyek yang berhak memberikan perlindungan kepada anak :

42Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hal. 75

43 Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V 2000). hal. 53.

(37)

a. Negara;

b. Pemerintah;

c. Masyarakat;

d. Keluarga;

e. Orang tua;

f. Wali; dan g. Lembaga Sosial.

Bentuk perlindungan Hukum secara teoritis perlindungan hukum dibagi atas dua bentuk :45

a. Perlindungan hukum yang preventif. Perlindungan hukum kepada rakyat yang diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah menjadi bentuk yang menjadi definitif.

b. Perlindungan hukum yang represif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan pada prinsip negara hukum.

2. Kerangka Konsep

Kerangka kosep merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau diteliti. Suatu konsep merupakan bukan gejala yang diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut.46Gejala itu biasanya fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan- hubungan dalam fakta tersebut.Selain itu konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah bagian penghubung yang menerangkan suatu yang

45 Zahirin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal 2.

46 H. M. Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana, (Medan : USU Press, 2008), hal. 79

(38)

sebelumnya hanya baru ada dipikirkan. Peranan konsep dalam pemeliharaan adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi antara bisnis dan realitas.47

Tujuan landasan konsepsional digunakan untuk memperoleh dasar konseptual dan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda serta memberikan pedoman dalam pandangan yang sama dalam memahami istilah-istilah di dalam penelitian ini. Landasan konsep tersebut antara lain :

a. Peran Menurut Soekanto adalah proses dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya. Dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya.48

b. Dalam Pasal 1 angka 10 undang-undang No. 11 Tahun2012 tentang SPPA menyebutkan bahwa Hakim adalah Hakim anak yang telah ditugaskan oleh undang-undang utuk memeriksa dan memutus perkara anak yang berhadapan dengan hukum serta telahdiberi pelatihan khusus menangani perkara anak.

c. Dalam Pasal 1 ayat (2) PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPPA menyebutkan bahwa Fasilitator Diversi adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.

47 Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, (Jakarta : LP3E3, 1999), hal. 15

48 http://www.materibelajar.id/2016/01/definisi-peran-dan-pengelompokan-peran.html diakses pada tanggal 10 januari pukul 22.16

(39)

d. Diversi adalah pengalihan suatu kasus dari proses formal ke proses informal.

Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.49

e. Dalam Pasal 1 angka 3 undang-undang No. 11 Tahun2012 tentang SPPA menyebutkan bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

f. Tindak pidana pencurian dengan kekrasan itu oleh pembentuk undang-undang yang telah diatur dalam Pasal 365 KUHP yang rumusan aslinya berbunyi sebagai berikut:50

(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya Sembilan tahun, pencurian yang di dahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan terhadap orang-orang, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian tersebut, atau untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta dalam kejahatan dapat melarikan diri jika diketahui pada waktu itu juga, ataupun untuk menjamin penguasaan atas benda yang telah dicuri.

(2) Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun;

1. Jika tindak pidana itu dilakukan pada malam hari di dalam sebuah tempat kediaman atau diatas sebuah pekarangan tertutup yang diatasnya terdapat sebuah tempat kediaman, atau diatas jalan umum, atau diatas kereta api atau trem yang bergerak.

2. Jika tindak pidana itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.

3. Jika untuk mendapat jalan masuk ke tempat kejahatan, orang yang bersalah telah melakukan pembongkaran atau pemanjatan atau telah memakai kunci-kunci palsu, sesuatu perintah palsu atau suatu seragam palsu;

4. Jika tindak pidana itu telah mengakibatkan luka berat pada tubuh.

(3) Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika tindak pidana itu mengakibatkan matinya orang,

49Marlina, Op. Cit., hal. 168

50 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), hal. 54

(40)

(4) Dijatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, jika tindak pidana itu mengakibatkan luka berat pada tubuh atau matinya orang, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dan disertai dengan salah satu keadaan yang disebutkan dalam angka 1 dan angka 3.

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam Pasal 365 KUHP juga merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan.

g. Mediasi Penal adalah salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan antara pelaku, korban, atau keluarga pelaku dan keluarga korban dengan menyertakan aparat penegak hukum.51

G. Metode Penelitian

Metode penelitian berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, dan “Logos” artinya ilmu pengetahuan. Metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan.52

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian

51 Lilik Mulyadi, Implementasi Mediasi Penal Sebagai Perwujudan Nila- Nilai Pancasila Guna Mendukung Supremasi Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2016), hal. 9

52Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), hal. 13

(41)

untuk mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.53Metode penelitian berfungsi sebagai arah dan petunjuk bagi suatu penelitian.54

Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum normatif(Doctrinal) yang condong bersifat kualitatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis (Non Doctrinal) yang condong bersifat kualitatif.55

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dan penelitian empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian mengacu pada teori-teori, doktrinal, norma, dan asas-asas serta kaidah-kaidah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun didalam putusan pengadilan. Norma-norma dan kaidah- kaidah tersebut berkenaan dengan tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam hukum pidana yang dilakukan oleh anak. Penelitian yuridis empiris yaitu meneliti prosesdiversi yang dilakukan oleh Fasilitator selaku Hakim di Pengadilan Negeri Medan. Sedangkan sifat penelitian ini adalah menggunakan deskripsi analitis yaitu menggambarkan, mendeskripsikan fakta-fakta yang dikumpulkan secara analitis terkait proses diversi yang dilakukan oleh Hakim selaku fasilitator.

2. Sumber Bahan Hukum

53 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hal. 14

54Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 104

55 J. Supranto, Metode Penelitian Huum dan Statistik, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hal.2

(42)

Oleh karena pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini pendekatan normatif dan pendekatan empiris maka sumber bahan hukumberasal dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Sumber bahan hukum primer berupa wawancara kepada Hakim Anak di Pengadilan Negeri Medan yang diangkat sebagai Fasilitator.

Selain itu itu juga digunakan bahan hukum sekunder yaitu pendekatan normatif yang bersumber pada data sekunder. Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan atau badan-badan pemerintahan, yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat Negara.56 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah, KUHP,Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA, PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA,PP Nomor 65 Tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan diversi dan penanganan anak yang belum berumur 12 (Dua Belas) tahundan Putusan-putusan Hakim yang berkaitan dengan pencurian dengan kekerasan.

b. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik

56 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, (Malang : setara Press, 2013), hal.

67

(43)

para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.57 Sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum, Jurnal, makalah dan karya-karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan peran Fasilitator dalam proses diversi pada kasus anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.58

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Pengumpulan bahan hukum mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum, karena dengan pengumpulan bahan hukum akan diperoleh bahan hukum yang di perlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang di harapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan bahan hukum ke perpustakaan library research.59Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum melaui pengkajian terhadap peraturanperundang-undagnan, literature-literatur, tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penulisan ini.

4. Analisis Bahan Hukum.

Analisis bahan hukum dilakukan dengan model analisis kualitatif. Metode penelitian kualitatif yaitu metode yang lebih menekankan pada aspek pencarian

57 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2014), hal. 182-183

58 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13

59 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112- 113

(44)

makna dibalik empirisitas dari realitas sosial sehingga pemahaman mendalam akan realitas sosial akan sangatdiperhatikan, dan metode ini akan menghasilkan bahan hukum berupa pernyataan-pernyataan bahan hukum yang dihasilkan berupa bahan hukum deskriptif mengenai subjek yang diteliti.60

60 Miles dan Hubberman, Analisis Data Kualitatif : Buku Tentang Sumber Data-data Baru, (Jakarta : universitas Indonesia Press, 1992), hal. 15-20

Gambar

Tabel  1.  Perkara  Pencurian  dengan  Kekerasan  yang  dilakukan  oleh  anak  di  Pengadilan Negeri Medan dari tahun 2015 s/d 2016

Referensi

Dokumen terkait

Proses pada sistem e- Research Management dimulai dari pengajuan proposal oleh peneliti, persetujuan proposal oleh pihak pengelola penelitian di perguruan tinggi, pencatatan

Tidak demikian halnya dengan keragaan rumahtangga penyadap yang terlihat pada penelitian kali ini, dimana berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa secara agregat

Sebagai orang tua juga berperan dalam mengajarkan anak untuk toleransi dan membiasakan selalu mengajarkan kepada anak untuk berbuat baik kepada teman, tidak mengejek dalam bermain,

Dari Tabel 1 terlihat bahwa jenis tanaman sela yang diusahakan petani selama tiga tahun masa TBM pada umumnya adalah tanaman sela sayur- sayuran (cabai,

Salam-Salaman Bersama Teman Gambar 7...

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang

(1) setiap orang yang memproduksi pangan olahan tertentu untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan tata cara pengolahan pangan yang dapat menghambat proses