• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hakim Selaku Fasilitator Dalam Proses Diversi

Dalam dokumen TESIS OLEH MUJITA SEKEDANG (Halaman 90-118)

Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan KehakimanHakim adalah Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalamlingkungan peradilan umum, lingkungan peradilanagama, lingkungan peradilan militer, lingkunganperadilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilankhusus yang berada dalam lingkungan peradilantersebut.

Selanjutnya menurut Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyaikewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutusperkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salahsatu lingkungan badan peradilan yang berada di bawahMahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.

Jika merujuk kepada Undnag-undang nomor 3 tahun 1997 mengenai Pengadilan anak dalam Pasal 2 berbunyi Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dimana menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 Hakim adalah Hakim Anak.

Menurut Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 mengenai Pengadilan anak menyebutkan bahwa :

186 Perkara anak dari tahun 2015 s/d 2016 di Pengadilan Negeri Medan.

(1) Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal.

(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapatmenetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.

(3) Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti.

Selain hal tersebut di atas jika merujuk kepada Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang SPPA menentukan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak dipengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Dalam hal ini yang dimaksud degan frasa “perkara anak” dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang SPPA adalah perkara tindak pidana yang diduga dilakukan anak.187

Jika hanya dilihat pada perumusan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 saja, maka kesimpulannya adalah diversi memang hanya terbatas dapat diupayakan sampai pada tingkat pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.

Dengan demikian, jika diingat bahwa tujuan dari diversi adalah seperti yang disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA dan pemeriksaan di Pengadilan Tinggi sifatnya adalah devolutif, artinya seluruh pemeriksan perkara dipindahkan dan diulangkan oleh pengadilan Tinggi yang

187 R. Wiyono, Op.cit, hal. 49

bersangkutan, maka ada alasan untuk membenarkan bahwa diversi dapat pula diupayakan pada tingkat pemeriksaan di Pengadialan Tinggi.188

Jika dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang SPPA, dapat diketahui bahwa perkara anak yang diwajibkan diversi pada tingkat pengadilan yang dilksanakan oleh hakim selaku fasilitator adalah perkara anak yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA menyebutkan bahwa pengulangan tidak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang dieselesaikan melalui diversi.

Pegertian “tidak wajib diupayakan diversi” tersebut pengertiannya adalah tidak bersifat imperatif atau fakultatif. Artinya perkara anak yang tindak pidananya diancam pidana penjara diatas 7 (tujuh) tahun atau merupakan pengulangan tindak pidana, dapat saja diupayakan diversi.

M. Nasir Djamil189 mantan pimpinan panja RUU Sistem Peradilan Anak komisi III DPR RI mengemukakan bahwa ketentuan yang terdapat Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menjelasakan bahwa anak yang melakukan tindak pidana yan ancamannya lebih 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan, maka tidak wajib diupayakan diversi. Hal ini memang penting, mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada tindak pidana berat dan merupakan pengulangan, artinya anak pernah melakukan tindak pidana, baik itu sejenis

188Ibid. hal 51

189 M. Nasir Djamil, Op.cit. hal. 139

maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai, yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindak pidana. Oleh karena itu, upaya diversi terhadapnya bias saja tidak wajib diupayakan.

Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA menyebutkan bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua atau walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.

Penjelasan Pasal 8 ayat (1)Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA menyebutkan bahwa orangtua dan wali korban dilibatkan dalam proses diversi dalam hal korban adalah anak.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia190, yang dimaksud dengan musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah.

Dengan demikian, yang dimaksuddalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA adalah proses diversi dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak dengan maksud dan tujuan yaitu mencapai keputusan diversi untuk mencapai persetujuan kesepakatan diversi.

Pasal 8 ayat (2) Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang SPPAmenyebutkan bahwa dalam hal diperlukan, disamping musyawarah melibatkan

190 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003) hal. 768

para pihak sebagaiman dimaksud oleh Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA, juga melibatkan tenaga kesejahteraan sosial atau masyarakat.

Penjelasan Pasal 8 ayat (2)Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat antara lain tokoh agama, guru, dan tokoh masyarakat.

Pasal 8 ayat (3) undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang SPPA menyebutkan bahwa proses diversi wajib memperhatikan :

a. Kepentingan korban;

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;

c. Penghindaran stigma negatif;

d. Penghindaran pembalasan;

e. Keharmonisan masyarakat;

f. Kepatutan, kesulitan, dan ketertiban umum.

pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA ditentukan bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim harus mempertimbangkan antara lain sebagai berikut :191

a. Kategori tindak pidana.

Dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 disebutkan bahwa ketentuan ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk melaksanakan terhadap tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkotika, dan terorisme yang diancam pidana diatas 7 (tujuh) tahun.

b. Umur anak.

191R. Wiyono, Op.Cit., hal. 54

Dalam penjelsan Pasal 9 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 disebut bahwa umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian diversi dan semakin muda umur ank semakin tinggi prioritas diversi.

c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS.

d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarkat.

Pertimbangan tersebut harus diperhatikan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menentukan diversi. Di samping itu, menurut R. Wiyono, harus diperhatikan pula oleh pembimbing kemasyarakatan pekerja sosial professional dan tenaga kesejahteraan sosial dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 bahwa kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk :192

a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran.

b. Tindak pidana ringan.

Dalam pasal 9 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 disebutkan yang dimaksdu dengan “tindak pidana ringan” adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “pidana penjara atau pidana kurungan” dalam ketentuanini hanya semata-mata “pidana penjara atau pidana kurungan” saja, sehingga tidak sampai meliputi misalnya

“pidana penjara atau pidana kurungan” dan /atau “pidana denda”

berapapun jumlahnya.

c. Tindak pidana tanpa korban.

d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

Dalam memberikan nilai kerugian korban dalam perkara anak ini, menurut R.

Wiyono193 tidak perlu sampai mempertimbangkan jenis dan berapa ancaman pidana dalam peraturan yang dilanggar.

192Ibid.

193Ibid, hal. 55

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA tersebut, disebutkan bahwa kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya.194

Selanjutnya meskipun dalam melakukan diversi terhadap anak seperti yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA tidak harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya. Akan tetapi, Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA menentukan bahwa terhadap perkara anak tersebut, penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya pembimbing kemasyarakatan serta dengan melibatkan tokoh masyarakat dapat melakukan kesepakatan diversi.195

Diversi terhadap perkara anak seperti yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA tersebut, menurut Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk :196

a. Pengambilan kerugian dalam hal ada korban;

b. Rehabilitasi medis dan psikososial;

c. Penyerahan kembali kepada orang tua atau wali;

d. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPSK paling lama 3 (tiga) bulan;

194Ibid. hal. 56

195Ibid.

196Ibid.

e. Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA ditentukan bahwa hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk antara lain :197

a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b. Penyerahan kembali kepada orang tua atau wali;

c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPSK paling lama 3 (tiga) bulan;

d. Pelayanan masyarakat.

Dengan adanya frasa “antara lain” dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA, maka masih dimungkinkan adanya hasil kesepakatan diversi selain daripada hasil kesepakatan diversi seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA.198

Selanjutnya dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPAditentukan bahwa hasil kesepakatan diversi tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi yang ditanda tangani oleh para pihak yang terlibat.199

Setelah kesepakatan diversi ditandatangani oleh para pihak yang terlibat, kemudian oleh Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA ditentukan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap

197Ibid.,hal. 56

198Ibid.

199Ibid.

tingkat pemeriksaan disampaikan ke pengadilan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.200

Dengan berpedoman pada penjelasan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “atasan langsung” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA adalah antara lain Kepala Kepolisian, Kepala Kejaksaan, dan Ketua Pengadilan. Sebagai akibatnya, yang dimaksud dengan pejabat yang bertanggung jawab disetiap tingkat pemeriksaan dala Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA adalah:201

a. Pada tingkat penyidikan : pejabat polisi Negara RI yang ditunjuk sebagai penyidik oleh Kepala Kepoisian untuk perkara anak yang bersangkutan;

b. Pada tingkat Penuntutan : jaksa yang ditunjuk sebagai penuntut umum oleh Kepala Kejaksaan Negeri untuk perkara anak yang bersangkutan;

c. Pada tingkat pemeriksaan sidang pengadilan : hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan Negeri unutk memeriksa dan memutus perkara anak yang bersangkutan.

Sebagai akibat lebih lanjut, maka yang dimaksud dengan “penetapan” dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA adalah penetapan ketua pengadilan.202

Menurut Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA, ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak dicapainya kesepakatan diversi, yang selanjutnya menurut Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA penetapan tersebut

200Ibid.,hal. 57

201Ibid.

202Ibid.

dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak ditetapkan, disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum dan hakim.203

Setelah menerima penetapan tersebut, menurut Pasal 12 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA, penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau penuntut umum menerbitkan penghentian penuntutan.204

Oleh karena itu, Pasal 13 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA ditentukan bahwa proses diversi peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal :205

a. Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan.

Maksud dari proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan adalah proses diversi yang sedang dilakukan tidak sampai dapat menghasilkan kesepakatan seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA.

Sebagai akibat jika proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara pidana anaktetap dilanjutkan.

Sebagai bukti pertanggungjawaban, menurut penulis selanjutnya para pihak yang terlibat untuk memperoleh kesepakatan diversi, membuat pernyataan bersama yang isinya tidak memperoleh kesepakatan dan ditandatangani bersama sebagai bahan pertimbangan nantinya jika seandainya benar-benar proses diversi peradilan pidana anak ternyata kemudian dilanjutkan.

203Ibid. hal. 58

204Ibid.

205Ibid.

b. Kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.

Maksud dari kesepakatan diversi tidak dilaksanakan adalah dalam perkara anak tersebut sudah diperoleh kesepakatan diversi seperti yang disebutkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA, tetapi kemudian ternyata tidak dilaksanakan.

Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA menentukan bahwa seama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan diversi dilaksanakan pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan dan pengawasan.

Jika sampai kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditetntukan, maka Pasal 14 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA menentukan bahwa pembimbing kemasyarakatan segera membuat laporan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim bahwa kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.

Sebagai tindak lanjut adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim akan mencabut atau menyatakan tidak berlaku lagi penetapan penghentian penyidikan, penetapan penghentian penuntutan, dan penetapan penghentian pemeriksaan yang telah dikeluarkan, yang selanjutnya proses peradilan pidana anak diteruskan.

Jika pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, menurut Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dibebankan kepada ketua pengadilan, maka pengawasan atas proses diversi dan pelasanaan kesepakatan yang dihasilkan berada

pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab disetiap tingkat pemeriksaan.206

Penjelasan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SPPA menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan atasan langusung antara lain Kepala Kepolisian, Kepala Kejaksaan, dan ketua pengadilan.207

Dikaji dari perspektif hukum tata Negara khususnya dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan sistem peraturan Perundang-undangan, kedudukan peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma RI) dapat disebutkan mempunyai beberapa fungsi. Pertama, sebagai pengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum), pelengkapan kekurangan hukum dan penemuan hukum (rechtsvinding) dimana ketentuan perundang-undangan tidak atau belum mengaturnya sehingga Perma RI dapat bersifat pelengkap peraturan hukum dan sumber hukum oleh karena Perma RI merupakan konkretitasi dari praktik peradilan dengan tujuan untuk kepastian hukum (recht-zekerheids), keadilan (gerechtigheid) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).208

PERMA Nomor 4 Tahun 2104 tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA, hakikatnya lahir, tumbuh dan berkembang sebagai fungsi memenuhi kekosongan dan penegakan hukum dalam konteks praktik penyelenggaraan pemerintah dan sistem peraturan perundang-undangan.209

Selanjutnya, secara substansi PERMANomor 4 tahun 2014tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA terdiri dari V Bab mengatur tentang ketentuan

206Ibid, hal. 60

207Ibid.

208 Lilik Mulyadi, Op.cit. hal. 140

209Ibid.

umum, kewajiban diversi, peaksanaan diversi di pengadilan, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.210

Pada dasarnya, sesuai konteks diatas sebagai fungsi memenuhi kekosongan dan penegakan hukum untuk praktik penyelenggaraan pemerintah dan penegakan hukum untuk praktik penyelenggaraan pemerintah dan sistem peraturan Perundang-undangan in casu berdasarkan konsiderans menimbang huruf b PERMA Nomor 4 Tahun 2014tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA disebutkan bahwa Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA belum mengatur secara jelas tentang tata cara dan tahapan diversi.211

Konsekuensi logis dimensi diatas, ada beberapa hal yang belum diatur dalam Undang-undang SPPA dan kemudian diatur pada PERMA Nomor 04tahun 2014tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPAsebagai fungsi memenuhi kekosongan dan penegakan hukum, berorientasi kepada dimensi sebagai berikut :212

a. Pengertian musyawarah diversi sebagai musyawarah antara para pihak yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sisoal professional, perwakilan masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai suatu kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Kemudian fasilitator diversi adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.

Kaukus merupakan pertemuan terpisah antara fasilitator diversi dengan salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya. Berikutnya kesepakatan hasil proses musyawarah diversi yang dituangkan dalam bentuk dokumen dan ditandatangani oleh para pihak yang terlibat dalam musyawarah diversi, dan hari adalah hari kerja;

b. Berdasarkan ketentuan Pasal 3PERMA Nomor 04 tahun 2014tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA ditentukan bahwa, “hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh)

210Ibid.

211Ibid.

212Ibid. hal. 141

tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidairitas, alternative, kumulatif maupun kombinasi (gabungan)”, maka dimensi Perma mengenai diversi khusus spesifik terhadap kalimat,

“diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih”, substansi ini lebih lus dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-undang SPPA karena diversi dilakukan terhadap, “tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun”.

Pertanyaan krusial dalam konteks ini dalam perspektif normative dan praktik adalah apakah ketentuan Perma tentang diversi bertentangan dan/atau lebih luas pengaturannya jikalau diperbandingkan dengan Undang-undang SPPA dan apakah dimungkinkan diversi dilakukan terhadap “tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidairitas, alternative, kumulatif maupun kombinasi (gabungan)”, padahal ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-undang SPPA menentukan diversi dilakukan dalam hal,

“tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun”.213

Konteks pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan polsrisasi pemikiran sebagai berikut :

1. tehadap ketentuan Perma tentang diversi bertentangan dan/atau lebih luas pengaturannya dengan Undang-undang SPPA dimensi ini dapat dikaji dari teori Gustav Radbruch dimana tujuan hukum adalah untuk kepastian hukum (recht-zekerheids), keadilan (gerechtigheid) dan kemanfaatan (zweckmassigkeids) dan dimensi hukum progresif dari Satjipto Rahardjo.

Apabila dengan tolok ukur kepastian hukum (recht-zekerheids) hakikatnya ketentuan pasal 3 PERMA Nomor 4 Tahun 2014tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA relatif kurang serasi dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf a yang jelas-jelas menentukan diversi dilaksanakan dalam hal, “tindak pidana yang dilakukan dengan ancaman pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun” in casu Perma menentukan dimungkinkan diversi terhadap, “tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh)

213Ibid, hal. 142

tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan susidairitas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan)”.214

Tegasnya, dalam konteks ini terjadi dimensi legal positivistic dan normative ketentuan Perma dengan undan-undang sistem peradilan pidana anak.

2. dikaji dari perspektif keadilan (gerechttigheid) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) dimungkinkan jikalau diversi dilakukan terhadap,

“tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidairitas, alternatif, kumulati, maupun kombinasi (gabungan)”, walaupun ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-undang SPPA anak menentukan diversi dilaksanakan dalam hal, “ tindak pidana yang dilakuakan dengan ancaman pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun”. 215

Dari optik keadilan (gerechttigheid) dan oftik kemanfaatan (zweckmassigheid) undang-undang SPPA dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proposional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran pembalasan. Dimensi konteks diatas mensiratkan, anak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kelangsungan hudup manusia dan kelangsungan sebuah bangsa dan Negara. Oleh karena itu, anak memiki peran strategis dimana secara tegas dinyatakan bahwa Negara menjamin setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang. Konsekuensi logisnya, setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak, dan segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelngsungan hidup dan tumbuh kembang anak sebagai hak asasi paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Selain itu, dapat disebut bahwa segala perlakuan terhadap anak harus memperhatikan batas keperluan, umur dan kondisi anak sehingga pada dasarnya anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan peyelesaian perkara dan juga diutamakan pula prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan.216

Dari dimensi kejadian (grechttigheid) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) sebenarnya hakikat diversi dari ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf a undan-undang sistem peradilan pidana anak yang menentukan diversi dilaksanakan dalam hal, “tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun”, bersifat ambiguitas yaitu polarisasi pembentuk Undang-undang SPPA pada satu sisi ketentuan

214Ibid, hal. 142-143

215Ibid.

216Ibid.

diversi tidak dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.217

3. eksistensi PERMA Nomor 4 tahun 2014tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA yang mengatur diversi dapat dilakukan terhadap,

“tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidairitas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan)”, dimensi norma ini dapat diartiakan sebagai kunci jawaban atau alternatif cara mencegah apabila anak dihambat atau adanya upaya untuk menghilangkan anak akan melakukan diversi. Tegasnya, ketentuan Pasal 3 pertama tersebut akan menutup celah kelemahan yang terdapat dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-undang SPPA yang menentukan diversi dilaksanakan dalam hal, “tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun, hal ini berarti wajib dilakukan diversi. Akan tetapi akan menjadi tidak wajib dilakukan diversi apabila anak tersebut

“tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidairitas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan)”, dimensi norma ini dapat diartiakan sebagai kunci jawaban atau alternatif cara mencegah apabila anak dihambat atau adanya upaya untuk menghilangkan anak akan melakukan diversi. Tegasnya, ketentuan Pasal 3 pertama tersebut akan menutup celah kelemahan yang terdapat dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-undang SPPA yang menentukan diversi dilaksanakan dalam hal, “tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun, hal ini berarti wajib dilakukan diversi. Akan tetapi akan menjadi tidak wajib dilakukan diversi apabila anak tersebut

Dalam dokumen TESIS OLEH MUJITA SEKEDANG (Halaman 90-118)