• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alexandra Lightfoot dan Wendy Ewald , I Wanna Take Me a Picture: Teaching Photography

BAB IV HASIL PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA

C. Pembelajaran Berbasis Foto

38 Alexandra Lightfoot dan Wendy Ewald , I Wanna Take Me a Picture: Teaching Photography

70

Interpretasi gambar sebaiknya dilakukan sejak anak usia dini dengan membawa ke museum, pembelajaran berbasis gambar di kelas, dan sebagainya. Hubungan kerja sama antara sekolah dan museum adalah langkah awal untuk memungkinkan situasi pembelajaran berbasis masalah. Situasi pembelajaran seperti ini menghadirkan seniman, pendidik di museum untuk membahas pameran esei foto. 39. Mereka akan melontarkan masalah

dan memberikan penjelasan tentang esei foto.40 Pada level mahasiswa

biasanya pemelajar lebih peduli dengan analisis dasar imaji41, yang terdiri

dari empat fase dalam proses dekode imaji, yaitu ;

 deskripsi dari elemen grafik yang mengkomposisikan imaji;

 analisis bagaimana imaji tersebut diatur;

 interpretasi dari pesan yang dikomunikasikan;

 estetika dan apresiasi dari imaji.

Kendatipun demikian interpretasi visual (decoding) bukanlah hal yang otomatis membuat seseorang belajar dari visual. Pemelajar perlu mengenal dekoding visual yang merupakan salah satu aspek visual untuk interpretasi dan membuat arti dari stimuli. Kata interpretasi itu menurut Terry Barret berarti memaknai gambar, sedangkan kata menginterpretasikan berarti

39 Susan Hazelroth dan Juliet G. Moore,”Photo Essay, Spinning the web: Creating a structure of collaboration between Schools and Museums, art education, art museum and

collaboration”, Art Education, vol 51 no 2, Mar 1998, ppl 20-24 40 Susan Hazelroth dan Juliet G. Moore, loc.cit

41 Avgerinous 1997 dikutip langsung oleh Janet Rountree dan William Wong, “learning to Look : Real and Virtual Artifacts, Educational Technology and Society vol 5 no 1, 2002, p 130

71

merepresentasikan, mengekspresikan, menjadikan, merespons sesuatu atau menjadi bagian dari sesuatu tradisi. Pada umumnya saat menginterpretasikan suatu foto akan terjadi tanya jawab seperti ini 42;

Apa obyek yang kita lihat ?, Foto ini mengenai apa ?

Apa yang diekspresikan atau dipresentasikan ? Bagaimana pengaruh budaya dalam konstruksi foto ? Apa makna bagi pembuat foto ?

Apa bagian dari foto ini ? Apa rujukan foto ini ? Apa respons foto ini ?

Bagaimana membuat foto ini ? Dalam tradisi apa foto ini berasal ? Apa tujuan akhir dari fotografer ini ?

Apakah kesukaan atau kepuasaan akan membuat orang merespons foto tersebut?

Kepada siapa foto ini ditujukan ?

Siapa yang tidak peduli dengan foto ini ?

Problem apa yang akan dipecahkan dengan foto ini atau hanya sebagai pemicu ?

42 Terry Barrett, Criticizing Photographs, An Introduction to Understanding Images, edisi 4, (New York ; Mc Graw Hill, 2006) p 42

72

Apa prejudis dan pra konsepsi yang diperkuat atau diganggu dengan foto ini ? Apa kebutuhan yang diaktifkan untuk dilepaskan melalui foto ini ?

Apa arti foto ini bagi saya ?

Apa foto ini berpengaruh pada hidup saya? Apa foto ini mengubah pandangan hidup saya ?

Anak yang beda latar belakang budayanya seperti anak keturunan Indian di Amerika mempunyai interpretasi berbeda bila diperlihatkan foto cowboy dengan Indian. Interpretasi mereka berbeda sekali dibandingkan anak kulit putih dan keturunan Afrika.43 Hal serupa terjadi pada orang

dewasa maupun kritikus tingkat professional. D. Teori belajar berkaitan dengan PBM

Definisi pembelajaran berbasis masalah menurut Barrow dan Tamblyn, 1980, adalah metode pembelajaran yang memicu pemelajar untuk memecahkan persoalan yang otentik. 44 Masalah diberikan terlebih dahulu

dalam proses belajar. Selanjutnya Barrow mengingatkan metode orisinil PBM yang berasal dari Universitas Mc Master sebelum dikembangkan peneliti lain mempunyai karakteristik sebagai berikut45 ;

43 Sharon E. Smaldino,Deborah L, Lowther, James D. Russell,op.cit. p 53

44 Woei Hung, David H. Jonassen dan Rude Liu, “Problem Based-Learning” . Editor J. Michael Spector, M. David Merrill, Jeroen Van Merrienboer, Marcy P. Driscoll, Handbook

of Research on Educational Communications and Technology, edisi 3, (New York,

Routeledge, 2008) p 488

45 LuAnn Wilkerson dan Wim H. Gijselaers, Briging Problem-Based Learning to Higher

73 Belajar berpusat pada siswa.

Pembelajaran dilakukan di bawah bimbingan guru, pemelajar mengidentifikasikan apa yang sebaiknya mereka tahu dan mengatur permasalahan di mana mereka akan bekerja dan menentukan di mana mereka akan mendapat informasi. Pemelajar mulai belajar dengan simulasi yang otentik dan permasalahan yang “ill-structured”. Keterampilan dan isi yang dibelajarkan berpusat pada masalah dan merupakan hubungan timbal balik antara teori dan permasalahan.

Belajar timbul pada kelompok kecil.

Pada awalnya PBM dibuat dengan membentuk kelompok kecil yang terdiri dari lima sampai sembilan pemelajar.

Guru sebagai fasilitator atau pemandu.

Guru akan bertanya pada siswa pertanyaan yang membuat mereka bertanya pada diri mereka, sehingga mereka dapat membuat peran pada dirinya dan memberikan tantangan yang memotivasi pemelajar lain. Guru sebagai fasilitator yang mendukung proses, memfasilitasi proses kelompok, dinamika interpersonal, mengarahkan pengetahuan pemelajar sedalam mungkin dan tidak memberikan jawaban langsung pada pertanyaan

74

Fokus organisasi pada masalah dan stimulus untuk belajar.

Pada PBM di dunia medis, permasalahan ditampilkan dalam bentuk tertulis, simulasi komputer, ataupun videotape. Kondisi ini memberikan pemelajar motivasi untuk belajar.

Masalah merupakan alat untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah.

Permasalahan yang dibuat dalam format harus sama dengan kondisi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Informasi baru didapat melalui belajar secara mandiri (“self-directed”). Pemelajar diharapkan untuk belajar pengetahuan secara mandiri dan meneliti seperti yang dilakukan praktisi Selama belajar secara mandiri, pemelajar belajar bersama-sama, mendiskusikan, membandingkan, mengulang dan berdebat tentang apa yang mereka pelajari. Pemelajar secara individu maupun kelompok bertanggung jawab untuk menghasilkan isu belajar dan proses melalui penilaian diri dan penilaian sebaya. Pemelajar mengakses materi belajarnya sendiri, memonitor pengetahuan dan belajar strategi untuk belajar (self-reflective).

Proses pembelajaran berbasis masalah ini menjadi metode pedagogi yang paling inovatif, karena metode ini sebagai pemecahan permasalahan dalam belajar. PBM dibagi menjadi enam tingkatan oleh Barrow, H.S46, dari.

46 Wenji Ho, An Exploration of Peer Collaboration and Group Problem Solving Process in a

75

Tabel. 1 Perbedaan tingkat dari Pembelajaran Berbasis Masalah47

Tingkat Kondisi Kasus Pemegang Kontrol

Tingkat 1

Kasus berbasis Dosen (lecture-based cases)

Kasus menyeluruh

Guru memberikan informasi kepada siswa dengan satu atau dua kasus yang berhubungan dengan informasi

Belajar dari arah guru

Tingkat 2

Pembelajaran berbasis kasus

Kasus menyeluruh guru mempresentasikan kasus yang lebih kompleks sebelum perkuliahan. Kasus meliputi bahan ajar yang perlu dipelajari

Belajar dari arah guru

Tingkat 3 Metode Kasus

Kasus menyeluruh Siswa diberikan kasus menyeluruh untuk dipelajari dan diteliti dalam persiapan diskusi kelas yang berurutan difasilitasi oleh fasilitator (guru,dosen)

Arah dari guru sebagian dan sebagian siswa

Tingkat 4

Modifikasi berbasis kasus

Simulasi sebagian permasalahan

Siswa diberikan presentasi awal permasalahan dan harus menggabungkan fakta melalui inkuiri. Inkuiri dibatasi oleh guru

Belajar dari arah siswa

Tingkat 5

Basis permasalahan

Simulasi permasalahan penuh Inkuiri diiniasi penuh dan dilengkapi oleh siswa dengan fasilitator tutor

Belajar dari arah siswa

Tingkat 6

Pembelajaran berbasis masalah dengan close –loop

Simulasi Persoalan Penuh Metode ini mensyaratkan siswa untuk mengevaluasi sumber informasi dan kembali ke permasalahan orisinil untuk evaluasi

Belajar dari arah siswa

Adaptasi dari H.S. Barrows (1986) Taksonomi Metode Pembelajaran Berbasis Masalah

yang paling rendah yaitu tingkat 1 yang arah belajar berasal dari guru dengan kasus berbasis guru (lecture-based cases) sampai tingkat yang paling tinggi

Disertasi tidak dipublikasikan. 2008, P 47 47 Ibid.p 47

76

yaitu tingkat 6 arah belajar dari siswa dengan pembelajaran berbasis masalah dengan close-loopPBM adalah metode pembelajaran yang menggunakan teori kognitif, konstruktivis dan segala turunan dari teori-teori tersebut (tabel 2) 48. PBM mempunyai persamaan dengan konsep situated

cognition.

Tabel 2. Teori dalam Pembelajaran Berbasis Masalah 49 Teori dalam

PBM

Definisi Prinsip dasar

Kognitivism Teori pengetahuan yang menerima pikiran seperti pusat proses informasi dan didukung oleh psikologi kognitif

Berpusat pada individu. Pikiran merupakan sistem proses informasi

Konstruktivism Perspektif psikologi dan filosofi yang menantang bentuk individu atau mengkonstruksi apa yang mereka pelajari (Bruning, Schraw dan Ronning, 1999 dikutip oleh Schunk).

Konstruktivis kurang lebih sebagai epistomologi. Banyak teori konstruktivis yang ada itu berasal dari dua aliran yaitu konstruktivis kognitif yang berhubungan J. Piaget dan konstruktivis sosial yang berhubungan dengan Vygotsky. Peneliti lain seperti Bruner, Gardner, Goodman dan ilmuwan saat ini berperan sebagai kontributor, tetapi bagi Phillip,

konstruktivisme dapat disetarakan

dengan “agama sekuler dengan banyak

Individu menjadi pemelajar aktif yang harus

mengkonstruksi pengetahuan untuk mereka sendiri

“Konstruktivisme Kognitif”

bagi Piaget adalah pengentahuan konstruksi dengan proses yang berkelanjutan melalui dua mekanisme yaitu akomodasi dan asimilasi, yang dijaga oleh konflik kognitif. Proses ini dimulai di dalam individu dan membuat individu itu berkembang.

“Konstruktivisme sosial”

48 Schunk, Fosnot, Altet, Perry,Legendre, Phillips dikutip langsung oleh Ntyonga-Pono, , “Problem-based learning at The Faculty of Medicine of the Universite de Montreal : A Situated Cognition Perspective”,. Med Educ Online ; 2006 pp 11-: 21

77

sekte” dan “banyak pengarang dengan

sebaran dan spektrum yang luas.

Vygotsky menggariskan asal muasal proses mental sosial yang tinggi dan pentingnya konteks sosial

Kerangka Phillip untuk membandingkan

konstruktivisme dalam tiga dimensi

1)mekanisme belajar

konstruksi (faktor biologi dan psikologi)

2)spektrum luas antara

“pembelajaran secara alami

dan manusia sebagai

pencipta”

3) kognisi individu/proses sosial dan politik

Situated cognition atau situasi belajar berbasis pada konsep bahwa pengetahuan dalam situasi kontekstual yang dipengaruhi secara mendasar oleh aktivitas, konteks, budaya saat digunakan. Situated cognition dikarakteristikan dengan bagaimana belajar mengambil tempat dan tidak hanya di mana belajar berlangsung. Investigasi orisinil dari Lave, 1986 yang menyatakan bahwa bagaimana belajar ada di luar penempatan pendidikan formal. 50Pada disertasi ini, kehidupan kritikus foto dan fotografer seni murni

tidak ada di Indonesia maka digantikan dengan pemutaran film kehidupan kritikus foto dan maestro foto. Bagian pekerjaan dari kritikus foto yang dibuat

50Mark Szymanksi dan Patricia Morrell, Situated Cognition and Technology, The International

78

simulasinya adalah cara kerja kritikus foto dalam mengumpulkan data dan presentasi sebagai pengalaman yang otentik. Pengalaman belajar dilokasi (situated learning experience) mempunyai 4 hal dasar yang utama.

1. Belajar di “grounded” dalam tindakan situasi sehari-hari 2. Pengetahuan diperoleh secara situasional.

3. Belajar sebagai hasil dari proses sosial meliputi pemikiran dan menerima pemecahan masalah.

4. Pengetahuan diciptakan atau negosiasi melalui interaksi antara pemelajar dengan yang lainnya dan dengan lingkungannya.

Keempat dasar situated cognition ini sesuai dengan ide pembelajaran berbasis masalah dari Barrows. Perbandingan pembelajaran berbasis masalah, konstruktivisme, situated cognition dan aktivitas dalam penelitian kritik foto ini dilihat pada Tabel 3. contoh belajar secara mandiri yang merupakan inisiatif mahasiswa dalam mencari data foto dan membuat presentasi mandiri membutuhkan akomodasi dan asimilasi dalam prosesnya. Asimilasi merupakan kecenderungan orang untuk mengorganisasi struktur psikologisnya dan terjadi pada saat menggunakan skema yang ada untuk memaknai kejadian di dunia. Asimilasi ini bisa terjadi pada saat mahasiswa mencari foto yang biasanya menceritakan kejadian yang ada. Begitu pula dengan akomodasi yang membuat seseorang mengganti skema dengan respon pada situasi yang baru. Akomodasi dapat terjadi saat mahasiswa melihat foto yang menceritakan kondisi dan kejadian yang belum pernah

79

Tabel 3 Pembelajaran berbasis masalah, situated cognition, konstruktivisme, aktivitas penelitian membaca foto (modifikasi dari Ntyonga-Pono51)

Pembelajaran berbasis masalah

Situated cognition Aktivitas siswa dalam membaca foto Konstruktivisme Pembelajaran berpusat pada siswa Belajar adalah kemampuan individu untuk mengkonstruksi dan memaknai sendiri Saat mengumpulkan data dan menyusun presentasi (lihat bab 3 dan 4) Asimilasi, akomodasi (jean Piaget) dan proses mental tinggi dan pentingnya konteks sosial (Vygotsky ). Belajar secara mandiri Asimilasi dan akomodasi (Jean Piaget). Belajar dalam kelompok kecil Belajar terjadi dalam interaksi dengan sesama, tutor dan berbagai alat. Belajar merupakan proses sosial.

Diskusi foto dalam kelompok kecil (4-5 orang) maupun dalam kelas besar saat presentasi dengan sesama dan tutor.

Asimilasi,

akomodasi (jean Piaget) dan proses mental tinggi dan pentingnya konteks sosial (Vygotsky) Guru sebagai

pelatih

Tema dalam karya foto sebagai problem yang menjadi pusat perhatian dan stimulus belajar Belajar adalah grounded (membaca foto adalah kegiatan sehari-hari dari kritikus foto). Pengetahuan diperoleh situasional. Siswa membaca gambar, mengkritik dan berdiskusi dengan gambar. Asimilasi, akomodasi (Jean Piaget) dan proses mental tinggi serta pentingnya konteks sosial (Vygotsky) Permasalahan merupakan kendaraan untuk pengembangan ketrampilan dalam mengkritik foto. 51Ntyonga-Pono, 2006,op.cit. p 13

80

mereka lihat, misal foto yang bertema kesetaraan jender yang kompleks dari Cindy Shermann.

Menurut Woolfolk, 2008 akomodasi dan asimilasi tidak terjadi saat seseorang mendengarkan bahasa asing yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Seseorang tidak akan memaknai pergantian skema tanpa mempunyai sedikit pengetahuan tentang bahasa. Pada pembacaan foto hampir semua foto subject matternya kemungkinan besar sudah diketahui mahasiswa sebelumnya kecuali foto-foto abstrak atau foto-foto di bawah mikroskop yang mungkin sulit dikenali subject matternya. Maka asimilasi, akomodasi atau kedua-duanya dapat terjadi saat melihat foto.

Schmidt’s (1983) yang menyimpulkan prinsip sesungguhnya yang

mendasari pembelajaran berbasis masalah, yaitu

1. Aktivasi belajar mengutamakan pemecahan. Fungsi persoalan sebagai stimuli dari belajar untuk aktivasi pengetahuan.

2. Spesifikasi enkode. Pengarahan ke lingkungan belajar yang otentik dan mirip dengan persoalan sebenarnya dalam kehidupan nyata. Dalam hal visual bisa dilontarkan dengan mengkritik foto.

3. Elaborasi pengetahuan melalui diskusi dan refleksi untuk mengkonsolidasi pengalaman belajar. Pengetahuan dapat dilibatkan dalam negosiasi

81

sosial, juga elaborasi pengetahuan pada waktu, atau belajar meningkatkan pemanggilan yang berurut52.

Tendensi dasar berpikir

Proses konstruksi kognitif sebagai mekanisme belajar. Keseimbangan menunjukkan belajar interaktif yang membuat pemelajar menerima pengetahuan baru yang sesuai dengan pengetahuan yang sudah diperolehnya. Piaget menyatakan kecenderungan dasar berpikir dibagi dua yang pertama adalah organisasi. Prosesnya adalah mengatur ,mengkombinasi ulang, dan mengatur ulang perilaku dan pikiran kedalam sistem yang koheren. Sejak manusia lahir cenderung untuk mengorganisasikan pikirannya ke dalam struktur psikologi. Piaget menyebut struktur ini sebagai skema, unit dasar yang kecil dan spesifik misal skema sedotan minuman.53 Dalam skema besar, unit ini dilihat menjadi lebih lebar

sehingga menjadi seseorang yang sedang menyedot minuman. Pemikiran seperti ini bisa terjadi pada saat seseorang akan mengambil foto. Fotografer akan mengatur hubungan antara orang yang sedang minum dengan sedotan tersebut ke dalam skema yang lebih besar, yaitu latar belakang yang difoto untuk menjadi satu dalam suatu komposisi yang menarik.

Pemikiran kedua dari Piaget adalah adaptasi. Yaitu manusia mempunyai kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

52 Tony Greening, “Scaffolding for Success in Problem-Based Learning”, Med Educ Online

(serial on line) 1998.

82

Adaptasi terbagi menjadi dua yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi yaitu seorang menggunakan skema yang sudah ada untuk membuat suatu kejadian menjadi bermakna. Dengan kata lain, asimilasi adalah jika ada suatu proses pengertian baru yang masuk, maka akan menambah pengertian yang sudah ada. Misalkan pada saat interpretasi foto Apa yang dapat kita pelajari dari foto proklamasi kemerdekaan RI ? Pertanyaan ini akan membuat seseorang menambah pengetahuan baru dan pengertian kognitif yang disebut Piaget sebagai asimilasi dari isi, sedangkan akomodasi terjadi ketika seseorang harus mengganti skema yang ada untuk merespons

situasi baru. Misalkan kita bertanya “Bagaimana anda mengerti kejadian

proklamasi kemerdekaan saat ini ? Pertanyaan ini membuat seseorang merefleksikan pengetahuan dan bagaimana hal itu berubah saat menginterpretasikan pengetahuannya. Menurut Piaget pengubahan ini disebut akomodasi54.

Proses Informasi

Awalnya proses informasi disebandingkan dengan komputer sebagai model. Otak manusia mengambil informasi, bekerja untuk mengubah isi dan bentuk, menyimpan, mengambil kembali bila dibutuhkan dan menghasilkan respons terhadap informasi. Proses mengumpulkan informasi dan mengorganisasikan ini disebut enkode. Menyimpan informasi (storage) dan memanggil informasi tersebut bila dibutuhkan disebut retrieval. Keseluruhan

83

sistem ini dipandu oleh proses kontrol untuk menunjukkan bagaimana dan kapan informasi tersebut mengalir dalam sistem.

Gb 1. Sistem Proses Informasi 55

Kapasitas sensory memory besar tetapi tidak tahan lama dan hanya bertahan sekitar satu dan tiga detik. Isi informasi dari sensory memory menggambarkan sensasi dari stimulus orisinil. Sensasi visual termasuk fotografi di kode secara singkat oleh sensory register sebagai imaji seperti

55 Ibid. p 239 Memori bekerja Belajar ( simpan) Persepsi Sensory

Memory Ingatan Jangka

Panjang Retrieve Pengaruh langsung Pengaruh Pengetahuan Implisit Ingatan Kontrol Eksekutif

84

fotografi. Proses untuk mendeteksi stimulus dan menugaskan makna ke dalam sensory memori disebut persepsi. Pengertian persepsi ini berasal dari Jerman pada awal abad ini dan disebut teori gestalt

Teori ini menyatakan kecenderungan seseorang untuk mengorganisasikan informasi sensori kedalam pola dan hubungannya. Salah satu fotografer yang banyak menggunakan gestalt ini adalah Henry Cartier Bresson, sedangkan pelukis Escher dari Belanda yang paling banyak menggunakan teori ini dalam lukisannya.

Aspek Sosial dalam belajar

Vygotsky (1896-1934) merupakan peneliti yang peduli akan kondisi sosial dalam belajar dan teori interaksi sosial sebagai dasar perkembangan kognitif. Aktivitas manusia masuk dalam penempatan budaya dan tidak terpisahkan. Interaksi sosial ini akan mempengaruhi perkembangan kognitif dan membentuk struktur kognitif dan proses berpikir. Interaksi sosial ini lebih dari sekedar pengaruh dan merupakan asal muasal dari proses mental tingkat tinggi seperti pemecahan masalah. Vygotsky mengusulkan perkembangan kognitif tergantung dari zone of proximal development yang dikenal dengan istilah ZPD. Seorang individu dapat memperoleh pengetahuan pada tangga ZPD bila dibantu atau ketika koloborasi dengan guru atau siswa yang lebih berpengetahuan. Definisi ZPD menurut Vygotsky (1978) adalah Jarak antara tingkat pengembangan potensial yang ditunjukkan oleh kemampuan

85

pemecahan masalah yang dibantu oleh teman yang lebih mampu dan tingkat pengembangan aktual yang ditunjukkan oleh kemampuan pemecahan masalah secara mandiri. 56

Penelitian Martha Nyikos (1997) pada gabungan orang yang mempunyai zona potensial individu yang disebut kelompok ZPD (group ZPD). Pertukaran pandangan dan dinamika hubungan intersubyectivity dari tiap individu dalam kelompok membuat potensi kelompok ini berkembang secara sosial. Kelompok ZPD ini memungkinkan adanya pertumbuhan yang eksponensial akibat mediasi sosial yang diperoleh melalui diskusi berganda, berbagai sudut pandang dan pemecahan masalah secara kreatif.57 Hasil dari

penelitian kelompok ZPD ini

1. Interaksi sosial sebagai faktor kebutuhan dalam ZPD

2. Perkembangan kognitif yang dicapai dengan membangun pengetahuan baru melalui pemecahan masalah dan berpikir kritis.

3. Self-regulation sebagai respons pada hubungan kekuasaan dan faktor

afektif. Proses untuk aktivasi dan menjaga pikiran, prilaku dan emosi dalam mencapai tujuan.

4. Bahasa sebagai alat untuk perantara untuk faktor-faktor ini.

56Lannie Kanevsky dan John Geake, Inside the Zone of Proximal Development: Validating a Multifactor Model of Learning Potential With Gifted Students and Their Peers. Journal for

The Educaction of the Gifted. Vol.28. No.2 2004. pp. 182-217.

57 Martha Nyikos dan Reiko Hashimoto, Constructivist Theory Applied to Collaborative Learning in Teacher Education: In Search of ZPD, The Modern Langguage Journal , vol 81, 1997, pp 506-517

86

Scaffolding dan Magang kognitif (Cognitive Apprenticeship)

Scaffolding merupakan istilah yang digunakan Vygotsky dan Luria yang berhubungan dengan bagaimana orang dewasa mengenalkan arti budaya pada anak-anak (Veer dan Valsiner, 1991, hal 226).58 Scaffolding

berarti guru memberikan dukungan ekstra dan membantu siswa menyelesaikan tugas dengan sukses,59 sedangkan magang kognitif adalah

hubungan seseorang yang kurang berpengalaman dalam belajar yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan di bawah pengarahan dari yang lebih ahli.

Scaffolding dan magang kognitif (MK) mempunyai persamaan bila ditinjau dari sudut pandang kognitif, sedangkan perbedaan keduanya antara hubungan tutor (orang yang lebih berpengalaman) dibandingkan dengan orang yang belajar. Pada MK tanggung jawab utama belajar pada pemelajar, sedangkan tutor pada scaffolding bertanggung jawab memberikan dukungan untuk belajar. 60 Pada MK, pengetahuan ada dalam situasi dan berkembang

dalam konteks komunikasi dengan alur pikir, logika dan alasan yang sesuai dengan anggota kelompok. Observasi dan sosial konteks merupakan aspek

58Maria C. M. De Guerrero dan Olga S. Villamil, Activating the ZPD: Mutual Scaffolding in L2 Peer Revision, The Modern Langguage Journal, 84, 2000.

59Donald R Cruickshank, Deborah Bainer Jenkins, dan Kim K. Metcalf, The Act of Teaching, (New York : McGrawHill, 2006). Pp 1-510

87

fundamental dari MK (Collins, Brown dan Holum,1991).61 Aspek ini

memungkinkan koloborasi antar siswa yang berbeda budaya untuk menghayati peran dan model interaksi. Pengetahuan mengenai hubungan antara yang mengetahui dan yang belajar atau antara master dan pemelajar yang kurang berpengalaman (the apprentice) perlu diketahui. Kondisi ideal yang perlu dicapai pemelajar yang kurang berpengalaman terus menerus memberdayakan diri (empowerment) dengan peningkatan partisipasi dalam komunitas.